Anda di halaman 1dari 175

SKRIPSI

HUBUNGAN STATUS GIZI LANSIA DENGAN KUALITAS


HIDUP LANSIA

Studi Cross Sectional di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin


Wilayah Kerja Puskesmas Watukenongo Mojokerto

Oleh:
NADIA ANITA ROSALINA
NIM: 201501112

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA SEHAT PPNI
MOJOKERTO
2019
SKRIPSI

Hubungan status gizi lansia dengan kualitas hidup lansia di Dusun


Balongmasin Desa Balongmasin Wilayah Kerja Puskesmas
Watukenongo Mojokerto

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan


Pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Sehat PPNI
Kabupaten Mojokerto

NADIA ANITA ROSALINA


NIM : 201501112

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA SEHAT PPNI
MOJOKERTO
2019

i
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa Skripsi ini adalah hasil karya sendiri dan belum

pernah dikumpulkan oleh orang lain untuk memperoleh gelar dan berbagai

jenjang Pendidikan di Perguruan Tinggi manapun.

Mojokerto, 2019

Yang menyatakan

NADIA ANITA ROSALINA


201501112

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk diajukan dalam ujian akhir program

Judul : Hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas hidup lansia

di Desa balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten

Mojokerto

Nama : Nadia Anita Rosalina

NIM : 201501112

Pada tanggal : Januari 2019

Oleh

Pembimbing I

Faisal Ibnu, S.kep. Ns., M.Kes


NIK. 162 601 026

Pembimbing II

Indah Kusmindarti, SST., M.Kes


NIK. 162 601 026

iii
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Ujian Skripsi Pada Program Studi S1
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Sehat PPNI

Kabupaten Mojokerto

NAMA : NADIA ANITA ROSALINA

NIM : 201501112

Judul : Hubungan status gizi lansia dengan kualitas hidup lansia di Desa

Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto

Pada tanggal :

Mengesahkan

Tim penguji Tanda Tangan

Ketua : Dr. M. Sajidin, S.kp, M.Kes ( )

Anggota : Faisal Ibnu, S.kep. Ns., M.Kes ( )

Anggota : Indah Kusmindarti, SST. M.Kes ( )

Mengetahui,

Ka.Prodi S1 Keperawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Sehat PPNI

Kabupaten Mojokerto

ANA ZKIYAH, M.Kep

NIK. 162 601 036

iv
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul

“Hubungan status gizi lansia dengan kualitas hidup lansia di Desa

Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto”. Selesainya

penulisan Skripsi ini tak lepas dari bantuan dan dukungan serta bimbingan dari

berbagai pihak, maka penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya

dengan hati tulus kepada:

1. Kepala Dr. Tommie Sitompul selaku Puskesmas Watukenongo Kabupaten

Mojokerto yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan

penelitian

2. Dr. M. Sajidin, S.Kp, M.Kes selaku Ketua STIKes Bina Sehat PPNI

Kabupaten Mojokerto

3. Ana Zakiyah, M.Kep selaku Ka. Prodi S1 Keperawatan

4. Faisal Ibnu, S.kep, Ns., M.kes selaku pembimbing I Proposal skripsi yang

telah meluangkan waktu dalam bimbingan kepada penulis

5. Indah Kusmindarti, SST., M.Kes selaku pembimbing II Proposal skripsi yang

telah meluangkan waktu dalam bimbingan kepada penulis

6. Staff Dosen dan Karyawan STIKes Bina Sehat PPNI Kabupaten Mojokerto.

v
Akhirnya penulis menyadari bahwa Skripsi ini jauh dari sempurna

sehingga memerlukan kritik dan saran untuk menyempurnakan penyususnan

Proposal skripsi ini.

Mojokerto,Januari 2019

Penulis

Nadia Anita Rosalina

vi
MOTTO

Anda mungkin bisa menunda, tapi


Waktu tidak akan menunggu

vii
LEMBAR PERSEMBAHAN

Sembah sujud syukur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan kasih sayang-
Mu telah memberikanku kekuatan, mebekaliku dengan ilmu dan mengenalkanku
dengan cinta. Atas karunia dan kemudahan yang Engkau berikan akhirnya skripsi
yang sederhana ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam selalu terlimpahkan
keharibaan Rasulullah Muhammad SAW.

Kupersembahkan karya sederhana ini kepada orang yang sangat kukasihi


dan kusayangi yaitu Ibu (Warsriati), Ayahku (Jumadi), dan (Alm. Umi Silami)
tercinta sebagai tanda bakti, hormat dan rasa terimakasih yang tiada terhingga.
Terimakasih telah memberikan kasih sayang, secara dukungan, ridho, dan cinta
kasih yang tiada terhingga yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan
selembar kertas yang bertuliskan kata persembahan. Semoga ini menjadi langkah
awal untuk membuat Ayah dan Ibu bahagia karena ku sadar selama ini belum bisa
berbuat lebih. Untuk Ayah dan Ibu yang selalu memberiku dukungan moril serta
materi. Terimakasih banyak. Semoga Allah senantiasa melindungi kalian.

Kepada adikku Reynaldi. S. Raharjo terimakasih telah memberikan


semangat untuk kakak mengerjakan Skripsi ini. Kepada saudaraku Wahyu Indah
Puspita Sari, Tommie Septika, dan mas Hendro terimakasih telah memberikan
bantuan serta bimbingan sehingga karya sederhana ini selesai dengan tepat waktu.
Apalah daya skripsiku tanpa bantuan dan bimbingan kalian.

Kepada yang tercinta Muhammad Nur Syaifudin, manusia yang sangat


berpengaruh bagiku untuk mengerjakan skripsi ini. Yang selalu memberikan
motivasi dan semangat tanpa henti dari awal hingga akhir, menjadi tempat untuk
berkeluh kesah, marah, sedih. Terimakasih selalu mengingatkanku untuk banyak
bersyukur, mengingatkanku atas segala perjuangan orang tuaku ketika aku mulai
lengah dan malas. Terimakasih banyak.

Untuk sahabat seperjuanganku Adelia Ferdiyanto Putri, Anggi Andriyanto,


Rina andriyanti, Maesaro, Wahyu Riska Fitra Sari, Indah prastiwi, Lailatul

viii
rohmah, Candra Reta Franceska, Ayu Oktaviana Putri, Hidayatul Lailiyah,
Maristana Milatal Haq, Edo Anggara dan seluruh warga kelas C yang sangat
kusayangi. Terimakasih telah membantu dalam kelancaran skripsi ini.
Terimakasih untuk pelajaran yang sangat berharga dalam hidup yang tidak akan
pernah aku dapatkan dimanapun, canda tawa, air mata sedih dan bahagia,
bagaimana cara mendewasakan diri, cara menghargai pertemanan, segala hal yang
akan selalu menjadi kenangan manis. Sampai bertemu di hari-hari penuh rindu.

Untuk sahabat SMAku Novia candra, Dini syarifa, Benyamin, Agita may
tiffani terimakasih atas segala semangat dan doanya. Sahabat masa MTs.N ku
Yunita Rahmawati, Khuribatul Ilmi, Nafisah terimakasih kalian selalu memberi
pengertian ketika aku sibuk mengerjakan skripsi, lalu menemani berjuang hingga
selesailah skripsi ini.

Finally, terimakasih banyak untuk pembimbing tersabarku Bapak Faisal


Ibnu, S.kep.Ns,.M.Kes dan Ibu Indah Kusmindarti, SST. M.kes, yang selalu
memberikan bimbingan tanpa Lelah dan dengan sangat sabar, saya tidak akan
melupakan jasa Bapak dan Ibu.

ix
ABSTRACT
RELATIONSHIP OF NURSING NUTRITION STATUS WITH LIFE
QUALITY OF ELDERLY IN DUSUN BALONGMASIN VILLAGE
BALONGMASIN KECAMATAN PUNGGING, MOJOKETO DISTRICT
BY: NADIA ANITA ROSALINA

Nutritional status has a long-term impact on the quality of life of the elderly. The
older a person is, the higher is affected by malnutrition. In addition to over
nutrition problems that have an impact on increasing degenerative diseases in the
elderly, other nutritional problems that are often suffered by the elderly are
problems with malnutrition. The study aims to determine the relationship between
nutritional status of elderly people with quality of life of elderly in Balongmasin
hamlet, Balongmasin village, Pungging sub-district, Mojokerto district. Analytical
research design correlation with cross sectional approach. The study population
was all elderly as many as 46 respondents. A sample of 46 was taken using Total
sampling technique. The source of the data uses primary data, the instrument uses
a tread gauge, wooden ruler and WHOQOL-Bref questionnaire sheet. The results
of the study using Sphearmans rho analysis obtained p value (0,000) <ɑ (0.05)
which means there is a relationship between the nutritional status of the elderly
and the quality of life of the elderly. Poor nutritional status but having a high
quality of life is more influenced by other factors such as high family social
support. On the contrary, the elderly who have normal nutritional status but whose
quality of life is low are caused by a factor of a coping mechanism towards a low
problem, namely addressing a problem by focusing on feelings or emotions.
Meanwhile, the elderly with more nutritional status but high quality of life can be
caused because he is able to interpret life better and considers life problems such
as various disorders due to degenerative diseases experienced as something
natural.

