Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban


sebelum persalinan dimulai atau terjadinya kontraksi uterus yang teratur 1.
Saat terjadi pecah ketuban , 75 % wanita sudah dalam proses persalinan,
Insidensi KPD berkisar antara 5-15% dari seluruh kehamilan. Kejadian
KPD aterm terjadi pada sekitar 6,46-15,6% kehamilan aterm 1 dan PPROM
terjadi pada terjadi pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan tunggal dan 7,4%
dari kehamilan kembar3. Faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab
terjadinya KPD ini antara lain: infeksi, apoptosis (kematian sel),
hormonal, stres, distensi uterus berlebihan seperti, kehamilan kembar dan
polihidramnion. 3,4 Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau setelah usia
gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau premature rupture of
membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD preterm
atau preterm premature rupture of membranes (PPROM)3. Setelah terjadinya
KPD umumnya akan diikuti oleh persalinan. Hampir 95% persalinan terjadi
dalam 24 jam pertama setelah KPD. Timbulnya kontraksi uterus (periode
laten) pada KPD preterm (PKPD) lebih lama dibandingkan dengan
kehamilan aterm. Komplikasi dari KPD adalah persalinan prematur,
komplikasi perinatal, neonatal, dan kematian janin. 6,7

Pemeriksaan antenatal yang teratur dan pemberian antibiotik pada


penderita dengan KPD dapat menurunkan infeksi neonatal,
memperpanjang periode laten, mengurangi kejadian endometritis
postpartum, korioamnionitis, sepsis neonatal, pneumonia neonatal, dan
hemoragi intraventrikular. 8 Untuk menurunkan tingkat kematian dan
kesakitan bayi kurang bulan pada saat ini masih sangat tergantung
pada perawatan bayi secara intensif dan sumber daya manusia yang
trampil serta peralatan dan sarana perawatan intensif yang memerlukan
biaya besar. Semakin besar bayi serta semakin tua usia kehamilan maka

1
angka kesakitan dan angka kematian perinatal akan semakin menurun
seiring dengan semakin matangnya berbagai sistem tubuh. 9
Pada praktiknya manajemen KPD saat ini sangat bervariasi.
Manajemen bergantung pada pengetahuan mengenai usia kehamilan dan
penilaian risiko relatif persalinan preterm versus manajemen ekspektatif.
Seiring dengan berkembangnya pengetahuan dan bertambah pemahaman
mengenai risiko-risiko serta faktor-faktor yang mempengaruhi, diharapkan ada
suatu pedoman dalam praktik penatalaksanaan KPD aterm dan KPD preterm,
seperti waktu persalinan, penggunaan medikamentosa, dan praktik pemilihan/
pengawasan terhadap manajemen ekspektatif, karena masih banyaknya
variasi mengenai manajemen KPD, khususnya KPD preterm. Dengan adanya
pendekatan penatalaksanaan yang sistematis dan berbasis bukti ataupun
konsensus maka diharapkan luaran persalinan yang lebih baik 3.

BAB II

2
ISI

A. Klarifikasi
1. KPD Preterm

Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti


dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada usia
<37 minggu sebelum onset persalinan. KPD sangat preterm adalah pecah
ketuban saat umur kehamilan ibu antara 24 sampai kurang dari 34 minggu,
sedangkan KPD preterm saat umur kehamilan ibu antara 34 minggu sampai
kurang 37 minggu5. Definisi preterm bervariasi pada berbagai kepustakaan,
namun yang paling diterima dan tersering digunakan adalah persalinan kurang
dari 37 minggu3.

