ISI Inversio Uteri
ISI Inversio Uteri
PENDAHULUAN
Perdarahan pasca persalinan masih menjadi satu dari penyebab kematian ibu
yang paling banyak di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, negara-negara
industri dan Negara berkembangpun, perdarahan pasca persalinan masih
menempati urutan pertama dari tiga etiologi kematian ibu, disamping emboli
dan hipertensi. WHO memperkirakan bahwa ada lebih dari 85.000 kasus
kematian ibu pada tahun 1990 diseluruh dunia, dimana 25%-nya akibat
perdarahan pasca persalinan.1
Para ahli sepakat bahwa inversio uteri merupakan kasus yang serius dan
kasus kedaruratan obstetri, oleh karena dapat menimbulkan syok bahkan sampai
1
menimbulkan kematian. Walaupun ada beberapa kasus inversio uteri dapat
terjadi tanpa gejala yang berarti tetapi tidak jarang kasus tersebut
menimbulkan keadaan yang serius dan fatal, dimana angka mortalitasnya
Perdarahan obstetri dapat terjadi setiap saat, baik selama kehamilan, persalinan,
maupun masa nifas. Oleh karena itu, setiap perdarahan yang terjadi dalam masa
kehamilan, persalinan dan nifas harus dianggap sebagai suatu keadaan akut dan
serius, karena dapat membahayakan ibu dan janin. Setiap wanita hamil, dan nifas
yang mengalami perdarahan, harus segera dirawat dan ditentukan penyebabnya,
untuk selanjutnya dapat diberi pertolongan dengan tepat. Prognosis dan
penatalaksanaan kasus perdarahan selama kehamilan dipengaruhi oleh umur
kehamilan, banyaknya perdarahan, keadaan fetus dan sebab perdarahan. Karena
pada kedua kelainan ini cepat menyebabkan terjadinya syok.3
Dalam tinjauan pustaka ini kami membahas tentang inversio uteri sebagai salah
satu penyebab perdarahan yang terjadi setelah persalinan. Inversio uteri paling
sering menimbulkan perdarahan akut yang mengancam nyawa, dan bila tidak
ditangani dengan segera dapat menimbulkan kematian. Setiap perdarahan setelah
persalinan harus dianggap sebagai keadaan akut dan serius serta beresiko tinggi
karena dapat membahayakan ibu dan janin.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau
seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri. dapat keluar melalui kanalis servikalis
sehingga menonjol ke dalam vagina.4
2. Epidemiologi
bervariasi dari 1/2000 hingga hingga 1/23.000. Penelitian terbaru oleh Baskett
2002, dari tahun 1977 hingga 2000 ditemukan 40 kasus, dengan insiden 1 dalam
3737 persalinan pervaginam dan 1 dalam 1860 persalinan seksio sesarea. Setelah
penerapan manajemen aktif kala III pada tahun 1988, kejadian inversio uteri
menurun 4,4 kali lipat. Kejadian inversio uteri ginekologi sebesar 1 dari 6
kejadian inversio uteri.5,6
Berdasarkan Etiologi: 7
a) Tonus otot rahim yang lemah, yaitu uterus yang lembek, lemah, tipis
dindingnya.
b) Tekanan atau tarikan pada fundus (tekanan intraabdominal, tekanan
dengan tangan, tarikan tali pusat yang berlebihan)
4. Klasifikasi
pervaginam maupun paska seksio sesaria. Kejadian inversio uteri paska seksio
4
sangat jarang, kurang dari 10 kasus yang telah dilaporkan di literatur, walaupun
mungkin banyak kasus yang tidak dilaporkan. Dari sekian kasus yang dilaporkan,
ada 2 kasus yang disertai henti jantung.
Menurut durasi, inversio uteri paska persalinan diklasifikasikan menjadi : 9
a) Inversio uteri akut
Inversio uteri akut merupakan inversio uteri yang terdiagnosa dalam 24 jam
setelah persalinan, dapat dengan atau tanpa penyempitan serviks.
b) Inversio uteri subakut
Inversio uteri subakut merupakan inversio uteri yang terdiagnosa lebih dari 24
jam namun kurang dari 4 minggu setelah persalinan; selalu disertai dengan
penyempitan serviks.
c) Inversio uteri kronis
Inversio uteri kronis merupakan inversio uteri yang telah terjadi selama 4
minggu atau lebih.
5. Patomekanisme
11
Ada 3 hal yang menjadi dasar terjadinya inversio uteri akut, yaitu :
6
1. Suatu bagian dinding uterus prolaps melalui serviks yang terbuka, atau
melipat ke depan
2. Relaksasi sebagian dinding uterus
3. Tarikan simultan ke arah bawah dari fundus uteri
Untuk terjadinya inversio uteri, uterus harus terus berkontraksi pada saat yang
sama untuk mendorong fudus yang terinversi sebelumnya atau massa
fundus-plasenta ke arah bawah, sehingga makin masuk ke arah segmen bawah
uterus. Jika serviks terbuka dan kontraksi cukup kuat, massa myometrium-
plasenta dapat terperas ke dalam serviks, menyebabkan terjadinya inversio
komplit (inversio uteri derajat III). Pada keadaan yang lebih ringan,
dinding fundus uteri yang melekuk kedalam terperangkap secara spontan ke
5
dalam kavum uteri, menyebabkan terjadinya inversio inkomplit.
