Anda di halaman 1dari 32

A.

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Demokrasi sering didefinisikan sebagai pemerintah dari dan untuk rakyat. 1 Dari

pernyataan tersebut timbullah pertanyaan mendasar yaitu siapa yang akan

memerintah dan untuk kepentingan siapa pemerintah harus responsive ketika orang-

orang berada dalam perselisihan dan memiliki prefensi berbeda. Satu jawaban untuk

pertanyaan ini yaitu suara terbanyak (mayoritas). 2 Ini adalah inti dari model

demokrasi. Jawaban yang terbanyak adalah definisi mengenai demokrasi adalah

pemerintah berdasarkan suara yang terbanyak dan sesuai dengan keinginan

mayoritas jelas lebih dekat dengan cita – cita demokrasi “Pmerintah oleh dan untuk

rakyat” daripada pemerintahan yang responsive terhadap minoritas. 3

Dalam rangka menjalankan pemerintahan yang demokratis, tentunya

berhubungan erat dengan hukum sebagai penompang tegaknya demokrasi itu

sendiri. Tidak akan ada demokrasi tanpa ada hukum yang tegak dan sebaliknya.

Artinya,kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya,

begitu juga sebaliknya. Ini menunjukkan konstitusi dan demokrasi terlahir sebagai

satu hal yang tak terpisahkan

Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, maka dalam Perubahan Keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara

Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan


1
Arend Ljiphart, Democries: Patters of Majoritian and Consesus Government in Twenty-One
Countries, (New Haven: Yale University Press, 1984), hal.2-3
2
Ibid.
3
Satya Arianto, Politik Hukum 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2001), hal.45

1
UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan,

“Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu,

diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan

kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang

biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip Negara Hukum

adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya

adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai

‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya. Keadilan dan kepastian hukum

adalah hal yang mutlak dan harus diwujudkan agar sebuah kemanfaatan dapat

tercipta dari penegakan hukum dalam kehidupan dan bernegara.

Penyelengaraan negara tentunya juga dipengaruhi oleh keadaan politik. Baik

politik secara horizontal maupun vertical pasti akan tercipta pada proses

penyelenggaraan negara. Meskipun pada kenyataannya praktik politik sangat

mempengaruhi proses penyelenggaraan negara termasuk unsur hukum didalamnya.

Menurut Emanuel Kant dan Yulius Stahl, Negara hukum terdiri atas beberapa

komponen. Salah satu komponen Negara hukum adalah jaminan atas adanya paying

hukum.4

Hak setiap warga negara harus dijamin sesuai dengan dalil sebagai negara

hukum. Hak hak itu meliputi jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul serta

mengeluarkan pendapat sebagaimana telah diatur dalam pasal 28 UUD 1945 yang

berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan

4
Setiawan Noerdajasakti, “Law And Human Right Issues 1 Capital Punishment In The
Perspective of Non Deorgable Right”, (Brawijaya Law Journal V.3 N.1, Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, 2016), hal. 8.

2
lisan dan tulisan san sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Oleh sebab itu

maka negra tidak dapat tanpa dasar pertimbangan yang tepat dan melalui proses

peradilan mencabut hak berserikat dan berkumpul dalam sebuah organisasi resmi.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang atau PERPPU No. 2 Tahun

2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 Tentang

Organisasi Kemasyarakatan telah diajukan Pemerintah dan telah ditandatangani oleh

presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo pada tanggal 10 Juli 20171. Lahirnya

Perppu ini bukanlah merupakan hal yang baru dalam konteks bernegara. Peraturan

pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yaitu suatu peraturan yang dari segi

isinya seharusnya ditetapkan dalam bentuk undangundang, tetapi karena keadaan

kegentingan yang memaksa ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah. 5

Melalui Perppu No 2 Tahun 2017 ini prosedur tata cara pembubaran ormas

menjadi berubah. Dalam pembubaran ormas di Undang-Undang No 17 Tahun 2013

proses pembubaran ormas harus menempuh jalan pengadilan untuk membuktikan

ormas ini bersalah dan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku,

kalau sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap baru bisa dibubarkan, dan

sekarang dengan Perppu No 2 Tahun 2017 sebaliknya ormas bisa langsung

dibubarkan oleh pemerintah dengan mencabut status hukum pada ormas tersebut

dan bubar.

Dalam jumpa pers Pemerintah, yang diwakili oleh menkopolhukam Jenderal

(Purn) Wiranto menjelaskan bahwa saat ini Negara sedang dalam kondisi darurat

5
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hal. 3.

3
Ormas dan banyak ancaman kepada Negara terhadap ormas-ormas yang

mengkampanyekan ideologi-ideologi yang anti dengan pancasila dan anti demokrasi

dengan ideologi yang dianut. Sementara itu Undang-Undang No 17 Tahun 2013

Tentang Organisasi Kemasyarakatan tidak sepenuhnya memberikan payung hukum

yang kuat bagi pemerintah untuk bertindak tegas terhadap ormas-ormas yang

menyimpang dari cita-cita dan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6

Hadirnya Perppu ini mengindikasikan adanya satu hal yang cukup menjadi

perhatian khususnya pada dinamika organisasi kemasyarakatan. Stigma negatif

pemerintah terhadap perkembangan paham paham radikalisme, separatisme dan

intoleran yang terjadi pada setiap organisasi masyarakat yang bertentangan dengan

ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu pancasila. Banyak pendapat Pro

dan Kontra dari berbagai kalangan akademisi, praktisi atau para pengamat hukum

tata negara mengatakan bahwa Perppu ini diterbitkan untuk melindungi rumah

Indonesia untuk menjalankan mandat dari Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang dimana substansi materinya adalah melindungi segenap

tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, segala bentuk

perbedaan dan menjaga ketertiban umum serta menjaga nilai-nilai yang terkandung

didalam butir pancasila. Ada pula yang memberikan pendapat bahwa perppu ini di

nilai sebagai bentuk otoriter pemerintah yang akan memberangus kehidupan

berbangsa dan bernegara, karena banyak pasalpasal yang dihilangkan. Dengan

diterbitkannya Perppu ini oleh Presiden dan akan diserahkan kepada DPR untuk

disidangkan, karena kondisi hal ikhwal kegentingan yang memaksa dan akan tidak

6
http://nasional.kompas.com/read/2017/07/18/06060071/perppu-dinilai-lebih-demokratis-dari-uu-
ormas-ini-alasannya- Diakses pada tanggal 10 Oktober 2019

4
terjangkaunya waktu yang ditentukan untuk mengajukan Rancangan Undang-

Undang baru sehingga pemerintah dengan lekas dan cepat membentuk Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) sebagai jalan alternatif yang

efektif.