2. KPD pada Kehamilan Aterm

Ketuban pecah dini/ premature rupture of membranes (PROM)


adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya yang terbukti dengan vaginal
pooling, tes nitrazin dan tes fern (+), IGFBP-1 (+) pada usia kehamilan ≥ 37
minggu

B. Faktor Risiko dan etiologi


Banyak faktor risiko yang berhubungan dengan KPD. Penderita kulit
hitam memiliki risiko KPD lebih tinggi dibandingkan dengan penderita kulit
putih. Penderita lain yang memiliki risiko tinggi yaitu penderita sosioekonomi
rendah, perokok, memiliki riwayat infeksi menular seksual, riwayat persalinan
preterm sebelumnya, perdarahan pervaginam, dan uterus distensi (seperti
polihidramnion, kehamilan kembar). 3,10 Tindakan/prosedur yang dapat
mengakibatkan KPD termasuk cerclage dan amniosentesis. Tidak terdapat
etiologi tunggal pada KPD. Peradangan atau infeksi koriodesidual dapat
menyebabkan KPD. Penurunan kadar kolagen selaput ketuban telah diduga

3
menjadi faktor predisposisi KPD. 11 Ada kemungkinan bahwa berbagai faktor
predisposisi mempengaruhi seorang penderita KPD.

1. Infeksi
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memastikan insidensi KPD yang
diinduksi infeksi. Kultur bakteri dari cairan amnion mendukung peran infeksi
dalam proporsi yang signifikan. Review dari 18 studi membandingkan hampir
1500 wanita dengan PPROM, pada sepertiga kasus dapatdiisolasi bakteri dari
cairan amnion .Dengan demikian, beberapa telah memberikan profilaksis
pengobatan antibiotik untuk mencegah ketuban pecah dini.
Secara keseluruhan, ada bukti kuat bahwa secara signifikan infeksi
menyebabkan kasus PPROM. Hal ini berhubungan dengan respon inflamasi
terhadap infeksi2. Identifikasi mikroorganisme patogen pada flora vagina
manusia segera setelah pecah ketuban mendukung konsep bahwa infeksi
bakteri menjadi penyebab utama patogenesis dari KPD. 12

Gambar 1 : Lokasi-lokasi yang berpotensi infeksi bakteri dalam Uterus


Sumber: Forgas SJ.5
Data epidemiologi menunjukkan hubungan antara koloni saluran genital
oleh streptokokus grup B, Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, dan
mikroorganisme penyebab vaginosis bakteri (vakteri anaerob, Gardnerella

4
vaginalis, Mobiluncus sp, dan mikoplasma genital) dengan peningkatan risiko
KPD. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pengobatan wanita infeksi
dengan antibiotik menurunkan angka PKPD.13
Infeksi intrauterin menjadi predisposisi pecahnya selaput ketuban
melalui beberapa mekanisme, semuanya menyebabkan degradasi dari matriks
ekstraselular.
1. Produksi protease yang dapat menurunkan kadar kolagen dan
melemahkan selaput ketuban dihasilkan oleh beberapa organisme yang
biasanya terdapat dalam flora vagina, termasuk sreptokokus grup B,
Staphylococcus aureus, Trichomonas vaginalis, dan bakteri penyebab
vaginosis bakteri. Pada percobaan in vitro, proses proteolisis matriks
selaput ketuban dapat dicegah dengan pemberian antibiotik. 14
2. Respons inflamasi ibu terhadap infeksi bakteri menghasilkan
mekanisme potensial lain terjadinya pecah ketuban. Respons inflamasi
cepat oleh neutrofil polimorfonuklear dan makrofag ke tempat infeksi
dan menghasilkan sitokin, matrix metalloproteinase (MMP), dan
prostaglandin. Sitokin, termasuk interleukin-1 dan tumor necrosis factor
α (TNF-α), dihasilkan oleh monosit, dan sitokin ini merangsang
peningkatan MMP-1 dan MMP-3 pada sel-sel korion. 14
3. Produksi Prostaglandin oleh selaput ketuban yang disebabkan oleh
Infeksi bakteri dan respon inflamasi ibu, yang akhirnya meningkatkan
risiko KPD diakibatkan oleh iritabilitas uterin dan penurunan kolagen
selaput ketuban. Strain tertentu bakteri vagina menghasilkan fosfolipase
A2, yang menyebabkan pelepasan prostaglandin prekursor, asam
arakidonat oleh membran fosfolipid dari selaput ketuban. Selain itu,
respons imun terhadap infeksi bakteri termasuk produksi sitokin oleh
aktivitas monosit yang meningkatkan produksi prostaglandin E 2 oleh sel-
sel korion. Stimulasi sitokin terhadap produksi prostaglandin E 2 oleh
selaput ketuban dan korion timbul disebabkan oleh siklooksigenase II,
suatu enzim yang merubah asam arakidonat menjadi prostaglandin.
Bagaimana tepatnya regulasi sintesis prostaglandin E2 dalam
hubungannya dengan infeksi bakteri dan respons inflamasi tidak

