Anda di halaman 1dari 14

Hubungan antara Faktor Risiko dan

Kejadian Retinopathy of Prematurity


di Rumah Sakit Al-Islam Bandung

Udin,1 Eka Hendryanny,2 Herry Garna3


1ProgramStudi Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung
2Departemen Ilmu Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung,
3Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung

Abstrak

Retinopathy of prematurity (ROP) ialah kelainan perkembangan pembuluh darah retina


pada bayi prematur yang berpotensi mengakibatkan kebutaan. Faktor risiko utama ROP
adalah bayi berat lahir rendah (BBLR), usia gestasi ≤32 minggu, dan terapi oksigen >7
hari. Faktor risiko lainnya adalah sepsis, transfusi darah berulang, apnea, asfiksia, dan
persistent ductus arteriosus (PDA). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui insidensi
ROP dan hubungan faktor risiko dengan kejadian ROP di Rumah Sakit Al-Islam
Bandung. Metode penelitian ini adalah observasional deskriptif analitik dengan desain
potong silang (cross-sectional) dilakukan di Rumah Sakit Al-Islam Bandung mulai bulan
Februari sampai dengan Juli 2017. Subjek penelitian sebanyak 85 bayi prematur yang
dirawat di subbagian perinatologi RS Al-Islam pada periode tahun 2013–2015. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 2,35% subjek mengalami ROP. Hubungan faktor risiko
berat lahir ≤ 1.000 gram dengan kejadian ROP bermakna (p=0,003; PR=67,3). Terdapat
perbedaan berat lahir rata-rata yang bermakna antara bayi ROP (985 gram) dan berat
lahir rata-rata bayi yang tidak ROP (1.510,54 gram) (p<0,001). Angka kejadian ROP
dapat ditekan dengan tata laksana bayi prematur yang baik. Simpulan, terdapat
hubungan berat lahir kurang dari 1.000 gram dengan kejadian ROP.

Kata kunci: Bayi berat lahir rendah, faktor risiko, retinopathy of prematurity

Korespondensi: Udin. Prodi Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran, Universitas


Islam Bandung. Jl. Tamansari no. 22, 40116, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat.
HP: 0858123123123, E-mail: udinpetot@gmail.com 1
Relationship between Risk Factors and
Incidence of Retinopathy of Prematurity
in Al-Islam Hospital, Bandung

Abstract
Retinopathy of prematurity (ROP) is proliferative disorder of the developing retinal blood
vessels in preterm infants, may lead to blindness. The main risk factors for ROP are low
birth weight (LBW), gestational age less than 32 weeks, and oxygen therapy over 7 days.
Other risk factors include sepsis, blood transfusion, apnea, asphyxia, and persistent
ductus arteriosus (PDA). The aims of this study were to report the incidence of ROP and
its relation to several risk factors at Al Islam Hospital, Bandung. This study used
observational analytic descriptive method with cross sectional study during February–
July 2017. We included as many 85 preterm infant in the perinatology ward of Al-Islam
Hospital in 2013–2015 as a subject. The result showed that incidence of ROP was 2,35%
of all subjects. Birth weight ≤1,000 gram were found to be associated with the
development of ROP (p=0.003; PR= 67.3). There was a difference in mean of birth weight
between ROP infant (985 grams) and non-ROP infants (1,510.54 grams) (p<0,001).
Incidence of ROP can be suppressed by good handling of preterm infant. Conclusion,
birth weight ≤1,000 gram were found to be associated with the development of ROP.

Key words: Low birth weight, retinopathy of prematurity, risk factors

Korespondensi: Udin. Prodi Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran, Universitas


Islam Bandung. Jl. Tamansari no. 22, 40116, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat.
HP: 0858123123123, E-mail: udinpetot@gmail.com 2
Pendahuluan

Retinopathy of prematurity (ROP) ialah kelainan perkembangan

pembuluh darah retina pada bayi prematur yang berpotensi

mengakibatkan kebutaan.1 Kelainan tersebut merupakan penyebab

kebutaan terbesar pada neonatus di seluruh dunia.2 Berdasar atas World

Health Organization terdapat 1,4 juta anak yang mengalami kebutaan di

seluruh dunia dan sebanyak 50.000 anak di antaranya disebabkan oleh

ROP.3,4

Di Amerika Serikat ROP merupakan penyebab kebutaan pada anak

peringkat kedua terbanyak setelah cortical visual impairment. Pada tahun

2008 The National Eye Institute memperkirakan terdapat 14.000–16.000

bayi menderita ROP di Amerika Serikat, sebanyak 1.100–1.500

berkembang menjadi ROP berat dan 400–600 di antaranya mengalami

kebutaan setiap tahunnya.5 Pada skrining ROP yang telah dilaksanakan

ditemukan insidensi ROP di RSIA Eria Bunda sebanyak 18,3%.6 Badriah

dkk.7 melaporkan insidensi ROP di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

sebesar 11,9%.

