Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Karsinoma Leher Rahim (Karsinoma Serviks) atau biasa disebut


kanker serviks adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim atau
serviks (bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina. 90
% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan
10% sisanya berasal sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang
menuju ke dalam rahim. Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia
35 – 55 tahun. Penyakit ini berawal dari infeksi virus yang merangsang
perubahan perilaku sel epitel serviks.
Risiko terinfeksi virus HPV dan beberapa kondisi lain seperti
perilaku seksual, kontrasepsi, atau merokok merupakan faktor resiko
terjadinya kanker serviks. Mekanisme timbulnya kanker serviks ini
merupakan suatu proses yang kompleks dan sangat variasi hingga sulit
untuk dipahami.
Insiden dan mortalitas kanker serviks di dunia menempati urutan
kedua setelah kanker payudara. Sementara itu, di negara berkembang masih
menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian akibat kanker pada
usia reproduktif. Hampir 80% kasus berada di negara berkembang. Di
Indonesia, kanker leher rahim bahkan menduduki peringkat pertama.
Sesungguhnya penyakit ini dapat dicegah bila program skrining sitologi dan
pelayanan kesehatan diperbaiki. Diperkirakan setiap tahun dijumpai sekitar
500.000 penderita baru diseluruh dunia dan umumnya terjadi di negara
berkembang.
Sebelum tahun 1930, kanker serviks merupakan penyebab utama
kematian wanita dan kasusnya turun secara drastis semenjak
diperkenalkannya teknik skrining pap smear. Namun, sayang hingga kini
program skrining belum lagi memasyarakat di negara berkembang hingga
mudah dimengerti mengapa insiden kanker serviks masih tetap tinggi.
Hal terpenting menghadapi penderita kanker serviks adalah
menegakkan diagnosis sedini mungkin dan memberikan terapi yang efektif
sekaligus prediksi prognosisnya. Hingga saat ini pilihan terapi masih
terbatas pada operasi, radiasi dan kemoterapi, atau kombinasi dari beberapa
terapi ini. Namun, tentu saja terapi ini masih berupa “simptomatis” karena
masih belum menyentuh dasar penyebab kanker yaitu adanya perubahan
perilaku sel. Terapi yang lebih mendasar atau imunoterapi masih dalam
tahap penelitian.3
2. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui
dan mempelajari lebih dalam mengenai karsinoma serviks, bagaimana
mendiagnosis penyakit karsinoma serviks serta bagaimana penanganan yang tepat
terhadap penyakit karsinoma serviks ini.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi
Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher
rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk
ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina.
Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di
daerah skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan
mukosa kanalis servikalis1.

Gambar 1. Kanker Serviks

2. Etiologi
Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papilloma Virus
(HPV). Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi yang 40
di antaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Beberapa tipe HPV virus
risiko rendah jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat virus
risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan
pertumbuhan abnormal pada sel tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko
tinggi yang dapat memicu kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat ditularkan

3
melalui hubungan seksual adalah tipe 7, 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58,
59, 68, 69, dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain. Beberapa
penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim disebabkan
oleh tipe 16 dan 18.1
Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV risiko rendah
adalah satu asam amino saja. Asam amino tersebut adalah aspartat pada HPV
risiko tinggi dan glisin pada HPV risiko rendah dan sedang. Dari kedua tipe ini
HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50% kanker leher rahim. Seseorang yang
sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki risiko kemungkinan terkena kanker leher
rahim sebesar 5%. Dinyatakan pula bahwa tidak terdapat perbedaan probabilitas
terjadinya kanker serviks pada infeksi HPV-16 dan infeksi HPV-18 baik secara
sendiri-sendiri maupun bersamaan. Akan tetapi sifat onkogenik HPV-18 lebih
tinggi daripada HPV-16 yang dibuktikan pada sel kultur dimana transformasi
HPV-18 adalah 5 kali lebih besar dibandingkan dengan HPV-16. Selain itu,
didapatkan pula bahwa respon imun pada HPV-18 dapat meningkatkan virulensi
virus dimana mekanismenya belum jelas.1
HPV-16 berhubungan dengan squamous cell carcinoma serviks sedangkan
HPV-18 berhubungan dengan adenocarcinoma serviks. Prognosis dari
adenocarcinoma serviks lebih buruk dibandingkan squamous cell carcinoma.
Peran infeksi HPV sebagai faktor risiko mayor kanker serviks telah mendekati
kesepakatan, tanpa mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas,
aktivitas seksual dini/ perilaku seksual, dan merokok, pil kontrasepsi, genetik,
infeksi virus lain dan beberapa infeksi kronis lain pada serviks seperti klamidia
trakomatis dan HSV-2.1

4
Gambar 2. Human Papilloma Virus
3. Faktor Risiko
a. Usia lebih dari 35 tahun
Usia lebih dari 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kejadian kanker
leher rahim. Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko
terjadinya kanker leher rahim. Meningkatnya risiko kanker leher rahim pada
usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya
waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem
kekebalan tubuh akibat usia.1,2
b. Usia pertama kali menikah
Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap terlalu muda untuk melakukan
hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih
besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20 tahun. Umumnya sel-
sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Pada usia
muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih rentan
terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar
termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel
mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah
setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa
tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga perubahannya tidak
seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel
kanker.1,2
c. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi dan sering berganti-ganti
pasangan

5
Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin,
salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan mengubah sel-
sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak sehingga
tidak terkendali sehingga menjadi kanker.1,2
d. Wanita yang merokok
Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks
dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan,
lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya
yang ada di dalam rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan
serviks di samping merupakan ko-karsinogen infeksi virus. Nikotin,
mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi
terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru, maupun serviks.
Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang
dikonsumsi yang bisa menyebabkan kanker leher rahim.1,2
e. Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia
Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko terkena
virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama terjadinya
kanker leher rahim sehingga wanita yang mempunyai riwayat penyakit
kelamin berisiko terkena kanker leher rahim.1,2
f. Paritas
Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi dengan
jarak persalinan yang terlalu pendek. Dengan seringnya seorang ibu
melahirkan, maka akan berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di
organ reproduksinya yang akhirnya dampak dari luka tersebut akan
memudahkan timbulnya Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab
terjadinya penyakit kanker leher rahim.1,2
g. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama
Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka lama yaitu lebih
dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim 1,5-2,5 kali.
Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim
karena jaringan leher rahim merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh

6
hormon steroid perempuan. Hingga tahun 2004, telah dilakukan studi
epidemiologis tentang hubungan antara kanker leher rahim dan penggunaan
kontrasepsi oral. Meskipun demikian, efek penggunaan kontrasepsi oral
terhadap risiko kanker leher rahim masih kontroversional. Sebagai contoh,
penelitian yang dilakukan oleh Khasbiyah tahun 2004 dengan menggunakan
studi kasus kontrol. Hasil studi tidak menemukan adanya peningkatan risiko
pada perempuan pengguna atau mantan pengguna kontrasepsi oral karena
hasil penelitian tidak memperlihatkan hubungan dengan nilai p>0,05.1,2

Gambar 3. Kanker Serviks Dipengaruhi Berbagai Faktor

4. Klasifikasi
Menurut ( Novel S Sinta,dkk,2010), klasifikasi kanker dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu (1) klasifikasi berdasarkan histopatologi, (2) klasifikasi berdasarkan
terminologi dari sitologi serviks, dan (3) klasifikasi berdasarkan stadium stadium
klinis menurut FIGO (The International Federation of Gynecology and
Obstetrics):
a. Klasifikasi berdasarkan histopatologi :
1) CIN 1 (Cervical Intraepithelial Neoplasia), perubahan sel-sel abnormal
lebih kurang setengahnya. Berdasarkan pada kehadiran dari displasia
yang dibatasi pada dasar ketiga dari lapisan serviks, atau epithelium

7
(dahulu disebut displasia ringan). Ini dipertimbangkan sebagai low-
grade lesion (luka derajat rendah).
2) CIN 2, perubahan sel-sel abnormal lebih kurang tiga perempatnya,
dipertimbangkan sebagai luka derajat tinggi (high-grade lesion). Ini
merujuk pada perubahan-perubahan sel dysplastic yang dibatasi pada
dasar duapertiga dari jaringan pelapis (dahulu disebut displasia sedang
atau moderat).
3) CIN 3, perubahan sel-sel abnormal hampir seluruh sel. adalah luka
derajat tinggi (high grade lesion). Ini merujuk pada perubahan-
perubahan prakanker pada sel-sel yang mencakup lebih besar dari
duapertiga dari ketebalan pelapis serviks, termasuk luka-luka ketebalan
penuh yang dahulunya dirujuk sebagai dysplasia dan karsinoma yang
parah ditempat asal.

Gambar 4. Histopatologi karsinoma serviks

b. Klasifikasi berdasarkan terminologi dari sitologi serviks :

8
1) ASCUS (Atypical Squamous Cell Changes of Undetermined
Significance) Kata "squamous" menggambarkan sel-sel yang tipis dan
rata yang terletak pada permukaan dari serviks. Satu dari dua pilihan-
pilihan ditambahkan pada akhir dari ASC: ASC-US, yang berarti
undetermined significance, atau ASC-H, yang berarti tidak dapat
meniadakan HSIL.
2) LSIL (Low-grade Squamous Intraepithelial Lesion) berarti perubahan-
perubahan karakteristik dari dysplasia ringan diamati pada sel-sel
cervical.
3) HSIL (High Grade Squamous Intraepithelial Lesion) merujuk pada
fakta bahwa sel-sel dengan derajat yang parah dari dysplasia terlihat.

c. Klasifikasi berdasarkan stadium klinis :


FIGO, 1978 mengklasifikasi Ca Serviks menurut tingkat keganasan klinik:

Tabel 1. Stadium Kanker Serviks Menurut Klasifikasi FIGO 1976

9
Gambar 5. Stadium Kanker Serviks

5. Patogenesis dan patofisologi


Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel,
berubah menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun
atau lebih. Secara histopatologi lesi pre invasif biasanya berkembang melalui
beberapa stadium displasia (ringan, sedang, dan berat) menjadi karsinoma insitu
dan akhirnya invasif. Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan
menjadi kanker diakibatkan oleh adanya mutasi gen pengendali siklus sel. Gen
pengendali tersebut adalah onkogen, tumor supressor gene, dan repair genes.
Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dalam
karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi maligna,
sedangkan tumor supresor gen akan menghambat perkembangan tumor yang
diatur oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker invasif
berkembang melalui perubahan intraepitel, tidak semua perubahan ini progres
menjadi invasif. Lesi pre invasif akan mengalami regresi secara spontan sebanyak
3 -35%.1,2
Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi yang
tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS)

10
berkisar antara 1–7 tahun, sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma insitu
menjadi invasif adalah 3–20 tahun. Proses perkembangan kanker serviks
berlangsung lambat, diawali adanya perubahan displasia yang perlahan-lahan
menjadi progresif. Displasia ini dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel
yang meningkat misalnya akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau
bakteri, dan gangguan keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7–10 tahun
perkembangan tersebut menjadi bentuk pre invasif berkembang menjadi invasif
pada stroma serviks dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks
dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke
kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria,
dan akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau vesika urinaria. Virus DNA ini
menyerang epitel permukaan serviks pada sel basal zona transformasi, dibantu
oleh faktor risiko lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul vital yang
tidak dapat diperbaiki, menetap, dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan
sel normal sehingga terjadi keganasan. Berbagai jenis protein diekspresikan oleh
HPV yang pada dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut.
Protein tersebut adalah E1, E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen Open
Reading Frame (ORF). Di tingkat seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat
epigenetic.1,2
Pada infeksi fase laten, terjadi ekspresi E1 dan E2 yang menstimulus
ekspresi terutama terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada replikasi dan
perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali sel epitel serviks.
Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun tipe lambat dengan
terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan
E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari ± 50.000 virion per
sel dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel
penjamu untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif. Ekspresi E1 dan E2
rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7.
Dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai
supresor tumor diduga paling banyak berperan. Fungsi p53 wild type sebagai
negative control cell cycle dan guardian of genom mengalami degradasi karena

11
membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi p53. Kompleks p53-E6 dan p53 mutan
adalah stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20-30
menit.1,2
Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan
tanpa kontrol oleh p53. Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator
prognosis molekuler untuk menilai baik perkembangan lesi pre-kanker maupun
keberhasilan terapi kanker serviks. Dengan demikian dapatlah diasumsikan bahwa
pada kanker serviks terinfeksi HPV terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan
pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV. Dan,
seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis
kanker serviks. Bila pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke
pembuluh getah bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah bening
obtupator, iliaka eksterna dan kelenjar getah bening hipogastrika. Dari sini tumor
menyebar ke kelenjar getah bening iliaka komunis dan pada aorta. Secara
hematogen, tempat penyebaran terutama adalah paru-paru, kelenjar getah bening
mediastinum dan supravesikuler, tulang, hepar, empedu, pankreas, dan otak.1,2

Gambar 6. Patogenesis HPV Menyebabkan Kanker Serviks

12
Gambar 7. Patogenesis Kimia, Radiasi, HPV, dan Kontrasepsi
Oral Menyebabkan Kanker Serviks

Gambar 8. Squamocolumnar Junction pada Berbagai Usia

13
Gambar 9. Transformasi Sel Regio Servikal pada Karsinoma Serviks

6. Penegakan Diagnosis
Diagnosis kanker serviks tidaklah sulit apalagi tingkatannya sudah lanjut.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana melakukan skrining untuk mencegah
kanker serviks, dilakukan dengan deteksi, eradikasi, dan pengamatan terhadap lesi
prakanker serviks. Kemampuan untuk mendeteksi dini kanker serviks disertai
dengan kemampuan dalam penatalaksanaan yang tepat akan dapat menurunkan
angka kematian akibat kanker serviks3-5.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik 3-5:
1. Keputihan merupakan gejala yang paling sering ditemukan, berbau
busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian,
pertumbuhan tumor menjadi ulseratif3-5.
2. Pendarahan kontak merupakan 75-80% gejala karsinoma serviks.
Perdarahan timbul akibat terbukanya pembuluh darah, yang makin lama
makin sering terjadi segera setelah senggama. Biasanya timbul gejala
berupa ketidak teraturannya siklus haid, amenorhea, hipermenorhea,
dan penyaluran sekret vagina yang sering atau perdarahan
intermenstrual, post koitus serta latihan berat. Perdarahan yang khas
terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk mukoid3-5.

14
3. Rasa nyeri, terjadi akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf. Nyeri
dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah
lumbal3-5.
4. Pada tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih
bervariasi, sekret dari vagina berwarna kuning, berbau, dan terjadinya
iritasi vagina serta mukosa vulva. Perdarahan pervaginam akan makin
sering terjadi dan nyeri makin progresif. Menurut Baird tahun 1991
tidak ada tanda-tanda khusus yang terjadi pada klien kanker serviks.
Perdarahan setelah koitus atau pemeriksaan dalam merupakan gejala
yang sering terjadi. Karakteristik darah yang keluar berwarna merah
terang dapat bervariasi dari yang cair sampai menggumpal.
5. Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar sampai kaki,
hematuria, dan gagal ginjal dapat terjadi karena obstruksi ureter.
Perdarahan rektum dapat terjadi karena penyebaran sel kanker yang
juga merupakan gejala penyakit lanjut3-5.

b. Pemeriksaan penunjang
Stadium klinik seharusnya tidak berubah setelah beberapa kali
pemeriksaan. Apabila ada keraguan pada stadiumnya maka stadium yang
lebih dini dianjurkan. Pemeriksaan berikut dianjurkan untuk membantu
penegakkan diagnosis seperti palpasi, inspeksi, kolposkopi, kuretase
endoserviks, histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography,
dan pemeriksaan X-ray untuk paru-paru dan tulang. Kecurigaan infiltrasi
pada kandung kemih dan saluran pencernaan sebaiknya dipastikan dengan
biopsi. Konisasi dan amputasi serviks dapat dilakukan untuk pemeriksaan
klinis. Interpretasi dari limfangografi, arteriografi, venografi, laparoskopi,
ultrasonografi, CT scan dan MRI sampai saat ini belum dapat digunakan
secara baik untuk staging karsinoma atau deteksi penyebaran karsinoma
karena hasilnya yang sangat subjektif. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
gejala dan hasil pemeriksaan sebagai berikut3-5:

15
1. Pemeriksaan Pap smear
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal
pada pasien yang tidak memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui
pada sekret yang diambil dari porsi serviks yang mengandung
komponen ektoserviks dan endoserviks. Pemeriksaan ini harus mulai
dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah melakukan
aktivitas seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap
smear setiap tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear dapat
mendeteksi sampai 90% kasus kanker leher rahim secara akurat dan
dengan biaya yang tidak mahal, akibatnya angka kematian akibat kanker
leher rahim pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang
telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear secara teratur
yaitu 1 kali setiap tahun. Apabila selama 3 kali berturut-turut
menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal, maka pemeriksaan pap
smear bisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali.

Gambar 10. Pemeriksaan Pap’s Smear

Hasil pemeriksaan pap smear adalah sebagai berikut:


1. Normal
2. Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas)

16
3. Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas)
4. Karsinoma in situ (kanker terbatas pada lapisan serviks paling luar)
5. Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih
dalam atau ke organ tubuh lainnya)

Gambar 11. Perubahan Serviks dari Normal sampai Kanker Insitu

Tabel 2. Kategorisasi Diagnosis Deskriptif Pap smear berdasarkan Sistem


Bethesda

17
Tabel 3. Waktu Progresifitas Displasia
Tingkat Waktu dalam bulan
displasia
Sangat ringan 85 ( + 7 tahun)
Ringan 58 ( + 5 tahun)
Sedang 38 ( + 3 tahun)
Berat 12 ( + 1 tahun)
KIS menjadi 3-20 tahun
invasif

2. Pemeriksaan DNA HPV


Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan
Pap’s smear untuk wanita dengan usia di atas 30 tahun. Penelitian dalam
skala besar mendapatkan bahwa Pap’s smear negatif disertai DNA HPV
yang negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3 sebanyak hampir
100%. Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk wanita dengan
umur diatas 30 tahun karena prevalensi infeksi HPV menurun sejalan
dengan waktu. Infeksi HPV pada usia 29 tahun atau lebih dengan
ASCUS hanya 31,2% sementara infeksi ini meningkat sampai 65% pada
usia 28 tahun atau lebih muda. Walaupun infeksi ini sangat sering pada
wanita muda yang aktif secara seksual tetapi nantinya akan mereda
seiring dengan waktu. Sehingga, deteksi DNA HPV yang positif yang
ditentukan kemudian lebih dianggap sebagai HPV yang persisten.
Apabila hal ini dialami pada wanita dengan usia yang lebih tua maka
akan terjadi peningkatan risiko kanker serviks.

3. Biopsi
Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu
pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap
smear menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker. Biopsi ini
dilakukan untuk melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa
dilakukan adalah punch biopsi yang tidak memerlukan anestesi dan

18
teknik cone biopsy yang menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk
mengetahui kelainan yang ada pada serviks. Jaringan yang diambil dari
daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas apakah
yang terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja.

Gambar 12. Biopsi Serviks

4. IVA
IVA adalah skrining yang dilakukan dengan memulas serviks
menggunakan asam asetat 3-5% dan kemudian diinspeksi secara kasat
mata oleh tenaga medis yang terlatih. Setelah serviks diulas dengan
asam asetat, akan terjadi perubahan warna pada serviks yang dapat
diamati secara langsung dan dapat dibaca sebagai normal atau
abnormal. Hasil IVA postif jika ditemukan plak putih yang tebal atau
epitel acetowhite, biasanya di dekat SCJ. Hasil IVA negatif jika
permukaan polos dan halus, berwarna merah jambu, ektropion, polip,
servisitis, inflamasi, dan Nabothian cyst.

19
Gambar 13. a) Sebelum diberikan asam asetat.
b) Setelah diberikan asam asetat tampak plak putih (acetowhite)

5. Kolposkopi
Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan kolposkop,
yaitu suatu alat seperti mikroskop bertenaga rendah dengan sumber
cahaya di dalamnya. Pemeriksaan kolposkopi merupakan pemeriksaan
standar bila ditemukan pap smear yang abnormal. Pemeriksaan dengan
kolposkopi, merupakan pemeriksaan dengan pembesaran, melihat
kelainan epitel serviks, pembuluh darah setelah pemberian asam asetat.
Pemeriksaan kolposkopi tidak hanya terbatas pada serviks, tetapi
pemeriksaan meliputi vulva dan vagina. Tujuan pemeriksaan kolposkopi
bukan untuk membuat diagnosa histologik, tetapi untuk menentukan
kapan dan dimana biopsi harus dilakukan.

Gambar 14. Kolposkopi

20
6. Konisasi
Untuk tujuan diagnostik maka tindakan konisasi harus selalu
dilanjutkan dengan kuretase. Batas jaringan yang dikeluarkan
berdasarkan atas pemeriksaan kolposkopi dan/atau hasil pewarnaan
Lugol–Yodium 5%. Konisasi dilakukan bila:
1.   Proses di curigai ada di endoserviks.
2.   Lesi tidak tampak seluruhnya dengan kolposkopi.
3.   Diagnosis mikro-invasif ditegakkan hanya dari biopsi.
4.   Ada kesenjangan antara hasil sitologik dan histologik.
5.   Pasien sukar di follow-up secara terus-menerus

Gambar 15. Konisasi

7. Tes Schiller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium. Pada
serviks normal akan membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel
serviks karena adanya glikogen. Sedangkan pada sel epitel serviks yang
mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak berubah
karena tidak ada glikogen.

21
Gambar 16. Tes Schiller (Kiri Negatif, Kanan Positif)

8. Radiologi
1. Pelvik limfangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan
pada saluran pelvik atau peroartik limfe.
2. Pemeriksaan intravena urografi, yang dilakukan pada kanker serviks
tahap lanjut, yang dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter
terminal.
Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk mengevaluasi
kandung kemih dan rektum yang meliputi sitoskopi, pielogram intravena
(IVP), enema barium, dan sigmoidoskopi. Magnetic Resonance Imaging
(MRI) atau scan CT abdomen atau pelvis digunakan untuk menilai
penyebaran lokal dari tumor dan/atau terkenanya nodus limpa regional.

7. Tatalaksana
Terapi karsinoma serviks dilakukan bila mana diagnosis telah dipastikan
secara histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang
sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan lanjutan (tim kanker/tim
onkologi). Pemilihan pengobatan kanker leher rahim tergantung pada lokasi dan
ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita, dan rencana
penderita untuk hamil lagi. Lesi tingkat rendah biasanya tidak memerlukan
pengobatan lebih lanjut, terutama jika daerah yang abnormal seluruhnya telah
diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi. Pengobatan pada lesi prekanker bisa
berupa kriosurgeri (pembekuan), kauterisasi (pembakaran, juga disebut diatermi),
pembedahan laser untuk menghancurkan sel-sel yang abnormal tanpa melukai

22
jaringan yang sehat di sekitarnya dan LEEP (Loop Electrosurgical Excision
Procedure) atau konisasi (Wiknjosastro, 1997).
a. Pembedahan
Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling
luar), seluruh kanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah
ataupun melalui LEEP (Loop Electrosurgical Excision Procedure) atau
konisasi. Dengan pengobatan tersebut, penderita masih bisa memiliki anak.
Karena kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan untuk menjalani
pemeriksaan ulang dan Pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama
dan selanjutnya setiap 6 bulan. Jika penderita tidak memiliki rencana untuk
hamil lagi, dianjurkan untuk menjalani histerektomi. Pembedahan
merupakan salah satu terapi yang bersifat kuratif maupun paliatif. Kuratif
adalah tindakan yang langsung menghilangkan penyebabnya sehingga
manifestasi klinik yang ditimbulkan dapat dihilangkan. Sedangkan tindakan
paliatif adalah tindakan yang berarti memperbaiki keadaan penderita.
Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal).
Biasanya dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO).
Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik,
dapat juga pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga
harus bebas dari penyakit umum (resiko tinggi) seperti penyakit jantung,
ginjal dan hepar.

Gambar 17. Total dan Radikal Histerektomi

23
b. Terapi penyinaran (radioterapi)
Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta
mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks
stadium II B, III, IV sebaiknya diobati dengan radiasi. Metoda radioterapi
disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan pengobatan kuratif atau paliatif.
Pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar
ke sekitarnya atau bermetastasis ke kelenjar getah bening panggul, dengan
tetap mempertahankan sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di
sekitar seperti rektum, vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi
dengan dosis kuratif hanya akan diberikan pada stadium I sampai III B.
Apabila sel kanker sudah keluar ke rongga panggul, maka radioterapi hanya
bersifat paliatif yang diberikan secara selektif pada stadium IV A. Terapi
penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada
daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk
merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya. Ada dua jenis
radioterapi yaitu radiasi eksternal yaitu sinar berasal dari sebuah mesin besar
dan penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya
dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu. Keduannya adalah
melalui radiasi internal yaitu zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul
dimasukkan langsung ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari
dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang
beberapa kali selama 1-2 minggu. Efek samping dari terapi penyinaran
adalah iritasi rektum dan vagina, kerusakan kandung kemih dan rektum dan
ovarium berhenti berfungsi (Gale & Charette, 2000).

c. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui
infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya
untuk membunuh sel kanker dan menghambat perkembangannya. Tujuan
pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis kanker dan fasenya saat didiag
nosis. Beberapa kanker mempunyai penyembuhan yang dapat diperkirakan

24
atau dapat sembuh dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain,
pengobatan mungkin hanya diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh,
ini disebut pengobatan adjuvant. Dalam beberapa kasus, kemoterapi
diberikan untuk mengontrol penyakit dalam periode waktu yang lama
walaupun tidak mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan dalam fase
akhir, kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk memberikan kualitas
hidup yang lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah digunakan untuk
penyakit metastase karena terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum
memberikan keuntungan yang memuaskan. Contoh obat yang digunakan
pada kasus kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide Adrem ycin
Platamin), PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan lain –lain (Prayetni, 1997).

2.8 Follow Up
Tiap 3 bulan selama 2 tahun pertama, kemudian setiap 6 bulan, tergantung
keadaan. Jangan lupa meraba kelenjar inguinal dan supraklavikula, abdomen,
abdominal vaginal, dan abdominal rektal, pemeriksan sitologik puncak vagina,
dan foto rontgen pelvis dan toraks serta USG abdomen setiap 6 bulan2,3.
Kolposkopi untuk meneliti puncak vagina, serta bentuk-bentuk praganas.
Rektoskopi, sistoskopi, renogram, Intra Venous Pyelography (IVP), dan CT scan
panggul, hanya dilakukan menurut indikasi7.

2.9 Pencegahan
Sebagian besar kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan
menghindari faktor- faktor penyebab kanker meliputi1:
1) Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia muda,
pernikahan pada usia muda, dan berganti-ganti pasangan seks. Wanita yang
berhubungan seksual di bawah usia 20 tahun serta sering berganti pasangan
berisiko tinggi terkena infeksi. Namun hal ini tak menutup kemungkinan
akan terjadi pada wanita yang telah setia pada satu pasangan saja.
2) Wanita usia di atas 25 tahun, telah menikah, dan sudah mempunyai anak
perlu melakukan pemeriksaan pap smear setahun sekali atau menurut

25
petunjuk dokter. Pemeriksaan Pap smear adalah cara untuk mendeteksi dini
kanker serviks. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat, tidak sakit dengan
biaya yang relatif terjangkau dan hasilnya akurat. Disarankan untuk
melakukan tes Pap setelah usia 25 tahun atau setelah aktif berhubungan
seksual dengan frekuensi dua kali dalam setahun. Bila dua kali tes Pap
berturut-turut menghasilkan negatif, maka tes Pap dapat dilakukan sekali
setahun. Jika menginginkan hasil yang lebih akurat, kini ada teknik
pemeriksaan terbaru untuk deteksi dini kanker leher rahim, yang dinamakan
teknologi Hybrid Capture II System (HCII).
3) Pada pertengahan tahun 2006 telah beredar vaksin pencegah infeksi HPV
tipe 16 dan 18 yang menjadi penyebab kanker serviks. Vaksin ini bekerja
dengan cara meningkatkan kekebalan tubuh dan menangkap virus sebelum
memasuki sel-sel serviks. Selain membentengi dari penyakit kanker serviks,
vaksin ini juga bekerja ganda melindungi perempuan dari ancaman HPV
tipe 6 dan 11 yang menyebabkan kutil kelamin. Yang perlu ditekankan
adalah, vaksinasi ini baru efektif apabila diberikan pada perempuan yang
berusia 9 sampai 26 tahun yang belum aktif secara seksual. Vaksin
diberikan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu tertentu. Dengan vaksinasi,
risiko terkena kanker serviks bisa menurun hingga 75%.
4) Pilih kontrasepsi dengan metode barrier, seperti diafragma dan kondom,
karena dapat memberi perlindungan terhadap kanker leher rahim.
5) Tidak merokok. Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen, baik yang
dihisap sebagai rokok atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan
polycyclicaromatic hydocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita
perokok konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi
dibandingkan di dalam serum. Efek langsung bahan-bahan tersebut pada
serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi ko-
karsinogen infeksi virus.
6) Nutrisi. Faktor nutrisi juga dapat mengatasi masalah kanker mulut rahim.
Penelitian mendapatkan hubungan yang terbalik antara konsumsi sayuran
berwarna hijau tua dan kuning (banyak mengandung beta karoten atau