Dinamika sejarah peraturan perundang-undang di Indonesia menunjukkan

bahwa latar belakang penetapan Perppu oleh Presiden umumnya berbeda-beda. Hal

ini disebabkan karena ukuran kegentingan yang memaksa selalu bersifat multitafsir

dan sangat bergantung pada subyektifitas Presiden dalam menafsirkan frasa

kegentingan yang memaksa sebagai dasar untuk menetapkan suatu Perppu. 7

Menafsirkan istilah kegentingan yang memaksa dengan beragam penafsiran akan

memberikan peluang bagi Presiden untuk berlaku sewenang-wenang. Artinya bahwa

dengan kewenangan mutlak yang dimiliki Presiden dalam mengeluarkan Perppu,

ditambah lagi dengan tidak adanya batasan yang jelas tentang pengertian

kegentingan yang memaksa akan sangat berpeluang menciptakan pemerintahan

yang otoriter.8

Selanjutnya, mengacu pada ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengenai

keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan, menentukan bahwa “peraturan

perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat pada

tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundang-

7
J. Ronald Mawuntu, “Eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam
Sistem Norma Hukum Indonesia”, (Jurnal Hukum Unsrat, Vol. XIX, No. 5, 2011), hal. 122.
8
Janpatar Simamora, “Multitafsir Pengertian “Ihwal Kegentingan yang Memaksa” dalam
Penerbitan Perppu”, (Mimbar Hukum, Volume 2, Nomor 1, 2010), hal. 68.

5
undangan yang bersangkutan”. Hal ini sesuai dengan kelaziman yang berlaku di

dunia ilmu hukum di mana pun, yaitu kecuali ditentukan lain maka semua norma

hukum mulai berlaku mengikat sejak tanggal ditetapkan atau diundangkan. Hal ini

berlaku juga terhadap Perppu, bahwa sejak ditetapkan atau diundangkan maka

Perppu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Melihat dari substansi isi Perppu No. 2 Tahun 2017 ini merupakan kelanjutan

bentuk peraturan baru yang dibentuk pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang

No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Perppu ini memberikan

suatu deskripsi dan penjabaran tentang tata cara berorganisasi, mekanisme

penyelesaian pelanggaran ormas, dan sanksi yang diberikan kepada setiap

organisasi yang melanggar ketentuan Undang-undang. Dalam pasal per-pasal dan

ayat per-ayat Perppu tersebut memberikan penjelasan mengenai norma-norma

pengertian dan penjelasan bahwa setiap organisasi yang terbentuk dimasyarakat

harus patuh dan tunduk kepada pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Perppu No. 2 Tahun 2017 ini menegaskan dan bersifat proaktif kepada

ormas-ormas yang menyimpang, menganut, mengembangkan dan mengajarkan

faham-faham yang bertentangan dengan pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945.

Menyangkut hal itu, Perppu ini terdiri dari 9 perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013

Tentang Organisasi Masyarakat.

Kebijakan terhadap proses dan awal pembentukan perppu tentang ormas ini

menimbulkan banyak pertanyaan yang sifatnya kotroversial dari beberapa pakar

politik dan para pakar hukum yang mencermati sikap presiden dalam menangani dan

6
menyelesaikan kasus-kasus penodaan, kekerasan, yang dilakukan oleh sekelompok

masyarakat yang saat ini menjadi perhatian dan target pemerintah dalam

membenahi dan menata organisasi masayarakat. Hal ini sangat menunjukan bahwa

Pemerintah sebagai penyelenggara roda pemerintahan telah bertindak cepat dalam

mengambil suatu tindakan yang sangat cepat.

2. Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah, sebagai berikut:

a. Bagaimana landasan teoritis dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perppu)?

b. Bagaimana kedudukan Perppu dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia?

c. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2

Tahun 2017 Tentang Perubahan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2013

Tentang Organisasi Kemasyarakatan dalam Perspektif Politik Hukum?

3. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui landasan teoritis dari Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang- Undang (Perppu).

b. Untuk mengetahui kedudukan Perppu dalam peraturan perundang-undangan

di Indonesia.

d. Untuk mengetahui Analisa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan UndangUndang Nomor

17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan dalam Perspektif Politik

7
Hukum.

B. Landasan teoritis dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perppu)

1. Teori Kewenangan

Dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.

Dikemukakan pula dari segi komponennya, wewenang sebagai konsep hukum

publik sekurang-kurangnya terdiri dari tiga unsur atau elemen, yaitu: 9

 Pengaruh merujuk pada penggunaan wewenang dimaksudkan untuk

mengendalikan perilaku subyek hukum;

 Dasar hukum berkaitan dengan prinsip bahwa setiap wewenang pemerintah

yang sah harus dapat ditunjuk dasar hukumnya; dan

 Konformitas hukum mengandung makna adanya standard wewenang baik

standard umum (semua jenis wewenang) dan standard khusus (untuk jenis

wewenang tertentu).