5
sepenuhnya dimengerti, dan hubungan langsung antara prostaglandin
dengan KPD tidaklah diketahui. Prostaglandin (khususnya prostaglandin
E2 dan prostaglandin F2α) telah diketahui sebagai mediator dalam
persalinan pada seluruh mamalia, dan prostaglandin E 2 mengurangi
sintesis kolagen pada selaput ketuban dan peningkatkan ekspresi MMP-
1 dan MMP-3 pada fibroblas manusia.15

Komponen lain respons ibu terhadap infeksi adalah produksi


glukokortikoid. Pada kebanyakan jaringan, aktivitas antiinflamasi glukokortikoid
diakibatkan penekanan produksi prostaglandin. Pada beberapa jaringan,
termasuk selaput ketuban, glukokortikoid secara berlawanan menekan
stimulasi produksi prostaglandin. Selain itu, deksametason dapat mengurangi
sintesis fibronektin dan kolagen tipe III pada kultur utama sel epitel selaput
ketuban. Beberapa temuan ini menduga bahwa glukokortikoid dihasilkan oleh
respons terhadap stres infeksi mikroba yang memudahkan pecahnya selaput
ketuban.15

2. Hormon
Progesteron dan estradiol dapat menekan proses remodeling matriks
ektraselular pada jaringan reproduktif. Kedua hormon tersebut menurunkan
konsentrasi MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan inhibitor jaringan
metaloproteinase pada fibroblas serviks kelinci. Progesteron dosis tinggi
menurunkan produksi kolagenase pada serviks babi, meskipun konsentrasi
yang lebih rendah progesteron dan estradiol dapat merangsang produksi
kolagen pada babi hamil. Relaksin, suatu hormon protein yang mengatur
remodeling jaringan ikat, dihasilkan secara lokal oleh desidua dan plasenta
dan melawan efek inhibisi dari estradiol dan progesteron dengan
meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 dalam selaput ketuban manusia.
Ekspresi gen relaksin meningkat sebelum proses persalinan aterm pada
selaput ketuban janin manusia. Meskipun demikian, masih belum diketahui
dengan pasti bagaimana hubungan antara estrogen, progesteron, dan relaksin
dalam proses reproduksi, termasuk pecahnya selaput ketuban. 15

6
3. Apoptosis
Apoptosis (kematian sel) merupakan suatu cara untuk membersihkan
sel yang rusak di dalam tubuh mamalia. Perubahan genetik yang melibatkan
sel dan jaringan sering menghasilkan apoptosis yang berlebihan. Apoptosis
telah diketahui pada proses remodeling berbagai jaringan reproduktif,
termasuk pada serviks dan uterus. Banyak faktor sebagai sebab apoptosis
seperti rudapaksa, infeksi, defisiensi faktor pertumbuhan atau hormon,
kerusakan DNA, gangguan metabolik atau siklus sel, serta pengaktifan death
receptor seperti yang terlihat pada gambar 2. Apoptosis ditandai dengan
fragmentasi inti DNA dan katabolisme subunit 28S ribosomal RNA yang
dibutuhkan untuk sintesis protein. Pada percobaan tikus (yang mempunyai
masa kehamilan 21 hari), sel epitel selaput ketuban mengalami apoptosis saat
mendekati persalinan. Selaput ketuban dan korion manusia yang diperoleh
pada kehamilan aterm setelah pecah sebelum waktunya mengandung banyak
sel-sel apoptosis di daerah yang berdekatan dengan daerah ruptur dan sedikit
sel apoptosis di daerah lain dari selaput ketuban. Oleh karena itu, pada kasus
korioamnionitis, apoptosis sel sepitel selaput ketuban sering terlihat
berdekatan dengan sel granulosit, diduga bahwa respons imunologi ibu dapat
mempercepat kematian sel pada selaput ketuban. 16