Key: nutritional status, quality of life, elderly

x
ABSTRAK
HUBUNGAN STATUS GIZI LANSIA DENGAN KUALITAS HIDUP
LANSIA DI DUSUN BALONGMASIN DESA BALONGMASIN
KECAMATAN PUNGGING KABUPATEN MOJOKETO
OLEH: NADIA ANITA ROSALINA

Status gizi mempunyai dampak jangka Panjang pada kualitas hidup lansia.
Semakin tua umur seseorang, semakin tinggi terkena malnutrisi. Selain masalah
gizi lebih yang berdampak pada peningkatan penyakit degeneratif pada lansia,
masalah gizi lain yang sering diderita lansia adalah masalah gizi kurang.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi lansia dengan
kualitas hidup lansia di dusun Balongmasin desa Balongmasin kecamatan
Pungging kabupaten Mojokerto. Desain penelitian analitik korelasi dengan
pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah semua lansia sebanyak 46
responden. Sampel berjumlah 46 diambil dengan menggunakan tekhnik Total
sampling. Sumber data menggunakan data primer, instrumen menggunakan alat
ukur timbangan injak, mistar kayu dan lembar kuisioner WHOQOL-Bref. Hasil
penelitian menggunakan analisis Sphearman’s rho didapatkan nilai p value
(0,000) < ɑ (0,05) yang artinya terdapat hubungan antara status gizi lansia dan
kualitas hidup lansia. Status gizi kurang namun mempunyai kualitas hidup tinggi
lebih dipengaruhi oleh faktor lain seperti tingginya dukungan social keluarga.
Sebaliknya, lansia yang mempunyai status gizi normal namun kualitas hidupnya
rendah disebabkan karena faktor mekanisme koping terhadap masalah yang
rendah yaitu menyikapi masalah dengan menitikberatkan pada perasaan atau
emosi. Sedangkan, lansia dengan status gizi lebih namun kualitas hidupnya tinggi
dapat disebabkan karena ia mampu memaknai hidup dengan lebih baik dan
menganggap masalah hidup seperti berbagai gangguan akibat penyakit
degenerative yang dialami sebagai sesuatu yang wajar.

Kata kunci: status gizi, kualitas hidup, lansia

xi
DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN...................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... v
MOTTO ................................................................................................................ vii
LEMBAR PERSEMBAHAN ............................................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................ x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................... 6
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 7
1.4.1 Bagi lansia dan keluarganya ........................................................... 7
1.4.2 Bagi institusi kesehatan dan tenaga keperawatan ........................... 7
1.4.3 Bagi peneliti selanjutnya ................................................................ 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 8
2.1 Konsep dasar status gizi .................................................................................. 8
2.1.1 Pengertian status gizi ......................................................................... 8
2.1.2 Pengelompokan zat gizi berdasarkan fungsi zat gizi ......................... 10
2.1.3 Manfaat zat gizi ................................................................................. 11
2.1.4 Fungsi makanan ................................................................................. 12

xii
2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan masalah gizi
lansia ............................................................................................... 13
2.1.6 Kebutuhan gizi lansia ........................................................................ 20
2.1.7 Menu harian untuk lansia .................................................................. 25
2.1.8 Masalah gizi pada lanjut usia ............................................................. 29
2.1.9 Dampak kekurangan gizi pada lansia ............................................. 34
2.1.10 Penatalaksanaan gizi pada usia lanjut ............................................. 35
2.1.11 Penilaian status gizi lansia ............................................................... 37
2.2 Konsep Dasar Lansia ...................................................................................... 43
2.2.1 Pengertian lanjut usia ...................................................................... 43
2.2.2 Batasan lansia ................................................................................. 44
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses menua .......................... 45
2.2.4 Teori penuaan ................................................................................. 46
2.2.5 Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia ............................... 52
2.3 Konsep Dasar Kualitas Hidup ........................................................................ 56
2.3.1 Pengertian kualitas hidup .................................................................. 56
2.3.2 Ruang lingkup kualitas hidup ............................................................ 60
2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup ............................. 61
2.3.4 Status gizi dengan kualitas hidup lansia ............................................ 68
2.3.5 Pengukuran kualitas hidup ................................................................ 70
2.4 Keranga Teori.................................................................................................. 73
2.5 Kerangka Konsep ........................................................................................... 74
2.6 Hipotesis.......................................................................................................... 75
BAB 3 METODE PENELITIAN.......................................................................... 76
3.1 Desain Penelitian ............................................................................................ 76
3.2 Populasi, Sampel dan Sampling ..................................................................... 77
3.2.1 Populasi ............................................................................................. 77
3.2.2 Sampel ............................................................................................... 77
3.2.3 Besar sampel ....................................................................................... 77
3.2.4 Sampling ............................................................................................ 78
3.3 Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ............................. 79

xiii
3.3.1 Identifikasi variabel penelitian .......................................................... 79
3.3.2 Definisi operasional ............................................................................ 79
3.4 Prosedur penelitian ......................................................................................... 81
3.5 Pengumpulan Data ......................................................................................... 84
3.5.1 Instrumen penelitian .......................................................................... 84
3.5.2 Tempat dan waktu ............................................................................. 85
3.6 Analisis Data .................................................................................................. 85
3.6.1 Editing ............................................................................................... 85
3.6.2 Coding atau klasifikasi ...................................................................... 86
3.6.3 Scoring ............................................................................................... 88
3.6.4 Tabulating .......................................................................................... 88
3.6.5 Analisis data ...................................................................................... 89
3.7 Etika Penelitian .............................................................................................. 92
3.8Informed consent ............................................................................................. 93
3.9Anonimity ....................................................................................................... 93
3.10Confidentiality .............................................................................................. 93
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................................ 96
4.1 Hasil penelitian................................................................................................ 96
4.1.1 Gambaran Lokasi penelitian .................................................................. 96
4.1.2 Data Umum ............................................................................................ 97
4.1.3 Data Khusus ........................................................................................... 99
4.2 Pembahasan ..................................................................................................... 102
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 118
5.1 Simpulan ......................................................................................................... 118
5.2 Saran ................................................................................................................ 118
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 121

xiv
DAFTAR TABEL

Table 2.1 Angka kecukupan energi dan zat gizi yang dianjurkan untuk
manula dalam sehari ......................................................................... 21
Tabel 2.2 Pola susunan makanan lansia dalam sehari ...................................... 26
Table 2.3 Contoh menu seimbang untuk lansia laki-laki (2100 kalori) ........... 28
Tabel 2.4 Contoh menu seimbang untuk lansia perempuan (1700 kalori) ....... 28
Tabel 2.5 berbagai kelompok makanan pengganti/penukar ............................. 29
Table 2.6 Tabel nomongram konversi tinggi lutut ke tinggi badan .................. 39
Table 2.7 Tabel perhitungan skor tiap domain ................................................. 72
Table 3.1 Definisi operasional hubungan antara status gizi lansia dengan
kualitas hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin
Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto .................................... 80
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di Dusun
Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten
Mojokerto tanggal 9 Februari-13 Maret 2019 ................................... 97
Table 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan Pekerjaan di Dusun
Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten
Mojokerto 9 Februari-13 Maret 2019................................................. 97
Table 4.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan Pendidikan terakhir di
Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging
Kabupaten Mojokerto tanggal 9 Februari-13 Maret 2019 ................. 98
Table 4.4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di Dusun
Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten
Mojokerto tanggal 9 Februari-13 Maret 2019 .................................... 98
Table 4.5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan status pernikahan di
Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging
Kabupaten Mojokerto tanggal 9 Februari-13 Maret 2019 ................. 99
Table 4.6 Distribusi frekuensi status gizi lansia di Dusun Balongmasin Desa
Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto tanggal 9
Februari-13 Maret 2019 ..................................................................... 100
Table 4.7 Distribusi frekuensi kualitas hidup lansia secara umum di Dusun
Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten
Mojokerto tanggal 9 Februari-13 Maret 2019 .................................... 100

xv
Table 4.8 Hasil tabulasi silang hubungan antara status gizi lansia dengan
kualitas hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin
Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto tanggal 9 Februari-13
Maret 2019 ......................................................................................... 101

xvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka teori hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas
hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan
Pungging Kabupaten Mojokerto. ...................................................... 73
Gambar 2.2 Kerangka konsep hubungan antara status gizi lansia dengan
kualitas hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin
Kecamatan Pungging-Kab. Mojokerto. ............................................ 74
Gambar 3.1 Kerangka Kerja hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas
hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan
Pungging Kabupaten Mojokerto. ...................................................... 83

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat ijin penelitian dari STIKES Bina Sehat PPNI ..................... 124

Lampiran 2 Surat ijin penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik .... 125

Lampiran 3 Surat ijin penelitian dari Dinas Kesehatan Mojokerto ................ 126

Lampiran 4 Lembar Permohonan Menjadi Responden .................................. 127

Lampiran 5 Lembar Persetujuan Menjadi Responden .................................... 128

Lampiran 6 Kisi-kisi Kuesioner WHO QOL ................................................... 129

Lampiran 7 Kuesioner ...................................................................................... 130

Lampiran 8 Lembar Transformasi ................................................................... 135

Lampiran 9 Tabulasi Data Hasil Penelitian ..................................................... 136

Lampiran 10 Tabulasi Silang ........................................................................... 141

Lampiran 11 Hasil Spearman’s Rho Test......................................................... 145

Lampiran 12 Lembar Bimbingan Skripsi ......................................................... 150

xviii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbagai pihak menyadari bahwa dengan bertambahnya jumlah

lansia di Indonesia akan membawa pengaruh besar dalam pengelolaan

kesehatannya. Saat ini angka kesakitan akibat penyakit degeneratif

meningkat jumlahnya disamping masih adanya kasus tentang status gizi

lansia dan kualitas hidup lansia (Enny dkk et al., 2012). Selain masalah gizi

lebih yang berdampak pada peningkatan penyakit degeneratif pada lansia,

masalah gizi lain yang sering diderita lansia adalah masalah gizi kurang

(Bardosono dkk, 2015).

Dalam penelitian (Myckel B. Mainake, n.d.) Kesehatan dan gizi

merupakan hak asasi manusia dan merupakan faktor yang sangat

menentukan kualitas sumber daya manusia. Untuk mencapai keberhasilan

tersebut erat kaitannya dengan pembinaan dan pengembangan sumber daya

manusia sebagai modal dasar pembangunan nasional. Keberhasilan

pembangunan terutama dibidang kesehatan secara tidak langsung telah

menurunkan angka kesakitan dan kematian penduduk serta meningkatkan

usia harapan hidup meskipun tidak sekaligus berarti peningkatan mutu

kehidupan hayang pada gilirannya menimbulkan perubahan struktur

penduduk dan sekaligus menambah jumlah penduduk berusia lanjut

(Arisman, 2009).