Mengenai sumber sebagai cara memperoleh wewenang, bahwa setiap

tindak pemerintah disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah, dan

diperoleh melalui tiga sumber, yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan

atribusi dikonsepsikan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang

9
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, (Jakarta: Konstitusi
Pers, 2006), hal. 163.

8
dasar. Kewenangan delegasi dan mandat, meskipun sama-sama diperoleh

melalui pelimpahan, akan tetapi kewenangan yang berasal dari delegasi dan

mandat berbeda. Perihal kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan

formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-

Undang Dasar, kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari

kekuasaan eksekutif administratif.10

Kekuasaan negara menetapkan, melaksanakan dan menegakkan kepatuhan

terhadap hukum, apalagi dalam negara kesejahteraan (welfare state), dimana

negara berhak ikut campur hampir diseluruh bidang kehidupan rakyat, sehingga

penggunaan kekuasaan negara itu mempunyai potensi melanggar hak-hak rakyat

yang ada dalam negara tersebut, bahkan    hak-hak rakyat yang paling mendasar

pun dapat dilanggar. “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts

absolutely” (kekuasaan selalu cenderung berkembang menjadi sewenang-

wenang, dan kekuasaan yang bersifat mutlak cenderung mutlak pula

kesewenang-wenangannya), demikian adagium yang dikemukakan oleh Lord

Acton. Dengan demikian, moral kekuasaan tidak boleh hanya diserahkan pada

niat, ataupun sifat-sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya.

Betapapun baiknya seseorang, yang namanya kekuasaan tetaplah  harus  diatur

dan dibatasi.11

10
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Cet. 10, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994),
hal. 78.
11
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2005), hal. 37.

9
Kewenangan Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang (Perpu) adalah kewenangan luar biasa di bidang perundang-

undangan. Sedangkan kewenangan ikut membentuk Undang-undang, Peraturan

Pemerintah, dan Peraturan Presiden merupakan kewenangan biasa. 12 Dalam hal

ini, Presiden Republik Indonesia berdasarkan UUD Tahun 1945, memiliki

kewenangan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi

Undang-Undang (UU), menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti

Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden.

2. Teori Kedaulatan Rakyat

Paham kedaulatan rakyat atau demokrasi sudah dianut oleh Indonesia sejak

negara ini berdiri.13 Konsekuensi dari paham ini menimbulkan pemilik kekuasaan

yang tertinggi adalah rakyat. Kekuasaan yang sesungguhnya adalah berasal dari

rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

John Locke menyatakan bahwa terbentuknya negara didasarkan pada

asas pactum unionis dan pactum subjectionis. Pactum unionis adalah perjanjian

antar individu untuk membentuk negara, sedangkan pactum subjectionis adalah

perjanjian antara individu dan negara yang dibentuk. Perjanjian tersebut

menentukan bahwa individu memberikan mandat kepada negara atau pemerintah.

Mandat rakyat diberikan agar pemerintah mendapat kekuasaan dalam mengelola

negara berdasarkan konstitusi yang ditetapkan dalam pactum subjectionis.

12
Ibid.
13
Jimly Ashidiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta :
Bhuana Ilmu Populer, 2008), hal. 144.

10
Menurut teori ini, Negara memperoleh kekuasaan dari rakyatnya dan bukan

dari Tuhan ataupun raja. Teori ini tidak sependapat dengan teori kedaulatan

Tuhan, dan mengemukakan kenyataan-kenyataan yang tak sesuai dengan ajaran

yang diajarkan oleh teori kedaulatan Tuhan. 14 Raja yang seharusnya memerintah

rakyat dengan adil, jujur dan baik hati (sesuai dengan kehendak Tuhan) namun

kenyataannya raja-raja bertindak dengan sewenang-wenang terhadap rakyat.

Kenyataan ini menimbulkan keragu-raguan yang mendorong kearah timbulnya

alam pikiran baru yang memberi tempat pada pikiran manusia (Renaissance).

Alam baru ini dalam bidang kenegaraan akan menimbulkan paham baru, yakni

teori kedaulatan rakyat.

Paham inilah yang merupakan reaksi dari teori kedaulatan Tuhan dan teori

kedaulatan raja dan kemudian menjelma dalam revolusi perancis sehingga

kemudian dapat menguasai seluruh dunia hingga sekarang dalam bentuk mythos

abad ke-19 yang membuat paham kedaulatan rakyat dan perwakilan (demokrasi).

3. Teori Kedaulatan Negara

Kedaulatan negara muncul bersamaan dengan berdirinya negara. Oleh

sebab itu kedaulatan yang ada pada pemimpin negara merupakan kodrat alam

yang dimilikinya sejak lahirnya negara. Negara dianggap mempunyai hak yang

tidak terbatas terhadap life, liberty, da property warganya. Warga negara bersama-

sama hak miliknya tersebut dapat dikerahkan untuk kepentingan kebesaran

negara. Warga negara harus bersedia mengikuti kegiatan bela negara dengan

14
C.S.T Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983), hal. 74.

11
segala macam wujudnya termasuk perang dan menyerahkan semua hartanya

untuk kepentingan negara.

Warga negara taat kepada hukum tanpa perjanjian apapun melainkan

kehendak negara seutuhnya. Pelanggaran hukum akan dikenakan sanksi,

walaupun rakyat tidak tahu. Rakyat tidak memiliki kewenangan apa-apa dan tidak

memiliki kedaulatan dalam teori ini. Teori kedaulatan negara hanyalah alat, bukan

yang memiliki kedaulatan. Jadi ajaran kedaulatan negara ini adalah penjelmaan

baru dari kedaulatan raja namun pelaksanaannya tetap pada negara (presiden

atua raja).

