Anda di halaman 1dari 6

8.

Kultur Anther

8.1 Pengertian Kultur Anther

Anther adalah kepala sari. Anther mengandung serbuk sari (pollen), sehingga
kultur anther berarti mengikutsertakan pollen di dalamnya. Pollen yang masih
muda (immature) atau mikrospora yang terkandung dalam anther dapat secara
langsung beregenerasi membentuk embrio, disebut androgenesis, atau membentuk
jaringan kalus yang selanjutnya dapat diinduksi untuk bergenerasi menjadi
tanaman di bawah pengaruh zat pengatur tumbuh yang terkandung dalam media
tanam. Pollen bersifat haploid, dan tentunya sel-sel yang diproduksi oleh pollen
selama dikultur adalah haploid pula (Iswari, 2010).

Tanaman haploid dapat dikembangkan dengan menggunakan teknik kultur in


vitro anther dan pollen. Anther diperoleh dari tunas bunga dan dapat dikulturkan
pada medium padat atau cair sehingga terjadi embriogenesis. Selain itu pollen
juga dapat diambil secara aseptik dan dikulturkan pada medium cair. Proses
perbanyakan tanaman haploid dengan menggunakan gametofit jantan semacam ini
disebut sebagai androgenesis (Yuwono, 2008).
Tanaman haploid pada kultur antera padi umumnya diperoleh melalui proses
androgenesis atau embryogenesis tak langsung, yaitu kaulogenesis yang terdiri
atas tahap induksi butir tepung sari menjadi embriorid atau kalus dan tahap
diferensiasi kalus menjadi tanaman kecil (plantlet) (Dewi dkk., 2007).
Tanaman haploid yang diperoleh dari kultur anther dapat digunakan untuk
mendeteksi mutasi rekombinan yang unik, karena mutasi yang resesif tidak
muncul dalam keadaan diploid, dan pada penggandaan jumlah kromosom akan
diperoleh tanaman yang homozygot. Tanaman yang homozigot sangat penting
untuk menghasilkan hibrida terkendali (Anonymous, 2011).
Zhou (1996) menyatakan bahwa produksi tanaman haploid dari kultur antera
tergantung pada empat faktor, yaitu: (1). Induksi kalus atau embriorid dari
mikrospora atau pollen, (2). Regenerasi tanaman dari kalus atau embriorid, (3).
Persentase tanaman hijau, dan (4). Penggandaan kromosom, baik secara spontan
atau diinduksi oleh kolkisin.
Induksi kalus dan regenerasi tanaman dipengaruhi terutama oleh kultur teknik,
walaupun keduanya ada di bawah kontrol genetik. Frekuensi induksi kalus dan
pembentukan tanaman hijau dikendalikan oleh banyak gen (gen minor/poligenik).
Bila dihubungkan dengan kemampuan meregenerasikan tanaman melalui kultur
antera (anther culturability), jumlah regeneran tanaman hijau dikendalikan oleh
satu region dari kromosom 10, sedangkan pembentukan kalus dikendalikan oleh
satu region dari kromosom 1 (Yamagishi et al., 1998).

