Pembentukan pembatasan praktik bisnis (RBP) bukanlah hal yang baru. Sejarah
Panjang telah dilalui setelah terjadinya perang dunia 2 yang diusulkan oleh AS melalui
International Trade Organization (ITO) dalam hal untuk menjaga akses perusahaan swasta
masuk ke pasar internasional. The Havana Charter mengatur pembatasan praktik bisnis ini
yang terkandung di dalam pasal 5. Yang termasuk: price fixing, pengecualian bisnis,
diskriminasi produk, pembatasan produk, menghalangi perkembangan teknologi,
perpanjangan illegal HAKI dll. Di tahun 1970, OECD mempersiapkan ahli komite RBP
untuk membuat laporan RBP terhadap MNEs. Komite juga menentang pembuatan peraturan
yang secara substansial berbeda antara perusahaan multinasional dan juga perusahaan
nasional atau pengabaian control kompetisi atas anak perusahaannya beserta organisasi
regional dari negara berkembang juga ikut serta dalam mengharmonisasikan standard ini.
Di dalam pejanjian NAFTA pasal 1501, pihak-pihak yang berkontrak berkomitmen
untuk mengadopsi atau mempertahankan langkah-langkah yang melarang perilaku bisnis
yang anti-persaingan dan bekerja sama dalam masalah kebijakan penegakan hukum. Tetapi
berbeda hal nya dengan menempatkan isu ini ke WTO. Di tahun 1996 kementrian Singapura
mendeklarikan untuk membentuk working group on trade and competition. Badan ini
menguji hubungan antara isu perdagangan dan kompetisi sampai tahun 2003 yang dihapus
dari agenda negosiasi Doha Round. Hal itulah yang membuat WTO kehilangan kuasa secara
langsung terhadapa hambatan perdagangan. WTO hanya dapat bertindak sehubungan dengan
kebijakan pemerintah yang mendistorsi akses pasar untuk barang dan jasa dari anggota WTO
lain yang bertentangan dengan ketentuan perjanjiannya.
Dalam hal ini, beberapa kasus yang diajukan ke hadapan mekanisme penyelesaian
sengketa WTO, sebagai kasus yang terkait dengan perdagangan, dapat dibaca sebagai upaya
untuk memerangi tindakan anti persaingan swasta yang disetujui negara seperti bananas
cases dan kodal-fuji case.
Dalam sesi ke 4 UNCTAD, agenda RBP lah yang memiliki signifikansi pada tahun
1979, sebuah koferensi didirikan untuk menegosiasikan dan menyelsaikan seperangkat
prinsip dan aturan, yang dikenal sebagai prinsip set of multilaterally agreed equitable
principles dan rules for the control of restrictive business practice.
PBB berpandangan bahwa norma-norma dasar hukum persaingan, yang telah lama
digunakan di negara-negara maju, harus diperluas ke negara-negara berkembang. Hal ini
bertujuan dalam rangka menekankan kepentingan pembangunan internasional dengan
menhapuskan prasangka dalam RBP. Tujuan ini harus dilihat bersamaan dengan pekerjaan
UNCTAD tentang perumusan model peraturan tentang RBP. Model peraturan ini
mewujudkan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam perangkat PBB dan memasangkannya
dengan skema untuk otoritas persaingan nasional. ini ditujukan untuk negara-negara
berkembang yang belum memiliki sistem regulasi persaingan sendiri. Di dalam section C(iii),
PBB menetapkan prinsip perlakuan istimewa untuk negara-negara berkembang sebagai aspek
penerapan prinsip-prinsip yang terkandung dalam PBB. Dengan demikian negara-negara,
khususnya negara-negara maju, harus mempertimbangkan dalam penerapan RBP, mereka
mengendalikan perkembangan keuangan dan kebutuhan perdagangan negara-negara
berkembang di dengan melakukan:
a. Mempromosikan pembentukan atau perkembangan industi domestic and
perkmbangan ekonomi
b. Mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengaturan regional atau global sesame
negara berkembang
Di dalam section D memperkenalkan doktrin entitas ekonomi sebagai batas penerapan
control RBP seperti:
a. Perjanjian fixing price, termasuk export dan import
b. Tender yang kolusif
c. Pengaturan alokasi pasar
d. Alokasi kuota penjualan dan produksi
e. Aksi kolektif dalam penegakan peraturan
f. penolakan bersama terhadap importir potensial
g. penolakan kolektif atas akses ke pengaturan
Di dalam section D juga membahas mengenai penyalahgunaan posisi dominan yang
dilakukan oleh perusahaan afiliasi seperti:
a. predatory pricing
b. diskriminasi
c. merger, joint ventures, akuisisi yang berpotensi pelanggaran
d. price fixing
e. pembatasan barang barang import untuk mencegah dumping
Kesimpulan
Bab ini menguraikan beberapa masalah persaingan yang timbul dari internalisasi pasar
melalui pertumbuhan MNE dan pasar internasional untuk kontrol perusahaan. Dimana telah
mempertimbangkan tanggapan nasional, regional, dan internasional untuk masalah-masalah
tersebut. Negara-negara maju memiliki pengalaman paling banyak dengan masalah
persaingan di pasar internasional karena dua alasan:
Pertama, negara-negara maju dari wilayah geografis yang baik di mana ekonomi global
berkembang
Kedua, mereka memiliki sistem regulasi persaingan yang paling canggih.
Namun, ketika negara-negara berkembang menjadi semakin terintegrasi ke dalam ekonomi
global, mereka juga terlibat dalam implementasi progresif kebijakan persaingan, sehingga
untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak dikorbankan untuk peningkatan
konsentrasi pasar dan risiko penyalahgunaan pasar yang menyertainya.
Sebaliknya, negara-negara berkembang lainnya tidak memiliki sistem regulasi seperti itu dan
mereka mengalami risiko penyalahgunaan kompetitif tanpa adanya regulasi yang efektif.
Jawaban untuk situasi ini adalah pengembangan badan persaingan regional pada model EC,
dengan syarat adanya sumber daya yang memadai. Perkembangan ini menciptakan
permintaan untuk kerja sama yang lebih besar dan bantuan teknis. Mereka juga dapat
memacu harmonisasi kelembagaan dan substantif. Ini kemungkinan terjadi di sekitar berbagai
badan regional yang muncul. Di sisi lain, untuk saat ini, harmonisasi multilateral tampaknya
tidak dapat diraih.