Menurut Teori ini adanya Negara itu merupakan kodrat alam, demikian pula

kekuasaan tertinggi yang ada pada pemimpin Negara itu. Adapun kedaulatan itu

sudah sejak lahirnya suatu Negara. Jadi jelaslah, bahwa Negara itu merupakan

sumber daripada kedaulatan. Hukum itu mengikat karena yang demikian

dikehendaki oleh Negara yang menurut kodrat mempunyai kekuasaan mutlak. 15

4. Teori Kedaulatan Hukum

Teori ini mengajarkan, bahwa pemerintah memperoleh kekuasaanya itu

bukanlah dari Tuhan ataupun dari raja maupun Negara, akan tetapi berdasarkan

atas hukum, yang berdaulat adalah hukum. Baik pemerintah maupun rakyat

memperoleh kekuasaan itu dari hukum. Ketentuan hukum yang disusun harus

secara benar dan bersumber pada nila-nilai moral masyarakat. Jadi

seseorang/pemerintah mendapatkan kekuasaan karena hukum yang berlaku

15
Ibid, hal. 74.

12
bukan karena mandat Tuhan. Permasalahan yang sering muncul dalam teori

kedaulatan hukum adalah saat hukum tidak disusun berdasarkan nilai moral

namun berdasarkan kepentingan kelompok tertentu alias pesanan. Dampaknya

adalah supremasi hukum tidak terwujud, hukum tajam ke bawah namun tumpul

ke atas.

Prinsip kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum harus dilaksanakan secara

beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Oleh karena Negara

Indonesia berdasarkan pasal 1 Ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945 adalah Negara Hukum yang demokrasi (Democratische Rechstaat) dan

sekaligus Negara demokrasi yang berdasarkan atau hukum (Constitutional

Democracy) yang tidak terpisahkan satu sama lain.16

5. Teori Politik Hukum

Demokrasi yang ada saat ini adalah hasil proses politik dengan konfigurasi

politik yang ada. Konfigurasi politik suatu Negara melahirkan karakter produk

hukum tertentu dinegara tersebut. 17 Didalam Negara yang konfigurasi politiknya

demokratis maka produk hukumnya akan berkarakter responsive.

Hal yang menarik terkait dengan dibuatnya sebuah perundang-undangan

tidak lepas dari konfigurasi politik yang berimplikasi pada politik hukum dan

lahirnya peraturan.18 Menurut Prof. Mahfud MD, Politik Hukum adalah “Legal

Policy” atau arah hukum yang diberlakukan oleh Negara untuk mencapai tujuan

16
Jimly Ashidiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun
1945, (Jakarta : Rieneka Cipta, 2007), hal. 155.
17
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan; dasar-dasar dalam pembentukannya,
(Jakarta : Kanisius, 1998), hal. 131.
18
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia cet. II (Jakarta : LP3ES, 2001), hal. 9.

13
Negara yang bentuknya berupa pembuatan hukum baru dan mengganti hukum

yang lama. Dalam penafsiran seperti ini hukum harus berpijak pada tujuan

Negara dan system yang berlaku di Negara yang bersangkutan. Secara otentik

dokumen tujuan Negara dari sistem yang berlaku di Indonesia adalah Naskah

Pembukaan UUD 1945, khususnya pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah

penuntutan hukum.

Ilmu politik hukum itu membedah semua unsur dalam sistem yang unsur-

unsur utamanya oleh Friedman dikelompokkan menjadi 3 unsur besar yaitu

materi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. 19 Dalam hal ini ilmu politik

hukum bukan hanya mencakup politik hukum dalam arti sebagai arah resmi

Negara untuk memberlakukan atau tidak memberlakukan hukum guna mencapai

tujuan Negara, melainkan juga mencakup latar belakang dan lingkungan yang

mempengaruhi serta berbagai persoalan yang dihadapi dalam upaya

menegakkannya.

C. Kedudukan Perppu dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

Menurut sistem hukum di Indonesia peraturan perundang-undangan (hukum

tertulis) disusun dalam tingkatan-tingkatan tertentu atau sering disebut dengan

Hirarki Peraturan Perundang-undangan.20 Teori Stufenbau adalah teori mengenai

sistem hukum oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum

merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum

19
Lawrence M. Friedman, A History of American of Law, (New York : 1973); juga dalam
Lawrence M. Friedman, American Law; an Introduction, W, hal. 5-6.
20
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, , 2013, hal.
37.

14
yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan

kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma

hukum yang paling mendasar (grundnorm). 21

Indonesia menerapkam konsep dari stufenbau theory dimana peraturan

perundang-undangan menerapkan system anak tangga yang mengatur hukum

tertinggi sampai terendah.22 Dalam hirarki peraturan perundang-undangan tidak

disusun tampa alasan, Undang Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara

Kesatuan Republik Indonesia merupakan peraturan tertinggi dalam sitem hukum

di Indonesia. Kedudukannya yang tinggi maka peraturan-peraturanyang ada di

bawahnya harus mengacu pada Undang undang dasar 1945. Akibatnya, Undang-

undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang

berada lebih tinggi darinya.

Dalam tatanan peraturan perundang-undangan perpu memilikikedudukan

yang sejajar dengan Undang-undang, sebagai mana yangtercantum dalam

hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: 23

 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 


 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
 Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
 Peraturan Pemerintah;
 Peraturan Presiden;
21
Hans Kelsen “Teori hukum murni-dasasr-dasar ilmu hukum normative” terjemahan The pure of
teory :Barkely University of California press :1978 : (Bandung: Nusa Media,bandung, 2010), hal. 1.
22
Satya Arianto, Politik Hukum 2, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2001), hal. 18.
23
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
PeraturanPerundang-undangan

15
 Peraturan Daerah Provinsi; dan
 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Sebagaimana yang tertuang dalam hirarki perppu memilikikkedudukan di

kasta ke tiga dalam perturan perundang-undangan yang sejajar dengan undang-

undang yang Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang

sama dengan materi muatan Undang-Undang. Perppu dikeluarkan oleh presiden

sebahai pengganti undang-undang.

