Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Sekitar delapan juta perempuan/tahun mengalami komplikasi kehamilan


dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di
Negara berkembang. Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan
di Negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah
dibandingkan di Negara berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat
komplikasi kehamilan dan persalinan.1
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5–15% penyulit kehamilan dan
merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas pada
ibu bersalin. Di Indonesia, mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan
masih cukup tinggi. Selain karena etiologi yang belum jelas, hal ini juga
disebabkan oleh perawatan persalinan yang masih ditangani oleh non medis.
Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh semua ibu hamil sehingga
pengetahuan tentang pengelolaan hipetensi dalam kehamilan harus benar-benar
dipahami oleh semua tenaga medik baik pusat maupun di daerah.1
Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih merupakan masalah kesehatan
di Indonesia dan juga mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan selama
kehamilan dan nifas. AKI di Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi
di negara Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Tren AKI di Indonesia menurun sejak tahun 1991 hingga 2007, yaitu dari 390
menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan kawasan ASEAN,
AKI pada tahun 2007 masih cukup tinggi, AKI di Singapura hanya 6 per 100.000
kelahiran hidup, Brunei 33 per 100.000 kelahiran hidup, Filipina 112 per 100.000
kelahiran hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama mencapai 160 per
100.000 kelahiran hidup. Meskipun, Millenium development goal (MDG)
menargetkan penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2015, namun pada tahun 2012 SDKI mencatat kenaikan AKI yang signifikan yaitu
dari 228 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Peningkatan

1
jumlah penduduk dan jumlah kehamilan berisiko turut mempengaruhi sulitnya
pencapaian target ini. Berdasarkan prediksi Biro Sensus Kependudukan Amerika,
penduduk Indonesia akan mencapai 255 juta pada tahun 2015 dengan jumlah
kehamilan berisiko sebesar 15 -20 % dari seluruh kehamilan. 1
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi
dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%).3 WHO memperkirakan kasus
preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara
maju. Prevalensi preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di
Negara berkembang adalah 1,8% - 18%.5,6 Insiden preeklampsia di Indonesia
sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.7 Kecenderungan yang ada dalam
dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan yang nyata terhadap
insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin menurun
sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik. 1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya
inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis
preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang
disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada
usia kehamilan diatas 20 minggu.1
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama. Definisi hipertensi berat adalah peningkatan
tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolik. Mat tensimeter sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa,
namun apabila tidak tersedia dapat menggunakan tensimeter jarum atau
tensimeter otomatis yang sudah divalidasi. Laporan terbaru menunjukkan
pengukuran tekanan darah menggunakan alat otomatis sering memberikan
hasil yang lebih rendah.2
Preeklampsia, sebelumnya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi
dan proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with
proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik
preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai
gangguan multsistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari
preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri.
Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena
sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.2

2. Etiologi
Etiologi preeklampsia masih kurang dimengerti, tetapi diduga ada
komponen genetik yang berperan penting dalam terjadinya preeklampsia.
Peterson menyatakan telah mengidentifikasi area pada kromosom 2p25 dan

3
9p13 yang berhubungan dengan preeklampsia dari hasil penelitiannya
terhadap 15 multiplex keluarga Finlandia. Selain komponen genetik, banyak
literatur yang memfokuskan pada derajat invasi trofoblas oleh plasenta
sebagai penyebab preeklampsia. Pada kasus preeklampsia, invasi trofoblas
tidak sempurna. Selain itu, derajat keparahan preeklampsia juga bergantung
pada derajat invasi trofoblas. Trofoblas adalah sine qua nondari preeklampsia,
karena preeklampsia akan menghilang dengan dilahirkannya plasenta. 3
Preeklampsia masih merupakan “the disease of theories” dan tidak ada
hipotesis tunggal yang dapat menjelaskan etiologinya. Preeklampsia
berhubungan dengan spasme pembuluh darah yang luas, lesi patologis pada
banyak sistem organ termasuk uroplacental vascular bed dan peningkatan
aktivasi trombosit dengan pemakaian trombosit serta aktivasi lanjutan dari
sistem pembekuan darah pada sirkulasi mikrovaskular. Imunologi telah
dihipotesakan berperan penting dalam perkembangan preeklampsia. Bukti
yang kuat untuk mendukung hal ini adalah bahwa preeklampsia lebih banyak
terjadi pada primipara. Gambaran histologik dari preeklampsia adalah invasi
trofoblas yang tidak sempurna, vaskulitis, trombosis, dan iskemi plasenta.3