Faktor risiko utama ROP adalah berat bayi lahir rendah (kurang dari

1.000 gram), masa gestasi kurang dari 32 minggu, dan terapi oksigen.

Faktor risiko lainnya adalah sepsis, transfusi darah volume tinggi, apnea,

asfiksia, persistent ductus arteriosus, perdarahan intrakranial, resusitasi

saat lahir, hipoksia, terapi surfaktan, dan ras Kaukasian. 5,8,9

Berdasar atas World Health Organization terdapat 15 juta bayi lahir

prematur setiap tahunnya di seluruh dunia, sebanyak 675 ribu di antara

3
jumlah tersebut berada di Indonesia.10 Dari 48.336 kelahiran selama

periode Januari 2010–Juni 2013 terdapat 17.576 kelahiran prematur

(36,4%) di Indonesia.11 Insidensi BBLR di Indonesia adalah 6,37%. Di

Jawa Barat insidensi BBLR adalah 7,65%.12 Menurut Usman dkk.13 dari 50

bayi BBLR sebanyak 41 (82%) bayi lahir prematur.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui insidensi ROP dan hubungan

faktor risiko usia gestasi rendah, bayi berat lahir rendah, terapi oksigen,

sepsis, transfusi darah berulang, apneu, asfiksia, dan patent ductus

arteriosus dengan kejadian ROP di Rumah Sakit Al-Islam Bandung

periode tahun 2013–2015.

Metode

Metode penelitian ini adalah observasional deskriptif analitik dengan

desain potong silang (cross-sectional) dilakukan di Rumah Sakit Al-Islam

Bandung mulai bulan Februari sampai dengan Juli 2017. Sampel

penelitian ini adalah total populasi bayi prematur yang lahir di Rumah

Sakit Al-Islam periode tahun 2013–2015 dengan usia gestasi kurang dari

37 minggu, dan berat bayi lahir kurang dari 2.000 gram dengan kondisi

kardiorespiratori tidak stabil berdasar atas penilaian dokter anak sebanyak

85 bayi.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program statistical

product and service solution (SPSS) for windows versi 23.0 pada derajat

kepercayaan 95% dan nilai ᾱ kurang dari atau sama dengan 0,05. Data

karakteristik disajikan dalam frekuensi dan presentase, sedangkan data

4
numerik disajikan dalam rata-rata. Hubungan antara variabel bebas dan

terikat dianalisis memakai uji eksak Fisher, uji T-tidak berpasangan, dan

uji Mann Whitney.

Hasil

Berdasar atas hasil penelitian pada bayi prematur di subbagian perinatologi

RS Al-Islam Bandung tahun 2013–2015 didapatkan 85 subjek dan dijelaskan

dalam tabel 1.

Berdasar atas Tabel 2, faktor risiko usia gestasi kurang dari 32 minggu,

terapi oksigen lebih dari 7 hari, sepsis, transfusi darah berulang, apnea,

asfiksia, dan patent ductus arteriosus tidak mempunyai hubungan dengan

kejadian ROP (p>0,05). Hubungan antara berat bayi lahir rendah kurang

1.000 gram dan kejadian ROP bermakna (p=0,003). Bayi dengan berat

lahir kurang dari 1.000 gram lebih berisiko 67,52 kali untuk menjadi ROP.

