Anda di halaman 1dari 6

PERINTAH SURAT 13 MARET

Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11


Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden
Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966.
Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu
untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat
(AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan
sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih
ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogo

Kebijakan ekonomi yang terjadi pada masa orde baru adalah sebagai berikut:

1. Rencana Pembangunan Lima tahun (Repelita)

Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi tingginya inflasi, rendahnya pendapatan per kapita dari penduduk
Indonesia yang hanya mencapi $70 saja, dan hancurnya sarana ekonomi akibat konflik yang terjadi pada
akhir pemerintahan Soekarno. Repelita dibuat untuk berfokus pada rehabilitasi prasarana penting dan
pengembangan iklim usaha dan investasi. Pembangunan sektor pertanian mendapatkan prioritas guna
memenuhi kebutuhan pangan.Pada repelita I, pertumbuhan ekonomi di Indonesia naik rata-rata 3%
menjadi 6.7% per tahun. Pendapatan per kapita pun meningkat menjadi $170 dan inflasi ditekan
menjadi 47.8% hingga pada akhir tahun 1974. Repelita II dan Repelita III berfokus pada pencapaian
pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan pemerataan pembangunan guna menekan sektor
pertanian dan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.

2. Swasembada berasPemerintah orde baru memang menitikberatkan pengembangan sektor pertanian


karena sektor pertanian dianggap sebagai prasyarat utama atas kestabilan ekonomi dan politik. Terbukti
pada tahun 1968 hingga 1992, produksi hasli pertanian meningkat tajam.

3. Pemerataan kesejahteraan pendudukPemerintah sekaligus berusaha meratakan kesejahteraan


penduduk melalui program penyediaan kebutuhan pangan, peningkatan gizi, pemerataan layanan
kesehatan, keluarga berencana (KB), pendidikan, penyediaan air bersih dan pembangunan perumahan
sederhana. Bukti dari kebijakan itu maka penduduk Indonesia berkurang dari 60% menjadi 15% pada
tahun 1990-an. Pendapatan per kapita menjadi meningkat menjadi $600 pada tahun 1993.

4. Pemerataan kehidupan politik

Dalam kehidupan politik, terjadinya beberapa kebijakan dan konflik yang berhasil dilaksanakan antara
lain:

1. Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi lainnya yang bertentangan dengan
ideologi Pancasila.Kebijakan ini terjadi dengan dikeluarkannya kebijakan supesemar oleh Presiden
Soeharto.

2. Penyederhaan partai yang berkuasa.


Pada tahun 1973, terjadilah pemilhan umum yang pertama terjadi di orde baru. 3 (tiga) partai yang ada
pada masa itu merupakan hasil penggabungan dan penyederhanaan partai politik. 3 (Tiga) partai politik
pada masa itu adalah :

a. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

b. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

c. Golongan Karya.

B.  Penyimpangan Masa Pemerintahan Orde Baru


Tersingkirnya pemerintahan Orde Lama dari kekuasaan segera disusul
berkuasanya pemerintahan baru, yakni pemerintah Orde Baru, di bawah pimpinan
Presiden Soeharto. Presiden Soeharto dan Orde Baru tampil dengan tekad
mengoreksi total kesalahan pemerintah Orde Lama serta berjanji akan
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dengan murni dan konsekuen. Presiden
Soeharto dan Orde Baru dengan menggebu-gebu menerapkan sistem demokrasi
yang mereka sebut sebagai “Demokrasi Pancasila”.
Namun, apa yang dilakukan Presiden Soeharto dan pemerintah Orde Baru
selanjutnya, ternyata, sama saja dengan praktik yang dilakukan Presiden Soekarno
dan pemerintahan Orde Lama. Presiden Soeharto dan pemerintah Orde Baru
mengingkari janjinya untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Mereka
justru banyak sekali melakukan penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Penyimpangan mereka bahkan dapat dikatakan lebih parah daripada penyimpangan
yang dilakukan pemerintah Orde Lama.