3. Faktor Risiko
Fakto risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama
Anamnesis:
 Umur > 40 tahun
 Nulipara
 Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
 Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
 Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
 Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
 Kehamilan multipel
 IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
 Hipertensi kronik

4
 Penyakit Ginjal
 Sindrom antifosfolipid (APS)
 Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
 Obesitas sebelum hamil
Pemeriksaan fisik:
 Indeks masa tubuh > 35
 Tekanan darah diastolik > 80 mmHg
 Proteinuria (dipstick >+l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau
secara kuantitatif
 300 mg/24 jam)

4. Patofisiologi
1. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler
Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang menyebabkan
pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan vasoaktif
(vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja sudah
dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan
hipertensi. Pada kehamilan normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada
preeklamsia terjadi penurunan kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya
thromboksan yang mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II
sehingga peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi
hipertensi.2
2. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai
45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga
mencapai 30-40% kehamilan normal. Menurunnya volume plasma
menimbulkan hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya
perfusi pada jaringan atau organ penting menjadi menurun (hipoperfusi)
sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan
oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta
mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering terjadi pertumbuhan

5
janin yang terhambat (Intrauterine growth retardation), gawat janin, bahkan
kematian janin intrauterin.2
3. Vasokonstriksi pembuluh darah
Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun cardiac output
meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada kehamilan dengan
hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasokonstriktor
sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam tubuh dengan cepat menimbulkan
vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada sistem pembuluh darah
arteriole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakan suatu sistem kompensasi
terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil
dengan hipertensi akan berada dalam syok kronik. Perjalanan klinis dan temuan
anatomis memberikan bukti presumtif bahwa preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi
suatu zat beracun dalam darah yang menyebabkan trombosis di banyak pembuluh
darah halus, selanjutnya membuat nekrosis berbagai organ.Gambaran patologis pada
fungsi beberapa organ dan sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme
dan iskemia, telah ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat.
Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan
otot polos pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan
menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan mengakibatkan
gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor (endotelin, tromboksan,
angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida, prostasiklin, dan lain-
lain). Selain itu, jejas endotel juga menyebabkan gangguan pada sistem pembekuan
darah akibat kebocoran endotelial berupa konstituen darah termasuk platelet dan
fibrinogen.2
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi
normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas efek terhadap
ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara simultan.
Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap perubahan pada
sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme, serta aliran darah
regional. Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena penurunan perfusi
uteroplasenta.2
Perubahan pada organ-organ :
1) Perubahan kardiovaskuler.

6
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia
dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara
nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan
atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid
intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang
ektravaskular terutama paru.
2) Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklamsia tidak diketahui
penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada
penderita preeklampsia dan eklamsia daripada pada wanita hamil biasa atau
penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia tidak dapat
mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal ini
disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali
tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak menunjukkan
perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan
klorida dalam serum biasanya dalam batas normal.
3) Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain itu
dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler dan
merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan. Gejala
lain yang menunjukan tanda preklamsia berat yang mengarah pada eklamsia
adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh
adanya perubahan preedaran darah dalam pusat penglihatan dikorteks serebri
atau didalam retina.

4) Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada
korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan perdarahan.
5) Uterus

7
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada plasenta,
sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen
terjadi gawat janin. Pada preeklampsia dan eklamsia sering terjadi
peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan, sehingga terjadi
partus prematur.
6) Paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh
edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena
terjadinya aspirasi pneumonia, atau abses paru.

5. Penegakan Diagnosis
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit

8
menggunakan lengan yang sama. Definisi hipertensi berat adalah peningkatan
tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolik. Sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa, namun apabila tidak
tersedia dapat menggunakan tensimeter jarum atau tensimeter otomatis yang
sudah divalidasi. Laporan terbaru menunjukkan pengukuran tekanan darah
menggunakan alat otomatis sering memberikan hasil yang lebih rendah. 2
Berdasarkan American Society of Hypertension ibu diberi kesempatan
duduk tenang dalam 15 menit sebelum dilakukan pengukuran tekanan darah
pemeriksaan. Pengukuran dilakukan pada posisi duduk posisi manset setingkat
dengan jantung, dan tekanan diastolic diukur dengan mendengar bunyi
korotkoff V (hilangnya bunyi). Ukuran manset yang sesuai dan kalibrasi alat
juga senantiasa diperlukan agar tercapai pengukuran tekanan darah yang tepat.
Pemeriksaan tekanan darah pada wanita dengan hipertensi kronik harus
dilakukan pada kedua tangan, dengan menggunakan hasil pemeriksaan yang
tertinggi.2
Mengurangi kesalahan pemeriksaan tekanan darah:
 Pemeriksaan dimulai ketika pasien dalam keadaan tenang.
 Sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa atau yang setara, yang sudah
tervalidasi.
 Posisi duduk dengan manset sesuai level jantung.
 Gunakan ukuran manset yang sesuai.
 Gunakan bunyi korotkoff V pada pengukuran tekanan darah diastolic
Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam
24 jam atau tes urin dipstik > positif 1. Pemeriksaan urin dipstik bukan
merupakan pemeriksaan yang akurat dalam memperkirakan kadar proteinuria.
Konsentrasi protein pada sampel urin sewaktu bergantung pada beberapa
faktor, termasuk jumlah urin. Kuo melaporkan bahwa pemeriksaan kadar
protein kuantitatif pada hasil dipstik positif 1 berkisar 0-2400 mg/24 jam, dan
positif 2 berkisar 700-4000mg/24jam. Pemeriksaan tes urin dipstik memiliki
angka positif palsu yang tinggi, seperti yang dilaporkan oleh Brown, dengan
tingkat positif palsu 67-83%. Positif palsu dapat disebabkan kontaminasi duh

9
vagina, cairan pembersih, dan urin yang bersifat basa. Konsensus Australian
Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ASSHP) dan panduan
yang dikeluarkan oleh Royal College of Obstetrics and Gynecology (RCOG)
menetapkan bahwa pemeriksaan proteinuria dipstik hanya dapat digunakan
sebagai tes skrining dengan angka positif palsu yang sangat tinggi, dan harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan protein urin tampung 24 jam atau rasio
protein banding kreatinin. Pada telaah sistematik yang dilakukan Côte dkk
disimpulkan bahwa pemeriksaan rasio protein banding kreatinin dapat
memprediksi proteinuria dengan lebih baik.2
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan
sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20
minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja,
kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan
gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin
tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:
1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
4. Edema Paru
5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV) 2
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi
kondisi pemberatan preeclampsia atau disebut dengan preeklampsia berat.

10
Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan
preeklampsia atau preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :
1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolic pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan
yang sama
2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

6. Tatalaksana
1) Penatalaksanaan terhadap penyakit
a) Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk
rawat inap dan dianjurkan untuk tirah baring miring ke satu sisi kiri
(kiri). Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan
cairan karena penderita preeklampsia berat dan eklamsia mempunyai
risiko tinggi untuk terjadi edema paru dan oliguria. Penyebab terjadinya
edema paru dan oliguria belum jelas, tetapi dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor misalnya hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel
endotel, penurunan gradien tekanan onkotik koloid. Oleh karena itu,
monitoring input dan output cairan menjadi sangat penting. Harus
dilakukan pengukuran jumah cairan yang masuk dan keluar melalui urin.
Bia terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan resusitasi cairan.
Cairan yang diberikan dapat berupa 5 % Ringer-dextrose atau cairan
garam faal dengan jumlah tetesan < 125 cc/ jam atau infus Dextrose 5 %

11
yang tiap liternya diselingi dengan infus Ringer laktat (60 – 125 cc/jam)
500 cc.1
Rawat inap dianjurkan pada ibu hamil dengan hipertensi menetap atau
memburuk atau timbul proteinuria. Dilakukan evaluasi sistematis yang mencakup
hal-hal berikut :4
1. Pemeriksaan rinci terhadap gejala klinis seperti nyeri kepala, gangguan
penglihatan, nyer epigastrium dan penembahan berat badan yang cepat
2. Berat badan ditimbang setiap hari
3. Analisis proteinuria saat pasien masuk dan setidaknya setiap 2 hari
setelahnya
4. Pengukuran tekanan darah pada posisi duduk setiap 4 jam, kecuali antara
pukul 24.00 dan 06.00
5. Pengukuran kadar kreatinin dan transaminase daam serum atau plasma
dan hemogram yang mencakup hitung trombosit
6. Evaluasi keadaan janin serta voume cairan amnion, baik secara kinis
maupun menggunakan USG
b) Pemberian obat anti kejang, obat anti kejang yang banyak digunakan di
Indonesia adalah magnesium sulfat (MgSO47H2O). Magnesium sulfat
menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serabut
saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian
magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran
rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium
dan ion magnesium). Kadar kasium yang tinggi dalam darah dapat
menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat saat ini masih
menjadi pilihan pertama untuk anti kejang pada preeklampsia atau
eklamsia.1
c) Magnesium sufat hampir selalu diberikan secara intravena dan
disebagian besar unit, jalur intamuskuar tidak digunakan lagi. Terapi
rumatan magnesium sulfat dianjurkan hingga 24 jam pasca persalinan.

12
Untuk eklamsia yang timbul pasca persalinan, magnesium sulfat
diberikan seama 24 jam setelah awitan kejang.4
Magnesium sufat dapat diberikan secara intravena maupun intramuskular,
dimana dalam buku Obstetri Williams tahun 2013 menguraikan cara pemberian
magnesium sufat untuk preeklampsia berat dan eklamsia dapat dijabarkan sebagai
berikut :4
1. Infus intravena kontinu
a. Berikan dosis awal magnesium sufat sebesar 4 hingga 6 gram yang
diencerkan dalam 100 mL cairan IV dan berikan selama 15 hingga 20
menit
b. Mulai infus rumatan 2 gram/jam dalam 100 mL cairan IV. Beberapa
ahli menganjurkan dosis 1 gram/jam
c. Pantau toksisitas magnesium :
1) Periksa refleks tendon dalam secara berkala
2) Beberapa ahli mengukur kadar magnesium serum pada jam ke-4
hingga 6 dan menyesuaikan kecepatan infus untuk mempertahankan
kadar magnesium anatar 4 dan 7 meq/L (4,8 – 8,4 mmg/dL)
3) Ukur kadar magnesium serum jika kadar kreatinin serum ≥ 1,0
mg/dL
d. Pemberian magnesium sulfat dihentikan 24 jam pasca persalinan
2. Injeksi intramuskular intermiten
a. Berikan 4 gram magnesium sufat sebagai larutan 20 % secara
intravena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/menit
b. Lanjutkan segera dengan 10 gram larutan magnesium 50 %,
separuhnya disuntikkan profunda di kuadran kanan luar kedua bokong
menggunakan jarum ukuran 20 sepanjang 3 inci (penambahan 1,0 mL
lidokain 2 % untuk meminimalkan nyeri). Jika kejang menetap selama
15 menit, berikan kembali magnesium sulfat dalam larutan 20 %
dengan dosis hingga 2 gram dan kecepatan tidak melebihi 1
gram/menit. Jika pasien bertubuh besar, dapat diberikan dosis hingga 4
gram secara perahan.

13
c. Tiap 4 jam berikan 5 gram arutan magnesium sulfat 50 % yang
disuntikkan profunda di kuadran kanan luar bokong kanan dan kiri
secara bergantian, tetapi dilakukan setelah memastikan :
1) Refleks patella positif
2) Respirasi tidak tertekan
3) Keluaran urin dalam 4 jam terakhir melebihi 100 mL
d. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam pasca persalinan

Sumber lain dari buku kebidanan Sarwono, cara pemberian magnesium sulfat
sebagai berikut:1
1. Loading dose : initial dose diberikan 4 gram MgSO4 secara intravena (40%
dalam 10 cc) diberikan selama 15 menit.
2. Maintenance dose diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer per 6 jam
atau diberikan 4 atau 5 gram secara intramuskular. Selanjutnya
maintenance dose diberikan 4 gram secara intramuskular tiap 4 sampai 6
jam.
3. Syarat-syarat pemberian magnesium sufat ialah harus tersedia antidotum
MgSO4 bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glokonas 10 % atau 1 gram
(10 % dalam 10 cc) diberikan secara intravena selama 3 menit, refleks
patella positif kuat, frekuensi pernapasan >16 kali per menit dan tidak ada
tanda-tanda distres napas.
4. Magnesium sulfat dihentikan jika terdapat tanda-tanda intoksikasi atau
seteah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang berakhir.
5. Dosis teraupeutik dan toksis magnesium sufat
1) Dosis terapeutik : 4 – 7 mEq/liter atau 4,8 – 8,4 mg/dl
2) Refleks tendon hilang : 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
3) Terhentinya pernapasan : 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
4) Terhentinya jantung : > 30 mEq/liter atau > 36 mg/dl
Bia terjadi refrakter pada pemberian MgSO4, maka dapat diberikan salah satu
obat anti kejang lainnya seperti tiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam
atau fenitoin.1

14
d) Diuretik tidak diberikan secara rutin kecuali bila ada edema paru, payah
jantung kongestif atau anasarka. Diuretik yang dipakai adalah
furosemide. Pemberian diuretik dapat merugikan karena dapat
memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi utero-plasenta,
meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin dan
menurunkan berat janin.1
e) Pemberian antihipertensi, di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan
darah untuk pemberian anti hipertensi yaitu tekanan sistolik ≥ 180 mmHg
dan atau tekanan diastolik ≥110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara
bertahap, yaitu penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik dan tekanan
darah diturunkan mencapai >160/105 mmHg atau MAP <125 mmHg.1
Jenis obat anti hipertensi yang daat diberikan :1
1. Antihipertensi lini pertama, jenis obat yang digunakan di Indonesia
adalah nifedipin dengan dosis 10 – 20 mg per oral, diulangi setelah
30 menit, maksimum pemberian 120 mg dalam 24 jam.
2. Antihipertensi lini kedua yaitu sodium nitroprusside dengan dosis
0,25 µg intravena/kg/menit, ditingkatkan 0,25 µg intravena/kg/5
menit. Diazokside dengan dosis 30 60 mg intravena/5 manit atau
intravena infus 10 mg/menit/di titrasi.
f) Edema paru pada preklamsia berat, dapat terjadi akibat kardiogenik (payah
antung jantung kiri akibat peningkatan afterload) atau non-kardiogenik
(akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah kapiler). Prognosis
preeklampsia berat menjadi buruk apabila edema paru disertai oliguria.1
g) Glukokortikoid diberikan untuk pematangan paru janin. Diberikan pada
usia kehamilan 32 sampai 34 minggu 2 kali dalam 24 jam. Terapi ini tidak
memperburuk hipertensi pada ibu, dan telah idlaporkan terjadi penurunan
insiden distres pernapasan dan perbaikan kesintasan janin.1,4
2) Penatalaksanaan terhadap kehamilan
a.) Perawatan aktif
Pada psien preeklampsia berat yang tidak membaik setelah perawatan
rawat inap, biasanya dianjurkan terminasi kehamilan untuk keselamatan ibu

15
maupun janin. Induksi persalinan dilakukan, biasanya dengan pematangan
serviks prainduksi menggunakan prostaglandin atau dilator osmotik. Bila
induksi gagal, peahiran dengan bedah caesar diindikasikan untuk kasus-
kasus yang ebih berat. 4
Pada perawatan aktif, kehamilan diakhiri sambil memberi pengobatan.
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan dibawah ini
:1
1. Ibu
a. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
b. Adanya tanda atau gejala impending eclampsia
c. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu keadaan klinik
dan laboratorik memburuk
d. Diduga mengalami solusio pasenta
e. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
2. Janin
a. Adanya tanda-tanda fetal distress
b. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction (IUGR)
c. NST non reaktif dengan profil biofisik abnormal
d. Terjadinya oigohidramnion
3. Laboratorik
Adanya tanda-tanda sindrom HELLP khususnya menurunyya trombosit
dengan cepat.
3) Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37
minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan
janin baik. Diberikan pengobatan yang sama dengan pengobatan
medikamentosa dengan perawatan aktif. Di bagian kebidanan RSU Dr.
Soetomo Surabaya, pada perawatan konservatif preeklampsia, loading dose
MgSO4 tidak diberikan secara intravena, cukup secara intramuskuar saja.
Selama perawatan konservatif, sikap terhadap kehamiannya ialah hanya
observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif, kehamian tidak diakhiri.1

16
Magnesium sulfat dihentikan bila ibu telah mencapai tanda-tanda
preeklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila dalam 24
jam tidak terjadi perbaikan, keadaan ini dianggap sebagai kegagalan
pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi.1

7. Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin.Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia.
Komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia
berat dan eklampsia.
Komplikasi yang terjadi pada ibu :
- Solutio plasenta, terjadi pada ibu yang menderita hipertensi
- Hipofibrinogenemia, dianjurkan pemeriksaan fibrinogen secara berkala.
- Nekrosis hati, akibat vasospasmus arteriol umum.
- Sindroma HELLP, yaitu hemolisis,elevated liver enzymes dan low
platelet.
- Kelainan ginjal
- DIC.
Komplikasi yang terjadi pada janin :
- Prematuritas
- Dismaturitas
- Kematian janin intra uterine

8. Prognosis
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala
perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah
persalinan berakhir perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami perbaikan.
Diuresis terjadi 12 jam setelah persalinan. Keadaan ini merupakan tanda prognosis
yang baik, karena hal ini merupakan gejala pertama penyembuhan. Tekanan darah
kembali normal dalam beberapa jam kemudian. 2

17
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan buruk karena kematian ibu
antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2 –
48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan
antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya sering terlambat
mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena perdarahan otak,
decompensatio cordis, edema paru, payah ginjal dan aspirasi cairan lambung.
Sebab kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intrauterin.3

9. Pencegahan
Pencegahan Primer
Perjalanan penyakit preeklampsia pada awalnya tidak memberi gejala dan
tanda, namun pada suatu ketika dapat memburuk dengan cepat. Pencegahan
primer merupakan yang terbaik namun hanya dapat dilakukan bila
penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga memungkinkan untuk
menghindari atau mengkontrol penyebab-penyebab tersebut, namun hingga
saat ini penyebab pasti terjadinya preeklampsia masih belum diketahui.
Pencegahan sekunder
1. Istirahat
2. Restriksi Garam
3. Aspirin dosis rendah

18
BAB III

PENUTUP

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan


adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik
dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan
adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem
organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu. Pemeriksaan antenatal yang teratur
dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini preeklampsia, dalam hal ini harus dilakukan
penanganan preeklampsia tersebut. Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah
seutuhnya, namun frekuensi preeklampsia dapat dikurangi dengan pemberian
pengetahuan dan pengawasan yang baik pada ibu hamil.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Sofoewan MS. Hipertensi dalam kehamilan : Saifudin AB, Rachimhadhi T,


Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka; 2016. p. 530-550.
2. POGI. Pedoman Nasional : Diagnosis dan Tatalaksana Preeklampsia. Jakarta.
2016
3. Saraswati N, Mardiana. Faktor Risiko yang berhubungan dengan Kejadian
Preeklampsia pada Ibu Hamil (Studi Kasus di RSUD Kabupaten Brebes
Tahun 2014). Unnes Journal of Public Health. 2016;5(2):90-91. Available
From http://www.journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph/pdf
4. Ulva LA, lasmini PS, Amir A. Hubungan Asuhan Antenatal dengan
Preeklampsia di RSUP M. Djami Padang Periode 1 Januari 2013 – 31
Desember 2013. Jurnal Kesehatan Andalas. 2017;6(1):65-66. Available From
http://www.jurnal. fk.unand.ac.id/pdf
5. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY.
Hipertensi daam Kehamilan dalam Obstetri Williams. Edisi 23. Volume 2.
Jakarta: EGC; 2013. p. 764-774.

20

Anda mungkin juga menyukai