Terdapat perbedaan berat lahir rata-rata yang bermakna antara bayi

ROP (985 gram) dan berat lahir rata-rata bayi yang tidak ROP (1.510,54

gram) (p<0,001). Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

5
Tabel 1 Karakteristik Demografik dan Klinis Subjek Penelitian
Karakteristik Jumlah (n) Persentase (%)
Usia kehamilan (minggu)
≤32 46 54
>32 39 46
Berat lahir (gram)
<1.000 5 6
≥1.000–<2.000 80 94
Jenis kelamin
Laki-laki 52 61
Perempuan 33 39
Terapi oksigen (hari)
>7 63 74
≤7 22 26
Sepsis
Ya 45 53
Tidak 40 47
Transfusi darah berulang
Ya 33 39
Tidak 52 61
Apnea
Ya 51 60
Tidak 34 40
Asfiksia
Ya 56 66
Tidak 29 34
Patent ductus arteriosus
Ya 9 11
Tidak 76 89

6
Tabel 2 Hubungan antara Faktor Risiko dan Kejadian Retinopathy of
Prematurity
Karakteristik ROP Tanpa ROP Nilai p* PR
n=2 n=83 (IK 95%)
Masa gestasi (minggu)
≤32 2 44 0,190
>32 0 39
Berat lahir (gram) 67,52
<1.000 2 3 0,003 (0,007–
≥1.000–<2.000 0 80 132,477)
Durasi terapi oksigen (hari)
>7 2 61 0,547
≤7 0 22
Sepsis
Ya 1 44 0,723
Tidak 1 39
Transfusi darah berulang
Ya 1 33 0,605
Tidak 1 57
Apnea
Ya 2 52 0,342
Tidak 0 38
Asfiksia
Ya 1 59 0,577
Tidak 1 31
Patent ductus arteriosus
Ya 1 8 0,187
Tidak 1 82
Keterangan: *uji Fisher

7
Tabel 3 Perbandingan Usia Gestasi dan Berat Lahir antara Bayi dengan dan

tanpa Retinopathy of Prematurity

ROP Tidak ROP Nilai p


Variabel
Mean SD Median Mean SD Median

Usia gestasi
28,75 2,47 28,75 31,57 2,08 31,50 0,089*
(minggu)

Berat lahir
985,00 7,07 985,00 1510,54 276,60 1550,00 <0,001**
(gram)

Keterangan: *uji Mann-whitney; **uji T-tidak berpasangan

Pembahasan

Berdasar atas penelitian yang dilakukan di RS Al-Islam Bandung periode

tahun 2013–2015, setelah dilakukan skrining ROP pada 85 bayi yang

termasuk ke dalam kriteria inklusi dan tidak termasuk ke dalam kriteria

eksklusi didapatkan angka kejadian ROP sebanyak 2,35%. Insidensi ini

sangat rendah jika dibanding dengan penelitian Dewi dkk.6 yaitu sebanyak

18,3% dan penelitian Badriah dkk.7 yang melaporkan insidensi ROP di

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sebesar 11,9%. Sedangkan di luar

negeri, yaitu di Brazil14, Hong Kong15, Iran16, dan Mesir17 berturut-turut

sebanyak 44,5%, 18,4%, 17,14%, dan 19,2%.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara berat lahir ≤

1.000 gram dan kejadian ROP bermakna. Hasil penelitian ini sama dengan

penelitian yang telah dilakukan oleh Sabzehei dkk.16 yang menyatakan

terdapat hubungan bermakna antara berat lahir ≤1.000 gram dan kejadian

ROP.

8
Pada penelitian ini terdapat perbedaan berat lahir rata-rata yang

bermakna antara bayi ROP dan berat lahir rata-rata bayi yang tidak ROP.

Hal ini menunjukkan berat lahir yang menjadi ROP lebih rendah dari pada

yang tidak ROP. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Alajbegovic-

Halimic dkk.18 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan berat lahir

rata-rata yang bermakna antara kelompok yang menjadi ROP (874 gram)

dan yang tidak ROP (1.458,79 gram) (p=0,013).

Ketika bayi prematur dengan berat lahir rendah lahir, bayi memiliki

paru-paru yang belum matur sehingga berisiko tinggi hipoksemia.

Respons tindakan medis adalah meningkatkan jumlah fraction of inspired

oxygen (FIO2). Di bawah kondisi kebutuhan metabolik retina rendah,

membuat keadaan retina relatif menjadi hiperoksia. Terapi oksigen yang

didapatkan di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) akan menginhibisi