26
vitamin A, vitamin C dan vitamin E) dengan kejadian neoplasia
intraepithelial juga kanker serviks. Artinya semakin banyak makan sayuran
berwarna hijau tua dan kuning, maka akan semakin kecil risiko untuk kena
penyakit kanker mulut rahim. Sayur dan buah yang mengandung bahan-
bahan anti-oksidan dan berkhasiat mencegah kanker misalnya alpukat,
brokoli, kol wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, tomat.

8. Prognosis
Faktor-faktor yang menentukan prognosis adalah: umur, keadaan umum,
tingkat klinik keganasan, ciri histologi sel tumor, kemampuan tim penolong,
dan sarana pengobatan3.

Tabel 4. Angka Ketahanan Hidup Lima Tahun Menurut Data Internasional


Tingkat AKH-5 Thn
TIS Hampir 100%
T1 70-85%
T2 40-60%
T3 30-40%
T4 <10%

BAB III

27
PENUTUP

1. Kesimpulan

- Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim,
suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke
arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina.
- Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papilloma Virus
(HPV).
- Gejala awalnya berupa keputihan yang berbau, perdarahan pervaginam, dan
rasa nyeri. Gejala lanjutan berupa, sekret vagina berbau, PPV yang progresif,
nyeri menjalar hingga kaki dan hematuria
- Pemeriksaan penunjang bisa berupa pap smear, DNA HPV, IVA, Biopsi,
kolposkopi, konisasi dan tes Schiller.
- Tatalaksananya berupa, pembedahan, radioterapi dan kemoterapi

2. Saran
Untuk Referat selanjutnya, disarankan kepada penulis selanjutnya agar
melanjutkan tulisan ini dengan mencari bahan-bahan yang lebih lengkap dan
terbaru.

DAFTAR PUSTAKA

28
1. Akram, SBM. Kanker Serviks. Universitas Sumatera Utara. 2011. Diunduh
dari URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21557/4/Chapter
%20II.pdf.
2. Anonim, Harapan baru vaksin kanker serviks. 2007. Diunduh dari URL:
http://www.The Home of Urogyn Indonesia-Various Info.htm/. Diakses
tanggal 2 oktober 2007.
3. Wiknjosastro H. Karsinoma serviks uterus. Dalam: Wiknjosastro H. Ilmu
Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta: 2008;
380-388.
4. Mansjoer A dkk. Kanker serviks. Dalam: Mansjoer A dkk. Kapita Selekta
Kedokteran. Media Aesculapius: Jakarta; 2001; 379-381.
5. Sjamsuddin S. Pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Cermin Dunia
Kedokteran 2001; 133; 9-14.
6. Agustria Zainu Saleh. Penuntun pelaksanaan praktis kanker ginekologi.
Palembang, 2004; 20-26.
7. Kaufman RH. Adam E. Vonka V. Human papilloma virus infection and
cervical carcinoma. Clinical Obstetry Gynecology 2002; 43: 363-80.
8. Bosman FT, Wagener DJ, et al. Tumor alat kelamin wanita. Dalam: Bosman
FT, Wagener DJ, et al. Onkologi. Edisi kelima. Yogyakarta: 1996; 494-507.
9. Aziz, M. F, Kemoterapi pada kanker serviks. Dalam: Indonesia Journal
Obstetry Gynecology 20(3): Jakarta 1996; 186-192.

29

Anda mungkin juga menyukai