TELAAH Kajian Semiotika
TELAAH Kajian Semiotika
A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang paling pandai dan mengenal banyak simbol,
oleh sebab itu manusia sering diberi sebutan homo symbolycus karena itu dalam
interaksi dan interelasi manusia membutuhkan suatu alat komunikasi agar bisa saling
bertukar informasi.Terdapat berbagai model dan cara berkomunikasi, salah satunya
dengan tanda. Dalam memahami segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda
dibutuhkan konsep yang sama agar tidak terjadi mis-komunikasi. Ilmu yang mengkaji
tanda inilah yang dikenal sebagai semiotika.Telaah dan kajian semiotika telah dimulai
sejak filosof Yunani kuno seperti halnya Plato dan Aristoteles, dan juga pada ahli-ahli
skolastik abad pertengahan. Menurut Todorov, ada empat tradisi disiplin ilmu yang
memberi kontribusi tentang “lahirnya semiotika Barat”, yakni semantik (yang termasuk
filsafat dan bahasa), logika, retorika, dan hermeneutika.
Melihat sejarah dari ilmu tanda ini, maka istilah yang selalu membingungkan
adalah ‘semiotika’, namun kedua istilah ini memiliki telaah yang sama yakni kajian yang
berurusan dengan ilmu tanda. Jelasnya istilah tersebut berakar dari bahasa Yunani
semeio. Menurut Sebeok, kadangkala dua istilah tersebut digunakan untuk
mengidentifikasi ‘’dua tradisi semiotika’’. Tradisi linguistik dari Saussure dan Barthes
biasanya dimaksudkan sebagai semiology.Tradisi Peirce dan Morris disebut sebagai
semiotic.Saat ini, istilah semiotics (semiotika) secara umum lebih diterima, yang juga
sebagai sinonim dari semiology (semiologi), yang juga cabang dari semiotika itu sendiri.
Semiotika, semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada
ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik
lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion
yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari
sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik
didefinisikan sebagai berikut:
B. Tokoh-tokoh Semiotika
Jika demikian adanya bahwa ‘subjek’ Lacan adalah apa yang merupakan
unconscious, maka bagaimanakah ketidaksadaran itu muncul. Lacan tidak
meninggal Freud dalam hal ini, yang mana unconscous muncul dalam bentuk
mimpi, kelakar, keseleo lidah, dan gejala. Karena unconscious tidak dapat
sepenuhnya hadir dalam bahasa simbolik, maka ia mencari ‘’tempat’’ lain seperti
tersebut di atas. Menurut Lacan bahasa adalah kondisi dari ketidaksadaran, dan
bahwa bahasa menciptakan dan membangkitkan ketidaksadaran.unconscious
mengatakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang tampaknya disampaikan.
Formasi-formasi tersebut diatur dengan mekanisme yang sama dengan mengatur
bahasa, yakni seperti metafora dan metonimia. Di sinilah akhirnya semiotika
Lacanian berlaku, yang melihat ketidaksadaran sebagai sebuah ‘tanda’, dan ‘’tugas
dari manusia bukanlah harus menyimbolkannya tetapi menangkap tanda tersebut
dan mencari sebabnya, dan lalu ia dapat termaknai sebagai tanda’’ .
3. Kajian Semiotika menurut Roland Barthes
Sebagai pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem
tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam
waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya
hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
(things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak
dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.Salah
satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah
peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda,
membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas
mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran kedua,
yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem ke-dua ini
oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya
secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif
tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan
antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan
konotasi yang dipahami oleh Barthes. Di dalam semiotika Barthes dan para
pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara
konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih
diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan
keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan
dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan
bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman,
1999:22). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda.
Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai
pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga
suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda
dapat memiliki beberapa penanda.
4. Kajian Semiotika Menurut Charles Sanders Peirce
Berbeda dengan para ahli yang sudah dikemukakan di atas, Charles Sanders
Peirce, seorang filsuf berkebangsaan Amerika, mengembangkan filsafat pragmatisme
melalui kajian semiotika. Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody
for something in some respect or capacity.”Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa
berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu
terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretan. Atas dasar
hubungan ini, Peirce membuat klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground
dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada
pada tanda. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada
tanda. Sedangkan legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda. Peirce
membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: sintaksis semiotik, semantik semiotik,
dan pragmatik semiotik. Sintaksis semiotik mempelajari hubungan antartanda.
Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam
wacana iklan merupakan dua sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling
bekerja sama dalam membentuk keutuhan wacana iklan. Semantik semiotika
mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya
membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotika ini akan
digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-
bahasa) yang mendukung keutuhan wacana. Pragmatik semiotika mempelajari
hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Berdasarkan objeknya,
Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah
tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk
alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan
yang bersifat kemiripan; misalnya foto. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya
hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan
sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap
sebagai tanda adanya api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa
disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara
penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer, hubungan
berdasarkan konvensi masyarakat. Berdasarkan interpretant, tanda (sign,
representamen) dibagi atas rheme, Dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme
adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Dicent sign
atau dicisign adalah tanda sesuai dengan kenyataan. Sedangkan argument adalah yang
langsung memberikan alasan tentang sesuatu.
F. Implementasi Semiotika dalam Sejarah dan Budaya
Roland Barthes dalam Empire of Signs melakukan pergeseran pemanfaatan
unsur-unsur semiologi formal (pemandu linguistic structural), menuju kajian fenomena
praktik-praktik budaya dunia nyata sebagai citra dan teks yang bias dibaca.Dengan
demikian Empire of Signs dipertimbangkan sebagai titik perubahan penting dalam teori
kritik kontemporer.Inovasi teoritis dan stilistikan Barthes, menempatkan teks tersebut
sebagai karya utama menyambut datangnya era kritik sastra posstruktural.Metode
semiologi yang dekmebngkan Barthes untuk membaca sistem tanda kebudayaan
sesudah munculnya karya para linguis seperti Ferdinand de Saussure, Louis Hjelmslev,
Roman Jakobson (Trifonas, 2003: 1-2).Tingginya gairah intelektual pada masa ini
kemudian melahirkan cabang teoritis seperti dekonstruksi (Jacques Derrida),
naratologi, kritik arkhetipal dan Marxisme struktural. Arti penting semiologi terletak
pada fakta bahwa ia memungkinkan para teoritisi untuk menciptakan meta-bahasa,
atau wacana kritis, yang berguna untuk menganalisis pelbagai bentuk dan struktur
representasi sebagai bagian yang dikodekan di dalam logika sebuah sistem. Semiologi
menciptakan banyak peringkat penandaan (seperti huruf, kata, kalimat, tanda baca),
yang bekerja secara sendirian maupun bersama-sama, dalam kaitannya dengan
keseluruhan teks yang dikodekan.
Dalam Mythologies, Barthes menjelaskan bahwa mitos memberikan model
pemahaman yang penting, yang dapat dipakai untuk memetakan makna pengalaman
dengan menumpukkan yang satu diatas yang lain, sehingga tercipta dua tingkat tafsir
(Trifonas, 2003: 9).Kedua tingkat itu bekerja sendiri-sendiri maupun secara bersamaan,
yaitu menerangi realitas dan kemudian mempertajam realitas.Pada tingkat primer
Barthes menunjukkan sistem representasi faktual dimana objek-objek diacu oleh
tanda.Barthes menyebutnya sebagai “wilayah penandaan”, dengan dalih agar dapat
terjaga bentuk representasi tetap terpisah dengan isi representasi. Sedang di tingkat
sekunder memperkenalkan sistem simbolik dimana hubungan dengan makna
diciptakan, Barthes menyebut wilayah asosiasi simbolik ini dengan le significant vide
atau “petanda kosong”. Ia melahirkan wilayah makna yang berbeda di luar objek-
objek atau praktik-praktik budaya, dengan memberikan kekuatan kebenaran kepada
representasi itu dan melihatnya sebagai kebenaran. Dengan demikian fakta-fakta
empiris, yang ditopang oleh kehadiran signifiant ini, mendapat cahaya metaforis atau
simbolik yang mempesona dankarena itu mendorong pembaca untuk melompat dari
sekedar mengulang-ulang tafsir yang sudah lazim menuju pengambilan keputusan-
keputusan nilai yang mengandung implikasi etis dan moral. (Trifonas, 2003: 10).
Dalam analisis Barthes mitos melahirkan ideologi, sebab ia
mentransformasikan makna menjadi bentuk. Penjelasan Barthes tentang mitos dalam
Mythologies ini, seperti disederhanakan dalam pertandingan olah raga gulat.Tontonan
gulat secara imajiner bertumpu pada hasrat tak sadar yang ada dalam diri para
penonton, untuk mengolah ketegangan-ketegangan psikis dan etis dalam ideologi
suatu kebudayaan. Mitos, menurut Barthes, mendistorsi realitas demi efek ideologis,
mitos juga mengubah bias dan prasangka menjadi sejarah. Mitos dala versi
imajinernya tentang sejarah, masyarakat, dan kebudayaan adalah penyebab penipuan-
diri manusia jika mitos itu dianggap sebagai sumber kebenaran.Mitologi dapat hadir
sebagai sejarah ketika makna perlu ditetapkan secara publik, dan relitas diterangkan,
demi menegaskan klaim-klaim tentang kejelasan dan kebenaran universal.Mitos
berfungsi melawan fragmentasi memori kultural dengan menerima begitu saja segala
yang sedang terjadi di sekitar kehidupan sehari-hari.
