Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN SEMIOTIKA DALAM

SEJARAH DAN BUDAYA

A. Pendahuluan

Manusia adalah makhluk yang paling pandai dan mengenal banyak simbol,
oleh sebab itu manusia sering diberi sebutan homo symbolycus karena itu dalam
interaksi dan interelasi manusia membutuhkan suatu alat komunikasi agar bisa saling
bertukar informasi.Terdapat berbagai model dan cara berkomunikasi, salah satunya
dengan tanda. Dalam memahami segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda
dibutuhkan konsep yang sama agar tidak terjadi mis-komunikasi. Ilmu yang mengkaji
tanda inilah yang dikenal sebagai semiotika.Telaah dan kajian semiotika telah dimulai
sejak filosof Yunani kuno seperti halnya Plato dan Aristoteles, dan juga pada ahli-ahli
skolastik abad pertengahan. Menurut Todorov, ada empat tradisi disiplin ilmu yang
memberi kontribusi tentang “lahirnya semiotika Barat”, yakni semantik (yang termasuk
filsafat dan bahasa), logika, retorika, dan hermeneutika.
Melihat sejarah dari ilmu tanda ini, maka istilah yang selalu membingungkan
adalah ‘semiotika’, namun kedua istilah ini memiliki telaah yang sama yakni kajian yang
berurusan dengan ilmu tanda. Jelasnya istilah tersebut berakar dari bahasa Yunani
semeio. Menurut Sebeok, kadangkala dua istilah tersebut digunakan untuk
mengidentifikasi ‘’dua tradisi semiotika’’. Tradisi linguistik dari Saussure dan Barthes
biasanya dimaksudkan sebagai semiology.Tradisi Peirce dan Morris disebut sebagai
semiotic.Saat ini, istilah semiotics (semiotika) secara umum lebih diterima, yang juga
sebagai sinonim dari semiology (semiologi), yang juga cabang dari semiotika itu sendiri.
Semiotika, semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada
ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik
lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion
yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari
sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik
didefinisikan sebagai berikut:

“Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the


production of signs and symbols as part of code systems which are used to
communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as
tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can
be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically
communicate information or massages in literary every field of human
behaviour and enterprise”.(Semiotika biasanya didefinisikan sebagai teori
filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-
simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk
mengomunikasikan informasi. Semiotika meliputi tanda-tanda visual dan
verbal serta tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang bisa diakses
dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda
tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan
informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).
http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika diunduh tanggal 15 Desember 2010

Dengan demikian semiotika merupakan teori filsafat umum yang berkaitan


dengan tanda-tanda atau simbol-simbol, baik berupa tanda-tanda verbal maupun
tanda-tanda visual. Tanda-tanda ini digunakan untuk mengkomunikasikan suatu
informasi. Berkait dengan masalah semiotika, maka dalam makalah singkat ini
berturut-turut akan dibahas mengenai : tokoh-tokoh semiotika, beberapa jenis
semiotika, semiotika dalam bahasa, beberapa kajian tentang semiotika dan
implementasi semiotika dalam sejarah dan budaya.

B. Tokoh-tokoh Semiotika

Dalam beberapa literatur semiotika yang ada, hampir sebagian besar


menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya
Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913). de Saussure tidak hanya dikenal sebagai
Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya
Course in General Linguistics (1916). Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik
adalah Charles Sanders Peirce (1839 - 1914) seorang filsuf Amerika, Charles Williams
Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang
mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (1915 - 1980),
Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 - 1993), Christian Metz (193 - 1993),
Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja
dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899 - 1966) dan Roman
Jakobson (1896 - 1982). Dalam ilmu antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan
Jacues Lacan (1901 - 1981) dalam psikoanalisis.

C. Beberapa Jenis Semiotika


Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan jenis semiotika yang
kita kenal sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis-jenis semiotika ini antara lain
semiotika analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif,
sosial, struktural. Semiotika analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem
tanda. Peirce mengatakanbahwa semiotika berobjekkan tanda dan menganalisisnya
menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapatdikatakan sebagai lambang, sedangkan
makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yangmengacu pada obyek
tertentu. Semiotika deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang
dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang
disaksikan sekarang. Semiotika faunal zoosemiotic merupakan semiotika yang khusus
memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotika kultural
merupakan semiotika yang khusus menelaah sistemtanda yang ada dalam kebudayaan
masyarakat. Semiotika naratif adalah semiotik yang membahassistem tanda dalam
narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Semiotika natural atau semiotika
yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotika
normatifmerupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh
manusia yang berwujud norma-norma. Semiotika sosial merupakan semiotika yang
khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang,
baik lambang kata maupun lambangrangkaian kata berupa kalimat. Semiotika
struktural adalah semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan
melalui struktur bahasa.

