Anda di halaman 1dari 2

ISLAM DAN KESULTANAN BANJAR

Sejarah Singkat
Kesultanan Banjar merupakan kelanjutan dari Kerajaan Daha (Hindu) yang saat itu dipimpin oleh
Pangeran Sukarama. Pangeran Sukarama memiliki keturunan yaitu Pangeran Mangkubumi, Pangeran
Tumenggung, dan Putri Galuh. Berdasarkan kisah dari Hikayat Banjar dalam Sahriansyah (2015),
Pangeran Sukarama mewasiatkan agar penerus raja selanjutnya adalah cucunya yaitu pangeran
Samudera (anak Pangeran Mangkubumi) yang saat itu masih berumur 7 tahun. Karena ambisi kekuasaan
Kerajaan Daha, muncul ketidakpuasan dari Pangeran Tumenggung atas keputusan dari ayahnya.
Sepeninggal Pangeran Sukarama tampuk pimpinan kerajaan dipegang oleh anak tertua yaitu
Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi tidak lama berkuasa karena dibunuh oleh pegawai
istana akibat hasutan oleh Pangeran Tumenggung. Meninggalnya Pangeran Mangkubumi maka secara
otomatis digantikan oleh Pangeran Tumenggung. Pangeran Tumenggung menganggap Pangeran
Samudera sebagai musuh besar. Karena keadaan tersebut, Pangeran Samudera memilih pergi dari istana
dan menyamar menjadi nelayan di Pelabuhan Banjar. Penyamaran Pangeran Samudera diketahui oleh
Patih Masih (Penguasa Bandar) yang kemudian membantu Pangeran Samudera menghimpun kekuatan
untuk menyerang Pangeran Tumenggung beserta bala bantuan dari Kerajaan Demak (Islam) di Jawa.

Perkembangan Agama Islam di Kesultanan Banjar


Setelah ia memperoleh bantuan pasukan dari kerajaan Demak dan merebut kembali tampuk
pimpinan, Pangeran Samudera memilih Banjarmasin sebagai pusat pemerintahan. Pangeran Samudera
sekeluarga kemudian memeluk Islam dan bergelar Sultan Suriansyah (1520-1546) dan menjadikan
agama Islam sebagai agama kerajaan. Dengan dijadikannya Islam sebagai agama resmi kerajaan, agama
Islam berkembang pesat karena praktis seluruh rakyat Kerajaan Banjar baik orang-orang Dayak (Bukit,
Lalawangan, Maanyan, dan Ngaju) Melayu, dan Jawa juga beragama Islam. Menurut Bardjie (2011)
dalam Buseri (2012), Perkembangnya Islam di Kesultanan Banjar sangat didukung oleh Sultan
Suriansyah. Terlihat di hampir semua wilayah kekuasaan kerajaan, mayoritas rakyatnya beragama Islam.
Selain itu bentuk dukungan Sultan dalam perkembangan agama Islam dengan pengkaderan ulama,
mengingat ulama pada waktu itu masih sedikit; mendorong ulama agar aktif menulis buku/kitab sebagai
pegangan umat; dan memfasilitasi tempat pengajian para ulama.
Kehidupan rakyat Kerajaan Banjar tidak bisa dipisahkan dengan budaya material dan spiritual
agama Islam. Contohnya pada pembangunan rumah adat Banjar (Rumah Bubungan Tinggi) yang
kontruksi atapnya menjulang ke langit yang secara filosofi merupakan pengakuan terhadap Tuhan (Allah
SWT). Atap bangunan yang memiliki sudut lima yang merupakan gambaran rukun Islam yang berjumlah
lima. Pada teknik arsitektur, pengukuran panjang, lebar dan tinggi menggunakan bilangan ganjil yang
merujuk pada Astma Ul-Husna (nama dan sifat Allah SWT). Kemudian pada kegiatan pertanian, saat
menanam padi masyarakat Banjar ketika memasukkan padi ke dalam air sambil membacakan Surah
Fatihah dan Salawat Nabi. Kemudian saat mau memasukkan benih padi ke lubang tanam dibacakan
tasbih diulang sampai lubang ke tiga (Daud, 1997). Nilai-nilai Islam yang diyakini Masyarakat Banjar
berpengaruh pada kebudayaan mereka. Seperti pada awal kelahiran Kesultanan Banjar, dimana agama
menjadi bingkai bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka budaya yang dihasilkan merupakan
budaya yang selaras dengan ajaran agama.
Daftar Pustaka:

Buseri, 2012, Kesultaan Banjar dan Kepentingan Dakwah Islam. Jurnal Al-Banjari Vol. 11, No. 2 Juli 2012:
221-230.

Daud A., 1997, Islam & Masyarakat Banjar: Diskripsi dan Analisis Kebudayaan Banjar. PT. Raja Grafindo
Persada Press. Jakarta.

Sahriansyah, 2015, Sejarah Kesultanan dan Budaya Banjar. IAIN Antasari Banjarmasin Press.
Banjarmasin.

Anda mungkin juga menyukai