Hakikat lahirnya Perppu yaitu untuk mengantisipasi keadaan “genting yang

memaksa” jadi ada unsur paksaan keadaan untuk segera diantisipasi tetapi dalam

koridor hukum yakni melalui Perppu. Dan Perppu tersebut harus segera dibahas

dan dipersidangkan untuk dibahas dan disetujui untuk diundangkan menjadi

Undang-Undang, jika tidak disetujui oleh DPR maka Perppu itu demi hukum harus

dicabut.24

Penerbitan perppu tidak bisa semena-mena Presiden, ada beberapa

prasyarat yang mendesak dan memaksa sehingga dianggap perlu dalam

penetapan perppu sebagaimana diatut dalam undang-undang dasar. Peraturan

PemerintahPengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan

yangditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Jadi

penetapan perppu merupakan suatu yang mendesak dan memaksa sehingga

perlu dikeluarkan untuk mengatasi kegentingan tersebut karenaundang-undang

24
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review (Yogyakarta : UII Press, 2005),
hal. 60.

16
yang telah ditetapkan tidak mampu mengatasi keadaanyang mendesak dan

genting.

Unsur kegentingan yang memaksa harus memiliki ciri umum yaitu : Adanya

krisis dan kemendesakan . Suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang

menimbilkan kegentingan yang bersifat mendadak (a grave and sudden

disturbunse). Kemendesakan apabila terjadi keadaan yang tidak diperhitungkan

sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu

permusyawaratan terlebih dahulu atau telah ada tanda-tanda permulaan yang

nyata dan menurut nalar dan wajar (Reasonableness) yang apabila tidak diatur

segera menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun jalannya

pemerintahan. 25

Menurut Jimly Ashidiqie syarat materiil dalam penetapan Perppu itu ada 3,

yaitu:26

 Ada kebutuhan yang mendesak atau bertindak Reasonable necessity;


 Waktu yang tersedia terbatas (Limited Time) atau terdapat kegentingan waktu;
 Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar (beyond
reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak dapat mengatasi keadaan,
sehingga penetapan perppu adalah satu-satunya cara untuk mengatasi
keadaan tersebut.

Tidak hanya itu, penerbitan perppu juga telah diatur oleh Mahkah Konstitusi

dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 bahwa ada 3 syarat sebagai

25
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum FH UII Kerjasama dengan Gama
Media (Yogyakarta : UII Press, 1999), hal. 60
26
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat (Jakarta : Rajawali Pers, 2007), hal. 282.

17
parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan

Perppu, yaitu: 27

 Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah


hukum secara cepat berdasarkan Undang-undang;
 Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada Undang-undang tetapi tidak memadai;
 Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
Undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang
cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan.

Apabila ketiga syarat tersebut telah terpenuhi, dengan sendirinya presiden

selaku kepala pemerintahan dengan kewenangan konstitusionalnya untuk

mengatur hal-hal yang diinginkan dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi

penyelenggaraan Negara dan roda pemerintahan yang dipimpinnya.

Materi apa saja yang dapat dimuat dalam perppu tentunya tergantung

kebutuhan yang dihadapi dalam praktik. Bahkan ketentuan tersebut yang

menyangkut perlindungan hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat saja ditentukan oleh perppu

itu sepanjang hal itu dimaksudkan untuk menghadapi keadaan darurat guna

melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. 28

27
Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009
28
Jimly Ashidiqie, Op. cit. hal. 12-13,

18
D. Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2

Tahun 2017 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013

Tentang Organisasi Kemasyarakatan dalam Perspektif Politik Hukum

1. Politik Hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU)

No. 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 17 Tahun

2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan

Pancasila sebagai tuntunan dari cita hukum di Indonesia dimulai dengan

pembentukan regulasi yang berdasarkan asas-asas pancasila sebagai alat

pembaharuan dan cerminan masyarakat. Politik hukum dalam arti sempit sering

diartikan Legal Policy. Politik hukum dalam arti Legal Policy merupakan garis

resmi Negara tentang hukum yang akan diberlakukan dan tak akan diberlakukan

(membuat yang baru dan mengganti yang lama), untuk mencapai tujuan Negara,

dan disini peran hukum untuk mencapai tujuan Negara. Politik hukum merupakan

alat atau sarana dana langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk

menciptakan system hukum nasional.29

Pijakan dasar dalam politik hukum adalah cita-cita bangsa dan tujuan Negara

Indonesia yang berdasarkan pancasila. Hukum sebagai produk politik sehingga

setiap karakter produk hukum akan ditentukan dan diwarnai dengan perimbangan

kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini merupakan suatu

fakta dimana setiap produk hukum adalah suatu Pengambilan suatu keputusan

(decision making) yakni keputusan politik sehingga dilihat bahwa hukum adalah

29
C.F.GSunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Suatu Sistem Hukum Nasional, (Alumni :
Bandung, Tahun 1991). hal.1.

19
kristalisasi dari setiap pemikiran politik yang berinteraksi diantara kalangan pejabat

ataupun politisi.

Dalam sejarah pembentukan perppu di Indonesia dari tujuh presiden yang

menggunakan kewenangan untuk membuat dan membentuk perppu pada

umummnya menunjukan kriteriakriteria antara lain; bersifat mendesak karena

keterbatasan waktu, mengandung unsur terjadinya krisis, adanya kekosongan

hukum. Adanya aturan yang tidak memadai sehingga butuh penyempurnaan,

serta penundaan pemberlakuan suatu ketentuan undang-undang. Kriteria tersebut

tidak bersifat kumulatif dalam proses pembentukan perppu no. 2 Tahun 2017 ini

dapat dikatakan dan melihat dengan kondisi Negara yang mungkin masih dalam

situasi yang kondusif dalam konteks berorganisasi dan bermasyarakat. Dalam

konteks ini pemerintah mengabaikan aspek-aspek yang menjadi asas pembentuk

peraturan perundang-undangan dengan proses yang sah secara hukum.