D. Bahasa Sebagai Sistem Semiotika


Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan demikian,
karenakeberadaan makna selain ditentu-kan oleh kehadiran dan hubungan antar
-lambang kebahasaan itusendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial
dan situasional yang melatarinya. Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa
memiliki fungsi eksternal juga fungsi internal. Oleh sebab itu selain dapat digunakan
untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga untuk mengolah
informasi dan dialog antar -diri sendiri. Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam
pemakaian berfokus pada (1) karakteristik hubunganantara bentuk, lambang atau kata
satu dengan yang lainnya, (2) hubungan antar –bentuk kebahasaan dengan dunia luar
yang diacunya, (3) hubungan antara kode dengan pemakainya.
Studi tentang sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik
berupa tanda kebahasaanmaupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam
komunikasi masuk dalam ruanglingkup semiotika (Aminuddin, 1988:37).
Sejalan dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka
bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen
tersebut adalah: (1) sintaktik, yakni komponen yang berkaitan dengan lambang atau
sign serta bentuk hubungan-nya; (2) semantik, yakni unsur yang ber -kaitan dengan
masalah hubungan antara lambang dengandunia luar yang diacunya; (3) pragmatik,
yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai
dengan lambang dalam pemakaian.
Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi manusia
dapatdibedakan antara media berupa bahasa atau media verbal dengan media non
-bahasa atau nonverbal. Sementara media kebahasaan itu, ditinjau dari alat
pemunculannya atau chanel dibedakan antara media lisan dengan media tulis. Dalam
media lisan misalnya, wujud kalimat perintahdan kalimat tanya dengan mudah dapat
dibedakan lewat pemakaian bunyi supra segmental ataupemunculan kinesik, yakni
gerak bagian tubuh yang menuansakan makna tertentu. Kaidah penataan kalimat
selalu dilatari tendesi semantis tertentu. Dengan kata lain sistem kaidah penataan
lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan dengan strata makna dalam suatu
bahasa. Pada sisi lain makna sebagai label yang mengacu realitas tertentu juga
memiliki sistem hubungannya sendiri (Aminuddin, 1988:38).
Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai ( user atau
interpreter), menjadi bagian dari sistem semiotik sehi ngga juga menjadi salah satu
cabang kajiannya karenakeberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya.
Bahkan lebih luas lagi keberadaansuatu tanda dapat dipahami hanya dengan
mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya, ke dalam konteks sosial
budaya yang dimiliki. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin
kepribadian dan budaya bangsa. Sehubungan dengan itu Abram’s (1981: 171)
mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the underlying system
oflanguage, not on the parole.

