Anda di halaman 1dari 14

A.

Pengertian KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang


bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak
berada di bawah kekuasaan kehakiman. Adanya Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) di Indonesia yang sifatnya independen masih sering di perdebatkan karena
masih kurang jelasnya keberadaan lembaga tersebut. Hal ini sangat mencemaskan
banyak kalangan terkait penataan kelembagaan yang kurang sempurna dalam
sistem ketatanegaraan. Disamping itu, arti dari sistem ketatanegaraan tersebut
adalah pengelolaan suatu negara tersebut. Dengan adanya permasalahan tersebut
maka pengelolaan suatu negara tersebut masih sangat kurang dan belum mencapai
sistem ketatanegaraan yang baik. Sehingga sebaiknya penataan system
ketatanegaraan lebih dioptimalkan dengan adanya banyaknya lembaga Negara
yang baru seperti Komisi Pemberantasan Korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri dibentuk berdasarkan


UndangUndang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk selanjutnya disingkat UU KPK,
dengan tujuan untuk meningkatkan proses penegakan hukum terhadap upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia. Sejak dibentuk lembaga khusus korupsi ini,
KPK menjadi garda terdepan dalam menanggani perkara tindak pidana korupsi,
yang dalam prakteknya telah cukup berhasil namun tetap diiringi dengan sejumlah
cacatan. Sebenarnya Tindak Pidana Korupsi sendiri telah diatur didalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atasUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana untuk selanjutnya disingkat UU TIPIKOR.1

Ada yang berpendapat bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan


Korupsi adalah ekstra konstitusional adalah keliru. Karena, keberadaan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor

1
Melisa F.W. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara. Jurnal Hukum
Vol.2 No.1, Maret 2018, hal. 60
30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk
politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air. Sejalan dengan putusan MK
dalam menguji Undang-Undang Komisi Penyiaran Indonesia eksistensi lembaga
negara adalah sah sepanjang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan
termasuk bila diatur dalam Undang-Undang. Disamping hal tersebut diatas,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diklasifikasikan sebagai komisi negara.
Kemudian yang disebut dengan komisi negara independen adalah organ negara
(state organs) yang diidealkan independen dank arena berada diluar cabang
kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif; namun justru mempunyai
fungsi “campursari” ketiganya.

Sebelum dibentuknya KPK, penanganan pemberantasan korupsi


ditangani oleh Polri dan Kejaksaan serta pemerintah sendiri telah membentuk
cukup banyak lembaga atau institusi yang menangani pemberantasan korupsi
antara lain seperti : Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komite Anti Korupsi (KAK), Komisi
Empat, Operasi Tertib (OPSTIB), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.2 Namun,
dalam kenyataannya lembaga atau institusi pemerintah diatas belum menunjukkan
hasil optimal seperti yang dilakukan oleh KPK dari awal pembentukan hingga
sekarang. Seiring dengan keberhasilan KPK, dalam menangani tindak pidana
korupsi di Indonesia, timbul permasalahan bahwa KPK merupakan lembaga
adhoc yang banyak diartikan sebagai lembaga sementara yang memiliki supervisi
untuk melakukan penyelidikan, penuntutan, hingga sebagai eksekutor atas putusan
pengadilan TIPIKOR. Oleh karena itu, melalui penulisan ilmiah ini diharapkan
memberikan masukan dan informasi yang benar terkait kedudukan KPK sebagai
lembaga negara.2

Tindak pidana korupsi di Indonesia telah meluas dalam perkembangan


masyarakat yang terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus
yang terjadi dan jumlah kerugian negara maupun segi kualitas tindak pidana yang

2
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 254-259
dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Penegakan hukum untuk tindak pidana korupsi secara
konvensional selama ini terbukti mengalami hambatan. Untuk itu, diperlukan
metode penegakan hukum luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus
yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan
manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta
berkesinambungan.

B. Kedudukan dan Tanggung Jawab KPK

Berkaitan dengan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka


diperlukan suatu adanya perumusan strategi, penetapan visi, misi, dan tujuan
sangat perlu dilakukan. Adapun visi dan misi Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) adalah sebagai berikut :3

1) Visi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Visi merupakan gambaran masa depan yang hendak diwujudkan. Visi


harus bersifat praktis, realistis untuk dicapai, dan memberikan tantangan serta
menumbuhkan motivasi yang kuat bagi pegawai komisi untuk mewujudkannya.
Visi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah ;

“Menjadi Lembaga Yang Mampu Mewujudkan Indonesia Yang


Bebas dari Korupsi”

Visi tersebut mengandung pengertian yang mendalam dan menunjukkan


tekad kuat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera dapat
menuntaskan segala permasalahan yang menyangkut tindak pidana korupsi.