Penafsiran kegentingan yang memaksa dalam perppu pada umumnya menjadi

hak dan subjektifitas presiden dan ini yang menjadi persoalan bagi DPR dalam

menentukan parameter untuk menafsirkannya. Bahkan, dari beberapa perppu

tidak memenuhi unsur kemendesakan akan kebutuhan hukum.

Terbitnya Perppu No 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-

undang no 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan secara tidak

langsung memberikan banyak opini dan pertanyaan ataupun pernyataan tentang

apakah Perppu No. 2 Tahun 2017 diterbitkan untuk membubarkan HTI yang

dianggap pemerintah menyimpang dalam asas dan tujuan berdirinya di

20
Indonesia?. Pembubaran Hizbut Tahir Indonesia (HTI) yang semakin didekatkan

dengan perbincangan-perbincangan pembubaran dengan Perppu tersebut

dikalangan pemerintah ataupun di ruang masyarakat tentu menjadi sesuatu yang

dianggap sangat mengkhawatirkan bagi seluruh organisasi masyarakat di

Indonesia. Sebab, melihat substansi pasal perpasal perubahan dari isi perppu ini

bersifat multitafsir, yakni target dan tujuannya tidak hanya menyasar kepada

kelompok-kelompok yang bertentangan dengan pancasila seperti faham

radikalisme, terorisme dan marxisisme, tetapi juga dapat menyasar kepada

kelompok-kelompok organisasi masyarakat yang lain dengan tujuan-tujuan yang

baik dalam kehidupan bermasyarakat karena pemerintah dapat membubarkannya

dengan sepihak dan dengan berbagai alasan menjadi dasar pembubarannya.

Selain itu konfigurasi politik ini juga terlihat pada lanjutan sidang yang akan

dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyetujui dan atau

menolak perppu ini. Dengan dua pilihan menyetujui ataupun menolak perppu ini

merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam hubungannya dengan politik

hukum suatu kebijakan dua lembaga dengan tugas dan wewenang yang berbeda.

Dapat kita lihat dengan seksama secara menyeluruh point konsideran dalam

pertimbangan lahirnya perppu ini adalah “Bahwa Negara berkewajiban melindungi

kedaulatan NKRI berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945; Pelanggaran terhadap asas dan tujuan

organisasi kemasyarakatan yang didasarkan pada pancasila dan UUD NRI Tahun

1945 merupakan perbuatan yang sangat tercela dalam pandangan moralitas

21
bangsa Indonesia terlepas dari latar belakang etnis, agama, dan kebangsaan

pelakunya; Terdapat organisaasi masyarakat tertentu yang kegiatannya tidak

sejalan dengan asas organisasi kemasyrakatan sesuai dengan anggaran dasar

organisasi kemasyarakatan yang telah terdaftar dan telah disahkan pemerintah

dan bahkan secara factual terbukti ada asas organisasi kemasyarakatan dan

kegiatannya bertentangan dengan pancasila dan UUD NRI Tahun 1945; dan yang

terakhir bahwa Undang-undang no. 13 tahun 2017 Tentang Organisasi

Kemasyarakatan asas “Contrarius Actus” sehingga tidak efektif untuk menerapkan

sanksi terhadap organisasi kemasyarkatan yang menganut, mengembangkan dan

menyebarkan ajaran atau faham yang bertentangan dengan pancasila dan

Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945.

Dengan pertimbangan dan penjelasan lahirnya Perppu tersebut, situasi ini

mengindikasikan bahwa pemerintah dengan tegas memiliki suatu kekuasaan yang

sangat luar biasa dalam pengambilan keputusan tanpa melalui suatu proses

hukum yang baik dalam suatu Negara yang berdasarkan atas hukum yang

sebagaimana acuan bangsa dan Negara Indonesia dalam tertib berhukum sesuai

dengan pasal 1 Ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 “Negara Indonesia adalah Negara

hukum”.30

2. Asas Hal Ikhwal Kegentingan yang Memaksa

30
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 Ayat 3

22
Bagir manan mencatat, dalam praktiknya dalam “hal ikhwal kegentingan

yang memaksa” tidak sekadar diartikan dengan adanya bahaya ancaman atau

kegentingan lain yang berkenaan dengan Negara atau rakyat banyak. 31

Muh.Yamin berpendapat ada atau tidaknya keadaan mendesak itu penilaiannya

menurut kebijaksanaan pemerintah.32 Penilaian mengenai terjadinya keadaan

darurat Negara yang menimbulkan kegentingan yang memaksa secara objektif

baru terjadi pada saat perppu itu dibenarkan atau disahkan oleh DPR berdasarkan

ketentuan pasal 22 UUD NRI tahun 1945 dan diungkapkan dalam posisi DPR

reses.33

Penetapan perppu No. 2 Tahun 2017 memang salah satu kewenangan

subjektif presiden sebagai kepala pemerintahan yang telah dimandatkan oleh

konstitusi, tetapi ada syarat konstitusional yang harus dipenuhi presiden dalam

“hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Dalam pandangan ALLF Van Dullemen

dalam bukunya Staatnoodrecht en Democratie (1947) menyebutkan ada syarat

hukum tata Negara darurat, pertama eksistensi Negara tergantung tindakan

darurat yang dilakukan, kedua tindakan itu diperlukan karena tidak bisa digantikan

dengan tindakan yang lain, ketiga tindakan tersebut bersifat sementara dan

terakhir ketika tindakan diambil parlemen tidak bisa secara nyata dan sungguh-

sungguh.34 Dalam putusan MK RI Nomor 138/PUU-VII/2009, dijelaskan 3

persyaratan keadaan yang harus dipenuhi dalam hal kegentingan yang

31
Bagir Manan, Ibid, hal. 155.
32
Wirjono Prodjodikoro, Asas Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : Tahun 1970), hal. 23.
33
Jimly Ashidiqie, Ibid, hal. 23.
34
AALF Van Dullemen, Staatnoodrecht en Democratie, (Deen Hag University Of Amsterdam,
Nedherlands :Tahun 1947), hal. 155.