8.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kultur Antera

8.2.1.Eksplan
Eksplan adalah bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk inisiasi
suatu kultur (Gunawan, 1992). Pertumbuhan eksplan secara in vitro sangat
ditentukan oleh: umur tanaman, ukuran tanaman, dan metode inokulasi (Abbas,
2011).
Umur fisiologi dan ontogenetik jaringan tanaman yang dijadikan eksplan juga
berpengaruh terhadap potensi morfogenetiknya. Umumnya, eksplan yang berasal
dari tanaman juvenile (tanaman muda) mempunyai daya regenerasi tinggi untuk
membentuk tunas lebih cepat dibandingkan dengan eksplan yang berasal dari
tanaman yang sudah dewasa. Fase pertumbuhan atau umur fisiologis, jaringan
dapat dikategorikan muda atau tua tergantung dari bagian tanaman yang diambil
pada fase juvenile atau dewasa (Sjahril, 2011). Abbas (2011) menyebutkan bahwa
jaringan embrio biasanya memiliki kemampuan regenerasi tinggi untuk tanaman
serealia. Dengan demikian embrio atau biji banyak digunakan sebagai bahan
penelitian kultur jaringan. Bahan tanaman yang lebih tua kemampuan
regenerasinya kurang. Bagian tanaman yang masih juvenil lebih baik digunakan
untuk tanaman pepohonan dan perdu.
Setiap jenis tanaman maupun organ memiliki ukuran optimum untuk
dikulturkan. Eksplan yang terlampau kecil akan kurang daya tahannya jika
dikulturkan, sementara bila terlalu besar akan sulit mendapatkan eksplan yang
steril. Pertumbuhan atau morfogenesis eksplan dapat juga dipengaruhi oleh cara
penempatan eksplan dalam medium. Faktor ini erat kaitannya dengan transportasi
hara dan zat pengatur tumbuh ke dalam eksplan (Wattimena et al., 1992). Abbas
(2011) menyebutkan bahwa umumnya eksplan yang lebih kecil seperti sel,
kelompok sel dan meristem (apeks) lebih sulit ditumbuhkan disbanding eksplan
yang lebih besar seperti daun, batang, dan umbi. Bagian eksplan yang lebih besar
mempunyai cadangan makanan dan ZPT yang lebih banyak dibanding eksplan
yang lebih kecil. Eksplan yang ukurannya lebih besar, penambahan nutrisi
(sumber karbon dan mineral) dan zat pengatur tumbuh kurang efektif.
Eksplan dapat diletakan pada media dengan cara berbeda. Eksplan dapat
diletakan secara polar (tegak dengan bagian pangkal berada pada media) dan
apolar (bagian ujung diletakan pada media). Regenerasi akar dan tunas lebih
mudah dan lebih cepat pada eksplan yang diinokulasi secara polar . Hal ini
disebabkan oleh suplai oksigen yang baik dan juga factor lain. Eksplan yang
diinokulasi secara polar mempunyai subtansi terakumulasi pada ujung pangkal
yang menyebabkan tidak dapat berdifusi ke agar selama tidak bersentuhan dengan
media (Abbas, 2011). Sasmita (2007) menyebutkan bahwa kepadatan eksplan
dalam proses induksi kalus pada kultur antera tanaman padi adalah sebanyak 120-
150 antera dari 25 spikelet di setiap cawan petri. Adapun dalam proses regenarasi
menggunakan kalus berukuran 1-2 mm di setiap botolnya.

8.2.2 Media Kultur Jaringan


Media kultur jaringan merupakan salah satu faktor di dalam teknik kultur
anter sebagai media untuk menanam eksplan. Medium yang digunakan untuk
kultur in vitro tanaman dapat berupa medium padat atau cair. Medium padat
digunakan untuk menghasilkan kalus yang selanjutnya diinduksi membentuk
tanaman yang lengkap (plantlet), sedangkan medium cair biasanya digunakan
untuk kultur sel. Medium yang digunakan mengandung lima komponen utama
yaitu senyawa anorganik, sumber karbon, vitamin, zat pengatur tumbuh dan
suplemen organik (Yuwono, 2008).
Tiap tanaman memerlukan setidaknya 6 elemen makronutrien, yaitu unsur
yang diperlukan dalam jumlah besar meliputi N, K, Mg, Ca, S, P dan 7 elemen
mikronutrien, yaitu unsur yang diperlukan dalam jumlah kecil meliputi Fe, Mn, B,
Mo, Cl (Wetherell, 1976). Unsur-unsur makro biasanya diberikan dalam bentuk
NH4NO3, KNO3, CaCl2 .2H2O, MgSO4.7H2O dan KH2PO4, sedangkan unsur
mikro biasanya diberikan dalam bentuk MnSO4.4H2O, ZnSO4.4H2O, H3BO3,
KI, Na2MoO4.2H2O5, CuSO4.5H2O dan CoCl2.6H2O (Hendaryono dan
Wijayani, 1994).
Senyawa kimia organik yang biasa dipakai sebagai sumber energi dalam
kultur in vitro adalah karbohidrat. Karbohidrat tersusun atas unsur-unsur C, H, O
sebagai elemen penyusun utama. Bahan-bahan organik yang termasuk karbohidrat
meliputi gula, pati dan selulosa. Karbohidrat mempunyai dua fungsi utama yaitu
sebagai sumber energi untuk jaringan dan untuk keseimbangan tekanan osmotik
dalam medium. Karbohidrat yang sering digunakan adalah sukrosa meskipun
kadang-kadang diganti dengan glukosa (Wetherell,1982). Abbas (2011)
menyebutkan bahwa beberapa nutrisi yang tidak diketahui komposisinya sering
ditambahkan ke media seperti casein hidroksilat (CH), air kelapa, minyak jagung,
ekstrak tepung, juice tomat, dan yeast extract. Sumber karbon yang banyak
digunakan pada kultur in vitro adalah sukrosa dengan konsentrasi 2-5 %. Glukosa
fruktosa juga diketahui dapat mendorong pertumbuhan dengan baik.
Vitamin adalah bahan yang perlu ditambahkan dalam medium kultur in vitro,
sebab sel bagian tanaman yang dikulturkan secara in vitro belum mampu
membuat vitamin sendiri untuk kehidupannya (Katuuk, 1989). Vitamin yang
sering ditambahkan dalam media kultur jaringan adalah Niasin, Glisin, Piridoksin
HCl, tiamin HCl, Myoinositol, Asam folat, Sianokobalamin, Riboflavin, Biotin,
Kolin klorifa, Kalsium pantotenat, Piridoksin fosfat, Nikotinamida. Penambahan
myo-inositol kedalam media bertujuan untuk membantu diferensiasi dan pertu
buhan sejumlah jaringan. Penambahan myo-inositol bersama dengan auksin,
kinetin dan vitamin dapat mendorong pertumbuhan jaringan kalus (Hendaryono
dan Wijayani, 1994).
Pierik (1997) mengemukakan bahwa fitohormon adalah senyawa-senyawa
yang dihasilkan oleh tanaman tingkat tinggi secara endogen. Senyawa tersebut
berperan merangsang dan meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan sel,
jaringan, dan organ tanaman menuju arah diferensiasi tertentu. Senyawa-senyawa
lain yang memiliki karakteristik yang sama dengan hormone, tetapi diproduksi
secara eksogen, dikenal sebagai zat pengatur tumbuh. Beberapa golongan ZPT
adalah auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat dan etilen (Abidin, 1985).
Auksin menyebabkan perpanjangan batang, internode, tropism, apical
dominan, absisi, dan perakaran. Dalam kultur jaringan auksin digunakan untuk
pembelahan sel dan diferensiasi akar. Jenis auksin yang banyak digunakan adalah
IBA, NAA, NOA, 2,4,5-T, p-CPA, dan 2,4-D. IBA dan NAA secara luas
digunakan untuk perakaran dan interaksi antara sitokinin untuk proliferasi tunas.
2,4-D, dan 2,4,5-T sangat efektif untuk induksi pembentukan kalus. Auksin
biasanya dilarutkan ke dalam etanol atau NaOH (Abbas, 2011).
Sitokinin merupakan hormon yang berperanan untuk pembelahan sel,
dominasi apical, dan diferensiasi tunas. Pemberian sitokinin ke dalam medium
menyebabkan pembelahan sel dan diferensiasi tunas adventif dari kalus menjadi
organ. Jenis sitokinin yang banyak digunakan pada kultur jaringan adalah BAP, 2-
ip dan kinetin (Abbas, 2011).
Giberelin terdiri dari banyak jenis (± 20) yang diketahui, tetapi yang umum
digunakan adalah GA3. Giberelin dilaporkan menstimulasi pertumbuhan planlet
secara normal. GA3. Faktor yang paling bervariasi dan perlu disesuaikan dengan
kebutuhan tanaman adalah ZPT seperti auksin dan sitokinin baik dari jenisnya
maupun komposisi dan konsentrasinya (Abbas, 2011).

