Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

DELIRIUM

DISUSUN OLEH:
DELINA WIDIYANTI
1102015053

PEMBIMBING:

dr. Metta Desvini Primadona Siregar Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


PERIODE 13 MEI – 22 JUNI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI – RS JIWA ISLAM KLENDER
JAKARTA
BAB I

PENDAHULUAN

Delirium adalah sebuah kelainan neuropsikiatri akut yang ditandai dengan gangguan
atensi dan perhatian, kondisi ini berkembang selama periode yang singkat, dengan gejala
tambahan gangguan kognitif yang tidak berhubungan dengan gangguan kognitif pasien
sebelumnya1. Delirium dapat disebabkan oleh lebih dari satu ataupun lebih satu penyebab.
Penyebab delirium terbanyak yaitu infeksi (56,2%), gangguan metabolik (52,4%), disfungsi
organ (41,9%), kelainan sistem saraf pusat (21,9%), obat-obatan (14,3%), dan penyebab lain
(16,2%)2.

Diperkirakan sebanyak 12 juta orang tua di Amerika Serikat mengalami delirium


setiap tahunnya. Delirium juga merugikan pasien dan keluarganya, memperpanjang durasi
rawat di rumah sakit, memperlambat proses rehabilitasi, dan meningkatkan resiko dementia
dan kematian3. Maka pengetahuan tentang delirium ini harus diketahui dan dipelajari
sehingga penegakkan diagnosis dan pencarian etiologis serta pemberian terapi terhadap
delirium segera bisa dilakukan di rumah sakit.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Delirium merupakan salah satu jenis gangguan mental organik 4. Delirium adalah
manifestasi dari fisfungsi otak akut yang didefinisikan oleh Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders (DSM-5) sebagai gangguan atensi dan gangguan kesadaran yang
berkembang selama periode yang pendek, fluktutif, dan disertai dengan perubahan kognitif5.

EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan profil pasien, jenis kelamin terbanyak pada delirium adalah laki-laki
(58,3%), usia 60-65 tahun (31,7%), dan tingkat Pendidikan rendah (41,7%)9.
Insidensi delirium berturut-turut adalah pasien kanker stadium terminal (83%), lansia di panti
jompo (33%), pasien rawat inap post operasi orthopedi (18-50%), pasien di Intensive care
unit (ICU) (16-83%), pasien rawat inap karena masalah medis maupun persiapan operasi (10-
55%), pasien rawat inap persiapan operasi (9-15%), pasien rawat inap post operasi jantung
(7-34%), dan pasien rawat inap karena masalah medis umum (3-16%)12.
Delirium terjadi pada 20-40% pasien rawat inap dengan kondisi non kritis, dan
mencapai hingga 80% pasien rawat inap dengan kondisi kritis 6. Delirium dialami oleh 20-
40% orang dengan kondisi kritis, dengan 60-80% diobservasi dengan ventilasi mekanis dan
pasien dengan tindakan operasi. Pasien delirium hipoaktif diperkirakan memiliki prognosis
yang lebih buruk dibanding delirium hiperaktif5.

ETIOLOGI

Delirium dapat disebabkan oleh keadaan intoksikasi obat, putus obat, gangguan
metabolik, disfungsi organ, cedera otak akibat trauma, kejang, infeksi intracranial, infeksi
sistemik, keganasan intracranial, keganasan sistemik, penyakit serebrovaskular, penyakit
system saraf pusat lainnya, dan lainlain meliputi nyeri, patah tulang, keadaan immunosupresi,
heat stroke, dan hipotermi2.

Delirium adalah kondisi multifaktorial, yaitu biasanya melibatkan faktor predisposisi,


faktor yang memang sudah ada sebelumnya seperti gangguan kognitif, dan satu atau sejumlah
keadaan akut, keadaan penyerta, penyakit organik yang secara langsung akan memperberat
konsidi delirium7.