E. Beberapa Kajian Tentang Semiotika


1. Kajian Semiotika Menurut Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dianggap sebagai bapak linguistik
modern, hal ini berdasarkan pandangan-pandangannya yang dimuat dalam
bukunya Course de Linguistique Generale yang disusun oleh Charles Bally dan
Albert Secheha tahun 1915, atau dua tahun setelah ia meninggal. Pada dasarnya
buku tersebut dikumpulkan bahannya berlandaskan pada catatan kuliah selama de
Saussure mengajar di Universitas Jenewa pada tahun 1906-1911.
Telah diungkapkan di atas bahwa Saussure adalah ahli linguistik, maka bila
melihat konsep semiotika Saussure, berarti tidak melepaskan dari pandangannya
tentang bahasa. Menurutnya, bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang
mengungkapkan ide-ide, bahasa ini juga dapat dipersamakan dengan sistem
bahasa tulisan, alpabet tuli-bisu, symbol ritus-ritus, simbol kesopanan-santuan
atau adat, tanda-tanda dari kemiliteran, dan lain-lain. Hal ini mengisyaratkan
bahwa sistem bahasa bukan saja mengacu pada bahasa oral, namun juga
mencakup pada sistem kebahasaan lainnya yang bersangkutan dengan sosio
budaya dari kehidupan manusia.
Ada lima hal dalam pandangan linguistik Saussure, yakni pandangan
tentang: (1) signified (petanda) dan signifier (penanda); (2) Form (bentuk) dan
content (isi); (3) langue (bahasa) dan parole (ujaran atau tuturan); (4) synchronic
dan diachronic; (5) syntagmatic dan assosiative (paradigmatik).
Secara singkat dapat kiranya memperhatikan beberapa hal dari pandangan
tersebut, terutama mengenai konsep: ‘tanda’, (petanda dan penanda); langue dan
parole. Karena hal inilah nantinya dapat membedakannya secara jelas dengan
konsep semiotika pasca-Saussure atau bagi pos-strukturalis.
a. Tanda (Petanda dan Penanda)
Saussure berpendapat bahwa elemen dasar bahasa adalah tanda-
tanda linguistik atau tanda-tanda kebahasaan, yang biasa disebut juga ‘kata-
kata’. Tanda menurut Saussure merupakan kesatuan dari penanda dan
petanda. Walaupun penanda dan petanda tampak sebagai entitas yang
terpisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari tanda. Tandalah
yang merupakan fakta dasar dari bahasa. Artinya kedua hal dari tanda itu tidak
dapat dipisahkan, jika pemisahan berlaku maka hanya akan menghancurkan
‘kata’ tersebut.
Selanjutnya tanda kebahasaan menurut Saussure bersifat arbitrair,
atau semena-mena. Artinya tidak ada hubungan alami dari petanda dan
penanda. Sebagai contoh tentang ini bahwa orang tidak dapat mengerti
mengapa hewan yang selalu digunakan sebagai kendaraan tunggangan
tersebut bernama ‘kuda’, atau orang jawa katakan sebagai ‘jaran’. Tanda
kebahasaan tersebut tidak dapat dipikirkan sebabnya, tetapi semua orang
dapat mengerti bahwa itu ‘kuda’, atau ‘jaran’, tanpa harus
memperdebatkannya. Inilah semena-mena yang lalu tersepakati tanpa
kesepakatan formal.
Mengingat hubungan petanda dan penanda bersifat arbitrair, maka
petanda dari sebuah penanda bisa berupa apa saja. Tidak ada makna inti yang
ada dalam petanda, yang membuatnya harus menjadi petanda dari sebuah
penanda. Inilah kesemena-menaan. Lalu apa yang dapat menentukan bahwa
penanda adalah penanda dan petanda adalah petanda? Menurut Saussure
penentu tersebut tidak lain adalah relasi. Sebagai contoh, untuk mengerti
tentang ‘akar’, maka dapat dibedakan dengan ‘batang’.Hal ini tidak hanya
terjadi pada tataran konsep, namun juga pada tataran penanda. Misal suatu
kata ‘panjang’ yang diucapkan oleh penutur satu dengan penutur lainnya
dapat berbeda bila diamati cara ujaran atau warna suara, volume suara.
Namun walau bervariasi cara pengucapannya, kata tersebut dapat saja
dipahami sebelum kata tersebut menjurus atau terdengar seperti kata
‘pancang’, ‘panggang’ dan apalagi ‘pancung’. Dengan kata lain tanda dapat
dipahami atas pembedaannya dengan tanda yang lain. Hal ini memberi
pengertian bahwa unit kebahasaan adalah form bukan content (isi).
b. Langue, Parole dan Langage
Pembedaan atas langue (bahasa ) dan parole (tuturan) sangat
diperhatikan oleh Saussure. Langue merupakan bahasa yang dimiliki secara
bersama, atau bahasa secara sosial, yang juga merupkan penomena kolektif.
Parole lebih merupakan tuturan yang diujarkan dan sangat individual sesuai
dengan cara atau dialek-nya si penutur. Artinya, parole merupakan aktualisasi
atau perwujudan dari langue.dalam linguistik Saussure, perhatian yang
dijadikan sebagai objek kajiannya adalah langue, bukan parole. Adapun