23
memaksa : 1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan yang mendesak untuk

menyelesaikan masalah secara hukum secara cepat berdasarkan Undang-

undang; 2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi

kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi belum memadai; 3.

Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-

undang secara prosedur karena memakan waktu yang cukup lamasedangkan

keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk segera diselesaikan.

Parameter dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan pandangan Dullemen

sejatinya cukup dan sangat jelas menjelaskan bagaimana posisi Perppu No. 2

Tahun 2017 tersebut secara formil dan materiil. Dari teori politik hukum yang telah

penulis kemukakan bahwa bentuk penetapan kebijakan pemerintah dalam

mengeluarkan perppu ormas ini secara politik hukum mengabaikan prinsip aspek-

aspek yang terkandung dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

apalagi perppu menajadi salah satu norma yang daya ikatnya setara dengan

undang-undang. Berbagai tekanan politik untuk memberikan suatu isyarat bahwa

pemerintah tidaklah tepat dalam mengeluarkan perppu ormas yang dimana dalam

data dan fakta ormas yang terbentuk danterdaftar secara hukum di Indonesia

berjalan sesuai dengan anggaran dasar dan tujuan-tujuannya. Dengan berbagai

dalih penjelasan pemerintah yang mengaitkan beberapa catatan konvensi

internasional dengan landasan dan dasar untuk menguatkan Hak Asasi Manusia

merujuk pada artikel 4 ICCPR, dengan penilaian atas ancaman terhadap

kehidupan bangsa Indonesia dan eksistensi NKRI.

24
Membahas lebih detail mengenai norma Perppu tersebut, pemerintah

melakukan jalan pintas untuk ruang lingkup pengaturan ormas, dan juga telah

melakukan pemutusan rantai dalam proses berhukum yang baik dan benar (Due

Process of Law) atau penyingkatan prosedur hukum dalam proses pembubaran

terhadap ormas yang dianggap layak dibubarkan menurut Undangundang Nomor

17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan melalui lembaga pengadilan

atau yudikatif. Hal demikian itu sangat jelas dalam pemakaian penggunaan asas

contrarius actus dalam pertimbangan penerbitan Perppu ini. Mekanisme

penjatuhan sanksi administrasi dalam ketentuan pasal 60 dan pasal 61 untuk

penjatuhan sanksi pidana.35 Didalam ketentuan perubahan pasal 60 ini berbunyi :

(1) Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan

Pasal 51 dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat 92) dijatuhi sanksi administratif; dan

Pasal (2) Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

52 dan 59 ayat (3) dan (4) dijatuhi sanksi administratif dan/sanksi pidana yang

ancaman hukumannya pidana penjara seumur hidup dan atau pidana penjara

paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun. 36

Ketentuan pasal 61 Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ini berbunyi ; (1) Sanksi

administratif yang dimaksud adalah; a. Peringatan tertulis; b. Penghentian

kegiatan; dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status

badan hukum. lalu, dalam ormas yang tidak taat saat diberikan sanksi administratif

dari waktu yang ditentukan oleh Perppu ini dan menteri hukum dan HAM sesuai

35
Pasal 60 dan Pasal 61 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang no. 2 Tahun 2017
Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 13 tahun 2017 Tentang Organisasi Kemayarakatan.
36
Pasal 82A Ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2017
Tentang Peruhan Undang-undang no. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan

25
dengan kewenangannya dalam perppu ini dapat menjatuhi sanksi penghentian

kegiatan, dan apabila ormas tersebut tidak mengindahkan sanksi penghentian

kegiatan, maka menteri dapat melakukan pencabutan status badan hukum dari

ormas tersebut dan dinyatakan bubar tanpa ada perlawanan di luar atau didalam

pengadilan (justice). Penggunaan asas contrarius actus ini membuat menteri

Hukum dan HAM yang ditugasi dalam hal pemberian dan pencabutan izin ini

tanpa disadari telah melampaui batas kewenangannya dan akan menimbulkan

ketidakpastian hukum yang dimana menjadi tujuan dari Negara hukum itu sendiri.

Kalau kita bandingkan dengan UU Ormas No. 17 Tahun 2013 mekanisme

dalam pembubaran ormas telah diatur melalui mekanisme peradilan sesuai

dengan pasal 68 UU Ormas tersebut. Dalam pembubaran suatu organisasi

sejatinya melalui prinsip kehati-hatian.Seperti halnya partai politik, UUD NRI

Tahun 1945 telah menegaskan lebih lanjut terhadap pembubaran partai melalaui

Mahkamah Konstitusi .dan juga pembubaran yayasan yang diatur melalui UU

tentang yayasan melalui lembaga Yudikatif. Dalam teori pemisahan kekuasaan

dan kewenangan, pada suatu kekuasaan terdapat kekuatan yang dibatasi,

kekuatan yang dibatasi adalah kekuatan politik yang merupakan kemampuan

untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya

maupun akibatakibatnya sesuai dengan tujuan pemegang kekuasaan sendiri.

Pembagian kekuasaan dan kewenangan ini diarahkan untuk menghindari

absolutisme dan pemusatan kekuasaan pada satu tangan (diktator).

26
Pasal dalam Perppu ini terbukti telah mendiskreditkan norma-norma yang

ada sebelumnya dan tidak memenuhi parameter objektif dalam pembentukan

Perppu no 2 Tahun 2017 karena Perppu ini mencerminkan kemunduran dalam

peradaban hukum dan serta mencederai prinsip keadilan. Otoritas pembubaran

ormas berada tunggal ditangan pemerintah tanpa mengabaikan ada beberapa

perubahan positif setelah era reformasi.