3
Andi Hamzah.. Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen: Tugas
Fungsi dan Kewenangan KPK, Komisi Yudisial dan Komisi Ombudsman. Jakarta: Majalah Hukum
Nasional, 2007
2) Misi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Misi merupakan jalan pilihan untuk menuju masa depan. Sesuai dengan
bidang tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Misi
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah :

a) Pendobrak dan Pendorong Indonesia yang bebas dari korupsi


b) Menjadi Pemimpin dan Penggerak Perubahan Untuk Mewujudkan
Indonesia yang Bebas dari Korupsi

Dengan misi ini diharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi


pemimpin sekaligus mendorong dalam gerakan= pemberantasan korupsi di
Indonesia. Hal tersebut mempunyai makna bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) adalah lembaga yang terdepan dalam pemberantasan korupsidi Indonesia
serta menjalankan tugas koordinasi dan supervise terhadap instansi yang
berwenang melakukan pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.

Peran yang akan dimainkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)


adalah pendobrak kebekuan penegak hukum dan pendorong pemberantasan
korupsi pada umumnya. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah :

“Meningkatnya integritas aparat penegak hukum dan aparat


pengawas dalam pemberantasan korupsi, disertai dengan berkurangnya niat
dan peluang untuk melakukan korupsi, sehingga korupsi di Indonesia
berkurang secara signifikan”

Tujuan merupaka penjabaran visi dan misi, maka penetapan tujuan ini
dilandasi oleh fakta bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat
meluas dan dilakukan secara sistematis dengan cangkupan yang telah memasuki
berbagai aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Perkembangannya juga terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah
kasus yang terjadi maupun dari kerugian negara. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara optimal,
intensif, efektif, professional, dan berkesinambungan. Oleh karena itu, diperlukan
kerjasama antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan instansi penegak hukum
dari instansi lain serta seluruh komponen bangsa dan negara.

Pada bab IV UU KPK diatur mengenai tempat kedudukan, tanggung


jawab dan susunan organisasi, yang pada intinya dijelaskan sebagai berikut: KPK
memiliki kedudukan di ibukota negara Republik Indonesia tepatnya di Jakarta dan
memiliki ruang lingkup hingga seluruh wilayah negara Republik Indonesia serta
dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. KPK sebagai lembaga Negara
memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan
tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada
Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa
Keuangan. KPK terdiri atas pimpinan KPK yang terdiri dari 5 (lima) anggota
KPK, tim penasihat yang terdiri dari 4 (empat) anggota, dan pegawai KPK sebagai
pelaksana tugas. Pimpinan KPK terdiri atas 5 (lima) orang yang merangkap
sebagai anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri
atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga system pengawasan yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja KPK dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada
KPK.4

Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk dapat diangkat


menjadi anggota KPK, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan
keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan
harus melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik
Indonesia.