1
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi

adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology),

antara lain tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi

makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang

yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat

ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi

fisik, psikologik maupun sosial (Dalgleish et al., 2007). Banyak hal yang

dapat mempengaruhi status gizi usia lanjut seperti usia, jenis kelamin, status

kesehatan, ekonomi, dan lingkungan. Lanjut usia adalah salah satu tahapan

usia yang rentan mengalami gangguan kesehatan. Faktor jenis kelamin dapat

mempengaruhi status gizi usia lanjut, dari penelitian ditemukan kejadian

obesitas lebih sering ditemukan pada wanita dibanding pria dengan

perbandingan 26,1% : 15,6% (Tamher & Noorkarsiani, 2009). Faktor

ekonomi dapat mempengaruhi status gizi dalam hal pengguanan

finansialnya. Lansia yang berpendapatan rendah seringkali harus memilih

antara makanan, kegunaan, obat, dan perawatan medis serta tempat tinggal,

juga cara memanfaatkan sumber yang terbatas (Maas, 2011). Sekitar 20%

lansia mengalami keterbatasan asupan nutrisi karena kemiskinan (Maas,

2011).

Jumlah lansia di Indonesia tahun 2014 mencapai 18 juta jiwa dan

diperkirakan akan meningkat menjadi 41 juta jiwa di tahun 2035 serta lebih

dari 80 juta jiwa di tahun 2050. Tahun 2050, satu dari empat penduduk

Indonesia adalah penduduk lansia dan lebih mudah menemukan penduduk

2
lansia dibandingkan bayi atau balita. Sedangkan sebaran penduduk lansia

pada tahun 2010, Lansia yang tinggal di perkotaan sebesar 12.380.321

(9,58%) dan yang tinggal di perdesaan sebesar 15.612.232 (9,97%). Terdapat

perbedaan yang cukup besar antara lansia yang tinggal di perkotaan dan di

perdesaan. Perkiraan tahun 2020 jumlah lansia tetap mengalami kenaikan

yaitu sebesar 28.822.879 (11,34%), dengan sebaran lansia yang tinggal di

perkotaan lebih besar yaitu sebanyak 15.714.952 (11,20%) dibandingkan

dengan yang tinggal di perdesaan yaitu sebesar 13.107.927 (11,51%).

Kecenderungan meningkatnya lansia yang tinggal di perkotaan ini dapat

disebabkan bahwa tidak banyak perbedaan antara rural dan urban ( Kholifa

Nur S et al., 2012).

Menurut Revina dalam Saniawan (2007), lansia di Indonesia banyak

yang mengalami gangguan pemenuhan gizi yaitu yang mengalami kurang

sebanyak 31,0 % dan gizi lebih sebanyak 1,8%. Kelainan nutrisi lain yang

dapat dijumpai pada lansia adalah kurang energi protein. Prevalensi kurang

energi protein pada lanjut usia yang hidup di masyarakat sekitar 5- 10% ,

lanjut usia yang dirawat di rumah sakit dengan prevalensi sekitar 30- 61%

dan lanjut usia yang dirawat di panti werdha prevalensinya sekitar 40- 85 %.

Data dari Poliklinik Gerari Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RS

Cipto Mangunkusumo menunjukkan 9,4% pasien memiliki Indeks Massa

Tubuh ( IMT ) < 18,5kg/m2 dan 3,5% dengan IMT < 17 kg/m2 . Bila

menggunakan penapisan malnutrisi secara dini dengan Penilaian Nutrisi

Mini (Mini Nutritional Assessment) ditemukan sebesar 29% pasien beresiko

3
mengalami malnutrisi . Di ruang rawat akut ditemukan 40-55% lanjut usia

menderita malnutri si dan 23% menderita malnutrisi berat. Tingginya

pravelensi malnutrisi pada lanjut usia mengingatkan perlunya dilakukan

penilaian status gizi secara rutin (Sari dalam Listina, 2011).

Hasil studi pendahuluan di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin

Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto dengan teknik wawancara

terhadap 7 lansia diketahui seluruhnya ( 100 % ) mengalami penurunan

kualitas hidup. Hal ini terlihat dari keempat domain kualitas hidup yaitu pada

domain fisik yaitu seluruh lansia ( 100 % ) mengeluhkan mengalami

gangguan pada aktifitas kehidupan sehari-hari akibat penyakit kronis yang

diderita seperti diabetes mellitus, hipertensi, rematik dan asma. Pada domain

psikologis , seluruh lansia ( 100 % ) mengaku mengalami beberapa perasaan

negatif, seperti merasa kesepian, putus asa, cemas dan depresi. Pada domain

hubungan sosial , 6 lansia ( 85,7 % ) mengaku mengalami kesulitan dalam

melakukan hubungan sosial akibat berbagai sebab seperti penyakit, minder

karena sudah tidak memiliki status sosial, merasa sudah tidak berharga lagi.

Hal ini mempengaruhi peran sosialnya dalam masyarakat. Pada domain

lingkungan dapat diketahui bahwa 5 ( 71,4 % ) dari 7 lansia tersebut

mempunyai perekonomian menengah kebawah karena tidak mampu

mendapatkan pekerjaan dengatn penghasilan yang mencukupi kebutuhan

keluarga . Seluruhnya ( 100 % ) mengaku setiap saat mempunyai waktu

luang, namun tidak melakukan rekreasi karena faktor biaya, mereka hanya

melakukan hobi seperti memasak dan berkebun Selanjutnya dilakukan

4
pengukuran status gizi lansia dengan Indeks Massa Tubuh (IMT), diketahui

dari 7 lansia didapatkan data 5 lansia (71,4 % ) memiliki status gizi kurang , I

lansia ( 14,3 % ) memiliki status gizi normal dan 1 lansia (14,3%) memiliki

status gizi lebih.

Ukuran kualitas hidup digunakan untuk menunjukkan bagaimana

seseorang secara keseluruhan evaluasi pengalaman hidup mereka dapat

diubah sebagai tanggapan atas suatu intervensi. Kualitas hidup tidak mudah

untuk ditentukan atau diukur, dan ada sedikit pekerjaan yang dilakukan

untuk menyelidikinya hubungan antara HRQoL dan malnutrisi. Namun,

bukti yang ada menunjukkan bahwa keadaan status gizi buruk berhubungan

dengan memburuknya kualitas hidup. Kondisi fisik juga berfungsi variabel

penting yang dapat berperan dalam tautan apa pun antara malnutrisi dan

kualitas hidup, dan ini telah terbukti mempengaruhi kualitas hidup (Hickson

& Frost, 2004).

Keperawatan merupakan ilmu yang holistik dimana memandang

manusia dari seluruh aspek kehidupan yang mempengaruhinya, baik

fisiologis, psikologis, sosial, spiritual. Sehingga pemahaman mengenai

pengaruh lingkungan sosial terhadap kesehatan menjadi kajian yang penting

untuk membantu penerapan implementasi asuhan keperawatan yang tepat.

Dengan mengetahuinya kualitas hidup lansia di berbagai tatanan tempat

tinggal, dapat menjadi bahan evaluasi menentukan program-program

pemberdayaan lansia, sehingga benar-benar efektif dalam meningkatkan

kualitas hidup lansia (Putri, Fitriana, Ningrum, & Sulastri, 207AD).

5
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tetarik untuk

mengangkat masalah hubungan antara status gizi dengan kualitas hidup

lansia di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging

Kabupaten Mojokerto tahun 2019.

1.2 Rumusan Masalah

Adakah hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas hidup

lansia di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging

Kabupaten Mojokerto tahun 2019?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas

hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan

Pungging Kabupaten Mojokerto tahun 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengidentifikasi status gizi lansia di Dusun Balongmasin Desa

Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto tahun 2019.

1.3.2.2 Mengidentifikasi kualitas hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa

Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto tahun 2019.

1.3.2.3 Menganalisis hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas hidup

lansia di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging

Kabupaten Mojokerto tahun 2019.

6
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi lansia dan keluarganya

Sebagai tambahan pengetahuan bagi lansia akan pentingnya

pemenuhan kebutuhan nutrisi guna meningkatkan dan memelihara taraf

kesehatan serta kualitas hidup, sehingga membantu lansia agar dapat

beradaptasi dengan berbagai perubahan fisik dan menyesuaikan

kebutuhan nutrisi sesuai dengan kondisinya. Keluarga lansia dapat

bertambah wawasannya tentang pentingnya memenuhi nutrisi lansia

sesuai kebutuhan, sehingga dapat menjaga status kesehatan lansia dan

meningkatkan kualitas hidup lansia.

1.4.2 Bagi institusi kesehatan dan tenaga keperawatan

Hasil penelitian menjadi masukan bagi institusi pelayan kesehatan

setempat untuk perenanaan program peningkatan status gizi lansia,

misalnya dengan pengadaan program PMT (Pemberian Makanan

Tambahan). Selain itu dapat digunakan sebagai bahan edukasi dan

informasi bagi tenaga keperawatan untuk meningkatkan pelayanan

kesehatan lansia demi peningkatan kualitas hidup lansia.

1.4.3 Bagi peneliti selanjutnya

Dapat digunakan sebaga referensi data dan gambaran untuk

penerapan teori dan aplikasi dalam melaksanakan penelitian selanjutnya

yang mengkaji faktor lain yang mempengaruhi kualitas hidup lansia.

7
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab 2 dijelaskan beberapa konsep dasar yang digunakan dalam

penelitian, diantaranya : 1) konsep dasar status gizi, 2) konsep dasar lansia,

3) konsep dasar kualitas hidup, 4) kerangka teori, 5) kerangka konsep, dan 6)

hipotesis.