langage merupakan gabungan dari parole, dan langue. Langage itu sendiri
tidak teramalkan, selain ia bukan merupakan fakta sosial, dan tidak sebagai
kemampuan dari berbahasa seseorang. Langage bukan juga merupakan objek
kajian dari linguistik.
2. Kajian Semiotika menurut Jacues Lacan
Diketahui bahwa selain marxisme, psikoanalisa sangat membantu untuk
memahami fenomena budaya. Sumbangan Psikoanalisa terlihat dari apa yang
dipahami lewat kajian semiotika Julia Kristeva, yang mana pemikirannya tidak
dapat dilepaskan dari pemikiran Freud dan Lacan. Dalam psikoanalisa, arah gerak
strukturalis direpresentasikan melalui tulisan-tulisan Lacan. Lacan mengatakan
bahwa fenomena sosial selalu memiliki makna, dan psikoanalisis merupakan
metode penafsiran. Untuk memahami kaitan semiotika dengan psikoanalisa,
makna hal yang dapat memberi pemahaman di dalamnya adalah pandangan
psikoanalisa terhadap penomena sosial, yang terhubungkan dengan konsep diri
(subjek) dan bahasa.
Memang dalam mengamati bahasa, Lacan masih melihat pada
oposisibiner-nya Saussure. Dari Saussure dan Jakobson Lacan memperoleh hal
dikotomik antara ‘penanda’-’petanda’, ‘langue’-’parole’, ‘metafora’-’metonima’,
sebagai perangkat struktural. Namun ada hal yang membedakannya dengan
konsep bahasa atau tanda dalam pemahaman Saussure yang serta-merta
menganggap ‘’kita dapat berdiri di luar bahasa’, dan hubungan antara penanda
dan petanda merupakan hubunga stabil dan dapat diperkirakan.Ini berbeda dari
pandangan Lacan bahwa ‘’kita tenggelam dan tidak pernah dapat keluar dari
bahasa sehari-hari’, dan makna hanya mungkin muncul melalui wacana, sebagai
konsekuensi penggantian dalam mata rantai penandaan.
Pandangan Saussure bahwa orang dapat berdiri di luar bahasa
menunjukkan bahwa orang dapat ‘’menguasai’’ bahasa, namun berbeda dengan
Lacan bahwa the speaking subject dengan jelas diperbudak oleh bahasa, ‘’bahasa
adalah penjara’’.Ini juga akhirnya membedakan konsep subjek Lacan dengan
subjek Descrates (aku berpikir, maka aku ada).Perbedaan ini juga mengindikasikan
adanya konsep penandaan yang berbeda antara Saussure dan Lacan.
Saussure beranggapan bahwa hubungan penanda dan petanda adalah
hubungan stabil dan dapat diperkirakan, serta bahwa makna dapat dipahami
dengan diferensial atau pembedaanya dengan tanda yang lain. dapat diperkirakan.
Berbeda denganya, Lacan berpendapat, bahwa adanya; (1) kedominasian penanda
atau petanda; (2) rintangan primordial antara dua sisi dari ‘tanda’. Bagi Lacan
perintangan ini mengindikasikan suatu jurang pemisah antara dua sisi ‘tanda’ yang
mencegah akses dari yang satu kepada yang lain. Ini sebuah ilusi untuk
mempercayai bahwa penanda merupakan suatu representasi dari petanda, karena
‘’tidak ada tanda dapat diteruskan yang lain melalui referensi kepada tanda yang
lain’’. Menurutnya, suatu penanda selalu menandakan penanda lain; tidak ada
kata yang bebas dari metaforisitas. Karena setiap penanda dapat menerima
pemaknaan, maka tidak ada makna tertutup, dan tidak ada makna memuaskan.
Selanjutnya menurut Lacan, penanda dan petanda tidak memiliki
hubungan alamiah. Misalnya dalam kondisi tertekan, sebuah penanda dapat
muncul menggantikan penanda yang lain. Penanda lama dan apa yang
ditandakannya ‘ditekan’’ ke unconscious.
Hal yang mendasar dari perbedaan tersebut akhirnya dapat dilihat bahwa
linguistik-nya Saussure memfokus objek kajiannya pada bahasa (langue), yang juga
itu merupakan hasil dari kesepakatan bersama.Bahasa (langue) Saussure bagi
Lacan merupakan bahasa dalam dunia simbolik, yang sebenarnya tidak mewakili
‘’subjek’’ yang dipahami Lacan. Menurut teori Freud, manusia menggunakan
bahasa dalam dua level: secara serempak dengan pesan dari kesadaran ‘’I’’, subjek
mengirimkan pesan yang berkonflik dari ketidaksadaran. Bagi Lacan, pesan dari
ketidaksadaran Frued adalah ‘’diskurs dari yang lain’’. Tidak hanya pesan dari alam
sadar tetapi juga ketidaksadaran memiliki suatu struktur linguistik. Bahasa yang
tidak sadar (unconscious) merupakan suatu sistem diadik tanda yang mana fungsi
gejala psikoanalisa sebagai suatu penanda yang menitikkan pada proses berpikir
alam tidak sadar (unconscious). Perbedaannya dengan Saussure ini akhirnya
memperjelaskan bahwa Lacan tidak mengkaji bahasa langue dan juga bukan
parole, tetapi lebih pada cermin dari si subjek dalam kemampuannya untuk
berbicara, yakni langage. http://www.averroes.or.id/thought/semiotika-dan-
psikoanalisa-lacanian.html diakses tanggal 14 Desember 2010.