Menarik ungkapan dari Derrida (Sim, 2003: v), seorang penggagas
dekonstruksi, dan diidentikkan dalam wacana posstrukturalis, yaitu aliran filsafat yang
menampik adanya kestabilan makna kata. Bagi Derrida, pada akhirnya semua sejarah
tak lain hanyalah sejarah makna, yaitu sejarah Rasio pada umumnya (Trifonas, 2003:
20). Bagi Derrida rasio adalah ideologi sejarah. Tidak ada sesuatu pun yang tidak
memiliki rasionya sendiri, tidak peduli bagaimana pun sesat atau pun tidak etisnya
suatu pemikiran atau tindakan. Bathers menganggap, hilangnya makna itu bersifat
imanen pada semua sejarah atau representasi budaya, karena adanya intervensi dari
tanda-tanda bahasa.
Dengan mempelajari semiotika, maka sejarah yang pada dasarnya merupakan
tulisan yang menceriterakan peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang
direkonstruksikan oleh sejarawan melalui data dan fakta yang dikumpulkannya. Karena
itu dalam penulisan sejarah, semiotika sangat dibutuhkan, terutama dalam
pengumpulan data dan fakta masa lampau yang didasarkan pada tanda-tanda yang
diperoleh selama sejarawan itu melakukan penelitian. Tentunya tanda-tanda yang
berupa simbul-simbul peristiwa itu akan diinterpretasikan oleh sejarahwan dan
kemudian dianalis dan disintesakan serta ditulis menjadi narasi tentang peristiwa masa
lampau tersebut. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh Lacan bahwa tugas dari
manusia bukanlah harus menyimbolkannya tetapi menangkap tanda tersebut dan
mencari sebabnya, dan lalu ia dapat termaknai sebagai tanda.
Begitu pula dalam hal budaya, semiotika sangat membantu pemahaman
tentang budaya, karena budaya pada hakekatnya merupakan cerminan dari simbul-
simbul cipta, rasa dan karsa manusia, maka dengan semiotika akan lebih mudah untuk
mengenal budaya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Sausure bahwa
sistem tanda atau bahasa bukan saja mengacu pada bahasa oral, namun juga
mencakup pada sistem kebahasaan lainnya yang bersangkutan dengan sosio budaya
dari kehidupan manusia. Jadi simbul-simbul budaya itu pada dasarnya dapat terungkap
melalui bahasa.
G. KESIMPULAN
Bedasarkan uraian di atas nyatalah bahwa semiotika yang merupakan teori
filsafat umum yang berkaitan dengan tanda-tanda atau simbol-simbol, baik berupa
tanda-tanda verbal maupun tanda-tanda visual yang digunakan untuk
mengkomunikasikan suatu informasi sangatlah penting dan bermanfaat dalam
pemahaman tentang sejarah dan budaya manusia. Dengan mengenal simbul-simbul
tentang peristiwa atau kejadian di masa lampau akan memudahkan untuk memahami
tentang ceritera sejarah maupun penulisan sejarah.
Mengingat bahwa semua kenyataan budaya adalah tanda. Kita memang hidup
di dunia yang penuh dengan tanda dan diri kitapun bagian dari tanda itu sendiri.
Dengan demikian pula melalui pemahaman terhadap simbul-simbul atau tanda-tanda
yang ditampilkan oleh suatu masayarakat atau bangsa, maka akan lebih memudahkan
untuk mengetahui budaya masyarakat atau bangsa tersebut.
Daftar Bacaan
Aminuddin. 1988. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru
Budiman, Manneke. 2002. “Indonesia: Perang Tanda,” dalam Indonesia: Tanda yang
Retak. Jakarta:Wedatama Widya Sastra
Hoed, Benny H.,2002.“Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam
KajianBudaya,”dalam Indonesia: Tanda yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra
Trifonas, Peter Pericles. 2003. Barthes dan Imperium Tanda, alih bahasa: Sigit Djatmiko,
Yogyakarta: Jendela.
Sim, Stuart. 2003. Derrida dan Akhir Sejarah, Terjemahan: Sigit Djatmiko, Yogyakarta :
Jendela
Sim, Stuart & Borin van Loon.2008. Memahami Teori Kritis, Terjemahan: Team Resist,
Yogyakarta: Resist.
Teew, A.1984. Khasanah Sastra Indonesi. Jakarta: Balai Pustaka
van Zoest, Aart.1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita
LakukanDengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung
http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika
http://fahri99.wordpress.com/2006/10/14/semiotika-tanda-dan-makna/
http://www.averroes.or.id/thought/semiotika-dan-psikoanalisa-lacanian.html