2.1 Konsep dasar status gizi

2.1.1 Pengertian status gizi

Istilah gizi berasal dari bahasa Arab giza yang berarti zat

makanan, dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah nutrition yang

berarti bahan makanan atau zat gizi atau sering diartikan sebagai ilmu

gizi. Pengertian lebih luas bahwa gizi diartikan sebagai proses

organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal

melalui proses pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan,

metabolisme, dan pengeluaran zat gizi untuk mempertahankan

kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal organ tubuh serta untuk

menghasilkan tenaga (Sigit, 2012). Menurut Sunita Almatsier (2009:

8) zat-zat gizi yang dapat memberikan energi adalah karbohidrat,

lemak, dan protein, oksidasi zatzat gizi ini menghasilkan energi yang

diperlukan tubuh untuk melakukan kegiatan atau aktivitas. Ketiga zat

gizi termasuk zat organik yang mengandung karbon yang dapat

dibakar, jumlah zat gizi yang paling banyak terdapat dalam pangan dan

8
disebut juga zat pembakar (Sigit, 2012).

Status gizi dapat pula diartikan sebagai gambaran kondisi fisik

seseorang sebagai refleksi dari keseimbangan energy yang masuk dan

yang dikeluarkan oleh tubuh (Marmi, 2013). Gizi merupakan salah

satu faktor penentu utama kualitas sumber daya manusia. Gizi buruk

tidak hanya meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian tetapi

juga menurunkan produktifitas, menghambat pertumbuhan sel-sel otak

yang mengakibatkan kebodohan dan keterbelakangan (Krisnansari,

2010).

Gizi adalah suatu proses penggunaan makanan yang

dikonsumsi secara normal oleh suatu oganisme melalui proses digesti,

absorpsi, penyimpanan, metabolisme, hingga ekskresi yang semuanya

bermanfaat bagi proses pertumbuhan, keberlangsungan fungsi normal

organ-organ tubuh, serta produksi energi. Menurut Sunita Almatsier

(2009: 8) Zat-zat gizi yang dapat memberikan energi adalah

karbohidrat, lemak, dan protein, oksidasi zatzat gizi ini menghasilkan

energi yang diperlukan tubuh untuk melakukan kegiatan atau aktivitas.

Ketiga zat gizi termasuk zat organik yang mengandung karbon yang

dapat dibakar, jumlah zat gizi yang paling banyak terdapat dalam

pangan dan disebut juga zat pembakar.

9
2.1.2 Pengelompokan zat gizi berdasarkan fungsi zat gizi

Berdasarkan fungsi zat gizi, penggolongan bahan makanan

dibagi menjadi :

1. Zat gizi penghasil energi ialah karbohidrat, lemak dan protein. Zat

gizi ini sebagian besar dihasilkan dari makanan pokok.

2. Zat gizi pembangun sel, terutama diperankan protein. Oleh karena

itu, bahan pangan lauk pauk digolongkan makanan sumber zat

pembangun.

3. Zat pengatur, termasuk di dalamnya vitamin dan mineral. Bahan

pangan sumber mineral dan vitamin adalah buah dan sayur (FKM UI,

2007).

Zat gizi terbagi menjadi zat gizi makro dan nutrisi mikro.

Nutrisi makro terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak yang

digunakan sebagai sumber energi. Sedangkan zat gizi mikro

mencakup vitamin dan mineral. Diet seimbang harus mencakup

kebutuhan zat gizi makro dan mikro. Jika tidak seimbang, proses

metabolisme dalam tubuh tidak akan berlangsung optimal dan

mempengaruhi kebugaran fisik. Asupan diet sehari-hari harus

sedemikian rupa sehingga jika dihitung dari total konsumsi , 15-20 %

adalah protein , 40-50 % adalah karbohidrat kompleks dan 20-30 %

adalah lemak (Cakrawati & Mustika, 2012).

10
2.1.3 Manfaat zat gizi

Manfaat umum zat gizi adalah:

1. Sebagai sumber energi atau tenaga

2. Menyumbang pertumbuhan badan

3. Memelihara jaringan tubuh, mengganti sel yang rusak atau aus

4. Mengatur metabolisme dan mengatur keseimbangan air, mineral dan

asam basa di dalam cairan tubuh

5. Berperan dalam mekanime pertahanan tubuh terhadap penyakit

sebagai antibodi dan antitoksin (FKM UI, 2007)

Konsumsi nutrisi sangat mempengaruhi status gizi seseorang

yang merupakan modal utama bagi kesehatan individu. Asupan gizi

yang salah atau tidak sesuai akan menimbulkan masalah kesehatan.

Masalah kesehatan di Indonesia yang muncul sebagai akibat asupan gizi

yang kurang diantaranya adalah kekurangan vitamin A (KVA),

gangguan akibat kekurangan yodium (gaky), anemia, kekurangan energi

protein (KEP). Selain masalah gizi kurang, masalah yang sering muncul

adalah obesitas (berat badan berlebih), yang akan diikuti dengan

timbulnya penyakit seperti jantung koroner, diabetes mellitus, stroke dan

sebagainya.

Selain itu gizi juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan

otak dan perilaku, kemampuan bekerja dan produktifitas serta daya

tahan terhadap pernyakit infeksi. Gizi juga mempunyai peran yang besar

11
terhadap tingkat kesembuhan dan lama perawatan orang yang sedang

sakit. Kekurangan gizi berdampak pada beberapa perubahan penting

dalam sistem metabolisme tubuh, diantaranya penurunan tingkat filtrasi

pada glomerular yang terjadi di ginjal, gangguan pada pertahanan

intestinal di lambung dan saluran cerna secara umum, perubahan pada

farmakokinetik dan perubahan pada fungsi kardiak jantung

(Sulistyoningsih & Hariyani, 2011).

2.1.4 Fungsi makanan

Makanan mempunyai berbagai macam fungsi, yaitu:

1. Fungsi fisiologis makanan

Fungsi ini berkaitan dengan peran makanan dalam tubuh.

Makanan menjadi sumber energi untuk melakukan

kegiatan/aktifitas. Selain itu makanan berperan dalam pertumbuhan

dan pemeliharaan jaringan tubuh. Zat-zat tersebut diperlukan untuk

membentuk sel-sel baru, memelihara dan mengganti sel yang rusak.

Makanan juga berperan dalam membangun struktur sel atau

jaringan dalam tubuh.

2. Fungsi sosial budaya

Pangan menjadi persoalan utama dalam topik eksistensi suatu

masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kehidupan sosial, kebudayaan

dan kehidupan beragama. Makanan pun bisa dijadikan ungkapan

rasa cinta, persahabatan dan juga simbol kebahagiaan seperti kue

tart dalam pesta.

12
3. Fungsi psikologi makanan

Makanan harus dapat memberikan kepuasan secara emosional,

termasuk rasa perlindungan, kasih sayang dan perhatian. Aspek ini

penting untuk mendukung penerimaan konsumen, misalnya

perencanaan menu keluarga agar tidak hanya memenuhi kebutuhan

gizi saja, tapi juga dapat dinikmati dengan rasa senang (Cakrawati

& Mustika, 2012).

2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan masalah gizi

lansia

Terjadinya kekurangan gizi pada lansia oleh karena sebab-

sebab yang bersifat primer maupun sekunder. Sebab-sebab primer

meliputi ketidaktahuan, isolasi sosial, hidup seorang diri, baru

kehilangan pasangan hidup, gangguan fisik, gangguan indera,

gangguan mental, dan kemiskinan hingga asupan makan sehari-hari

memang kurang. Sebab-sebab sekunder meliputi malabsorbsi,

penggunaan obat-obatan, peningkatan kebutuhan gizi serta

alkoholisme (Azizah, 2011).

Rincian faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan

kecukupan zat gizi lansia dijelaskan berikut ini:

1. Usia

Seiring pertambahan usia, kebutuhan zat gizi

karbohidrat dan lemak menurun, sedangkan kebutuhan

13
protein, vitamin dan mineral meningkat karena ketiganya

berfungsi sebagai antioksidan untuk melindungi sel-sel

tubuh dari radikal bebas (Fatmah, 2010).

2. Jenis kelamin

Dibandingkan lansia wanita, lansia pria lebih banyak

memerlukan kalori, protein dan lemak. Ini disebabkan

karena perbedaan tingkat aktifitas fisik (Fatmah, 2010).

3. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan seperti isolasi sosial berupa hidup

sendiri setelah pasangan meninggal dan rendahnya

pemahaman gizi menyebalikan mundurnya atau

memburuknya keadan gizi lansia (Azizah, 2011). Interaksi

sosial mendorong orang untuk makan dan mempertahankan

minat mereka terhadap makanan (Barasi, 2007).

4. Faktor sosial

Faktor sosial termasuk status finansial, jenis tempat

tinggal, akses ke toko dan fasilitas, kesadaran akan

komposisi hidangan yang baik atau tingkat pendidikan atau

ketrampilan memasak juga dapat mempengaruhi asupan

makanan. Pemilihan makanan dari berbagai macam jenis

yang mencakup semua kelompok makanan dalam jumlah

yang sesuai (Barasi, 2007).

Perubahan lingkungan sosial seperti perubahan

14
kondisi ekonomi karena pensiun dan kehilangan pasangan

hidup dapat membuat lansia merasa terisolasi dari kehidupan

sosial dan mengalami depresi. Akibatnya, lansia kehilangan

nafsu makan yang berdampak pada penurunan status gizi

lansia (Fatmah, 2010). Berbagai kondisi yang disebutkan

tadi dapat muncul dan diperburuk oleh perasaan seperti

kesepian, kehilangan, kemiskinan, dan depresi. Kehilangan

adalah masalah utama pada pria lansia yang tidak pernah

memasak untuk dirinya sendiri (Watson, 2003). Menurut

Tamher dan Noorkasiani (2009), lansia yang tinggal sendiri

juga berhubungan dengan status gizi rendah, karena mereka

cenderung kurang termotivasi untuk mengkonsumsi

makanan seimbang bagi dirinya sendiri.