Faktor yang mungkin menjadi faktor predisposisi dari delirium yaitu7,12 :

a. Keadaan demografis : usia diatas 65 tahun, jenis kelamin pria

b. Gangguan kognitif yang sebelumnya sudah ada (74%), yang paling banyak adalah
demensia dengan tipe bervariasi, diikuti oleh riwayat penurunan kognitif kronik, dan
riwayat delirium.

c. Beragam penyakit neurologis (24%) meliputi penyakit serebrovaskuler, Parkinson,


epilepsi, tumor jinak otak, penurunan system sensoris seperti pendengaran dan visual.

d. Gangguan psikiatri (30,03%) meliputi depresi, psikosis, dan gangguan ansietas.

e. Penurunan intake makanan secara oral : dehidrasi, malnutrisi

f. Obat-obatan : pasien yang diberikan terapi obat psikoaktif dan antikolinergik,


penyalahgunaan alkohol

g. Kondisi medis penyerta : penyakit medis yang sudah parah, penyakit ginjal hati
kronik, stroke, penyakit neurologis, gangguan metabolic, infeksi virus HIV, penyakit
dengan kondisi terminal.

Faktor yang memperberat delirium yaitu7 :

a. Infeksi (49,5%) : Paru (22,1%) seperti pneumonia dan PPOK, traktus urinarius
(15,4%), demam dan respon inflamasi sindrom, kulit, dan infeksi intra abdominal.

b. Keseimbangan air dan elektrolit (45,7%) : dehidrasi dengan natrium normal (26,4%),
hiponatremi(12,5%), hipernatremi, dan hiperkalemi

c. Reaksi efek obat (30,8%) : obat psikotropik (23,6%) seperti benzodiazepine,


antidepresan, antipsikotik, antiparkinson, sedasi antihistamin, anti alzeimer
(memantine, anticholinesterase), dan lain-lain (litium, levetiracetam), obat opioid,
florokuinolon, obat lain (obat anti diabetik oral, NSAID, obat kortikosteroid oral, dan
furosemide). Obat lain yang juga dapat menyebabkan delirium yaitu narkotika, obat
antikolinergik, atau keadaan pasien yang diberikan terapi dengan banyak jenis obat,
keadaal putus alkohol dan putus obat.

d. Penyakit berulang/kambuhan : komplikasi iatrogenic, hipoksia, penyakit akut yang


parah, syok, anemia, demam atau hipotermia, status gizi buruk, jumlah serum albumin
yang rendah, dan gangguan metabolik.

e. Tindakan operasi : otropedi, jantung, non-jantung, dan prolonged cardiopulmonary


bypass.

f. Lingkungan : pindah ke ICU, penggunaan pembatasan aktivitas fisik, penggunaan


kateter buli-buli, penggunaan banyak prosedur, nyeri, stess emosional, dan gangguan
tidur jangka Panjang.

KLASIFIKASI
Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri delirium
diklasifikasikan menjadi delirium akibat kondisi medis umum (KMU), delirium akibat
intoksikasi/putus zat, delirium akibat etiologic beragam, dan delirium yang tidak spesifik8.
1. Delirium akibat kondisi medis umum (KMU) :

a. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap


lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian
b. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
c. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari
d. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa
gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung suatu KMU
Kondisi medis umum yang melatar belakangi delirium dapat bersifat fokal ataupun
sistemik, misalnya:

1. Penyakit SSP (trauma kepala, tumor, pendarahan, hematoma, abses,


nonhemoragik stroke, transien iskemia, kejang dan migrain, dan lain-lain)
2. Penyakit sistemik (misalnya, infeksi, perubahan status cairan tubuh,
defisiensi nutrisi, luka bakar, nyeri yang tidak dapat dikontrol, stroke akibat
panas, dan di tempat tinggi (>5000 meter)
3. Penyakit jantung (misalnya, gagal jantung, aritmia, infark jantung, bedah
jantung)
4. Gangguan metabolik (misalnya, ketidakseimbangan elektrolit, diabetes,
hipo/hiperglikemia)
5. Paru (misalnya, COPD, hipoksia, gangguan asam basa)
6. Obat yang digunakan (misalnya, steroid, medikasi jantung, antihipertensi,
antineoplasma, antikolinergik, SNM, sinrom serotonin)
7. Endokrin (misalnya, kegagalan adrenal, abnormalitas tiroid atau
paratiroid)
8. Hematologi (misalnya, anemia, leukemia, diskrasia)
9. Renal (misalnya, gagal ginjal, uremia)
10. Hepar (misalnya, gagal hepar, sirosis, hepatitis)

