Otonomi PPKN
Otonomi PPKN
Dasar hukum
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik fokus yang penting dalam rangka
memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh
pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing.
Tujuan
Secara konseptual, Indonesia dilandasi oleh tiga tujuan utama yang meliputi: tujuan politik,
tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Hal yang ingin diwujudkan melalui tujuan politik
dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya untuk mewujudkan demokratisasi politik
melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perwujudan tujuan administratif
yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya pembagian urusan
pemerintahan antara pusat dan daerah, termasuk sumber keuangan, serta pembaharuan
manajemen birokrasi pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi yang ingin dicapai
dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah terwujudnya peningkatan indeks
pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Asas
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, terdapat 3
jenis penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah
dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, yaitu asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
Pembantuan.
Desentralisasi
Adalah pemberian wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
mengurus Urusan daerahnya sendiri berdasarkan asas otonom.
Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal
di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung
jawab urusan pemerintahan umum.
Tugas pembantuan
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk
melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan
sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.
Keistimewaan Yogyakarta bisa dilihat dalam beberapa aspek. Pertama, aspek politik.
Aspek ini menyangkut tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang
Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ketentuan perundang-
undangan menyatakan bahwa salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi calon gubernur
adalah bahwa yang bersangkutan harus bertahta sebagai Sultan Hamengku Buwono.
Sedangkan untuk calon wakil gubernur, yang bersangkutan harus bertahta sebagai Adipati
Paku Alam.
Keistimewaan lainnya dapat dilihat dari kewenangan kebudayaan dan pertanahan. Untuk
kewenangan kebudayaan, pemerintah Provinsi DIY diberikan kewenangan khusus untuk
memelihara dan mengembangkan kebudayaan, kesenian, dan tradisi luhur yang mengakar
dalam masyarakat DIY. Di bidang tata ruang, pihak Kasultanan dan Kadipaten dinyatakan
sebagai badan hukum, yang berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan
Tanah Kadipaten demi kepentingan sosial, kesejahteraan masyarakat, dan pengembangan
kebudayaan.
1. Pertentangan Peraturan
Otonomi dapat membuat terjadinya pertentangan peraturan antara pemerintah daerah.
Namun, meskipun demikian selama peraturan yang berbeda tersebut bisa saling melengkapi,
tidak akan menimbulkan masalah. Contoh pertentangan peraturan adalah adanya peraturan
pelaksanaan pemilihan pimpinan daerah di Yogyakarta. Bertentangan dengan pelaksanaan
pemilihan kepala daerah di Jogja sendiri. Karena hal tersebut adalah keinginan masyarakat
dan dalam pelaksanaannya dalam saling melengkapi, juga menciptakan ketertiban, maka
tidak ada hal negatif yang terjadi.
2. Pengawasan Lemah
Pengawasan pemerintah pusat ke pemerintah daerah menjadi lemah. Pada beberapa kasus, hal
tersebut memungkinkan timbulnya penguasa-penguasa daerah yang sewenang-wenang.
Untuk mengawasi hal ini, maka masyarakat daerah yang harus berperan aktif dalam
daerahnya.
8. Kedaerahan
Seharusnya, setiap wilayah mengusahakan upaya menjaga keutuhan NKRI. Otonomi daerah
membuka peluang kedaerahan atau kelompok menjadi terbuka. Jika tidak dijaga, sikap
mementingkan kelompok / wilayah / daerahnya lebih terasa dibandingkan kepentingan
nasional
9. Keputusan Lebih Panjang
Dalam hal yang mendesak, keputusan menjadi lebih cedpat. Namun, mencakup keputusan
nasional alurnya bertambah panjang. Karena untuk menerapkan kebijakan nasional,
pemerintah pusat harus mempertimbangkan aspirasi dari semua daerah. jJngan sampai
kebijakan hanya menguntungkan daerah tertentu saja.
D. Solusi terhadap implementasi otonomi Daerah
Sedikitnya ada tiga faktor utama yang telah menyebabkan mengapa capaian reformasi
desentralisasi dan otonomi daerah tersebut cenderung bernuansa kuantitas. Koinsidensi dari
tiga faktor inilah selanjutnya telah melahirkan bias-bias kebijakan yang pada gilirannya telah
dijadikan sebagai kambing hitam untuk membangun citra buruk atas kinerja desentralisasi
dan otonomi daerah dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.Secara singkat,tiga faktor
yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut: .
Kedua, ada bias relasi antarelite sebagai implikasi dari pergeseran relasi negara dan
masyarakat.Realitas implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah juga harus
didudukkan dan dipahami pada konteks pergeseran relasi negara-masyarakat (statesociety
relation) pada periode pasca- Orde Baru.Dengan demikian,akan diketahui bahwa bias
implementasi kebijakan yang terjadi sejauh ini bukan sepenuhnya merupakan dampak
langsung dari reformasi desentralisasi dan otonomi daerah, melainkan juga sebagai implikasi
dari pergeseran pola interaksi antara negara dan masyarakat (statesociety relation) pada
periode pasca- Orde Baru.Satu di antara karakteristik penting dari perubahan pola interaksi
state-society tersebut adalah masyarakat (society) tidak lagi sepenuhnya terpinggirkan, baik
dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan kebijakan. Namun,peran
masyarakat dalam hal ini belum dalam arti civil society,tetapi lebih banyak diwakili oleh elite
masyarakat (societal actors). Dalam kondisi seperti ini, sulit dihindari jika kemudian proses
pengambilan keputusan,baik di tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, telah lebih
banyak diwarnai oleh koalisi dan tawarmenawar kepentingan antara societal actors pada satu
sisi dan state actors (para elit penyelenggara negara) pada sisi lain.Pada konteks inilah,
desentralisasi dan otonomi daerah,serta berbagai produk turunannya, seperti pemekaran
daerah dan pemilihan kepala daerah (pilkada) harus didudukkan dan dimaknai. .
Ketiga, agenda reformasi yang lebih menekankan pada upaya membangun citra negara,
namun minus perbaikan kapasitas. Realitas implementasi desentralisasi dan otonomi daerah
juga tidak dapat dilepaskan dari adanya bias agenda reformasi yang berlangsung di Tanah
Air. Dalam kurun waktu sepuluh tahun pertama (1999-2009), fokus perhatian dari agenda
reformasi lebih banyak dicurahkan pada upaya memperbaiki dan membangun institusi negara
(state institutional reform). Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas
negara (state capacity) relatif belum mendapat perhatian yang seimbang. Akibatnya, dapat
dimengerti bila kemudian kehadiran negara dalam praktik kehidupan sehari-hari (state in
practice) menjadi samar-samar atau bahkan dalam beberapa kasus justru absen . Reformasi
desentralisasi dan otonomi daerah yang berlangsung di Tanah Air dalam kurun waktu sepuluh
tahun terakhir harus dipahami dan dimaknai sebagai bagian dari state institutional reform
minus state capacity. .
Karena itu, juga dapat dimengerti bila kemudian kehadiran desentralisasi dan otonomi
daerah terlihat sangat nyata dalam bentuk institusi, tetapi tidak kentara dalam fungsi.
Desentralisasi dan otonomi daerah juga sangat nyata hadir dengan kemasan demokrasi,namun
roh yang terkandung di dalamnya masih sangat kental bernuansa sentralisasi.
sedikitnya ada empat langkah mendasar yang harus dilakukan ke depan.