C. Kedudukan KPK Dalam Tindak Pidana Korupsi

4
Melisa F.W. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara. Jurnal Hukum
Vol.2 No.1, Maret 2018, hal. 80
Pasca reformasi yang telah terjadi di Indonesia, persoalan krusial yang
harus segera diselesaikan adalah permasalahan terkait korupsi yang nampaknya
telah menggurita ditubuh Negara Republik Indonesia ini. Oleh karenya selain
diperlukannya institusi yang menanganinya, tentunya juga diperlukan instrumen
hukum yang kuat sebagai dasar hukumnya. Hadirnya Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pastinya menjadi jawaban atas ekspektasi kaum reformis dalam
membersihkan manusia-manusia korup yang masih bisa hidup di Indonesia
sampai sekarang ini. Selain itu, dengan disahkannya UU No. 30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tentunya juga mendukung keberadaan
KPK agar semakin kokoh dan memiliki taring dari segi hukum. Akan tetapi
seiring dengan perkembangnya waktu, payung hukum KPK nampaknya masih
menyisakan persoalan baik dari segi substansi maupun prosedur implementasinya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang
sifatnya konstitusional walaupun tidak disebutkan secara jelas dalam konstitusi
negara yaitu UUD 1945. KPK dibentuk dengan melihat sifat dari korupsi itu
sendiri yaitu merupakan kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan suatu lembaga
yang independen untuk memberantas korupsi di Indonesia. Latar belakang
terbentuknya KPK bukanlah karena desain konstitusional yang diartikan secara
kaku, tetapi lebih kepada isu insidentil dalam Negara dan kehendak bersama dari
Bangsa Indonesia untuk memerangi tindak pidana korupsi.
Kedudukan KPK sebagai salah satu lembaga negara bantu adalah
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, hal ini dimaksudkan
agar dalam memberantas korupsi KPK tidak mendapatkan intervensi dari pihak
manapun. Terbentuknya KPK juga merupakan jawaban atas tidak efektifnya
kinerja lembaga penegak hukum selama ini dalam memberantas korupsi, yang
terkesan berlarut-larut dalam penanganannya bahkan terindikasi adaunsur korupsi
dalam penanganan kasusnya.
Kewenangan penuntutan tidak dapat dimonopoli oleh Kejaksaan, dengan
melihat bahwa Kejaksaan masih berada dalam lingkup eksekutif/pemerintah
sehingga independensinya masih dipertanyakan. Hal ini dapat dilihat dari Jaksa
Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sehingga dapat
memungkinkan adanya intervensi politik.Sehingga kewenangan penuntutan yang
ada pada KPK sudah tepat karena lembaga ini bergerak secara independen tanpa
intervensi kekuasaan manapun.

D. Kewenangan Dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam


Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

KPK memiliki kewenangan tambahan yaitu dapat mengambil alih


perkara korupsi walaupun sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan (Pasal
8 ayat (2) UU KPK); Akan tetapi, pengambil alihan perkara korupsi tersebut harus
dengan alasan yang diatur dalam Pasal 9 Undang - Undang KPK

Pasal 9;
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:5
a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda –
tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak
pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau
kejaksaan,penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik
dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 50;
a. Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan
Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah
dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib
5
Undang - Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.
b. Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan
penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan
tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.
d. Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau
kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan
oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Dalam menangani kasus KPK diberi kewenangan memperpendek jalur
birokrasi dan proses dalam penuntutan. Jadi KPK mengambil sekaligus dua
peranan yaitu tugas Kepolisian dan Kejaksaan yang selama ini tidak berdaya
dalam memerangi korupsi. Disamping itu dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002, KPK diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan,
penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
wewenang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan instansi yang dalam
melaksanakan pelayanan publik.
Untuk memerangi tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai
tindak pidana luara biasa (extra ordinary crime), maka KPK diberi tambahan
kewenangan yang tidak dimiliki instititusi lain yaitu;
a) Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b) Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
berpergian keluar negeri;
c) Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
d) Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk
memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka,
terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
e) Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada
instansi terkait;
f) Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan,
dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta
konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang
diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak
pidana korupsi yang sedang diperiksa;
g) Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain
untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti diluar
negeri;
h) Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara
tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Kewenangan dan Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi selain
dikuatkan oleh Undang – Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, juga
dikuatkan oleh putusan dari pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
terhadap Undang – Undang KPK. Yaitu antara lain;
Menurut mantan Ketua MA, pasal 12 UU No.30/2002 merupakan
ketentuan khusus (lex specialis) yang memberi kewenangan kepada KPK dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Sebagai lex
specialis, ketentuan pasal 12 dapat mengenyampingkan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-Undang yang bersifat umum.Selama ini, pasal 42 UU No.10/1998
mengatur mengenai rahasia bank. Berdasarkan UU tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Korupsi, kerahasiaan bank dapat diterobos, khusus untuk perkara
korupsi. Pasal 29 ayat 1 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan
bahwa penyidik, penuntut umum atau hakim untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan dapat meminta keterangan
pada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Perkara No. 81/PUU-X/2012, dalam putusannya antara
lain;
a) Mahkamah menegaskan tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan
luar biasa yang pemberantasannya pun harus dilakukan secara luar biasa oleh
KPK. Karena itu, KPK diberi kewenangan luar biasa dalam supervisi dan
koordinasi dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi.
b) Mahkamah menilai Pasal 8 UU KPK sudah tertib dan memenuhi kepastian
hukum. Misalnya, Pasal 8 ayat (1) dalam menjalankan tugas supervisi, KPK
berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap
instansi lain yang berwenang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan
instansi yang melaksanakan pelayanan publik. Pasal 8 ayat (2) nya, KPK juga
berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku
tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
Pasal 8 ayat (3) dan (4) menyebutkan dalam hal KPK mengambil alih
penyidikan atau penuntutan, kepolisian dan kejaksaan wajib menyerahkan
tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain
disertai berita acara penyerahan.
c) Pasal 8 ayat (2) nya, KPK juga berwenang mengambil alih penyidikan atau
penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan
oleh kepolisian atau kejaksaan. Pasal 8 ayat (3) dan (4) menyebutkan dalam
hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian dan
kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta
alat bukti dan dokumen lain disertai berita acara penyerahan.
d) Sebaliknya, Pasal 50 ayat (3) nya, menyebutkan dalam hal KPK sudah mulai
melakukan penyidikan, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi
melakukan penyidikan. Ayat (4)-nya secara tegas menentukan, dalam hal
penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan
dan KPK, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut
segera dihentikan.
e) Berdasarkan pertimbangan itu, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 8 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, tidak beralasan hukum.
Untuk lebih menyempurnakan hukum perlu mengadakan Undang –
Undang tentang hokum acara pidana untuk melaksanakan peradilan bagi
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan
mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana,
sehingga dengan demikian dasar utama negara hukum dapat ditegakan.6
Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaharuan terhadap
ketentuan hukum yang telah ada yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan
hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan
masyarakat.