Gambar 2 : Faktor-faktor Pencetus Apoptosis


Sumber: Kumar V.16

4. Regangan selaput ketuban berlebihan

7
Overdistensi uterus diakibatkan oleh polihidramnion dan kehamilan
ganda dapat menyebabkan regangan selaput ketuban dan meningkatkan risiko
KPD2. Regangan mekanis dari selaput ketuban menyebabkan produksi
beberapa zat amnion, termasuk prostaglandin E 2 dan interleukin-8 seperti yang
terlihat pada gambar 3 Regangan juga meningkatkan aktivitas MMP-1 dalam
selaput. Prostaglandin E2 meningkatkan iritabilitas uterus, menurunkan sintesis
kolagen selaput ketuban, serta meningkatkan produksi MMP-1 dan MMP-3
oleh sel fibroblas. Interleukin-8, yang diproduksi oleh sel amnion dan korion,
merupakan zat kemotaktik bagi neutrofil dan meningkatkan aktivitas
kolagenase. Produksi interleukin-8, yang terdapat dalam konsentrasi rendah
dalam cairan amnion selama trimester kedua tetapi meningkat cukup tinggi
pada akhir kehamilan, diinhibisi oleh progesteron. Jadi, produksi interleukin-8
dan prostaglandin amnion memperlihatkan perubahan biokimia pada selaput
ketuban yang mungkin dimulai oleh trauma fisik (regangan selaput ketuban),
sesuai dengan hipotesis akibat trauma dan biokimia dari pecah selaput
ketuban.16

Gambar 3 : Diagram Berbagai Faktor yang Menyebabkan KPD


Sumber: Medina TM.2

8
C. Patogenesis
Pecahnya selaput ketuban sewaktu intrapartum merupakan disebabkan
oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena
pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput
ketuban inferior rapuh, bukan seluruh selaput ketuban. Terdapat
keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraseluler matriks. Perubahan
struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen
berubah dan selaput ketuban pecah. Daerah di sisi dekat ruptur disebut ”zona
restriksi” yang ditandai oleh daerah pembengkakan dan kerusakan fibrin
jaringan kolagen antara jaringan padat, fibroblas, dan lapisan spongiosa. Oleh
karena daerah ini tidak termasuk seluruh daerah sisi ruptur, daerah ini dapat
muncul sebelum selaput ketuban pecah dan menjadi titik awal pecahnya
selaput ketuban.6
Agar kekuatan regangan dapat terpelihara harus melibatkan
keseimbangan antara sintesis dan degradasi dari komponen matriks
ekstraselular. Diduga bahwa perubahan pada selaput ketuban, termasuk
penurunan kandungan kolagen, struktur kolagen yang berubahan dan
peningkatan aktivitas kolagenolitik, berhubungan dengan KPD. 14

D. Komplikasi KPD
Satu dari komplikasi yang sering terjadi pada KPD adalah persalinan
preterm. Periode laten, yaitu waktu dari mulai pecahnya ketuban sampai
masuk fase persalinan, umumnya berbanding terbalik dengan usia kehamilan
pada saat timbul KPD. Sebagai contoh, satu studi pada wanita hamil aterm
mengungkapkan bahwa 95% penderita melahirkan dalam waktu 1 hari setelah
KPD, sedangkan suatu studi analisis mengamati pada penderita dengan PKPD
antara usia kehamilan 16-26 minggu ditemukan bahwa 57% penderita
melahirkan dalam waktu 1 minggu, dan 22% memiliki periode laten selama 4
minggu. Jika KPD timbul terlalu dini, janin yang bertahan hidup dapat
berkembang dengan gejala sisa seperti malpresentasi, kompresi tali pusat,
oligohidramnion, enterokolitis nekrotikan, kelainan neurologi, hemoragia
intraventrikular, dan sindrom gawat napas.5

9
Tabel 1 : Komplikasi Preterm KPD
Komplikasi Insidensi ( % )
Persalinan dalam 1 minggu 50 - 75
Sindrom gawat pernafasan 35
Penekanan tali pusat 32 - 76
Korioamnionitis 13 - 60
Solusio plasenta 4 - 12
Kematian janin 1-2
Sumber: Medina TM.5