5. Penurunan aktivitas fisik

Aktifitas fisik mempertahankan kebutuhan energi

dan nafsu makan, menjamin asupan makanan yang adekuat,

serta mempertahankan massa otot yang menunjang hidup

mandiri dan kemampuan menyediakan makanannya sendiri

(Barasi, 2007). Semakin bertambahnya usia seseorang, maka

aktivitas fisik yang dilakukannya semakin menurun. Hal ini

terkait dengan penurunan kemampuan fisik yang terjadi

secara alamiah. Pada lansia yang aktivitas fisiknya menurun,

asupan energi dikurangi untuk mencapai keseimbangan

15
energi dan mencegah terjadinya obesitas, karena salah satu

faktor yang menentukan berat badan seseorang adalah

keseimbangan antara masukan energi dan keseimbangan

energi. aktivitas fisik yang memadai diperlukan untuk

mengontrol berat badan. Selain memberi keuntungan pada

kontrol berat badan, aktifitas fisik juga memberikan

keuntungan lain, diantaranya yaitu efek positif terhadap

metabolisme energi, memberikan latihan pada jantung, dan

menurunkan risiko diabetes melitus karena aktifitas fisik

meningkatkan sensivitas insulin. Penurunan aktivitas fisik

pada lansia dapat meningkatkan risiko penyakit degeneratif

(Fatmah, 2010).

Untuk beberapa lanjut usia (lansia), proses penuaan

menjadi sebuah beban. Mereka kehilangan kemandirian baik

secara fisik, contohnya keterbatasan gerak, maupun secara

psikologis, contohnya depresi atau kerusakan kognitif

(Watson, 2003). Penurunan fungsi fisik pada lansia

merupakan hal yang terjadi secara alami seiring

pertambahan usia. Perubahan fungsi fisiologis pada lansia

dapat menyebabkan penurunan asupan makanan yang

berakibat pada penurunan status gizi (Fatmah, 2010).

6. Faktor kesehatan

Faktor kesehatan yang berperan dalam perubahan

16
status gizi, antara lain adalah naiknya insiden penyakit

degenerasi maupun non degenerasi yang berakibat dengan

perubahan dalam asupan makanan, perubahan dalam absorpsi

dan utilisasi zat tertentu yang harus diminum pada lansia oleh

karena penyakit yang dideritanya. Apabila seseorang berhasil

mencapai usia lanjut, maka salah satu upaya utama adalah

mempertahankan atau membawa status gizi yang bersangkutan

pada kondisi optimum agar kualitas hidup yang bersangkutan

lebih baik (Azizah, 2011). Kondisi yang kronik seperti penyakit

serebrovaskular, artritis, diabetes, dan gangguan mental

merupakan penyebab malnutrisi pada lansia. Artritis dapat

menyebabkan malnutrisi dengan konsekuensi berupa

ketidakmampuan lansia mengunjungi pasar untuk membeli

makanan. Bahkan jika aktifitas ini dapat dilakukan, mungkin

mereka akan sulit untuk memasak makanan tersebut. Hal

tersebut merupakan masalah umum, tetapi perlu mendapatkan

perhatian sccara luas (Watson, 2003).

Masalah gizi yang dihadapi lansia berkaitan erat

dengan penurunan aktifitas fisiologi tubuhnya. Konsumsi

pangan yang kurang seimbang akan memperburuk kondisi

lansia yang secara alami memang sudah menurun.

Dibandingkan dengan usia dewasa, kebutuhan gizi lansia

umumnya lebih rendah karena adanya penurunan metabolisme

17
basal dan kemunduran lain. Berbagai hasil penelitian

menunjukkan bahwa kecepatan metabolisme basal pada orang-

orang berusia lanjut menurun sekitar 15-20 % . Hal ini

terutama disebabkan oleh berkurangnya massa otot (Fatmah,

2010).

7. Faktor fisiologis

Secara alami, fungsi fisiologis dalam tubuh lansia

menurun seiring pertambahan usianya. Perubahan fungsi

fisiologis yang terjadi pada lansia pada dasarnya meliputi

penurunan kemampuan sistem syaraf, yaitu pada indera

penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman.

Selanjutnya, perubahan juga mengakibatkan sistem

pencernaan, sistem syaraf, system pernafasan, system

endokrin, sistem kardiovaskuler, hingga penurunan

kemampuan musculoskeletal. Perubahan fisiologis

berhubungan dengan aspek gizi pada lansia dan

pengaruhnya :

a. Semakin berkurangnya indera penciuman dan perasa

umumnya membuat lansia kurang dapat menikmati

makanan dengan baik. Hal ini sering menyebabkan

kurangnya asupan pada lansia atau penggunaan bumbu

seperti kecap atau garam yang berlebihan yang tentunya

dapat berdampak kurang baik bagi kesehatan lansia.

18
b. Perubahan yang banyak terjadi pada fisiologi

gastrointestinal yang mempengaruhi ketersediaan hayati

adalah atrofi gastritis. Rasinski et.al (1986) melaporkan

bahwa perkiraan prevalensi atrofi gastritis pada lansia di

Boston yaitu sebesar 24 % pada lansia yang berumur 60-

90 tahun, 32% pada lansia yang berusia 70-79 tahun, dan

40% pada lansia berusia diatas 80 tahun.

c. Berkurangnya sekresi saliva dapat menimbulkan

kesulitan dalam menelan dan dapat mempercepat

terjadinya proses kerusakan pada gigi (Webb&

Copeman, 1996).

d. Kehilangan gigi. Separuh lansia telah banyak kehilangan

gigi yang mengakibatkan terganggunya kemampuan

dalam mengkonsumsi makanan dengan tekstur keras,

sedangkan makanan yang memiliki tekstur lunak

biasanya kurang mengandung vitamin A, vitamin C, dan

serat sehinga menyebabkan mudah mengalami

konstipasi.

e. Menurunnya sekresi HCl. HCI merupakan faktor

ekstrinsik yang membantu penyerapan vitamin B12 dan

kalsium, serta utilisasi protein. Kekurangan HCI dapat

menyebabkan lansia mudah terkena osteoporosis,

defisiensi zat besi yang menyebabkan anemia sehingga

19
oksigen tidak dapat diangkut dengan baik.

f. Menurunnya sekresi pepsin dan enzim proteolitik

mengakibatkan pencernaan protein tidak efisien.

g. Menurunnya sekresi garam empedu mengganggu proses

penyerapan lemak dan vitamin A, D, E dan K.

h. Terjadinya penurunan motilitas usus, sehingga

memperpanjang waktu singgah (transit time) dalam

saluran gastrointestinal yang mengakibatkan pembesaran

perut dan konstipasi (Fatmah, 2010).

2.1.6 Kebutuhan gizi lansia

1. Kebutuhan energi

Kebutuhan akan kalori menurun sejalan dengan

pertambahan usia, karena metabolisme seluruh sel dan kegiatan otot

berkurang. Secara umum , terjadi penurunan asupan energi sebesar

5% per dekade. Penyusutan BMR ( basal metabolic rate ) 10%

sampai 20%, antara usia 30 dan 75 tahun merupakan cerminan dari

perubahan komposisi tubuh: penambahan massa lemak dan

penyusutan massa otot. Yang pertama disebabkan oleh berkurangnya

kegiatan fisik. Boleh juga dikatakan sebaliknya, penyusutan massa

tubuh tak berlemak merupakan imbas dari berkurangnya kegiatan

fisik(Arisman, 2004). Angka Metabolisme Basal (AMB) dipengaruhi

oleh gender, umur, ukuran tubuh, status kelenjar tiroid, dan

komposisi tubuh. Yang paling berpengaruh adalah massa tubuh tanpa

20
lemak (lean body mass). Perempuan pada semua usia, mempunyai

kebutuhan energi pada saat istirahat per unit tinggi dan berat badan

yang lebih rendah dari laki-laki karena memiliki proporsi massa

lemak yang lebih tinggi dan massa tubuh tanpa lemak yang lebih

rendah (Almatsier, Soetardjo, & Soekatri, 2011).

RDA (recommended daily allowances) untuk energi bagi

lansia wanita (51-75 tahun) adalah 1800 kkal (1400-2200 kkal) dan

bagi laki- laki 2400 kkal (2000-2800 kkal). Untuk lansia 75 tahun ke

atas adalah 1600 kkal (1200-2000 kkal) untuk wanita dan 2050 kkal

(1650-2450 kkal) untuk laki-laki (Waryono, 2010).

Table 2.1 Angka kecukupan energi dan zat gizi yang


dianjurkan untuk manula dalam sehari
Komposisi Laki-Laki Perempuan
Energi (Kal) 1960 1700
Protein (gram) 50 44
Vitamin A (RE) 600 500
Thiamin (mg) 0,8 0,7
Riboflavin (mg) 1,0 0,9
Niasin (mg) 8,6 7,5
Vitamin B12 (mg) 1,0 1,0
Asam Folat (microgram) 170 150
Vitamin C (mg) 40 30
Kalsium (mg) 500 500
Fosfor (mg) 500 450
Besi (mg) 13 16
Seng (mg) 15 15
Lodium (microgram) 150 150
Sumber:Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (LIPI,1989 dalam
koswara(2010)

21
2. Protein

Jika diacu pada RDA, besaran protein dipatok pada angka

0,8g/Kg BB/hari. Angka ini diperoleh dari perhitungan asupan energi

sebesar 1900 kkal (wanita) dan 2300 kkal (lelaki). Tanpa penyakit

ginjal dan hati , diet protein harus mengkontribusi energi sebesar 12-

15% total asupan kalori. Dengan acuan ini, jika asupan energi menurun

tajam, asupan protein juga menurun tajam. Dengan demikian, jumlah

protein yang seharusnya dikonsumsi harus dihitung berdasarkan orang

per orang. Beberapa literatur bahkan menganjurkan kontribusi protein

sebesar 20-25%. Kebutuhan akan protein meningkat sebagai tanggapan

atas stres fisiologis seperti infeksi, luka bakar, patah tulang dan

pembedahan.

