DELIRIUM
DISUSUN OLEH:
DELINA WIDIYANTI
1102015053
PEMBIMBING:
PENDAHULUAN
Delirium adalah sebuah kelainan neuropsikiatri akut yang ditandai dengan gangguan
atensi dan perhatian, kondisi ini berkembang selama periode yang singkat, dengan gejala
tambahan gangguan kognitif yang tidak berhubungan dengan gangguan kognitif pasien
sebelumnya1. Delirium dapat disebabkan oleh lebih dari satu ataupun lebih satu penyebab.
Penyebab delirium terbanyak yaitu infeksi (56,2%), gangguan metabolik (52,4%), disfungsi
organ (41,9%), kelainan sistem saraf pusat (21,9%), obat-obatan (14,3%), dan penyebab lain
(16,2%)2.
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Delirium merupakan salah satu jenis gangguan mental organik 4. Delirium adalah
manifestasi dari fisfungsi otak akut yang didefinisikan oleh Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders (DSM-5) sebagai gangguan atensi dan gangguan kesadaran yang
berkembang selama periode yang pendek, fluktutif, dan disertai dengan perubahan kognitif5.
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan profil pasien, jenis kelamin terbanyak pada delirium adalah laki-laki
(58,3%), usia 60-65 tahun (31,7%), dan tingkat Pendidikan rendah (41,7%)9.
Insidensi delirium berturut-turut adalah pasien kanker stadium terminal (83%), lansia di panti
jompo (33%), pasien rawat inap post operasi orthopedi (18-50%), pasien di Intensive care
unit (ICU) (16-83%), pasien rawat inap karena masalah medis maupun persiapan operasi (10-
55%), pasien rawat inap persiapan operasi (9-15%), pasien rawat inap post operasi jantung
(7-34%), dan pasien rawat inap karena masalah medis umum (3-16%)12.
Delirium terjadi pada 20-40% pasien rawat inap dengan kondisi non kritis, dan
mencapai hingga 80% pasien rawat inap dengan kondisi kritis 6. Delirium dialami oleh 20-
40% orang dengan kondisi kritis, dengan 60-80% diobservasi dengan ventilasi mekanis dan
pasien dengan tindakan operasi. Pasien delirium hipoaktif diperkirakan memiliki prognosis
yang lebih buruk dibanding delirium hiperaktif5.
ETIOLOGI
Delirium dapat disebabkan oleh keadaan intoksikasi obat, putus obat, gangguan
metabolik, disfungsi organ, cedera otak akibat trauma, kejang, infeksi intracranial, infeksi
sistemik, keganasan intracranial, keganasan sistemik, penyakit serebrovaskular, penyakit
system saraf pusat lainnya, dan lainlain meliputi nyeri, patah tulang, keadaan immunosupresi,
heat stroke, dan hipotermi2.
b. Gangguan kognitif yang sebelumnya sudah ada (74%), yang paling banyak adalah
demensia dengan tipe bervariasi, diikuti oleh riwayat penurunan kognitif kronik, dan
riwayat delirium.
g. Kondisi medis penyerta : penyakit medis yang sudah parah, penyakit ginjal hati
kronik, stroke, penyakit neurologis, gangguan metabolic, infeksi virus HIV, penyakit
dengan kondisi terminal.
a. Infeksi (49,5%) : Paru (22,1%) seperti pneumonia dan PPOK, traktus urinarius
(15,4%), demam dan respon inflamasi sindrom, kulit, dan infeksi intra abdominal.
b. Keseimbangan air dan elektrolit (45,7%) : dehidrasi dengan natrium normal (26,4%),
hiponatremi(12,5%), hipernatremi, dan hiperkalemi
KLASIFIKASI
Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri delirium
diklasifikasikan menjadi delirium akibat kondisi medis umum (KMU), delirium akibat
intoksikasi/putus zat, delirium akibat etiologic beragam, dan delirium yang tidak spesifik8.