produksi vascular endothelial growth factor (VEGF), menyebabkan

penghentian pertumbuhan retina dan konstriksi pembuluh darah dengan

kemungkinan vaso-obliterasi dari pembuluh darah imatur yang baru. Hal

ini menyebabkan kematian sel endotel vaskular. Selain itu, bayi prematur

memiliki kadar insulin-like growth factor (IGF-1) rendah karena

kehilangan IGF-1 yang dihasilkan oleh plasenta dan cairan amnion. Kadar

IGF-1 rendah akan menekan aktivasi vascular endothelial growth factor

(VEGF) yang dibutuhkan untuk survival sel endotel sehingga terjadi

penurunan pertumbuhan vaskular retina. Bayi prematur memiliki

konsentrasi antioksidan yang tidak adekuat dan tidak memiliki

kemampuan sintesis antioksidan dalam respons terhadap hiperoksia. Bayi

9
dengan sistem antioksidan imatur memiliki kadar reactive oxygen species

(ROS) tinggi. Kadar ROS tinggi dapat mengakibatkan kerusakan

pembuluh darah sehingga berpotensi menjadi ROP.19

Teori menyatakan terdapat hubungan antara saturasi oksigen (SaO2)

tinggi dan kejadian ROP. Kadar SaO2 >93% meningkatkan risiko ROP

berat dan kebutuhan untuk terapi. Selain itu, juga berisiko terjadi masalah

paru-paru.20

Pada penelitian ini terdapat hubungan yang tidak bermakna antara

terapi oksigen lebih dari 7 hari dan kejadian ROP meskipun subjek yang

mendapatkan terapi oksigen lebih dari 7 hari cukup tinggi (74%). Hal ini

sejalan dengan penelitian Gordon dkk.15 yang menyatakan hubungan

faktor risiko terapi oksigen lebih dari 7 hari dengan ROP tidak bermakna.

Hasil tersebut disebabkan oleh tata laksana pemberian terapi oksigen pada

bayi prematur yang dilakukan di Rumah Sakit Al-Islam sudah baik, yaitu

dengan mengatur SpO2 dalam rentang 88–92% untuk bayi prematur dan

90–95% untuk bayi cukup bulan kemudian dilakukan observasi secara

rutin untuk mempertahankan rentang SpO2. Hal tersebut dilakukan untuk

mencegah hiperoksemia sehingga menghambat radikal oksigen yang dapat

mengakibatkan kerusakan retina. Selain itu, bayi prematur dengan distres

pernapasan protokolnya adalah bagaimana membuka paru sejak dini, hal

ini mengurangi risiko penggunaan ventilator mekanik (terapi oksigen

invasif), teori open lung dilakukan selama proses resusitasi. Terapi

oksigen yang digunakan adalah ventilasi non invasif, yaitu menggunakan

continuous positive airway pressure therapy (CPAP). Tata laksana

10
tersebut sudah sesuai dengan Guidelines for Perinatal Care yang

dikeluarkan oleh American Academy of Pediatrics21 yang menyatakan

bahwa dalam tata laksana terapi oksigen bayi prematur ada beberapa hal

yang perlu diperhatikan, di antaranya yaitu suplemen oksigen diberikan

sesuai kebutuhan (sianosis, tekanan parsial oksigen [PaO2] rendah, atau

saturasi oksigen [SaO2] rendah); target rentang SaO2 yang dipertahankan

adalah 85–89% dengan batas setinggi 95% masih ditoleransi; pengukuran

dan pencatatan konsentrasi pemberian oksigen secara reguler dan

periodik (setiap 1–4 jam); pengecualian untuk situasi emergensi,

campuran udara-oksigen harus dihangatkan dan dilembabkan sebelum

diberikan kepada bayi.

Dua kasus bayi yang mengalami ROP masing-masing mempunyai

faktor risiko sebagai berikut. Bayi pertama memiliki faktor risiko berat

lahir 980 gram, usia gestasi 30–31 minggu, sepsis, terapi oksigen lebih

dari 7 hari, transfusi darah berulang, apnea, dan asfiksia. Kasus yang

kedua mempunyai faktor risiko berat lahir 990 gram, usia gestasi 27

minggu, apnea, terapi oksigen lebih dari 7 hari, dan patent ductus

arteriosus. Kejadian ROP pada kedua kasus tersebut kemungkinan

disebabkan oleh faktor risiko berat lahir kurang dari 1.000 gram.

Saran peneliti adalah perlu dilakukan edukasi pada tenaga medis

mengenai pencegahan ROP pada bayi yang lahir prematur sesuai dengan

tata laksana yang direkomendasikan sehingga dapat menurunkan kejadian

ROP dan mencegah kebutaan pada anak.