Pada orang yang berusia lanjut, massa ototmya berkurang.

sehingga total protein tubuhnya juga berkurang. Tetapi ternyata

kebutuhan tubuhnya akan protein tidak berkurang, bahkan harus lebih

tinggi dibanding orang dewasa. Hal ini disebabkan pada lansia,

efisiensi penggunaan senyawa nitrogen (protein) oleh tubuh telah

berkurang (disebabkan pencernaan dan penyerapannya kurang efisien).

Sumber protein yang baik diantaranya adalah pangan hewani dan

kacang-kacangan (Koswara, 2010).

22
3. Air

Penghitungan kebutuhan lansia akan zat gizi dan air sama

seperti penghitungan kebutuhan kelompok usia lain. Yang perlu

diingat adalah bahwa di atas usia 25 tahun BMR akan menurun 1 %

setiap 1 tahun . Asupan air pada lansia harus lebih diperhatikan karena

osmoreseptor kurang sensitif sehingga mereka kerap tidak merasa

haus. Kecukupan asupan air, meskipun telah dihitung secara cermat,

harus dipantau melalui ekskresi urine: volume urine sehari minimal

setengah liter. Jenis minuman sebaiknya air buah, karena di samping

memasok cairan, sari buah juga menyuplai vitamin (Arisman, 2004).

Berkurangnya sensiifitas terhadap dehidrasi dan sensasi haus

mengurangi secara berarti asupan air pada usia lanjut. Padahal

kandungan air tubuh menurun seiring dengan bertambahnya umur.

Orang berusia lanjut juga mengalami penurunan kontrol terhadap

pengeluaran air seni, sehingga berisiko terhadap dehidrasi. Orang

lansia yang mengalami dehidrasi mempunyai risiko terhadap infeksi

saluran kemih, pneumonia, dan rasa bingung. Orang lanjut usia

dianjurkan untuk minum air sebanyak 6-8 gelas/hari (Almatsier et al.,

2011).

Karbohidrat Kebanyakan lansia mengkonsumsi zat

karbohidrat hanya 45-50% dari seharusnya 55-60% kalori total .

Sebagian lansia menderita kekurangan laktase, enzim yang berfungsi

menghidrolisis laktosa. Ketiadaan proses hidrolisis berakibat laktosa

23
tidak bisa diserap. Laktosa dalam usus kemudian dimetabolisasi oleh

bakteri dan menghasilkan gas. Gas ini berpotensi menimbulkan diare,

kram, dan flatulens. Pengurangan kandungan laktosa sekitar 20-30%

berdampak pada penyusutan gejala intoleransi laktosa.

4. Lemak

Asupan lemak dibatasi sampai sebesar 30% dari total energi :

sementara sisanya diupayakan dari karbohidrat. RDA untuk asam

lemak esensial minimal sebanyak 2-3%. Pembatasan lemak kurang

dari 20% akan mempengaruhi mutu makanan, karena kandungan asam

lemak esensial akan berkurang. Kelebihan dan kekurangan lemak yang

diwujudkan dalam bentuk kadar kolesterol darah, berdampak sama

buruknya. Peningkatan kadar kolesterol dapat mempertinggi risiko

terkena penyakit jantung koroner (PJK). Namun demikian, hubungan

antara kadar kolesterol dan PJK tidak bersifat linier, karena tidak

hanya kolesterol yang menyebabkan PJK.

5. Serat

Salah satu gangguan yang seringkali dikeluhkan oleh lansia

adalah sembelit. Gangguan ini akan timbul manakala frekuensi

pergerakan usus berkurang, yang akhirnya memperpanjang masa

transit tinja. Semakin lama tinja tertahan dalam usus, konsistensinya

semakin keras, dan akhirnya membatu sehingga susah dikeluarkan.

Kejadian ini berpangkal pada kelemahan tonus otot dinding saluran

cerna akibat penuaan (kegiatan fisik berkurang) serta reduksi asupan

24
cairan dan serat.

6. Vitamin

Meskipun tampak sehat, kekurangan sebagian vitamin dan

mineral tetap saja berlangsung pada lansia. Beberapa peneliti telah

membuktikan terjadinya defisiensi vitamin Bo, Bi2, vitamin D dan

asam folat. Defisit vitamin B6 dikarenakan oleh rendahnya asupan

dan kebutuhan akan zat ini lebih tinggi. Sementara vitamin B12 dan

asam folat mengalami kekurangan karena asupan berkurang dan

gangguan penyerapan (malabsorbsi). Kekurangan vitamin D terjadi

karena kurangnya paparan sinar matahari, asupan rendah, dan

sintesis yang menurun akibat usia tua. Hal ini masuk akal karena

kebanyakan lansia menghabiskan waktu di tempat tidur (Arisman,

2004).

2.1.7 Menu harian untuk lansia

Susunan makanan sehari-hari untuk lansia hendaknya tidak

terlalu banyak menyimpang dari kebiasaan makan, serta disesuaikan

dengan keadaan psikologisnya. Menu makanan lansia dalam sehari

dapat disusun berdasarkan konsep “empat sehat lima sempurna” atau

“konsep gizi seimbang" (Koswara, 2010).

25
Tabel 2.2 Pola susunan makanan lansia dalam sehari

Kelompok makanan Jenis pangan per porsi Jumlah porsi per hari

Laki-laki Perempuan

Bahan pokok Nasi 3 2


(1 piring = 200 gram)
Lauk pauk Daging 1,5 2
(1 potong = 50 gram)
Tahu 5 4
(1 potong = 25 gram)

Sayuran Bayam 1,5 1,5


(1 mangkuk = 100
gram)
Buah-buahan pepaya 2 2
(1 potong = 100
gram)
Susu Skim 1 1
(1 gelas = 100 gram)

Sumber: Ditjen Binkesmas Depkes RI (Koswara, 2010)

Menurut Azizah (2011), syarat menu seimbang untuk lansia

sehat, diantaranya:

1. Mengandung zat gizi dari beraneka ragam bahan makanan yang

terdiri dari: zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur

2. Jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi oleh lansia adalah 50

% dari hidrat arang yang merupakan hidrat arang kompleks

(sayuran, kacang- kacangan, dan biji-bijian).

3. Jumlah lemak dalam makanan dibatasi , yaitu 25-30 % dari total

26
kalori.

4. Jumlah protein yang baik dikonsumsi disesuaikan dengan lansia,

yaitu 8-10% dari seluruh total kalori.

5. Dianjurkan mengandung tinggi serat (selulosa) yang bersumber

pada buah, sayur, dan bermacam-macam pati, yang dikonsumsi

dalam jumlah secara bertahap.

6. Menggunakan bahan makanan yang tinggi kalsium, seperti: susu

non fat, yoghurt dan ikan.

7. Makanan mengandung gizi zat besi (Fe), seperti kacang-

kacangan, hati, daging, bayam, atau sayuran hijau.

8. Membatasi penggunaan garam, perhatikan label makanan yang

mengandung garam, seperti monosodium glutamate, sodium

bikarbonat, dan sodium sitrat.

9. Bahan makanan sebagai sumber zat gizi sebaiknya dari bahan

makanan yang segar dan mudah dicerna.

10. Hindari bahan makanan yang mengandung tinggi alcohol.

11. Makanan sebaiknya yang mudah dikunyah seperti makanan

lembek.

Lansia sangat membutuhkan makanan yang seimbang guna

menunjang kebutuhan gizinya. Berikut ini contoh untuk menu

seimbang untuk lansia laki-laki dan perempuan

27
Table 2.3 Contoh menu seimbang untuk lansia laki-laki (2100 kalori)

Menu Bahan makanan

Pagi: Roti iris 4 buah, margarine 2


Roti, telur, omelet, jus tomat sendok teh, telur 1 butir, tomat 4
buah, gula 1 sendok makan
10.00 WIB Kacang hijau 2 sendok makan,
Bubur kacang hijau santan 1 gelas, gula pasir 1 sendok
makan
Siang: Nasi 1,5 gelas, ikan potong (2jari),
Nasi putih, ikan bakar, tempe bumbu, tempe 1 potong sedang, sayur
tomat, sayur asam, semangka campur 1,5 mangkuk, semangka 1
potong
16.00 Susu skim 1 sendok makan
Susu hangat
Sore: Gula 1 sendok makan, nasi 1,5
Nasi putih, frikadel campur, sup sayuran, gelas, daging 1 potong sedang,
papaya sayur campur 1,2 mangkuk, papaya
1 potong
Sumber: Depkes dalam Bandiyah (2009)

Tabel 2.4 Contoh menu seimbang untuk lansia perempuan (1700 kalori)
Menu Bahan makanan

Pagi: Kentang 2 buah, 1 butir telur, sayur campur


Telur ongklok, telur mata sapi, 0,5 mangkuk, jeruk 2 buah, gula 1 sendok
sup wolter buncis, air jeruk
10.00 WIB Kacang hijau 1 sendok makanan, wortel 3
Sup kacang hijau sendok makan, daging 3 potong
Siang: Nasi 1 gelas, ayam 1 potong (paha), tempe 2
Nasi, pepes ayam, sambal goring, potong, sayuran 1,5 mangkuk, agar-agar 0,5
tempe, sayur lodeh, buah komplet mangkuk, gula 1 sendok makan
16.00 WIB Papaya 2 potong, agar-agar 0,5 sendok
Pudding buah makan, gula 1 sendok makan
Sore: Nasi 1 gelas, ikan 1 potong, tahu 1 potong,
Nasi, ikan goreng, tahu balado, bayam 1,5 mangkuk, apel 1 potong kecil
sayur menir, apel
Sumber : Depkes dalam Bandiyah (2009)

28
Untuk menjaga agar menu harian tidak monoton, tetapi

bervariasi, maka dapat disajikan berbagai bahan makanan pengganti

atau penukar.