E. Diagnosis 6,10
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD aterm
harus meliputi 3 hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan
presentasi janin, dan penilaian kesejahteraan maternal dan fetal 3. Diagnosis
KPD memerlukan anamnesis menyeluruh, pemeriksaan fisik, dan
permeriksaan laboratorium.
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Penderita sering mengeluhkan keluar cairan tiba-tiba dengan pancaran
terus menerus. Seorang dokter harus menanyakan pada penderita adakah
kontraksi uterus, perdarahan pervaginam, baru saja berhubungan seksual,
atau adakah demam. Penting memastikan kapan taksiran persalinan sebab
informasi ini mempengaruhi pengobatan selanjutnya. Pemeriksaan dalam
terlalu sering tanpa indikasi dihindari untuk mengurangi resiko infeksi terhadap
neonatus3

a. Melihat cairan amnion dalam vagina


Bukti cairan yang keluar dalam vagina, atau aliran dari muara servik
saat penderita batuk, atau ketika fundus ditekan, dapat membantu menentukan
adanya KPD. Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari servik maka tidak
diperlukan lagi pemeriksaan lainnya 3. Harus dilakukan pemeriksaan dengan
spekulum untuk menentukan adalah pembukaan dan pendataran serviks.
Harus disadari bahwa inspeksi visual secara hati-hati menggunakan

10
pemeriksaan spekulum merupakan cara yang paling aman untuk menentukan
ada atau tidak pembukaan serviks yang timbul setelah KPD. Semua persentasi
bukan kepala dengan KPD aterm harus dilakukan pemeriksaan digital vagina
untuk menyingkirkan adanya kemungkinan prolaps tali pusat 3

b. Uji nitrazin
Metode diagnostik menggunakan kertas nitrazin (lakmus) memiliki
sensitivitas mendekati 90%. pH normal vagina adalah antara 4,5-6,0,
sedangkan cairan amnion lebih bersifat alkali, dengan pH antara 7,1-7,3.
Kertas lakmus akan berubah menjadi biru pada pH di atas 6,0. Meskipun
bahan-bahan kontaminasi (seperti darah, semen, antiseptik alkali) dapat juga
menyebabkan kertas lakmus berubah menjadi biru, menyebabkan hasil positif
palsu (16,2%) dan negatif palsu (12,7%). Vaginosis bakteri pun dapat
mengakibatkan hasil yang serupa.
c. Uji pakis
Pemeriksaan swab harus dilakukan untuk mengambil cairan dari forniks
posterior atau dinding vagina. Sewaktu cairan mengering pada kaca objek, kita
dapat melihat adanya gambaran daun pakis (arborisasi) di bawah mikroskop.
Terdapatnya gambaran daun pakis ini mengindikasikan adanya KPD. Penting
dicatat bahwa darah vagina dapat mengaburkan kehadiran gambaran daun
pakis, dan bahwa lendir serviks dapat memberikan hasil positif palsu (4,4%)
dan negatif palsu (4,8%) jika orifisium uteri eksternum terkena swab.

d. Uji penguapan
Pada uji penguapan, sampel cairan endoserviks diambil dan dipanaskan
hingga cairan tersebut menguap. Jika terdapat residu berwarna putih yang
tertinggal, berarti terdapat cairan amnion. Jika residu berwarna coklat, berarti
selaput ketuban masih utuh.

2. Ultrasonografi (USG)
Pada kasus yang memiliki riwayat diduga KPD, tetapi pemeriksaan fisik`
gagal memastikan diagnosis, pemeriksaan USG dapat membantu.

11
Adakalanya, ditemukan riwayat dan pemeriksaan fisis yang berlawanan
(seperti, terdapat riwayat sangat dicurigai ketuban pecah dengan uji pakis yang
normal tetapi uji lakmus positif). Meskipun jika pemeriksaan USG tidak
diperlukan untuk memastikan diagnosis KPD, pemeriksaan USG dapat
membantu menentukan posisi janin, letak plasenta, perkiraan berat janin, dan
jumlah air ketuban.