2. Delirium Akibat Intoksikasi Zat

a. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap


lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
b. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
c. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
d. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, sebagai
berikut:
1. Simtom A dan B terjadi selama intoksikasi zat atau penggunaan
medikasi
2. Intoksikasi zat adalah etiologi terkait dengan delirium

3. Delirium Akibat Putus Zat

a. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap


lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
b. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
c. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
d. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, sebagai
berikut:
1. Simtom A dan B terjadi selama atau segera setelah putus zat.

4. Delirium Akibat Etiologi Beragam

a. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap


lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
b. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
c. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
d. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, bahwa :
1. Delirium memiliki lebih dari satu etiologi, misalnya lebih dari satu
KMU, KMU dan intoksikasi zat, atau efek samping obat.
5. Delirium yang Tidak Dapat Dispesifikasi

a. Kriteria untuk tipe delirium tertentu tidak terpenuhi, misalnya; manifestasi


delirium diduga akibat KMU, penyalahgunaan zat tetapi tidak cukup bukti
untuk menegakkan etiologi spesifik.
b. Delirium disebabkan oleh penyebab yang tidak tercatat pada seksi ini
(deprivasi sensorik)
Menurut Diagnosis Gangguan Jiwa berdasarkan PPDGJ III dan DSM 5 delirium
dibagi 4 kode berbeda yaitu F-05 Deliirum, bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif
lainnya, F-05.0 Delirium tak bertumpang tindih dengan demensia, F-05.1 Delirium
bertumpang tindih dengan demensia, F-05.8 Delirium lainnya, dan F-05.9 Delirium yang
tidak tergolongkan. Kode lain meliputi F10-F19 Fix.0.3 Intoksikasi akut dengan delirium10.

th
Menurut DSM V (Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders, 5 edition)
membagi delirium berdasarkan etiologi 11:

1. Delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum


2. Delirium intoksikasi substansi (penyalahgunaan obat)
3. Delirium penghentian substansi
4. Delirium diinduksi substansi (pengobatan atau toksin)
5. Delirium yang berhubungan dengan etiologi multipel
6. Delirium tidak terklasifikasi.

Delirium memiliki beberapa subtipe klasifikasi berdasarkan gejala psikomotor yang


timbul yaitu hiperaktif, hipoaktif, dan campuran. Pada pasien hipoaktif delirium ditemukan
kesadaran somnolen dan dengan gangguan kognitif tetapi tidak terlihat adanya agitasi, sering
salah diagnosis menjadi depresi atau fatigue ditambah dengan kondisi pasien yang semakin
lemah. Pasien dengan kondisi hipoaktif juga mengalami gangguan persepsi seperti halusinasi
dan delusi14. Pasien dengan delirium hiperaktif memiliki gejala arousal yang lebih buruk,
tidak bisa istirahat, agitasi, delusi, dan atau perilaku agresif15.

PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS


Gangguan keseimbangan baik itu produksi, pelepasan atau inaktivasi dari beberapa
neurotransmitter yang memainkan peran pada fungsi kognitif seperti gamma aminobutyric
acid (GABA), glutamate, asetilkolin, serotonin, norepinephrine, dopamine, dan triptofan telah
diduga berhubungan dalam waktu bersamaan dengan delirium. Kelebihan dopamine dan
kekurangan asetilkolin terjadi pada pasien dengan delirium13.
Neurotransmitter utama yang terlibat di delirium adalah asetilkolin dan neuroanatomi
utama yang terlibat adalah area formation reticularis. Area ini adalah bagian dari batang otak
dan merupakan daerah yang mengatur perhatian dan kesadaran pada manusia. Dampak utama
dari delirium adalah jaras dorsal tegmental yang membawa sinyal dari formation reticularis
mesencephalon menuju ke tectum dan thalamus12.
.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang khas dari delirium adalah penurunan kesadaran, biasanya keadaan ini
berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif secara global berupa penurunan kemampuan
untuk focus, disorientasi terutama waktu dan spasial, penurunan fungsi memori. Gejala
psikiatri yang sering muncul yaitu abnormalitas mood, persepsi, dan perilaku. Gejala
neurologis yang sering muncul adalah tremor, asteriks, nistagmus, inkoordinasi, dan
inkontinensia urin. Onsetnya biasanya cepat hitungan jam sampai hari dengan durasi singkat
yaitu harian sampai mingguan, dan fluktuasi terhadap tingkat keparahan yang tidak dapat
diprediksi12.
Gejala penyerta yang dapat timbul berupa disorganisasi dari proses pikir, gangguan
persepsi seperti ilusi dan halusinasi, hiperaktif dan hipoaktif psikomotor, gangguan siklus
bangun tidur yang ditandai dengan jam tidur malam yang terfragmentasi dengan atau tanpa
mengantuk pada siang hari, perubahan mood dari mudah marah derajat ringan sampai
disforia yang jelas, ansietas, atau bahkan euphoria, manifestasi dari gangguan neurologis
berupa hiperaktifitas otonom, kelojotan mioklonik, dan disartria12.

DIAGNOSIS
Berikut adalah pedoman diagnosis menurut PPDGJ DAN DSM V10 :
F05 Delirium, bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
1. Gangguan kesadaran dan perhatian :
a. Dari taraf kesadaran berkabut sampai koma
b. Menurunnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan,
dan mengalihkan perhatian
2. Gangguan kognitif secara umum :
a. Distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi-seringkali visual
b. Hendaya daya piker dan pengertian abstrak, dengan atau tanpa waham yang
bersifat sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang ringan
c. Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek namun daya ingat jangka Panjang
relative masih utuh
d. Disorientasi waktu, pada kasus yang berat terdaoat juga disorientasi tempat dan
orang
3. Gangguan psikomotor :
a. Hipo atau hiperaktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga dari satu ke
yang lain
b. Waktu bereaksi yang lebih Panjang
c. Arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang
d. Reaksi terperanjat meningkat
4. Gangguan siklus tidur bangun :
a. Insomnia atau pada kasus yang berat tidak dapat tidur sama sekali atau terbaliknya
siklus tidur bangun; mengantuk pada siang hari
b. Gejala yang memburuk pada malam hari
c. Mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut menjadi
halusinasi bangun tidur
5. Gangguan emosional :
a. Misalnya depresi, anxietas atau takut, lekas marah, euphoria, apatis, atau rasa
kehilangan akal
6. Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang timbul sepanjang hari, dan
keaddan itu berlangsung kurang dari 6 bulan
F05.0 Delirium, tak bertumpang tindih dengan demensia
1. Delirium yang tidak bertumpang tindih dengan demensia yang sudah ada sebelumnya
F05.1 Delirium, bertumpang tindih dengan demensia
1. Kondisi yang memenuhi kriteria delirium diatas tetapi terjadi pada saat sudah ada
demensia
Delirium biasanya didiagnosis dengan pemeriksaan bed side
dan dengan gejala yang onsetnya singkat. Pemeriksaan mental secara bed side seperti
pemeriksaan MMSE, pemeriksaan status mental atau pemeriksaan neurologis dapat
digunakan untuk membuktikan gangguan kognitif dan untuk menunjang pemeriksaan awal
terhadap gejala yang timbul pada pasien. Pemeriksaan fisik dapat menentukan penyebab
terjadinya delirium. Pemeriksaan fisik yang dapat mengartikan penyebab dari delirium ini
adalah denyut nadi, suhu, tekanan darah, respirasi, pembuluh darah karotis, kondisi kepala
dan muka, leher, mata, mulut, tiroid, jantung, paru, bau napas, hati, pemeriksaan neurologis
meliputi reflex patologis, kekuatan otot, dan fungsi otonom12.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah kimia darah, hitung jenis
leukosit, fungsi tiroid, serolois untuk sifilis, screening HIV, urinalisis, EKG, foto thorax,
screening drug abuse, kultur dsrah urin dan cairan serebrospinal, konsentrasi B12 dan asam
folat, MRI dan CT scan, pungsi lumbal dan pemeriksaan cairan serebrospinal 12. EEG dapat
digunakan untuk menyingkirkan apakah delirium yang dialami pasien akibat epilepsi atau
akibat lain12.
Delirium juga dapat dideteksi lebih dini dengan screening. Screening dilakukan
dengan pemeriksaan confusion assessment method (CAM). Pemeriksaan ini terdiri dari 9 item
pemeriksaan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan MMSE dan
short orientation memory concentration test (SOMCT). Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan untuk screening yaitu nursing delirium screening scale (Nu-DESC) dan delirium
observation screening scale (DOS).