Tabel 2.5 berbagai kelompok makanan pengganti/penukar

Kelompok makanan Jenis makanan

Sumber karbohidrat Nasi, jagung, ketan, bihun, biscuit, kentang, mie


instan, mie kering, roti tawar, singkong, talas, ubi
jalar, macaroni
Sumber protein hewani Daging ayam, daging sapi, hati (ayam atau sapi),
telur unggas, ikan mas, ikan kembung, ikan sarden,
bandeng, baso daging
Sumber protein nabati Kacang tanah, kedelai, kacang hijau, kacang merah,
kacang tolo, tahu tempe, oncom
Buah-buahan Papaya, belimbing, alpukat, apel, jambu biji, jeruk,
manga, nangka, pisang ambon, sawo, semangka,
sirsak, tomat
Sayuran Bayam, buncis, beluntas, daun papaya, daun
singkong, katuk, kapri, kacang Panjang, kecipir,
sawi, selada, wortel
Makanan jajanan Bika ambon, dadar gulung, getuk lindri, apem,

kroket, kue pia, kue putu, risoles

Susu Susu sapi, susu kambing, susu kerbau, susu kedelai,


skim
Sumber: Koswara (2010).

2.1.8 Masalah gizi pada lanjut usia

Bertambahnya usia akan disertai dengan penurunan fungsi dan

metabolisme serta komposisi tubuh. Perubahan-perubahan itu

menyebabkan kebutuhan terhadap zat gizi dan jumlah asupan makanan

29
berubah. Bila perubahan kebutuhan dan asupan zat gizi makanan

tersebut tidak diantisipasi dengan pemberian nutrisi secara tepat, maka

akan timbul masalah nutrisi yang dapat mempercepat atau

memperburuk kondisi fisik lansia. Ditambah dengan penurunan daya

tahan tubuhnya sehingga lansia mudah terkena penyakit dan bila

terserang penyakit akan lama proses penyembuhannya serta

mengakibatkan kualitas hidup lansia menjadi rendah. Misalnya proses

degeneratif pada otot ditandai dengan berkurangnya jumlah dan ukuran

serabut otot. Kurangnya aktifitas fisik merupakan sebab utama

mengecilnya ukuran diameter serabut otot. Massa otot secara

keseluruhan mengecil, sehingga kekuatan otot pun berkurang.

Berkurangnya massa otot tubuh disertai dengan bertambahnya lemak

tubuh. Makin bertambah usia, deposit lemak di bawah kulit bergeser

dari daerah tungkai ke dacrah perut (Maryam , Dkk, 2008).

Terdapat beberapa masalah gizi yang dihadapi oleh lansia,

diantaranya adalah:

1. Gizi berlebih

Kebiasaan makan banyak pada waktu muda menyebabkan

berat badan berlebih, apalagi pada lansia penggunaan kalori

berkurang karena berkurangnya aktifitas fisik. Kegemukan

merupakan salah satu pencetus berbagai penyakit, misalnya

penyakit jantung, kencing manis, dan darah tinggi.

30
2. Gizi kurang

Gizi kurang sering disebabkan oleh masalah-masalah sosial

ekonomi dan juga karena gangguan penyakit. Bila konsumsi

kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan menyebabkan berat

badan kurang dari normal. Apabila hal ini disertai dengan

kekurangan protein menyebabkan kerusakan-kerusakan sel yang

tidak dapat diperbaiki, akibatnya rambut rontok, daya tahan

terhadap penyakit menurun, mudah terkena infeksi.

3. Kekurangan vitamin Bila konsumsi buah dan sayuran dalam

makanan kurang dan ditambah dengan kekurangan protein dalam

makanan akibatnya nafsu makan berkurang, penglihatan menurun,

kulit kering, penampilan menjadi lesu dan tidak bersemangat

(Proverawati & Asfuah, 2009).

4. Osteoporosis

Massa tulang telah mencapai maksimum pada usia sekitar

35 tahun untuk wanita dan 45 tahun untuk pria. Bila konsumsi

kalsium kurang, dalam jangka waktu lama akan timbul keropos

tulang (osteoporosis), Keropos tulang pada wanita terjadi setelah

2 tahun menopause. Hal ini karena massa tulang wanita lebih

kecil daripada pria dan pengaruh penurunan hormon estrogen

pada wanita yang telah mengalami menopause. Kekurangan

konsumsi kalsium dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan

osteoporosis.

31
5. Anemia

Penyebab anemia pada usia lanjut ini selain karena

kekurangarn zat gizi (Fe, asam folat, vitamin B12 dan protein)

juga faktor lain seperti kemunduran proses metabolisme sel darah

merah (hemoglobin). Kelopak mata, bibir, dan telapak tangan

menjadi pucat terjadi bila menderita anemia berat (Hb <8 gram%)

Batas ambang untuk menentukan anemia adalah 130% untuk pria

dan 12 g% untuk wanita .

6. Gout

Kelainan metabolisme protein menyebabkan asam urat

dalanm darah meningkat yang menyebabkan rasa nyeri dan

bengkak di sendi. Pada penderita gout perlu pembatasan konsumsi

protein agar kadar asam urat dalam darah menurun. Selain itu

asam urat yang berlebih dapat menjadi pencetus terjadinya batu

ginjal.

7. Kurang energi kronis

Kurangnya nafsu makan yang berkepanjangan pada usia

lanjut dapat menyebabkan penurunan berat badan yang drastis.

Pada orang tua, kulit dan jaringan ikat mulai keriput sehingga

makin kelihatan kurus. Di samping kurangnya karbohidrat, lemak,

dan protein sebagai zat gizi makro pada penderita KEK biasanya

juga disertai kekurangan zat gizi mikro yang lain. Seseorang

dikatakan KEK, bila IMT <17, selain itu dari pemeriksaan dapat

32
terlihat bahwa orang tersebut sangat kurus dan tulang- tulangnya

menonjol.

8. Kekurangan zat gizi mikro lain

a. Kekurangan vitamin A

Gejala yang ditimbulkan adalah kekeringan pada

selaput lendir mata dan kulit. Selain itu kekurangan vitamin A

dihubungkan dengan terjadinya katarak.

b. Kekurangan vitamin B1, asam folat dan vitamin B12

Penelitian terakhir membuktikan bahwa kekurangan

vitamin di atas dapat meningkatkan kadar homosistein dalam

darah. Peningkatan homosistein dihubungkan dengan

meningkatnya risiko terjadinya penebalan pembuluh darah dan

risiko penyakit jantung koroner dan darah tinggi.

c. Kekurangan vitamin C

Gejala yang ditimbulkan adalah sariawan di mulut

dan perdarahan gusi, disebabkan karena kurangnya konsumsi

sumber vitamin C (sayur dan buah-buahan).

d. Kekurangan vitamin D

Selain kekurangan kalsium, pada usia anjut karena

terbatasnya aktifitas, kurang terpapar sinar matahari, akibatnya

terjadi penurunarn densitas tulang yang makin parah.

e. Kekurangan vitamin E

Vitamin ini sering disebut dengan anti ketuaan,

33
karena dihubungkan dengan peningkatan kesuburan. Selain itu

vitamin ini juga merupakan antioksidan.

f. Kekurangan mineral seng (Zn)

Kurangnya konsumsi makanan hewani dapat

mengakibatkan kekurangan Zn. Gejala yang ditimbulkan

antara lain terjadinya kekurangan daya pengecap dan kelainan

pada kulit.

9. Kekurangan serat

Pada usia lanjut, karena kesulitan mengunyah, cenderung

mengkonsumsi makanan yang sudah diproses, yang sedikit

mengandung serat. Kekurangan serat dapat meningkatkan risiko

menderita kanker usu besar. Selain itu pada usia lanjut juga sering

terjadi susah buang air besar dan wasir (Dinkes kab. Mojokerto,

2016).

2.1.9 Dampak kekurangan gizi pada lansia

Usia lanjut selalu dalam keadaan risiko malnutrisi karena

terjadinya penurunan asupan makanan akibat adanya perubahan fungsi

usus metabolisme yang tidak efektif, kegagalan hemeostatis dan defek

nutrien Semakin tua umur seseorang, semakin tinggi resiko terkena

malnutrisi, yang bila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan

defisiensi energi protein dan nutrisi lainnya. Hal tersebut akhirnya

berdampak pada terjadinya penurunan kualitas hidup seseorang

(Syahrul, 2013).

34
Amarantos, Martinez dan Dwyer (2001) menyatakan status

gizi dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Hal ini disebabkan

karena pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi tubuh mulai dari

menurunnya kemampuan alat indra seperti penciuman dan penurunan

indra pengecap dalam hal cita rasa sampai pada penurunan fimgsi

gastrointestinal dan fungsi usus yang semuanya menyebabkan

penurunan nafsu makan sehingga mempengaruhi status gizi Malnutrisi

dapat mengakibatkan keterbatasan dalam aktifitas fisik yang

menyebabkan ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari dan

hal inilah yang mempengaruhi kualitas hidup lansia. Peningkatan

kualitas hidup lansia seharusnya dapat ditingkatkan dengan

meningkatkan jumlah asupan nutrisi pada lansia (Departemen

Kesehatan, 2010)

Malnutrisi pada lansia mengurangi kualitas hidup lansia,

karena malnutrisi berkontribusi pada munculnya penyakit serius,

penurunan kapasitas fungsional merubah konsep diri dan mempercepat

disabilitas kronis (Chen, Schilling, dan Lyder, 2001).

2.1.10 Penatalaksanaan gizi pada usia lanjut

Penatalaksanaan gizi pada usia lanjut berdasarkan Pedoman

Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan, meliputi:

1. Penyuluhan dan konsultasi gizi Dapat dilakukan oleh petugas gizi

atau keschatan kepada usia lanjut baik yang ada di panti, tempat

pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit) atau di keluarga

35
melalui posyandu usia lanjut.