7
lebih sulit bila inversio terjadi makin lama. Pada kasus kronis, dapat
Gambar 3. Mioma dan inversio uterus dengan bagian nekrosis pada mioma dan
sebagian endometrium yang terinversi
8
oksitosin, sepertinya menjaga tonus miometrium dan efek inilah yang mungkin
5,7
menurunkan kejadian inversio uteri.
6. Gejala Klinik
Inversio uteri sering kali tidak menampakkan gejala yang khas, sehingga
dignosis sering tidak dapat ditegakkan pada saat dini. Syok merupakan gejala yang
sering menyertai suatu inversio uteri. Syok atau gejala-gejala syok terjadi tidak
sesuai dengan jumlah perdarahan yang terjadi, oleh karena itu sangat bijaksana
bila syok yang terjadi setelah persalinan tidak disertai dengan perdarahan yang
berarti untuk memperkirakan suatu inversio uteri. Syok dapat disebabkan karena
nyeri hebat, akibat ligamentum yang terjepit di dalam cincin serviks dan
rangsangan serta tarikan pada peritoneum atau akibat syok kardiovaskuler.6,4,7
Perdarahan tidak begitu jelas, kadang-kadang sedikit, tetapi dapat pula terjadi
perdarahan yang hebat, menyusul inversio uteri prolaps dimana bila plasenta lepas
atau telah lepas perdarahan tidak berhenti karena tidak ada kontraksi uterus.
Perdarahan tersebut dapat memperberat keadaan syok yang telah ada sebelumnya
bahkan dapat menimbulkan kematian. Dilaporkan 90% kematian terjadi dalam
dua jam postpartum akibat perdarahan atau syok.6,8,13
Tetapi hal ini dibedakan dengan tumor / mioma uteri submukosa yang
terlahir, pada mioma uteri yang terlahir, fundus uteri masih dapat diraba dan
berada pada tempatnya serta jarang sekali mioma submukosa ditemukan pada
kehamilan dan persalinan yang cukup bulan atau hampir cukup bulan. Pada kasus
9
inversio uteri yang kronis akan didapatkan gangren dan strangulasi jaringan
inversio oleh cincin serviks.8,9
Mengingat kasus ini jarang didapatkan dan kadang-kadang tanpa gejala yang
khas maka perlu ketajaman pemeriksaan dengan cara :6
7. Diagnosa
Untuk menegakkan diagnosis inversio uteri didapatkan tanda-tanda sbb : 5,10,11
A. Pada penderita pasca persalinan ditemukan :
1) Nyeri yang hebat
2) Syok / tanda-tanda syok, dengan jumlah perdarahan yang tidak sesuai
3) Perdarahan
4) Nekrosis / gangren / strangulasi
B. Pada pemeriksaan dalam didapatkan :
1) Bila inversio uteri ringan didapatkan fundus uteri cekung ke dalam
2) Bila komplit, di atas simfisis uterus tidak teraba lagi, sementara di dalam
vagina teraba tumor lunak
3) Kavum uteri tidak ada ( terbalik )
8. Penatalaksanaan
Mengingat bahaya syok dan kematian maka pencegahan lebih diutamakan pada
persalinan serta menangani kasus secepat mungkin setelah diagnosis ditegakkan.
A. Pencegahan3,4,11
10
2) Jangan dilakukan tarikan pada tali pusat dan penekanan secara Crede
sebelum ada kontraksi.
3) Penatalaksaan aktif kala III dapat menurunkan insiden inversio uteri.
4) Tarikan pada tali pusat dilakukan bila benar-benar plasenta sudah lepas.
B. Pengobatan3,4,11
1) Perbaikan keadaan umum dan atasi komplikasi
2) Reposisi.
Pada kasus yang akut biasanya dicoba secara manual dan bila gagal dilanjutkan
metode operatif, sedangkan pada kasus yang subakut dan kronis biasanya
dilakukan reposisi dengan metode operatif.
11
inversio uteri terkoreksi. Jika reposisi dilakukan sebelum terbentuknya
cincin servikalis, prosedur ini relatif mudah dilakukan.
- Metode ini mengurangi jumlah lapisan uterus yang harus melalui serviks
pada saat yang sama. Setelah uterus direposisi, tangan operator tetap
berada di dalam cavum uteri hingga terjadi kontraksi dan hingga diberikan
oksitosin intravena.