1. Delirium akibat kondisi medis umum (KMU) :
th
Menurut DSM V (Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders, 5 edition)
membagi delirium berdasarkan etiologi 11:
DIAGNOSIS
Berikut adalah pedoman diagnosis menurut PPDGJ DAN DSM V10 :
F05 Delirium, bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
1. Gangguan kesadaran dan perhatian :
a. Dari taraf kesadaran berkabut sampai koma
b. Menurunnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan,
dan mengalihkan perhatian
2. Gangguan kognitif secara umum :
a. Distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi-seringkali visual
b. Hendaya daya piker dan pengertian abstrak, dengan atau tanpa waham yang
bersifat sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang ringan
c. Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek namun daya ingat jangka Panjang
relative masih utuh
d. Disorientasi waktu, pada kasus yang berat terdaoat juga disorientasi tempat dan
orang
3. Gangguan psikomotor :
a. Hipo atau hiperaktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga dari satu ke
yang lain
b. Waktu bereaksi yang lebih Panjang
c. Arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang
d. Reaksi terperanjat meningkat
4. Gangguan siklus tidur bangun :
a. Insomnia atau pada kasus yang berat tidak dapat tidur sama sekali atau terbaliknya
siklus tidur bangun; mengantuk pada siang hari
b. Gejala yang memburuk pada malam hari
c. Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut menjadi
halusinasi bangun tidur
5. Gangguan emosional :
a. Misalnya depresi, anxietas atau takut, lekas marah, euphoria, apatis, atau rasa
kehilangan akal
6. Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang timbul sepanjang hari, dan
keaddan itu berlangsung kurang dari 6 bulan
F05.0 Delirium, tak bertumpang tindih dengan demensia
1. Delirium yang tidak bertumpang tindih dengan demensia yang sudah ada sebelumnya
F05.1 Delirium, bertumpang tindih dengan demensia
1. Kondisi yang memenuhi kriteria delirium diatas tetapi terjadi pada saat sudah ada
demensia
Delirium biasanya didiagnosis dengan pemeriksaan bed side
dan dengan gejala yang onsetnya singkat. Pemeriksaan mental secara bed side seperti
pemeriksaan MMSE, pemeriksaan status mental atau pemeriksaan neurologis dapat
digunakan untuk membuktikan gangguan kognitif dan untuk menunjang pemeriksaan awal
terhadap gejala yang timbul pada pasien. Pemeriksaan fisik dapat menentukan penyebab
terjadinya delirium. Pemeriksaan fisik yang dapat mengartikan penyebab dari delirium ini
adalah denyut nadi, suhu, tekanan darah, respirasi, pembuluh darah karotis, kondisi kepala
dan muka, leher, mata, mulut, tiroid, jantung, paru, bau napas, hati, pemeriksaan neurologis
meliputi reflex patologis, kekuatan otot, dan fungsi otonom12.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah kimia darah, hitung jenis
leukosit, fungsi tiroid, serolois untuk sifilis, screening HIV, urinalisis, EKG, foto thorax,
screening drug abuse, kultur dsrah urin dan cairan serebrospinal, konsentrasi B12 dan asam
folat, MRI dan CT scan, pungsi lumbal dan pemeriksaan cairan serebrospinal 12. EEG dapat
digunakan untuk menyingkirkan apakah delirium yang dialami pasien akibat epilepsi atau
akibat lain12.
Delirium juga dapat dideteksi lebih dini dengan screening. Screening dilakukan
dengan pemeriksaan confusion assessment method (CAM). Pemeriksaan ini terdiri dari 9 item
pemeriksaan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan MMSE dan
short orientation memory concentration test (SOMCT). Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan untuk screening yaitu nursing delirium screening scale (Nu-DESC) dan delirium
observation screening scale (DOS).
TATALAKSANA
Tujuan utama dari tatalaksana delirium adalah menangani atau menyembuhkan
penyebab timbulnya delirium. Ketika penyebabnya adalah keracunan antikolinergik maka
berikan physostigmine salicylate (antilirium) 1-2 miligram secara intravena atau
intramuscular, dan ulangi dosis setiap 15-30 menit jika diindikasikan. Tujuan lain dari
tatalaksana adalah untuk memberikan suplai dukungan secara fisik, sensorik dan lingkungan.
Pasien dengan delirium diusahakan agar jangan dijauhkan dari lingkungannya, namun jangan
juga diberikan stimulasi yang berlebihan. Pasien-pasien akan terbantu dengan keberadaan
teman, sanak saudara yang berada di ruang rawatnya. Foto-foto, kalender, dan jam dinding
yang biasanya dilihat dirumah juga akan membantu memperbaiki orientasi personal, waktu
dan spasial serta membuat nyaman pasien. Untuk pasien post operasi katarak dapat diberikan
kacamata pinhole untuk memperbaiki stimulasi.
Terapi Farmakologik
Sangat bijak bila tidak lagi menambahkan obat pada obat yang sudah didapat oleh
pasien (biasanya pasien sudah mendapat berbagai obat dari sejawat lain) kecuali ada alasan
yang sangat signifikan misalnya agitasi atau psikotik (dicatat di rekam medik alasan
penggunaan obat). Interaksi obat harus menjadi perhatian serius.