3. Fetal Fibronectin
Fetal fibronectin merupakan glikoprotein dengan berat molekul besar
terdapat dalam jumlah yang banyak dalam cairan amnion. Dapat dideteksi
pada endoserviks atau vagina penderita KPD dengan pemeriksaan ELISA. Uji
ini memiliki akurasi tinggi dan tidak dipengaruhi oleh darah.
Tes fetal fibronektin negatif berarti: 99,5% penderita dengan gejala dan
tanda tidak akan melahirkan dalam waktu 7 hari yang akan datang. Tes fetal
fibronektin positif berarti: >40% penderita dengan gejala dan tanda akan
melahirkan dalam waktu 7 hari yang akan datang. Penderita yang diperiksa
pada usia kehamilan 24 minggu, hampir 60 kali kemungkinan akan melahirkan
pada usia kehamilan <28 minggu.

4. Uji alfa fetoprotein


Alfa fetoprotein (AFP) terdapat dalam jumlah yang banyak dalam cairan
ketuban tetapi tidak terdapat dalam sekresi vagina atau urine. Uji ini memiliki
spesifisitas 100% dan sensitivitas 98%, jika dibandingkan dengan nitrazin 77%,
dan uji pakis 62%. Tes ini tidak baik digunakan pada kehamilan aterm karena
kadar AFP berkurang dengan bertambahnya usia kehamilan dan akurasinya
dapat berkurang oleh kontaminasi dengan darah ibu.

F. Penatalaksanaan:

12
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah mencegah mortalitas dan
morbidias perinatal pada ibu dan bayi akibat infeksi atau prematuritas 6. Obat
yang dipakai pada KPD :
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal setelah
KPD7. Bayi yang mendapatkan kortikosteroid antenatal jika dibandingkan
dengan yang tidak mendapatkan kortikosteroid dapat menurunkan risiko
sindrom gawat napas bayi ( 20 berbanding 35,4 %), hemoragi intraventrikular
( 7,5 banding 15.9 %), dan enterokolitis nekrotikans (0.8 banding 4.6 %) tanpa
peningkatan risiko infeksi maternal dan neonatal 5,7. Karena kortikosteroid
efektif menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal, haruslah dipahami
indikasi dan dosis pemberian kortikosteroid selama kehamilan. Secara luas
digunakan dan direkomendasikan adalah pemberian intramuskular
betametason 12 mg setiap 24 jam selama 2 hari, atau intramuskular
deksametason 6 mg setiap 12 jam selama 2 hari. Pemberian kortikosteroid
direkomendasikan pada usia kehamilan antara 24 sampai 34 minggu 5..
Pemberian kortikosteroid setelah kehamilan 34 minggu tidak
direkomendasikan kecuali jika dibuktikan terdapat imaturitas paru janin dengan
amniosentesis. Pemberian berulang tidak direkomendasikan sebab beberapa
studi memperlihatkan bahwa pemberian dosis dua atau lebih memberikan hasil
penurunan berat badan lahir bayi, lingkar kepala, dan panjang badan janin 5.

2. Magnesium Sulfate
Pemberiam magnesium sulfate sebagai neuroprotektor untuk usia
kehamilan sebelum 32 minggu bila diperkirakan persalinan terjadi dalam waktu
24 jam5,6. Magnesium sulfate dapat menutunkn resiko cerebral palsi 5. Cara
pemberian bolus 6 gram selama 40 m3nit dilanjutkan infus 2 gram / jam untuk
dosis pemeliharaan sampai persalinan atau sampai 12 jam terapi 3.

3. Antibiotik

13
Pemberian antibiotik pada penderita KPD dapat menurunkan infeksi
neonatal dan memperpanjang periode laten 3,5. Sebuah metaanalisis
memperlihatkan bahwa penderita yang mendapatkan antibiotik setelah KPD,
dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan antibiotik, mengurangi kejadian
endometritis postpartum, korioamnionitis, sepsis neonatal, pneumonia
neonatal, dan hemoragi intraventrikular. Banyak sediaan antibiotik yang dapat
digunakan pada KPD. Studi penggunaan obat yang dilakukan oleh National
Instituteof Child Health and Human Development menggunakan kombinasi
intravena ampisilin 2 g dan eritromisin 250 mg setiap 6 jam selama 48 jam,
diikuti dengan amoksisilin 250 mg dan eritromisin 333 mg setiap 8 jam selama
5 hari. Ibu hamil yang diberikan kombinasi ini lebih cenderung bertahan hamil
selama 3 minggu5.