Jika demikian adanya bahwa ‘subjek’ Lacan adalah apa yang merupakan
unconscious, maka bagaimanakah ketidaksadaran itu muncul. Lacan tidak
meninggal Freud dalam hal ini, yang mana unconscous muncul dalam bentuk
mimpi, kelakar, keseleo lidah, dan gejala. Karena unconscious tidak dapat
sepenuhnya hadir dalam bahasa simbolik, maka ia mencari ‘’tempat’’ lain seperti
tersebut di atas. Menurut Lacan bahasa adalah kondisi dari ketidaksadaran, dan
bahwa bahasa menciptakan dan membangkitkan ketidaksadaran.unconscious
mengatakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang tampaknya disampaikan.
Formasi-formasi tersebut diatur dengan mekanisme yang sama dengan mengatur
bahasa, yakni seperti metafora dan metonimia. Di sinilah akhirnya semiotika
Lacanian berlaku, yang melihat ketidaksadaran sebagai sebuah ‘tanda’, dan ‘’tugas
dari manusia bukanlah harus menyimbolkannya tetapi menangkap tanda tersebut
dan mencari sebabnya, dan lalu ia dapat termaknai sebagai tanda’’ .
3. Kajian Semiotika menurut Roland Barthes
Sebagai pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem
tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam
waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya
hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
(things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak
dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.Salah
satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah
peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda,
membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas
mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran kedua,
yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem ke-dua ini
oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya
secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif
tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan
antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan
konotasi yang dipahami oleh Barthes. Di dalam semiotika Barthes dan para
pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara
konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih
diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan
keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan
dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan
bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman,
1999:22). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda.
Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai
pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga
suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda
dapat memiliki beberapa penanda.
4. Kajian Semiotika Menurut Charles Sanders Peirce
Berbeda dengan para ahli yang sudah dikemukakan di atas, Charles Sanders
Peirce, seorang filsuf berkebangsaan Amerika, mengembangkan filsafat pragmatisme
melalui kajian semiotika. Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody
for something in some respect or capacity.”Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa
berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu
terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretan. Atas dasar
hubungan ini, Peirce membuat klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground
dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada
pada tanda. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada
tanda. Sedangkan legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda. Peirce
membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: sintaksis semiotik, semantik semiotik,
dan pragmatik semiotik. Sintaksis semiotik mempelajari hubungan antartanda.
Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam
wacana iklan merupakan dua sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling
bekerja sama dalam membentuk keutuhan wacana iklan. Semantik semiotika
mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya
membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotika ini akan
digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-
bahasa) yang mendukung keutuhan wacana. Pragmatik semiotika mempelajari
hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Berdasarkan objeknya,
Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah
tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk
alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan
yang bersifat kemiripan; misalnya foto. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya
hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan
sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap
sebagai tanda adanya api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa
disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara
penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer, hubungan
berdasarkan konvensi masyarakat. Berdasarkan interpretant, tanda (sign,
representamen) dibagi atas rheme, Dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme
adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Dicent sign
atau dicisign adalah tanda sesuai dengan kenyataan. Sedangkan argument adalah yang
langsung memberikan alasan tentang sesuatu.
F. Implementasi Semiotika dalam Sejarah dan Budaya
Roland Barthes dalam Empire of Signs melakukan pergeseran pemanfaatan
unsur-unsur semiologi formal (pemandu linguistic structural), menuju kajian fenomena
praktik-praktik budaya dunia nyata sebagai citra dan teks yang bias dibaca.Dengan
demikian Empire of Signs dipertimbangkan sebagai titik perubahan penting dalam teori