TATALAKSANA
Tujuan utama dari tatalaksana delirium adalah menangani atau menyembuhkan
penyebab timbulnya delirium. Ketika penyebabnya adalah keracunan antikolinergik maka
berikan physostigmine salicylate (antilirium) 1-2 miligram secara intravena atau
intramuscular, dan ulangi dosis setiap 15-30 menit jika diindikasikan. Tujuan lain dari
tatalaksana adalah untuk memberikan suplai dukungan secara fisik, sensorik dan lingkungan.
Pasien dengan delirium diusahakan agar jangan dijauhkan dari lingkungannya, namun jangan
juga diberikan stimulasi yang berlebihan. Pasien-pasien akan terbantu dengan keberadaan
teman, sanak saudara yang berada di ruang rawatnya. Foto-foto, kalender, dan jam dinding
yang biasanya dilihat dirumah juga akan membantu memperbaiki orientasi personal, waktu
dan spasial serta membuat nyaman pasien. Untuk pasien post operasi katarak dapat diberikan
kacamata pinhole untuk memperbaiki stimulasi.

Terapi Farmakologik

Sangat bijak bila tidak lagi menambahkan obat pada obat yang sudah didapat oleh
pasien (biasanya pasien sudah mendapat berbagai obat dari sejawat lain) kecuali ada alasan
yang sangat signifikan misalnya agitasi atau psikotik (dicatat di rekam medik alasan
penggunaan obat). Interaksi obat harus menjadi perhatian serius.
Antipsikotika dapat dipertimbangkan bila ada tanda dan gejala psikosis, misalnya
halusinasi, waham atau sangat agitatif (verbal atau fisik) sehingga berisiko terlukanya
pasien atau orang lain
 Haloperidol mempunyai rekam jejak terpanjang dalam mengobati delirium, dapat
diberikan per oral, IM, atau IV.
 Dosis haloperidol injeksi adalah 2-5 mg IM/IV dan dapat diulang setiap 30 menit
(maksimal 20 mg/hari).
 Efek samping parkinsonisme dan akatisia dapat terjadi
 Bila diberikan IV, dipantau dengan EKG adanya pemanjangan interval QTc dan
adanya disritmia jantung
 Pasien agitasi yang tidak bisa menggunakan antipsikotika (misalnya, pasien
dengan Syndrome Neuroleptic Malignance) ataubila tidak berespons bisa
ditambahkan benzodiazepin yang tidak mempunyai metabolit aktif, misalnya
lorazepam tablet 1–2 mg peroral. Kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan
pernafasan.