Antipsikotika dapat dipertimbangkan bila ada tanda dan gejala psikosis, misalnya
halusinasi, waham atau sangat agitatif (verbal atau fisik) sehingga berisiko terlukanya
pasien atau orang lain
Haloperidol mempunyai rekam jejak terpanjang dalam mengobati delirium, dapat
diberikan per oral, IM, atau IV.
Dosis haloperidol injeksi adalah 2-5 mg IM/IV dan dapat diulang setiap 30 menit
(maksimal 20 mg/hari).
Efek samping parkinsonisme dan akatisia dapat terjadi
Bila diberikan IV, dipantau dengan EKG adanya pemanjangan interval QTc dan
adanya disritmia jantung
Pasien agitasi yang tidak bisa menggunakan antipsikotika (misalnya, pasien
dengan Syndrome Neuroleptic Malignance) ataubila tidak berespons bisa
ditambahkan benzodiazepin yang tidak mempunyai metabolit aktif, misalnya
lorazepam tablet 1–2 mg peroral. Kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan
pernafasan.
Terapi Nonfarmakologik
Peringatan
PROGNOSIS
Delirium memiliki angka mortalitas sebesat 40%16.
PENCEGAHAN
Cara mencegah delirium yaitu menghilangkan atau mengganti atau meminimalisir faktor
resiko13.
Daftar Pustaka
1. Morandi A, Davis D, Belleli G, Arora RC, dkk, 2017, ‘the diagnosis of delirium
superimposed on dementia : an Emergin Challenge’ J Am Med Dir Assoc. vol. 18, no.
1, hh. 12-18
2. Cirbus J, MacLullich A M J, Noel C, Ely W, Chandasekhar R, Han J H, 2018,
‘Delirium etiology subtypes and their effect on six-month function and cognition in
older emergency department patients’, international psychogeriatric association. hh.
1-10.
3. Jones R N, Cizginer S, dkk, 2018, ‘Assessment of instruments for measurement of
delirium severity a systematic review’, JAMA Internal Medicine.
4. Solomon C G, 2017, ‘Delirium in Hospitalized older Adults’, The New England
Journal of Medicine, vol. 377, no. 15, hh. 1456-1466
5. Pandharipande P, Ely E W, Arora R C, Balas M C, La Calle G H, Cunningham C,
Devlin J W, Elefante J, 2017, ‘The Intensive Care Delirium researcher Agenda: A
Multinational Interprofessional Perspective’, Intensive Care Med, vol. 49, no. 9, hh.
1329-1339.
6. Slooter A J C, 2019, ‘Delirium, What’s in a name’, British journal of Anaesthesia,
vol. 119, no. 2, hh. 283-285
7. Magny E, Petitcorps H L, Pociumban M, dkk, 2018, ‘Predisposing and precipitating
factors for delirium in community-dwelling older adults admitted to hospital with this
condition: A prospective case series’, plos one, vol. 13, no.2, hh 1-12
8. Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012
9. Sunarti S, Rahayu M, Desetyaputra D R, 2015, ‘Profil Pasien Geriatri Dengan
Delirium Di Rumah Sakit Umum Saiful Anwar Malang Periode Januari 2005 sampai
Juni 2010’, Malang Neurology Journal, vol. 01, no 02, hh 62-67.
10. Maslim, Rusdi. 2013, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta : Bagian ilmu
kedokteran jiwa FK UNIKA Atmajaya
11. Diagnostic and Statistic in Mental Health. 2013. American Psychological Publishing
Washington
12. Kaplan dan Saddock, 2019, Pynopsis of psychiatry, Eleventh Ed. New York : Wolters
Kluwer
13. Fosnight S, 2010, ‘Delirium in elderly’, PSAP VII. Geriatrics, hh. 73-96
14. Bush S H, Tierney S, Lawlor P G, 2017, ‘Clinical Assessment and Management of
Delirium in Intensive Care Setting’, Cross Mark, vol. 77, hh 1623-1643
15. Delirium, Dementia, and Depression in older adults : assessment and Care, 2016,
Toronto, ON: Registered Nurses’ Association of Ontario.
16. Ashok VK, Pillai MGK, Puthenkote BF, 2019, ‘Delirium in Elderly: Is Age the Sole
Factor in Determining Prognosis?’, Journal of The Indian Academy of Geriatrics ,
vol. 14, no. 3, hh. 113-118.