8.2.3 Kondisi Ruang Kultur


Suhu di dalam ruang kultur biasanya dipertahankan konstan antara 24- 26 0C
tergantung pada species yang diteliti. Suhu optimal untuk pertumbuhan dan
perkembangan secara in vitro umumnya 3-40C lebih rendah dari pada di luar
ruang kultur. Pada umumnya pertumbuhan yang baik untuk tanaman tropis dalam
kultur in vitro diperlukan suhu 250C ± 30C (22-28 0C).(dari buku fadli)Abas
2011 Suhu di dalam ruang kultur oleh banyak peneliti dilaporkan pada kisaran 25
± 20C untuk induksi kalus dan 22 ± 20C untuk regenerasi memberikan pengaruh
yang terbaik dalam kultur antera (Sasmita 2007).
Kelembaban di dalam kultur in vitro relative tinggi dan hanya sedikit
diketahui pengaruhnya terhadap kultur in vitro. Kelembaban dalam tabung gelas
atau botol kultur dapat terlihat adanya kondensasi (titik air) pada dinding botol
kultur. Kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan infeksi yang tinggi
dan media kehilangan air melalui evaporasi (Abbas 2011).
Cahaya merupakan factor yang kompleks termasuk panjang hari, penyinaran,
dan warna penyinaran. Efek panjang hari pada kultur in vitro hanya sedikit
diketahui. Panjang hari yang biasa digunakan pada kultur in vitro adalah 14-16
jam dan penyinaran yang terus menerus. Contoh pada tanaman Rhododendron
memperlihatkan pertumbuhan yang baik pada eksplan yang diberi penyinaran
secara terus menerus disbanding dengan eksplan yang diberi penyinaran 16 jam
dan lebih tidak baik lagi pada eksplan yang hanya diberi penyinaran 8 jam. Pada
tanaman begonia yang diberi penyinaran 3 w/m2 lampu pijar tidak mengalami
regenerasi (Abbas, 2011).
Sumber : https://www.teorieno.com/2016/10/pengertian-kultur-anther-dan-
faktor.html

Anda mungkin juga menyukai