4. Tokolitik
Sedikit data yang tersedia guna membantu menentukan perlu tidaknya
terapi tokolitik sebagai indikasi setelah KPD. Seperti telah dijelaskan di atas,
kortikosteroid dan antibiotik memberikan keuntungan jika diberikan pada
penderita KPD, tetapi tidak ada studi yang tersedia menyebutkan kedua terapi
ini dikombinasikan dengan tokolitik. Terapi tokolitik dapat memperpanjang
periode laten untuk waktu yang singkat tetapi tidak memperlihatkan
peningkatan luaran janin yang baik. Karena tidak terdapatnya data, bukan
berarti tidak beralasan jika terapi tokolitik waktu singkat setelah KPD diberikan
setelah pemberian antibiotik inisiasi dan kortikosteroid.

G. Penatalaksanaan berdasarkan usia kehamilan


1. Kehamilan 34-36 minggu
Jika KPD timbul pada kehamilan 34-36 minggu (KPD preterm/PKPD),
tidak dianjurkan untuk memperpanjang kehamilan. Beberapa studi
menunjukkan bahwa induksi persalinan pada kehamilan >34 minggu jelas
memberikan keuntungan. Satu studi memperlihatkan bahwa manajemen
konservatif pada kehamilan 34-36 minggu memberikan hasil peningkatan risiko
korioamnionitis dan penurunan rata-rata pH tali pusat. Studi yang lain pada 430

14
wanita dengan PKPD mengungkapkan bahwa tidak terdapat perbaikan
morbiditas neonatal setelah kehamilan 34 minggu. Meskipun kortikosteroid
tidak diindikasikan pada kehamilan >34 minggu, antibiotik profilaksis yang
sesuai untuk streptokokus grup B harus diberikan dan jika mungkin harus
dipertimbangkan merujuk penderita ke tempat yang memiliki fasilitas
perawatan bayi prematur. PKPD bukan merupakan kontraindikasi untuk
persalinan pervaginam.

2. Kehamilan 32-33 minggu


Pada penderita dengan PKPD pada kehamilan 32-33 minggu ditambah
data maturitas paru janin, dapat dipertimbangkan melakukan induksi
persalinan dan merujuk penderita ke fasilitas yang dapat melakukan
amniosentesis dan perawatan bayi prematur. Memperpanjang masa
kehamilan yang tidak perlu setelah data maturitas paru janin dapat
meningkatkan kemungkinan amnionitis ibu, kompresi tali pusat,
memperpanjang masa perawatan, dan infeksi neonatal. Harus diperhitungkan
risiko sindroma gawat nafas dengan gejala sisa yang lain pada persalinan
prematur dengan risiko perpanjangan masa kehamilan, seperti sepsis neonatal
dan kompresi tali pusat. Kortikostreroid dan antibiotik harus diberikan pada
penderita yang tidak memiliki data maturitas paru janin dan
mempertimbangkan persalinan terjadi 48 jam. Perlu dilakukan pemeriksaan
kesejahteraan janin secara menyeluruh, mengawasi infeksi intraamniotik, dan
melakukan induksi persalinan pada kehamilan 34 minggu seperti yang
dijelaskan di atas. Konsultasi dengan neonatologist dan dokter yang lebih ahli
dalam penanganan PKPD akan lebih menguntungkan.