kritik kontemporer.Inovasi teoritis dan stilistikan Barthes, menempatkan teks tersebut
sebagai karya utama menyambut datangnya era kritik sastra posstruktural.Metode
semiologi yang dekmebngkan Barthes untuk membaca sistem tanda kebudayaan
sesudah munculnya karya para linguis seperti Ferdinand de Saussure, Louis Hjelmslev,
Roman Jakobson (Trifonas, 2003: 1-2).Tingginya gairah intelektual pada masa ini
kemudian melahirkan cabang teoritis seperti dekonstruksi (Jacques Derrida),
naratologi, kritik arkhetipal dan Marxisme struktural. Arti penting semiologi terletak
pada fakta bahwa ia memungkinkan para teoritisi untuk menciptakan meta-bahasa,
atau wacana kritis, yang berguna untuk menganalisis pelbagai bentuk dan struktur
representasi sebagai bagian yang dikodekan di dalam logika sebuah sistem. Semiologi
menciptakan banyak peringkat penandaan (seperti huruf, kata, kalimat, tanda baca),
yang bekerja secara sendirian maupun bersama-sama, dalam kaitannya dengan
keseluruhan teks yang dikodekan.
Dalam Mythologies, Barthes menjelaskan bahwa mitos memberikan model
pemahaman yang penting, yang dapat dipakai untuk memetakan makna pengalaman
dengan menumpukkan yang satu diatas yang lain, sehingga tercipta dua tingkat tafsir
(Trifonas, 2003: 9).Kedua tingkat itu bekerja sendiri-sendiri maupun secara bersamaan,
yaitu menerangi realitas dan kemudian mempertajam realitas.Pada tingkat primer
Barthes menunjukkan sistem representasi faktual dimana objek-objek diacu oleh
tanda.Barthes menyebutnya sebagai “wilayah penandaan”, dengan dalih agar dapat
terjaga bentuk representasi tetap terpisah dengan isi representasi. Sedang di tingkat
sekunder memperkenalkan sistem simbolik dimana hubungan dengan makna
diciptakan, Barthes menyebut wilayah asosiasi simbolik ini dengan le significant vide
atau “petanda kosong”. Ia melahirkan wilayah makna yang berbeda di luar objek-
objek atau praktik-praktik budaya, dengan memberikan kekuatan kebenaran kepada
representasi itu dan melihatnya sebagai kebenaran. Dengan demikian fakta-fakta
empiris, yang ditopang oleh kehadiran signifiant ini, mendapat cahaya metaforis atau
simbolik yang mempesona dankarena itu mendorong pembaca untuk melompat dari
sekedar mengulang-ulang tafsir yang sudah lazim menuju pengambilan keputusan-
keputusan nilai yang mengandung implikasi etis dan moral. (Trifonas, 2003: 10).
Dalam analisis Barthes mitos melahirkan ideologi, sebab ia
mentransformasikan makna menjadi bentuk. Penjelasan Barthes tentang mitos dalam
Mythologies ini, seperti disederhanakan dalam pertandingan olah raga gulat.Tontonan
gulat secara imajiner bertumpu pada hasrat tak sadar yang ada dalam diri para
penonton, untuk mengolah ketegangan-ketegangan psikis dan etis dalam ideologi
suatu kebudayaan. Mitos, menurut Barthes, mendistorsi realitas demi efek ideologis,
mitos juga mengubah bias dan prasangka menjadi sejarah. Mitos dala versi
imajinernya tentang sejarah, masyarakat, dan kebudayaan adalah penyebab penipuan-
diri manusia jika mitos itu dianggap sebagai sumber kebenaran.Mitologi dapat hadir
sebagai sejarah ketika makna perlu ditetapkan secara publik, dan relitas diterangkan,
demi menegaskan klaim-klaim tentang kejelasan dan kebenaran universal.Mitos
berfungsi melawan fragmentasi memori kultural dengan menerima begitu saja segala
yang sedang terjadi di sekitar kehidupan sehari-hari.
Menarik ungkapan dari Derrida (Sim, 2003: v), seorang penggagas
dekonstruksi, dan diidentikkan dalam wacana posstrukturalis, yaitu aliran filsafat yang
menampik adanya kestabilan makna kata. Bagi Derrida, pada akhirnya semua sejarah
tak lain hanyalah sejarah makna, yaitu sejarah Rasio pada umumnya (Trifonas, 2003:
20). Bagi Derrida rasio adalah ideologi sejarah. Tidak ada sesuatu pun yang tidak
memiliki rasionya sendiri, tidak peduli bagaimana pun sesat atau pun tidak etisnya
suatu pemikiran atau tindakan. Bathers menganggap, hilangnya makna itu bersifat
imanen pada semua sejarah atau representasi budaya, karena adanya intervensi dari
tanda-tanda bahasa.
Dengan mempelajari semiotika, maka sejarah yang pada dasarnya merupakan
tulisan yang menceriterakan peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang
direkonstruksikan oleh sejarawan melalui data dan fakta yang dikumpulkannya. Karena
itu dalam penulisan sejarah, semiotika sangat dibutuhkan, terutama dalam
pengumpulan data dan fakta masa lampau yang didasarkan pada tanda-tanda yang
diperoleh selama sejarawan itu melakukan penelitian. Tentunya tanda-tanda yang
berupa simbul-simbul peristiwa itu akan diinterpretasikan oleh sejarahwan dan
kemudian dianalis dan disintesakan serta ditulis menjadi narasi tentang peristiwa masa
lampau tersebut. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh Lacan bahwa tugas dari
manusia bukanlah harus menyimbolkannya tetapi menangkap tanda tersebut dan
mencari sebabnya, dan lalu ia dapat termaknai sebagai tanda.
Begitu pula dalam hal budaya, semiotika sangat membantu pemahaman
tentang budaya, karena budaya pada hakekatnya merupakan cerminan dari simbul-
simbul cipta, rasa dan karsa manusia, maka dengan semiotika akan lebih mudah untuk
mengenal budaya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Sausure bahwa
sistem tanda atau bahasa bukan saja mengacu pada bahasa oral, namun juga
mencakup pada sistem kebahasaan lainnya yang bersangkutan dengan sosio budaya
dari kehidupan manusia. Jadi simbul-simbul budaya itu pada dasarnya dapat terungkap
melalui bahasa.