Terapi Nonfarmakologik

1. Psikoterapi suportif yang memberikan perasaan aman dapat membantu pasien


menghadapi frustrasi dan kebingungan akan kehilangan fungsi memorinya.
2. Perlunya reorientasi lingkungan, misalnya tersedia jam besar.
3. Memberikan edukasi kepada keluarga cara memberikan dukungan kepada pasien

Peringatan

A. Hindari penggunaan obat-obat yang mengandung antikolinergik (misalnya,


triheksilfenidil) karena akan memperberat delirum.
B. Fiksasi (restrain) adalah pilihan terakhir karena dapat menyebabkan semakin
beratnya agitasi.

PROGNOSIS
Delirium memiliki angka mortalitas sebesat 40%16.

PENCEGAHAN
Cara mencegah delirium yaitu menghilangkan atau mengganti atau meminimalisir faktor
resiko13.
Daftar Pustaka

1. Morandi A, Davis D, Belleli G, Arora RC, dkk, 2017, ‘the diagnosis of delirium
superimposed on dementia : an Emergin Challenge’ J Am Med Dir Assoc. vol. 18, no.
1, hh. 12-18
2. Cirbus J, MacLullich A M J, Noel C, Ely W, Chandasekhar R, Han J H, 2018,
‘Delirium etiology subtypes and their effect on six-month function and cognition in
older emergency department patients’, international psychogeriatric association. hh.
1-10.
3. Jones R N, Cizginer S, dkk, 2018, ‘Assessment of instruments for measurement of
delirium severity a systematic review’, JAMA Internal Medicine.
4. Solomon C G, 2017, ‘Delirium in Hospitalized older Adults’, The New England
Journal of Medicine, vol. 377, no. 15, hh. 1456-1466
5. Pandharipande P, Ely E W, Arora R C, Balas M C, La Calle G H, Cunningham C,
Devlin J W, Elefante J, 2017, ‘The Intensive Care Delirium researcher Agenda: A
Multinational Interprofessional Perspective’, Intensive Care Med, vol. 49, no. 9, hh.
1329-1339.
6. Slooter A J C, 2019, ‘Delirium, What’s in a name’, British journal of Anaesthesia,
vol. 119, no. 2, hh. 283-285
7. Magny E, Petitcorps H L, Pociumban M, dkk, 2018, ‘Predisposing and precipitating
factors for delirium in community-dwelling older adults admitted to hospital with this
condition: A prospective case series’, plos one, vol. 13, no.2, hh 1-12
8. Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012
9. Sunarti S, Rahayu M, Desetyaputra D R, 2015, ‘Profil Pasien Geriatri Dengan
Delirium Di Rumah Sakit Umum Saiful Anwar Malang Periode Januari 2005 sampai
Juni 2010’, Malang Neurology Journal, vol. 01, no 02, hh 62-67.
10. Maslim, Rusdi. 2013, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta : Bagian ilmu
kedokteran jiwa FK UNIKA Atmajaya
11. Diagnostic and Statistic in Mental Health. 2013. American Psychological Publishing
Washington
12. Kaplan dan Saddock, 2019, Pynopsis of psychiatry, Eleventh Ed. New York : Wolters
Kluwer
13. Fosnight S, 2010, ‘Delirium in elderly’, PSAP VII. Geriatrics, hh. 73-96
14. Bush S H, Tierney S, Lawlor P G, 2017, ‘Clinical Assessment and Management of
Delirium in Intensive Care Setting’, Cross Mark, vol. 77, hh 1623-1643
15. Delirium, Dementia, and Depression in older adults : assessment and Care, 2016,
Toronto, ON: Registered Nurses’ Association of Ontario.
16. Ashok VK, Pillai MGK, Puthenkote BF, 2019, ‘Delirium in Elderly: Is Age the Sole
Factor in Determining Prognosis?’, Journal of The Indian Academy of Geriatrics ,
vol. 14, no. 3, hh. 113-118.

Anda mungkin juga menyukai