12
Manuver Henderson dan Alles
Manuver ini dilakukan dengan cara memegang cincin serviks dengan ring
forseps, kemudian fundus uterus didorong ke arah atas atau anterior. Manuver
ini dilakukan bila dengan cara manual, reposisi belum berhasil.6,7
Kesulitan yang mungkin dialami dalam penerapan metode ini adalah saat
menjaga agar tidak terjadi kebocoran setelah cairan dialirkan ke vagina. Hal ini
dapat diatasi dengan penggunaan mangkok vakum silastik, walaupun tetap
diperlukan tangan untuk mencegah kebocoran. Mangkok harus diarahkan ke
forniks posterior agar terjadi distensi vagina. Bila menggunakan vakum dan
masih keluar cairan dari vagina, mangkok vakum dapat dikeluarkan sedikit,
13
mendekati introitus vagina hingga cekungan mangkok vakum menempel pada
bagian dalam introitus vagina.6,7,13
1) Operatif:
14
Prosedur pembedahan Huntington
15
Gambar 7. Ilustrasi Manuver Huntinton
Varian dari prosedur ini adalah dengan memasang vakum pada fundus
yang terinversi. Prosedur ini merupakan modifikasi oleh Antonelli dkk (2006).
Mangkok silastik vakum dipasang pada fundus uteri yang terinversi melalui
abdomen, kemudian sambungkan dengan selang suction sehingga terbentuk
tekanan negatif. Tarikan dilakukan secara perlahan dan lembut hingga reposisi
uterus berhasil. Keuntungan dari tehnik ini adalah menghindari perlu
dilakukannya insisi uterus dan memudahkan tarikan pada fundus, daripada
menarik ligamentum rotundum yang memiliki tendensi robek. Mangkok
silastik bersifat lunak, sehingga mudah melewati cincin konstriksi, untuk
dipasang pada fundus uteri yang terinversi.6,7
Tehnik ini diperkenalkan pertama kali oleh Haultain pada tahun 1901.
Pada tehnik operasi ini, dilakukan insisi cincin serviks secara longitudinal pada
bagian posterior uterus, sekitar 4-6 cm. Langkah berikutnya sama dengan
metode Huntington, dilakukan tarikan ke atas pada ligamentum rotundum hingga
uterus berhasil dilakukan reposisi. Kemudian seluruh bekas insisi di serviks,
uterus dan vagina dijahit dengan jahitan interuptus, lapis demi lapis (2-3 lapis).
Kemudian diberikan uterotonik untuk membuat uterus berkontraksi. 6,7,13
16
Gambar 8 . Prosedur pembedahan Haultain.
17
C. Reposisi fundus dilakukan dengan tarikan kombinasi pada dinding uterus dari
atas oleh operator dan dari bawah oleh asisten. Setelah berhasil direposisi,
3
bekas insisi dijahit dengan benang chromic secara interuptus.
Kerugian dari metode ini adalah kemungkinan trauma terhadap kandung kemih
lebih besar dibandingkan dengan prosedur Kustner. Untuk kasus inversio uteri
ginekologi, tehnik ini dapat dimodifikasi dengan prosedur histerektomi
18
transvagina, maupun dengan bilateral tubektomi pada kasus yang tidak
memerlukan fungsi reproduksi lagi.13
19
Gambar 9. Operasi Spinelli untuk inversio uteri.
21
Inversio uteri jarang ditemukan pada wanita tidak hamil. Bila hal ini
terjadi, pada umumnya disebabkan oleh adanya leiomioma submukosa yang
5
bertangkai, maupun keganasan uterus lain yang terjadi di fundus uteri.
Jika inversi sudah diperbaiki, berikan infus oksitosin 20 unit dalam 500 ml
I.V (NaCl 0,9 % atau Ringer Laktat) 10 tetes/menit.
- Jika dicurigai terjadi perdarahan, berikan infus sampai dengan 60 tetes
permenit.
- Jika kontraksi uterus kurang baik, berikan ergometrin 0,2 mg atau
prostaglandin
Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal :
- Ampisilin 2 g I.V dan Metronidazol 500 mg I.V
22
- Atau sefazolin 1 g I.V dan Metronidazol 500 mg I.V
Lakukan perawatan pasca bedah jika dilakukan koreksi kombinasi abdominal-
vaginal.
Jika ada tanda infeksi berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas
demam selama 48 jam.
- Ampisilin 2 g I.V tiap 6 jam
- Dengan gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V setiap 24 jam.
- Dengan metronidazol 500 mg I.V setiap 8 jam.
Berikan analgesik jika perlu.
9. PROGNOSA
Makin lambat keadaan ini diketahui dan diobati makin buruk prognosa, tetapi
jika pasien dapat mengatasi 48 jam dengan inversio uteri maka maka prognosa
berangsur baik.9,10
23
DAFTAR PUSTAKA
24
12. Hanifa W, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu bedah kebidanan.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011.
13. Tuckett JD, Yeung A, Timmons G, Hughes T. Non-puerperal Uterine
Inversion Secondary to Uterine Sarcoma And Ascites Demonstrated on CT
and MRI. European Journal Of Radiology Extra 2010;75:e119-23
25