Anda di halaman 1dari 11

EVIDENCE BASED MEDICINE (EBM)

Pembimbing :

dr. Moch. Ma’roef, Sp.OG

Oleh:

Firmanduta Ananta Mirucie Wisnu 201820401011159

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Pada dewasa ini, ilmu di dunia kedokteran berkembang sangat pesat, bukti

ilmiah yang tersedia begitu banyak dan bukti riset yang dipublikasikan pun

sangat banyak jumlahnya. Hampir dua juta artikel kedokteran diterbitkan setiap

tahun. Padahal, “not all evidences are created equal”. Tidak semua artikel

memberikan bukti-bukti dengan kualitas dan validitas (kebenaran) yang sama.

Sebagai soerang tenaga medis, dokter harus selalu mengikuti

perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Tidak terkecuali dalam penegakan

diagnosis, dokter harus memeriksa pasien dengan prosedur yang tepat sesuai

dengan sebuh prinsip yang disebut Evidence Based Medicine (EBM). EBM dapat

diartikan sebagai pemanfaatan bukti ilmiah secara seksama, ekplisit dan bijaksana

dalam pengambilan keputusan untuk tatalaksana pasien. EBM ini dijadikan dasar

dalam melakukan diagnosis dan terapi (Tuberlaka, 2016).

Profesi medis (dokter dan dokter gigi) berkewajiban untuk menjalankan

keputusan klinis berbasis bukti atau EBM. Hal ini sejalan dengan UU No. 29

tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pasal 44 ayat 1 mengamanatkan bahwa

dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik wajib mengikuti standar

pelayanan kedokteran dan kedokteran gigi. Pasal 51 huruf a mengamanatkan

bahwa dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik wajib memberikan

pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional serta

kebutuhan medis pasien. Penjabaran lebih rinci mengenai standar pelayanan

kedokteran ini diterjemahkan dalam PerMenkes No. 1438 tahun 2010 tentang
Standar Pelayanan Kedokteran, yang secara prinsip menganut filosofi evidence-

based medicine.

Artikel ilmiah dalam bidang kedokteran sebagian memang memiliki

kualitas yang tinggi, namun sebagian lain juga dapat berkualitas buruk. EBM,

semua bukti ilmiah ini harus disaring untuk mendapatkan yang terbaik, salah satu

cara untuk memilahnya adalah dengan critical appraisal (Corpblack, 2010).

Pada EBM dokter juga diajari tentang menilai apakah jurnal tersebut

dapat dipercaya dan digunakan. Karena itu para dokter dan tenaga kesehatan

profesional lainnya perlu mengasah keterampilan untuk memilah dan memilih

bukti-bukti terbaik yang bisa memberikan informasi yang relevan dan terpercaya,

dengan cara yang efektif, produktif, dan efisien (cepat).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Evidence Based Medicine (EBM) merupakan penggunaan bukti terbaik

dalam membuat keputusan mengenai perawatan pasien individual dengan berhati

– hati, tegas, dan bijaksana. EBM mengaplikasikan bukti atau evidence terbaik

yang dapat ditemukan dalam literatur medis kepada pasien dengan masalah medis

sehingga menghasilkan perawatan terbaik yang memungkinkan untuk setiap

pasien. EBM merupakan sebuah pendekatan pada praktik kedokteran dimana

klinisi mampu mengevaluasi kekuatan sebuah bukti (evidence) dan

menggunakannya dalam praktik klinik kepada pasien (Mayer, 2010).

2.3 Tujuan

Tujuan dari EBM adalah untuk membantu dokter membuat keputusan

klinis berdasarkan bukti yang terbaik (Best Evidence Based) dan Memberikan

pelayanan medis yang berpusat pada pasien (Patient Centered Medical Care),

bukan berorientasi penyakit (Murti, 2013).

2.3 Level EBM


2.4 Prosedur EBM

(Murti, 2013)

Menurut Leen et al, 2014, terdapat 5 langkah dalam EBM yaitu:

1. Bertanya (Ask) mengenai pertanyaan terfokus mengenai perawatan individual,

komunitas atau populasi.

2. Mendapatkan (Acquire) bukti terbaik yang ada dan sesuai dengan pertanyaan

anda.

3. Menilai (Appraise) validitas dan seberapa mungkin bukti tersebut digunakan

dalam masalah yang ada.

4. Mengaplikasikan (Apply) bukti dengan pembuatan keputusan yang kolaboratif

dengan pasien atau kelompok.

5. Memantau (Assess) hasil akhir dan menyebarluaskannya.


Gambar 2.1 Langkah EBM (Leen, et al, 2014)

Proses EBM menginformasikan pertanyaan dan praktik di masa yang

akan datang, sangat berguna untuk menggambarkannya dalam siklus seperti

diatas (Leen et al, 2014).