G. KESIMPULAN
Bedasarkan uraian di atas nyatalah bahwa semiotika yang merupakan teori
filsafat umum yang berkaitan dengan tanda-tanda atau simbol-simbol, baik berupa
tanda-tanda verbal maupun tanda-tanda visual yang digunakan untuk
mengkomunikasikan suatu informasi sangatlah penting dan bermanfaat dalam
pemahaman tentang sejarah dan budaya manusia. Dengan mengenal simbul-simbul
tentang peristiwa atau kejadian di masa lampau akan memudahkan untuk memahami
tentang ceritera sejarah maupun penulisan sejarah.
Mengingat bahwa semua kenyataan budaya adalah tanda. Kita memang hidup
di dunia yang penuh dengan tanda dan diri kitapun bagian dari tanda itu sendiri.
Dengan demikian pula melalui pemahaman terhadap simbul-simbul atau tanda-tanda
yang ditampilkan oleh suatu masayarakat atau bangsa, maka akan lebih memudahkan
untuk mengetahui budaya masyarakat atau bangsa tersebut.

Daftar Bacaan
Aminuddin. 1988. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru
Budiman, Manneke. 2002. “Indonesia: Perang Tanda,” dalam Indonesia: Tanda yang
Retak. Jakarta:Wedatama Widya Sastra
Hoed, Benny H.,2002.“Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam
KajianBudaya,”dalam Indonesia: Tanda yang Retak. Jakarta: Wedatama Widya
Sastra
Trifonas, Peter Pericles. 2003. Barthes dan Imperium Tanda, alih bahasa: Sigit Djatmiko,
Yogyakarta: Jendela.
Sim, Stuart. 2003. Derrida dan Akhir Sejarah, Terjemahan: Sigit Djatmiko, Yogyakarta :
Jendela
Sim, Stuart & Borin van Loon.2008. Memahami Teori Kritis, Terjemahan: Team Resist,
Yogyakarta: Resist.
Teew, A.1984. Khasanah Sastra Indonesi. Jakarta: Balai Pustaka
van Zoest, Aart.1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita
LakukanDengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung

http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika

http://fahri99.wordpress.com/2006/10/14/semiotika-tanda-dan-makna/

http://www.averroes.or.id/thought/semiotika-dan-psikoanalisa-lacanian.html

Anda mungkin juga menyukai