E. Peranan Dari Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penyidikan dan


Penuntutan Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: “melakukan


penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi” (Pasal
6 huruf c UU 30/2002). Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 terdiri atas:
a) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) Anggota
Komisi Pemberantasan Korupsi;
b) Tim Penasihat yang terdiri dari 4 (empat) Anggota; dan
c) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas.
Sebelum penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi, terlebih
dahulu penyidik harus mengetahui mengenai terjadinya tindak pidana korupsi
tersebut. Pengetahuan tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi dapat
diketahui dari proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Terdapat beberapa peraturan terkait dengan tindak pidana korupsi dan


KPK:7
6
Martiman Prodjohamidjojo. Komentar Atas KUHAP Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana. PT.
Pradnya Paramita. Jakarta. 2002. Hlm 2
7
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi, Mandar Maju,
Bandung,2001, h.15
a. Undang-Undang No.24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi;
b. Keputusan Presiden Republik Indonesia No.228 Tahun 1967 tentang
Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi;
c. Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
d. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
e. Pasal 2 angka 6 huruf a yaitu :
f. “Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah
membentuk undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk
membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan
pencegahan korupsi yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.”
g. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas
KKN, yang kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1998
tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.
h. Konsideran menimbang butir b yaitu :
i. “Bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi pemusatan kekuasaan,
wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden/Mandataris Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang berakibat tidak
berfungsinya dengan baik Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga-lembaga
Tinggi Negara lainnya, serta tidak berkembangnya partisipasi masyarakat
dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.”
j. Konsideran menimbang butir c yaitu :
k. “Bahwa tuntutan hati nurani rakyat menghendaki adanya penyelenggara
Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-
sungguh dan penuh tanggung jawab agar reformasi pembangunan dapat
berdayaguna dan berhasil guna”
l. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme;
m. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
n. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
o. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 2007. Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil
Amandemen: Tugas Fungsi dan Kewenangan KPK, Komisi Yudisial
dan Komisi Ombudsman. Jakarta: Majalah Hukum Nasional.
Djaja, Ermansjah. 2010. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar.
Grafika.
Hendry, Daniel. 2015. Kewenangan Dan Peranan Komisi Pemberantasan
Korupsi Dalam Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi.
Jurnal Lex Crimen Vol. IV/No. 7/Sep/2015
Melisa F.W. 2018. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai
Lembaga Negara. Jurnal Hukum Vol.2 No.1
Prodjohamidjojo, Martiman. 2002. Komentar Atas KUHAP Kitab Undang –
Undang Hukum Acara Pidana. . Jakarta: PT. Pradnya Paramita
Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik dalam
Delik Korupsi. Bandung: Mandar Maju.
Undang - Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Anda mungkin juga menyukai