Pertanyaan sering hanya sebagian yang dirumuskan, yang membuat

pencarian jawaban di literatur menjadi susah. Memecah pertanyaan menjadi

komponen komponennya dan menyusunnya kembali sehingga menjadi lebih

mudah mencari jawaban merupakan langkah awal yang penting di EBM,

sebagian besar pertanyaan klinis dapat dibagi menjadi empat komponen,sering

disingkat PICO (Patient/Problem, Intervention/Indicator, Comparator/Control,

Outcome). (Leen et al, 2014).


Tipe Pertanyaan dalam EBM (Leen et al, 2014)

Tipe pertanyaan yang berbeda memerlukan desain studi yang berbeda.

Setelah mengidentifikasi tipe pertanyaan, dapat menyesuaikan penelitian yang

spesifik yang paling baik menjawab pertanyaan. Langkah selanjutnya setelah

memformulasikan pertanyaan adalah mencari bukti dengan kualitas yang terbaik

yang dapat menjawab pertanyaan tersebut (Leen et al, 2014).

Desain penelitian sesuai dengan tipe pertanyaan menurut Leen et al, 2014.
Setelah memperoleh bukti yang sesuai dengan pertanyaan, sangatlah perlu

untuk menilai kualitasnya, desainnya serta kemampuan bukti tersebut untuk

diaplikasikan, penilaian ini dinamakan Critical appraisal yaitu proses memeriksa

hasil penelitian secara hati – hati dan sistematis apakah penelitian tersebut dapat

dipercaya, baik nilainya maupun relevansinya dengan konteks tertentu (Leen et

al,2014).

Langkah berikutnya yaitu mengimplementasikan bukti yang telah

diperoleh dan ditelaah. EBM merupakan standar yang diterima di pelayanan

kesehatan modern dan semakin dikenal sebagai inti kompetensi klinis. Secara

internasional, beberapa lembaga telah menekankan pentingnya menggunakan

bukti ilmiah untuk memandu keputusan klinis sebagaimana meningkatkan hasil

akhir pasien. Profesional di bidang pelayanan kesehatan perlu untuk melakukan

lebih dari sekadar mendapatkan dan menilai bukti ilmiah, tetapi

mengimplementasikannya juga diperlukan (Leen, et al, 2014).

Langkah Berikutnya adalah mengevaluasi kinerja penerapan EBM.

Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, dengan tiga kegiatan:

a. Mengevaluasi efisiensi penerapan langkah – langkah EBM. Penerapan EBM

dikatakan belum berhasil jika klinisi membutuhkan waktu terlalu lama untuk

mendapatkan bukti yang dibutuhkan, atau klinisi mendapat bukti namun kualitas

bukti tidak memenuhi VIA (Hollowing dan Jarvik, 2007).

b. Melakukan audit keberhasilkan dalam menggunakan bukti terbaik sebagai

dasar praktik klinis. Dalam audit klinis dilakukan kajian pelayanan yang telah

diberikan untuk dievaluasi apakah terdapat kesesuaian antara pelayanan yang


diberiken dengan kriteria yang ditetapkan. Jika belum, maka audit klinis

memberikan saran agar dilakukan upaya perbaikan pelayanan dan klinis pasien.

c. Mengidentifikasi area riset di masa mendatang.

Evaluasi ini berguna untuk memperbaiki penerapan EBM menjadi lebih

baik, efektif, dan efisien, sehingga EBM menjadi program perbaikan kualitas

pelayanan kesehatan yang berkelanjutan.


BAB III

KESIMPULAN

(Evidence-Based Medicine) EBM adalah pendekatan pelayanan medis

yang memadukan bukti-bukti riset terbaik, dengan keterampilan klinis dokter,

dan keunikan, nilai-nilai dan harapan pasien, untuk pelayanan yang lebih baik

kepada pasien. EBM adalah suatu pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-

bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita

EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang

lebih baik agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien,

dengan cara memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai-

nilai pasien. di dalam mencari sumber belajar dengan pelacakan publikasi ilmiah,

harus yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.


DAFTAR PUSTAKA

CorpBlack, 2010. The history of evidence based medicine.

http://www.nettingtheevidence.org.uk/the-history-of-evidence-based-

medicine/ – Diakses Juni 2019.

Evidence Based Clinical, BMJ. Viewed on Jun 2019 from

http://clinicalevidence.bmj.com/x/set/static/ebm/learn/665073.html

Hollowing W, Jarvik JG ,2007. Technology assessment in radiology: Putting the

evidence in evidence – based radiology. Radiology: 244(1): 31 – 38.

Leen B, Bell M, McQuillan, 2014. Evidence-Based Practice: a Practice Manual,

Irlandia : Health Service Executive (HSE)

Mayer D, 2010. Essential Evidence-Based Medicine: second edition,Inggris:

Cambridge University Press

Murti B, 2013. EBM Overview, Department of Public Health Faculty Of

Medicine UNS

PerMenkes 003 tahun 2010

Tumbelaka A, 2016. Evidence Based Medicine, Sari Pediatri, Vol. 3, No. 4, pp:

247 – 248

UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai