Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahan gambut di Indonesia menempati posisi ke-4 terluas di dunia setelah Kanada, Rusia
dan Amerika Serikat. Menurut kajian pusat sumber daya geologi Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral melaporkan bahwa sampai pada tahun 2006 sumber daya lahan gambut di
Indonesia dengan luas mencapai 26 juta Ha yang tersebar di Pulau Kalimantan (± 50%),
Sumatera (± 40%) sedangkan sisanya tersebar di Papua dan pulau-pulau lainnya (Darmayanto,
2009). Lahan gambut dikenal dengan kemampuannya dalam menyimpan air gambut (Masganti,
2017). Air gambut merupakan satu diantara sumber daya air di Indonesia. Bahan organik dan
konsenterasi kandungan Fe yang sangat tinggi dikandung oleh air gambut, menurut Aggriawan
(2015) kandungan Fe pada air gambut mencapai angka 2.066 mg/L dan hal ini tidak sesuai
dengan standar yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pada Permenkes No.
416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Baku Mutu Air Bersih.
Akibat tingginya konsenterasi logam Fe dari air gambut diperlukan perlakuan yang
selektif dari air gambut untuk dijadikan sebagai air bersih (Aggriawan, 2015). Banyak cara telah
dibuat dan dibuktikan keefektifan dari perlakuan air baku seperti koagulasi dan flokulasi,
adsorbs, filtrasi dan kombinasi. Kondisi air gambut dan cara yang mudah dijadikan pertimbangan
dalam menentukan perlakuan dalam menghasilkan air dengan ualita tinggi pada lokasi tertentu
(Syalfani dkk, 2013). Berdasarkan hal diatas perlakuan adsorpsi paling sering digunakan
dikarenakan cara yang paling mudah.
Adsorpsi adalah salah satu cara pemurnian air yang pengaplikasiannya mudah. Adsorpsi
bergantung pada beberapa faktor diantaranya waktu kontak, dosis adsorben, karakter adsorben
dan konsentrasi adsorbat pada kesetimbangan adsorpsi (Saepudin, 2009). Adsorpsi merupakan
cara yang tidak memerlukan perawatan lanjutan, selain itu biaya yang digunakan relatif murah
sehingga para peneliti melakukan riset guna mencari bahan-bahan yang lebih murah dan
ketersediaan bahannya banyak (Nurmasari, 2014). Dari beberapa jenis adsorben yang ada,
karbon aktif merupakan adsorben yang paling banyak digunakan, karena karbon aktif memiliki
kapasitas penyerapan yang tinggi dan memiliki harga yang murah (Muslim et al., 2015). Teknik
adsorbsi yang paling banyak digunakan adalah menggunakan karbon aktif atau arang aktif
sebagai bahan adsorben.
Bahan dasar yang digunakan pada pembuatan arang aktif merupakan bahan-bahan yang
mengandung kadar karbon (Martin, 2010). Peran penting proses industri dipegang oleh arang
aktif dikarenakan arang aktif menunjang bahan dalam meningkatkan kualitas atau mutu produk
yang dihasilkan. Arang aktif dapat digunakan untuk menghilangkan bau, warna, atau rasa yang
tidak enak, menghilangkan gas-gas beracun dan zat-zat yang tidak diinginkan dari produk yang
dihasilkan. Kesempatan arang aktif dapat diproduksi dan dipasarkan semakin besar dikarenakan
kebutuhan industri untuk arang aktif sangat besar, peluang tersebut semakin besar pula karena di
Indonesia bahan baku untuk memproduksi arang aktif sangat melimpah (Pambayun, 2013). Pada
proses pembuatan arang aktif harus melalui aktivasi yang berguna untuk memecah rantai karbon
sehingga pori-pori pada arang aktif tersebut terbuka.
Karbon aktif diaktivasi dengan dua jenis yaitu aktivasi kimia dan aktivasi fisika. Bahan
kimia seperti ZnCl2, KOH, NaCl, H2SO4 dan H3PO4 biasanya digunakan sebagai larutan aktivator.
Penelitian yang dilakukan oleh Esterlita (2015) aktivator yang digunkan adalah H3PO4
memberikan hasil terbaik dibandingkan aktivator ZnCl2 dan KOH. Penelitian yang dilakukan
oleh Nurhayati (2018) aktivator yang digunakan adalan NaCl merupakan aktivator yang efektif
karena mudah didapat, harga ekonomis, tidak berbahaya dan tidak beracun. Oleh karena itu pada
peneitian ini H3PO4 dan NaCl akan digunakan sebagai larutan aktivator. Pada umumnya bahan
kayu digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan arng aktif karena mengandung kadar
karbon yang tinggi, jenis kayu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah jenis kayu
alaban.
Kayu Alaban merupakan kayu yang biasa digunakan sebagai bahan baku arang yang di
produksi di kalimantan. Pemanfaatannya secara massal hingga saat ini hanya sebatas pembuatan
arang biasa, dikarenakan memiliki berat jenis yang tinggi (Abidin, 2018). Penelitian diperlukan
guna mengembangkan inovasi pemanfaatan kayu alaban agar dapat meningkatkan nilai
ekonomis. Potensi kayu alaban telah banyak diteliti sehingga Anggraini (2019) telah
menghasilkan energi alternatif salah satunya adalah campuran briket arang kayu alaban dan
bottom ash dengan kualitas yang baik. Alternatif lain guna mengembangkan potensi pada kayu
alaban selain briket arang kayu alaban yang dapat dikembangkan lagi salah satunya adalah arang
aktif.
Penelitian oleh Emi (2018) menghasilkan arang aktif pada ukuran -80,+100 mesh
menghasilkan kadar air, kadar abu dan daya serap iodin berturut-turut sebesar 3,69%, 2,89%, dan
710,64 mg/g. Perhitungan pada penelitian ini menunjukan bahwa semakin kecil ukuran partikel
aka daya serap yang didapatkan semakin tinggi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Verayana
(2018) menyebutkan bahwa hasil terbaik didapatkan dari arang aktif dengan perlakuan aktivasi
H3PO4 dimana Kadar air dan kadar abu yang dihasilkan memenuhi SNI. Hal ini berlaku pula
dengan penyerapan logam timbal (Pb) dan ukuran pori yang lebih besar. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Permatasari (2014) menyebutkan bahwa aktivator yang terpilih adalah NaCl
dibandingkan jenis aktivator lain yaitu H3PO4 dan KOH. Hal ini dikarenakan pada aktivator
NaCl memenuhi syarat SNI kadar abu, kadar zat terbang dan kadar air yang sudah ditetapkan
dibandingkan dengan aktivator yang lain. Penelitian lain yang dilakukan oleh Nurhayati (2018)
menyebutkan bahwa karon aktif terbaik yang dihasilkan dari karbon aktif yang di aktivasi
menggunakan NaCl dibandingkan aktivator lain. Aktivator NaCl menghasilkan daya serap I2
sebesar 46%, kadar air 1%, dan kadar abu 7%, sehingga sesuai SNI 06-3730-1995.
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini akan membahas tentang pembuatan arang
aktif menggunakan arang kayu Alaban dengan aktivator H3PO4 dan NaCl. Penelitian ini
menggunakan SEM sebagai alat karakteristik. Sampel kayu alaban berasal dari Desa Ranggang,
Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanahlaut, Provinsi Kalimantan Selatan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian tersebut, beberapa permasalahan yang akan diteliti meliputi :
1. Bagaimana kadar air, kadar abu, kadar zat menguap dan kadar karbon terikat arang aktif
kayu alaban berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)?
1. Bagaimana kandungan Fe pada air gambut sebelum ditambahkan arang aktif dan sesudah
di tambahkan arang aktif?
2. Bagaimana daya hantar listrik pada sampel air Gambut tanpa penambahan arang aktif dan
dengan penambahan arang aktif?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini meliputi :
1. Mendapatkan kadar air, kadar abu, kadar zat menguap dan kadar karbon terikat arang
aktif kayu alaban berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI).
2. Mendapatkan pengaruh variasi waktu aktifasi fisika, jenis aktivator dan ukuran partikel
dalam menurunkan kandungan logam besi (Fe) pada sampel air Gambut.
3. Mendapatkan daya hantar listrik pada sampel air gambut tanpa penambahan arang aktif
dan dengan penambahan arang aktif.

1.4 Manfaat
Adapun beberapa manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian ini :
1. Memberikan informasi tentang pemanfaatan kayu alaban menjadi arang aktif
2. Kayu alaban dapat dimanfaatkan sebagai arang aktif untuk menyerap kandungan logam
besi (Fe)
3. Memberikan informasi efisiensi penurunan oleh arang aktif kayu alaban terhadap kadar
logam besi (Fe) pada sampel air gambut.

1.5 Batasan Masalah


Adapun beberapa batasan masalah yang digunakan untuk penelitian ini yaitu :
1. Sampel air yang digunakan adalah air gambut di daerah gambut.
2. Penelitian ini menggunakan arang kayu alaban dengan ukuran lolos ayakan 60 mesh dan
120 mesh.
3. Variasi waktu aktifasi fisika 500⁰C selama 1 jam dan 2 jam.
4. Variasi jenis aktivator untuk aktivasi kimia yaitu larutan H 3PO4 1 M dan larutan NaCl 1
M.

Anda mungkin juga menyukai