Sumber: static.republika.co.id

1.   Penyalahgunaan Pancasila dan UUD 1945


Janji pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen tidak lebih hanyalah isapan
jempol. Mereka bukannya patuh dan melaksanakan dasar negara dan konstitusi
tersebut dengan baik, tetapi malah menyalahgunakannya demi kekuasaan dan
kepentingan mereka. Pancasila dan UUD 1945 tidak hanya mereka langgar,
melainkan juga disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan mereka yang
menyimpang.
Melalui apa yang disebut sebagai P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila), Orde Baru melakukan penafsiran sepihak terhadap kandungan nilai-
nilai Pancasila dan memaksakannya kepada seluruh unsur bangsa. Sebagai
petunjuk pemahaman dan pelaksanaan Pancasila, P4 ditanamkan ke semua lapisan
masyarakat dengan tujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai
Demokrasi Pancasila. Namun, hal itu cenderung sebagai indoktrinasi terhadap
masyarakat. Pikiran masyarakat dibentuk agar mempercayai Orde Baru sebagai
pelaksana nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 –– padahal kenyataannya tidak
demikian –– sehingga tumbuh dukungan terhadap Orde Baru.
Sementara itu, adanya celah dalam UUD 1945 (sebelum diamendemen tahun
1999) juga dimanfaatkan Orde Baru untuk berkuasa melebihi batas kewajaran dan
kenormalan. Tiadanya pembatasan masa jabatan presiden dalam UUD 1945,
digunakan Orde Baru untuk melanggengkan Jenderal Soeharto menjadi presiden
agar kepentingan unsur-unsur Orde Baru terlindungi dan terus-menerus dapat
berkuasa. Oleh sebab itu, UUD 1945 yang sebenarnya memungkinkan untuk
diubah atau diamendemen (melalui pasal 37) oleh Orde Baru sangat disakralkan,
dibiarkan apa adanya, dan tidak akan diperbarui lagi.
2.  Penyelewengan Pemilu
Untuk melanggengkan kekuasaannya, Orde Baru juga dengan sistematis
menyelewengkan pemilihan umum (pemilu) untuk memilih anggota DPR dan
MPR. Dalam setiap pemilu, seluruh pejabat, aparat negara, dan pegawai negeri
sipil diwajibkan untuk memilih Golkar (Golongan Karya). Masyarakat juga
mendapat banyak pemaksaan untuk memilih Golkar. Sebagai partai politik milik
Orde Baru, Golkar dirancang untuk selalu memenangkan pemilu dengan angka
mutlak agar pemerintahan, DPR, dan MPR selalu dikuasai orang-orang Orde Baru.
Untuk  mengurangi  risiko kalahnya Golkar dalam pemilu, Orde Baru juga
melarang berdirinya partai politik baru di luar partai politik yang sudah ada, yaitu
PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PDI (Partai Demokrasi Indonesia), dan
Golkar sendiri. Larangan tersebut dituangkan dalam undang-undang paket politik.
Adapun kegiatan pemilu sendiri selain diwarnai kuatnya pemaksaan untuk memilih
Golkar, juga hampir selalu dipenuhi kecurangan dalam pemungutan dan
penghitungan suara.
Sumber: static.inilah.com

3.  Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)


Selama berkuasa, pemerintah Orde Baru melakukan korupsi, kolusi, dan
nepotisme dengan besar-besaran dan sistematis. Pejabat pemerintah, dari yang
tertinggi hingga yang terendah, dihinggapi perilaku korup yang sangat parah,
demikian juga aparat hukum, aparat keamanan, pengusaha, anggota DPR, dan
anggota lembaga tinggi negara. Selama Presiden Soeharto dan Orde Baru
berkuasa, diperkirakan ratusan triliun rupiah uang negara dan rakyat lenyap
dikorupsi.
Selain itu, proses penggunaan dana pembangunan serta penerimaan pegawai
pemerintah dan anggota DPR dan MPR juga dipenuhi praktik kolusi dan
nepotisme. Kontrak-kontrak pembangunan fisik hampir selalu dilakukan dengan
kolusi. Adapun penerimaan pegawai negeri sipil serta penyusunan daftar calon
anggota DPR dan MPR juga dilakukan dengan nepotisme, yakni cenderung hanya
memilih dan mengangkat orang-orang yang dekat dan bersedia diajak kerja sama
dengan Orde Baru.
4.  Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Dalam kegiatan pemilu tampak sekali pemerintah Orde Baru melakukan
pelanggaran hak asasi manusia warga negara. Orde Baru melakukan pemaksaan
kepada masyarakat untuk memilih salah satu peserta pemilu (Golkar) serta
melarang masyarakat untuk mendirikan partai politik baru. Pemaksaan dan
pelarangan itu jelas melanggar hak asasi warga negara untuk bebas menentukan
pilihan politik dan berserikat (berorganisasi) sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Namun, di luar itu, Orde Baru masih melakukan pelanggaran-pelanggaran hak
asasi manusia yang lain. Masyarakat sangat dibatasi untuk menyampaikan
pendapat, terutama pendapat yang berbeda dengan pandangan Orde Baru atau
pendapat yang bersifat kritik. Tokoh dan kalangan yang kritis diawasi dengan
sangat ketat dan sebagian ditahan tanpa proses pengadilan yang wajar. Beberapa
media massa cetak yang sering memberitakan penyelewengan pemerintah juga
diberedel (ditutup/dibubarkan secara paksa).
Pemerintah Orde Baru bahkan berkali-kali melakukan pelanggaran hak asasi
manusia yang tergolong berat. Kalangan masyarakat yang dianggap berseberangan
pendapat dan berani menentang pemerintah seringkali diperlakukan sangat tidak
manusiawi, dengan diusir, ditangkap, dipenjara, diculik, diserang, dan bahkan
dibunuh. Pelanggaran berat hak asasi semacam ini, antara lain, terjadi di Aceh,
Papua (Irian Jaya), Lampung, Kedungombo (Jawa Tengah), dan Jakarta.
5.  Penyimpangan Lain
Selain penyimpangan-penyimpangan di depan, Orde Baru masih melakukan
beberapa penyimpangan lain. Penyimpangan-penyimpangan tersebut umumnya
dilakukan Orde Baru untuk tujuan mempertahankan kekuasaan. Berikut adalah
beberapa penyimpangan lain terhadap konstitusi yang dilakukan pemerintah Orde
Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto selama sekitar 32 tahun berkuasa.