11
Simpulan

Simpulan, terdapat hubungan antara berat lahir kurang dari 1.000 gram

dan kejadian ROP.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih dan juga penghargaan peneliti sampaikan kepada

pimpinan Rumah Sakit Al-Islam Bandung yang telah memberikan izin

penelitian.

Daftar Pustaka

1. Jefferies AL, Canadian Paediatric Society, Fetus and Newborn

Committee. Retinopathy of prematurity: an update on screening and

management. Paediatr Child Health. 2016;21(2):101–8.

2. Kumar VHS. Pathogenesis and management of retinopathy of

prematurity in premature infants. Pediatr Neonatal Nurs Open J.

2015;2(2):62–9.

3. World Health Organization. Preventing blindness in children. Report

of a WHO/IAPB Scientific meeting. WHO/PBL/00.77 Geneva: WHO;

2000.

4. Liu J, Lai CHY, Amy CY. Therapeutic strategies for retinopathy of

prematurity. HKJ Ophtalmol. 2015;19(1):8–15.

5. Friddle K. Pathogenesis of retinopathy of prematurity: does

inflammation play a role?. NAINR. 2013;13(4):161–5.

12
6. Dewi R, Tuhusula R, Rohsiswatmo R. Skrining retinopathy of

prematurity di Rumah Sakit dengan fasilitas terbatas. Sari Pediatri.

2012;14(3):185–90.

7. Badriah C,Amir I, Elvioza, Ifran EKB. Prevalence and risk factors of

retinopathy of prematurity. Pediatric Indones. 2012;52(3):138–44.

8. Gonçalves E, Násser LS, Martelli DR, Alkmim IR, Mourão TV.

Incidence and risk factors for retinopathy of prematurity in a Brazilian

reference service. Sao Paulo Med J. 2014;132(2):85–91.

9. Pediatric clerckship The university of Chicago. Retinopathy of

prematurity. 2013 (diunduh 11 Februari 2017). Tersedia dari:

https://pedclerk.bsd.uchicago.edu/page/retinopathy-prematurity

10. World Health Organization. Preterm birth. (diunduh 13 Februari

2017). Tersedia dari: http://www.who.int/mediacentre/

factsheets/fs363/en/

11. Sulistiarini D, Berliana SM. Faktor-faktor yang memengaruhi

kelahiran prematur di Indonesia: analisis data riskesdas 2013. E-

Journal Widya Kesehatan dan Lingkungan. 2016;1(2):109–15.

12. Pramono MS, Paramita A. Pola kejadian dan determinan bayi dengan

berat badan lahir rendah (BBLR) di Indonesia tahun 2013. Buletin

Penelitian Sistem Kesehatan. 2015;18(1):1–0.

13. Usman A, Sukadi A, Mose JC. Clinical outcome of cytomegalovirus

infection on low birth weight infants. GMHC. 2014;2(2):85–90.

13
14. Gonçalves E, Násser LS, Martelli DR, Alkmim IR, Mourão TV.

Incidence and risk factors for retinopathy of prematurity in a Brazilian

reference service. Sao Paulo Med J. 2014;132(2):85–91.

15. Gordon SK, Jacky WY, Victor TY, Stan, Edith, Catherine CL, Benjamin

CY, Ian YH. Incidence and risk factors for retinopathy of prematurity

in multiple gestations: a chinese population study. 2015;94(18):867

16. Sabzehei MK, Afjeh SA, Dastjani Farahani A, Shamshiri AR, Esmaili F.

Retinopathy of prematurity: incidence, risk factors, and outcome. Arch

Iran Med. 2013;16(9):507–12.

17. Hakeem AHAA, Mohamed GB, Othman MF. Retinopathy of

prematurity: a study of prevalence and risk factors. 2012;19(3):289–

94.

18. Alajbegovic-Halimic J, Zvizdic D, Alimanovic-Halilovic E, Dodik I,

Duvnjak S. Risk factors for retinopathy of prematurity in premature

born children. Med Arh. 2015;69(6):409–13.

19. Friddle K. Pathogenesis of retinopathy of prematurity: does

inflammation play a role?. NAINR. 2013;13(4):161–5.

20. Saugstad OD. Oxygen and retinopathy of prematurity. Journal of

Perinatology. 2006;26:46–50.

21. American Academy of Pediatrics and the American College of

Obtetricians and Gynecologists. Guidelines for perinacatl care 7th

edition. 2012.

14

Anda mungkin juga menyukai