E. Penutup

1. Kesimpulan

Dari kesimpulan dan hasil dari penelitian ilmiah yang telah penulis temukan

dalam politik hukum Pembentukan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 bahwa Perppu ini

masih sangat jauh dari parameter unsur-unsur dan aspek dalam proses

pembentukan Perppu oleh Presiden. Kewenangan presiden dalam pembentukan

perppu merupakan kewenangan derivatif yang bersumber dari kewenangan

legislatif. Presiden seharusnya hanya menjalankan kewenangan eksekutif, namun

dalam keadaan darurat yang mendesak akan terjadinya kekosongan hukum

presiden dapat mengambil langkah untuk membuat perppu yang mensyaratkan

dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Kewenangan Presiden dalam

membentuk dan menetapkan Perppu Nomor 2 tahun 2017 merupakan salah satu

kewenangan subjektifitas Presiden untuk menentukan arah kebijakan Negara

terhadap prinsip-prinsip dan tujuan Negara yang diamanatkan oleh konstitusi.

Penafsiran asas hal ikhwal kegentingan yang memaksa, penetapan Perppu No. 2

Tahun 2017 Tentang Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi

Kemasyarakatan dapat dikonsepsikan untuk membangun persepsi dalam menjaga

27
stabilitas keamanan, stabilitas politik, dan stabilitas hukum dalam mengatur dan

mengelola problematika ormas yang dihadapi Negara dewasa ini. Perppu tersebut

difungsikan untuk meminimalisir kekuatan-kekuatan yang melatar belakangi

berbagai ideologi kepentingan organisasi masyarakat pada kelompok-kelompok

tertentu yang menyimpang dengan ideologi Negara seperti organisasi yang tujuan

dan anggaran dasar dari organisasi tersebut bertentangan dengan UUD Negara RI

Tahun 1945. Perppu ini juga menjadi salah suatu alat bagi pemerintah yang

hendak membubarkan organisasi masyarakat lokal ataupun internasional yang

bertentangan dengan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Saran

Dalam membentuk Perppu seyogyanya Presiden harus memperhatikan dan

menganalisa dengan baik terkait dengan unsur hal ikhwal kegentingan yang

memaksa sebagai dasar dikeluarkannya perppu secara objektif sehingga tidak ada

yang dirugikan melalui kepentingan politik ataupun yang menyangkut persoalan

Hak Asasi Manusia (HAM).

Dalam memberikan persetujuan dan keputusan terhadap Perppu yang telah

dibentuk oleh presiden, sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memiliki

kewenangan menolak atau menerima Perppu dapat melakukan kajian yang

mendalam kepada Perppu tersebut sehingga hasilnya dapat diharapkan untuk

membawa keadilan dan kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia.

28
Dalam perkembangannya sebaiknya pemerintah menjadikan hal ini sebagai

pembelajaran kedepannya agar perppu yang akan dfikeluarkan dikemudian bisa

lebih berdasarkan pada kajian yuridis dan sosiologis.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Arianto, Satya. Politik Hukum 1, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2001.

Arianto, Satya. Politik Hukum 2, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2001.

Asshiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam

UUD 1945,, Yogyakarta: FH UII PRESS, 2005.

Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: Rajawali Press, 2008.

Asshiddiqie, Jimly. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat

UUD Tahun 1945, Jakarta : Rieneka Cipta, 2007.

Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,

Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2008.

Asshiddiqie, Jimly. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Jakarta:

Konstitusi Pers, 2006.

Atmosudirjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara, Cet. 10, Jakarta: Ghalia Indonesia,

1994.

Dullemen, AALF Van. Staatnoodrecht en Democratie, Deen Hag University Of

Amsterdam, Nedherlands :Tahun 1947.

Farida Indrati, Maria. Ilmu Perundang-Undangan; dasar-dasar dalam pembentukannya,

Jakarta : Kanisius, 1998.

30
Hartono, C.F.G Sunaryati. Politik Hukum Menuju Suatu Sistem Hukum Nasional, Alumni

: Bandung, Tahun 1991.

Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, , 2013.

Huda, Ni’matul, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review. Yogyakarta : UII

Press, 2005.

Kansil, C.S.T. Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983.

Kelsen, Hans “Teori hukum murni-dasasr-dasar ilmu hukum normative” terjemahan The

pure of teory :Barkely University of California press :1978 ;, Bandung: Nusa

Media,bandung, 2010.

Ljiphart, Arend. Democries: Patters of Majoritian and Consesus Government in Twenty-

One Countries, New Haven: Yale University Press, 1984

M. Friedman, Lawrence, A History of American of Law, New York : 1973. ; juga dalam

Lawrence M. Friedman, American Law; an Introduction, W.

Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia cet. II, Jakarta : LP3ES, 2001.

Manan, Bagir. Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum FH UII Kerjasama dengan

Gama Media, Yogyakarta : UII Press, 1999.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Tahun 1970.

2. Jurnal dan Artikel

Mawuntu, J. Ronald, (2011). “Eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang dalam Sistem Norma Hukum Indonesia”, Jurnal Hukum Unsrat, Vol. 19,

No. 5.

31
Noerdajasakti, Setiawan, (2016). “Law And Human Right Issues 1 Capital Punishment

In The Perspective of Non Deorgable Right”, Brawijaya Law Journal, Fakultas

Hukum Universitas Brawijaya, Vol.3 No.1.

Simamora, Janpatar. (2010). “Multitafsir Pengertian “Ihwal Kegentingan yang Memaksa”

dalam Penerbitan Perppu”, Mimbar Hukum, Vol. 2, No. 1.

http://nasional.kompas.com/read/2017/07/18/06060071/perppu-dinilai-lebih-demokratis-

dari-uu-ormas-ini-alasannya.

3. Peraturan Perundang- Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan

Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang no. 2 Tahun 2017 Tentang

Perubahan Atas Undang-undang No. 13 tahun 2017 Tentang Organisasi

Kemayarakatan.

32

Anda mungkin juga menyukai