         ABRI (sekarang TNI) yang tugas dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara
disalahgunakan Orde Baru untuk melindungi kepentingan dan kekuasaannya.
ABRI cenderung dijadikan alat politik Orde Baru. Oleh sebab itu, ABRI ikut aktif
berpolitik, termasuk turut memberikan suara dalam pemilihan umum (pemilu),
untuk mendukung kekuasaan Orde Baru.
        Pemerintah Orde Baru menggerakkan kegiatan ekonomi dengan mengistimewakan
kelompok usaha besar, terutama yang dekat dengan rezim Orde Baru. Lewat kolusi
dan nepotisme, para pengusaha besar diberi fasilitas yang menguntungkan. Hal ini
selain sangat merugikan keuangan negara, juga menyebabkan hasil pembangunan
ekonomi tidak dinikmati masyarakat secara adil dan merata.
          Pemerintah Orde Baru memfungsikan hukum bukan sebagai alat untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan secara semestinya. Hukum cenderung
digunakan untuk berpihak kepada para pejabat dan aparat pemerintah atau kepada
mereka yang mampu membayar uang dalam jumlah besar. Begitu banyak kasus
korupsi dan skandal lain dengan pelaku pejabat yang luput dari proses pengadilan
akibat pengadilan umumnya telah dipengaruhi dan dikendalikan oleh pemerintah.
6.  Krisis Multidimensi dan Gerakan Reformasi
Penyimpangan terhadap konstitusi yang dilakukan pemerintah Orde Baru mulai
mencapai batas maksimalnya ketika terjadi krisis kehidupan bangsa dan negara
tahun 1997/1998. Dimulai dengan krisis moneter dan ekonomi pada Juli 1997,
krisis yang merebak kemudian begitu hebat dan melanda semua bidang kehidupan.
Utang luar negeri mencapai ribuan triliun rupiah, harga barang kebutuhan pokok
melambung tinggi, bank dan perusahaan banyak yang gulung tikar, angka
pengangguran dan kemiskinan melonjak, banyak terjadi konflik dan kerusuhan
sosial, penculikan dan pembunuhan terjadi di mana-mana, sarana umum banyak
yang hancur diamuk massa, kehidupan politik kacau-balau, beberapa provinsi
berusaha memisahkan diri menjadi negara merdeka, serta hukum tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.
Krisis yang populer dengan sebutan krisis multidimensi itu tidak lain dipicu
oleh parahnya penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Penyimpangan sistematis Orde Baru selama puluhan tahun mengakibatkan sendi-
sendi kehidupan bangsa dan negara menjadi sangat rapuh dan keropos. Sendi-sendi
tersebut menjadi mudah sekali berantakan saat diguncang dan dilanda krisis.

Krisis yang terjadi kemudian mendorong munculnya gerakan reformasi yang


dipelopori mahasiswa. Gerakan reformasi diwujudkan dalam bentuk demonstrasi
besar-besaran pada paruh pertama tahun 1998 untuk menuntut mundur Presiden
Soeharto dan pemerintah Orde Baru dari kekuasaan serta mendesak dilakukannya
perbaikan terhadap semua bidang kehidupan, terutama bidang ekonomi, politik,
dan hukum. Akibat begitu dahsyatnya tuntutan dan desakan yang muncul, Presiden
Soeharto dan pemerintah Orde Baru akhirnya jatuh dan tersingkir dari kekuasaan.

Anda mungkin juga menyukai