3. Kehamilan 24-31 minggu


Persalinan sebelum kehamilan 32 minggu dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas neonatal yang berat. Pada keadaan tidak terdapat
infeksi intra-amnion, harus dicoba untuk memperpanjang masa kehamilan
sampai 34 minggu. Penderita dan anggota keluarga harus diberikan nasehat.
Disamping usaha ini, banyak penderita berakhir dengan persalinan preterm

15
dalam waktu 1 minggu. Kontraindikasi terapi konservatif meliputi
korioamnionitis, solusio plasenta, dan kesejahteraan janin yang tidak baik.
Terapi kortikosteroid dan antibiotik harus diberikan serta dilakukan
pemeriksaan kesejahteraan janin dengan fetal monitoring atau USG. Setelah
merujuk ke fasilitas yang dapat merawat bayi prematur, penderita harus
mendapatkan monitoring kontraksi dan kesejahteraan janin setiap hari (jika
mungkin kontinu). Kompresi tali pusat sering terjadi pada PKPD sebelum
kehamilan 32 minggu (32-76%), oleh karena itu diperlukan paling sedikit
monitoring keadaan janin dilakukan setiap hari. Selain itu, harus diamati secara
ketat takikardia ibu dan janin.

Memperpanjang periode laten dapat meningkatkan risiko infeksi


intraamnion. Sebuah analisis retrospektif pada 134 wanita dengan PKPD
dengan usia kehamilan 24-32 minggu yang mendapatkan steroid dan antibiotik
menemukan bahwa terdapat kecenderungan yang tidak bermakna ke arah
imflamasi intrauterin pada penderita yang memiliki periode laten lebih dari 1
minggu. Induksi persalinan diperlukan pada penderita dengan amnionitis. Jika
didiagnosis curiga dengan infeksi intraamnion tetapi tidak terbukti, dapat
dilakukan amniosentesis untuk mencari penurunan kadar glukosa atau dapat
dilakukan pengecatan gram positif serta hitung jenis leukosit. Pada penderita
yang mencapai kehamilan 32-33 minggu, dapat dipertimbangkan
amniosentesis untuk mendapatkan data maturitas paru janin, diikuti dengan
induksi persalinan setelah mendapatkan data maturitas paru janin, bukti infeksi
intra-amnion, atau kehamilan mencapai usia 34 minggu.

4. Sebelum kehamilan 24 minggu


Sebagian besar penderita akan melahirkan dalam waktu 1 minggu jika
KPD timbul pada kehamilan kurang dari 24 minggu, dengan rata-rata periode
laten 6 hari. Bayi yang dilahirkan menderita berbagai gangguan jangka
panjang seperti penyakit paru kronik, perkembangan dan neurologik abnormal,
hidrosefalus, serta cerebral palsy. Potter’s syndrome terjadi sebagai akibat
tekanan deformitas anggota gerak dan wajah, dan hipoplasia paru. Kejadian

16
sindrom ini berhubungan dengan usia kehamilan saat terjadinya pecah
ketuban dan derajat oligohidramnion. 50% bayi yang dilahirkan saat pecah
ketuban pada kehamilan 19 minggu atau kurang menderita Potter’s syndrome,
sedangkan 25% pada usia kehamilan 22 minggu, dan 10% setelah 26 minggu.
Penderita harus diberitahu mengenai luaran janin yang mungkin terjadi dan
keuntungan dan risiko dari terapi ekspektatif, yang mungkin tidak cukup lama
dapat dilakukan hingga melahirkan bayi yang dapat hidup normal.

Perawatan bayi yang belum viabel ini harus dikonsultasikan kepada


perinatologis dan neonatologis. Pada penderita seperti ini, jika tetap
bersikukuh, dapat dirujuk pada fasilitas perawatan tersier. Perawatan di rumah
pada PKPD masih kontroversial. Sebuah studi acak pada penderita dengan
PKPD yang mendapat perawatan di rumah dibandingkan rumah sakit
mendapatkan bahwa hanya 18% penderita mendapatkan manajemen di rumah
yang aman. Tirah baring di rumah (pada kehamilan 24 minggu) dapat
dilakukan pada penderita tanpa terdapat bukti infeksi atau periode aktif
bersalin, meskipun demikian tetaplah harus diberikan pendidikan yang tepat
mengenai gejala infeksi dan persalinan preterm. Kemudian, pertimbangkan
kembali rawat di rumah sakit setelah kehamilan 24 minggu untuk dilakukan
monitoring dari dekat kesejahteraan ibu dan janin. Gambar 4 merupakan
algoritma manajemen PKPD.

17
Gambar 5 : Algoritma Penanganan Preterm KPD
Sumber: Medina.5

18

Anda mungkin juga menyukai