2. Pendidikan gizi bertujuan agar para usia lanjut.

a. Dapat memilih makanan yang mengandung nilai gizi

seimbang sesuai dengan kondisi kesehatannya

b. Mendapatkan gizi yang cukup melalui dit makanan yang

teratur.

c. Mencapai perubahan fungsi saluran pencernaan yang

menyertai proses penuaan.

d. Mencegah atau menghambat perkembangan osteoporosis.

e. Intervensi atau menanggulangi masalah gizi yang dideritanya.

f. Selalu berkonsultasi dengan dokter atau petugas kesehatan

bila menderita penyakit yang berkaitan dengan masalah gizi.

3. Pedoman untuk masalah memilih diit yang sehat

Mengacu pada "13 Pesan Dasar Diit Seimbang". Pesan-

pesan yang perlu diperhatikan oleh setiap individu sejak usia

dewasa, khususnya pada usia lanjut dalam memilih makanan.

4. Intervensi gizi khusus pada usia lanjut

a. Mempertahankan atau meningkatkan berat badan bagi orang

yang kekurangan berat badarn

b. Mengatasi perubahan fungsi saluran pencernaan

c. Mencegah atau memperlambat osteoporosis

d. Usia lanjut yang menderita Diabetes Mellitus

(Depkes-Dinkes Jatim, 2006)

36
2.1.11 Penilaian status gizi lansia

1. Penilaian klinis

Cara pengukuran ini didasarkan pada perubahan-perubahan

yang terjadi pada jaringan epitel atau bagian tubuh lain terutama

pada mata, kulit, dan rambut. Selain itu, pengamatan juga dapat

dilakukan pada bagian tubuh yang dapat diraba dan dilihat atau

bagian tubuh lain yang terletak dekat permukaan tubuh seperti

kelenjar thyroid.

2. Penilaian biokimia

Merupakan cara penilaian yang lebih sensitif dan mampu

menggambarkan perubahan status gizi lebih dini pada lansia,

seperti hiperlipidemia, kurang kalori protein dan anemia defisiensi

besi (Fe) dan asam folat.

3. Penilaian dietetik

Biro et.al (2002) mendefinisikan penilaian dietetik sebagai

enilaian yang menggambarkan kualitas dan kuantitas asupan dan

pola makan lansia melalui pengumpulan data dalam survei

konsumsi makanan. Metode pengumpulan data asupan makanan

individu terbagi 2 yaitu:

a. Jangka pendek Mengumpulkan informasi data makanan saat

ini (current) Alat ukur: 24 hours food recall dan lebih dari 2

hari (dietary record).

b. Jangka panjang Mengumpulkan informasi tentang makanan

37
yang biasa dikonsumsi sebulan atau setahun yang lalu. Alat

ukur: dietary history atau food frequency questionnaire (FFQ).

4. Penilaian antropometri

Antropometri adalah serangkaian teknik pengukuran

dimensi kerangka tubuh manusia secara kuantitatif. Antropometri

seringkali digunakan sebagai perangkat pengukuran antropologi

biologi yang bersifat cukup objektif dan terpercaya. Penilaian

status gizi lansia diukur dengan antropometri atau ukuran tubuh

yaitu tinggi badan (TB) dan berat badan (BB). Namun pada lansia

yang mengalami perubahan postur tubuh atau tidak dapat berdiri

tegak, tinggi badan dapat diperkirakan dari pengukuran panjang

depa, tinggi lutut dan tinggi duduk, dengan syarat syarat sebagai

berikut:

a. Bila mampu berdiri dengan kedua buah pergelangan tangan

diluruskan mendatar sepanjang mungkin, maka digunakan

pengukuran panjang depa

b. Hanya mampu duduk saja, digunakan tinggi duduk atau tinggi

lutut.

c. Hanya dapat berbaring, makan digunakan pengukuran tinggi

lutut.

38
Table 2.6 Tabel nomongram konversi tinggi lutut ke tinggi badan

Tinggi lutut (cm) TB pria (cm) TB wanita (cm)

- - -

60 182,5 176,0

59 180,4 174,1

58 178,3 172,2

57 176,2 170,4

56 174,1 168,5

55 172,0 166,6

54 169,9 164,7

53 167,7 162,8

52 165,6 160,9

51 163,5 159,0

50 161,4 157,1

49 159,3 155,2

48 157,2 153,4

47 155,1 151,5

46 153,0 149,6

45 150,9 147,7

44 148,8 145,8

43 146,7 143,9

39
42 144,6 142,0

41 142,5 140,1

40 140,4 138,2

39 138,3 136,4

38 136,2 134,5

37 134,1 132,6

36 132,0 130,7

35 129,9 128,8

Sumber: (Fatmah, 2010)

Jika hasil pengukuran tinggi lutut tidak ada dalam tabel

tersebut, maka digunakan rumus sebagai berikut:

Tinggi badan prediksi pria: 56,343 + 2,102 tinggi lutut

Tinggi badan prediksi wanita: 62,682+ 1,889 tinggi lutut (Fatmah,

2010).

Tinggi lutut direkomendasikan oleh WHO (1999) untuk

digunakan sebagai prediktor tinggi badan pada seseorang yang

berusia ± 60 tahun (lansia).

Beberapa prediktor tinggi badan lansia:

a. Tinggi lutut

Tinggi lutut sangat erat hubungannya dengan tinggi badan

yang sering digunakan untuk memperkirakan tinggi badan

seseorang yang memiliki gangguan lekukan tulang belakang atau

tidak dapat berdiri karena lumpuh atau sebab lainnya. Cara

40
pengukuran dilakukan dengan menggunakan kaki kiri klien.

Lansia diukur dalam posisi duduk atau berbaring di atas lantai

atau kasur dengan permukaan rata tanpa menggunakan bantal atau

alas kepala apapun. Lalu pengaris kayu ditempatkan di antara

tumit sampai bagian tertinggi dari tulang lutut.

b. Panjang depa

Lansia yang diukur harus memiliki kedua tangan yang dapat

direntangkan sepanjang mungkin dalam posisi lurus mendatar dan

tidak dikepal. Alat yang digunakan berupa mistar kayu 2 m. Cara

pengukuran dilakukan dengan lansia berdiri dengan kaki dan bahu

menempel membelakangi tembok sepanjang pita pengukuran

yang ditempel di tembok. Bagian atas kedua lengan hingga ujung

telapak tangan menempel erat di dinding sepanjang mungkin.

Hasil pengukuran dimulai dari bagian ujung jari tengah tangan

kanan hingga ujung jari tengah tangan kiri.

c. Tinggi duduk

Hal ini dilakukan bila lansia tidak dapat berdiri tegak dan

atau merentangkan kedua tangannya sepanjang mungkin dalam

posisi lurus lateral dan tidak dikepal. Jika salah satu atau kedua

buah pergelangan tangan tidak dapat diluruskan karena sakit atau

sebab lainnya maka digunakan pengukuran tinggi duduk.

Pengukuran menggunakan mikrotoa sepanjang 2 m yang

ditempelkan ke dinding atau tembok. Cara pengukuran yaitu

41
mikrotoa yang menempel erat di dinding harus dinolkan dulu

sampai lantai. Lansia duduk dengan posisi tubuh tegak, kepala

dan tulang belakang atau punggung menempel rapat ke dinding.

Tangan diletakkan dengan santai di atas menempel rapat ke

dinding. Tangan diletakkan dengan santai di atas paha. Lansia

tidak menggunakan alas kepala (topi). Kedua kaki tanpa atau

dengan alas kaki dirapatkan ke dinding bangku dan mata lurus

menatap ke depan. Pembacaan dilakukan pada mikrotoa setelalh

dikurangi tinggi bangku (Fatmah, 2010).

Untuk menganalisa status gizi lansia dapat diinterpretasikan

dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛(𝑘𝑔)
IMT =
𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛(𝑚)²

Keterrangan

IMT = Indeks Masa Tubuh

Kategori status gizi lansia berdasarkan indeks masa tubuh

yaitu:

a. <18,5 kg/m² : Gizi kurang

b. 18,5-25 kg/m² : Gizi normal

c. >25 kg/m² : Gizi lebih

(Depkes RI, 2005 dalam Fatmah, 2010)

42
2.2 Konsep Dasar Lansia

2.2.1 Pengertian lanjut usia

stilah untuk manusia yang berusia lanjut belum ada yang baku.

Orang memiliki sebutan berbeda-beda. Ada yang menyebutnya manusia

usia lanjut (manula), manusia lanjut usia (lansia), ada yang menyebut

golongan lanjut umur (glamur), usia lanjut (usila), bahkan di Inggris orang

biasa menyebutnya dengan istilah warga negara senior (Maryam & Dkk,

2008).

Seseorang dikategorikan berusia lanjut tergantung sudut pandang

yang digunakan. Para ahli membedakannya menjadi 2 macam usia, yaitu

usia kronologis dan usia biologis. Usia kronologis dihitung dengan tahurn

kalender. Di Indonesia, dengan usia pensiun 56 tahun, barangkali dapat

dipandang sebagai batas seseorang mulai memasuki usia lanjut, namun

dalam perkembangan selanjutnya, menurut Undang-undang No. 13 Tahun

1998 dinyatakan bahwa usia 60 tahun ke atas adalah yang paling layak

disebut usia lanjut.

Usia biologis adalah usia yang sebenarnya. Dimana biasanya

diterapkan kondisi pematangan jaringan sebagai indeks usia biologis

(Setiawan, 2002). Selain itu, menurut Departemen Kesehatan RI (Buku

Pedoman Pembinaan, 2000), dikenal pula usia psikologis, yaitu yang

dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk dapat mengadakan

penyesuaian terhadap setiap situasi yang dihadapinya. Smith dan Smith

(1991) menggolongkan usia lanjut menjadi tiga, yaitu young old (65-74

43
tahun), middle old (75-84 tahun), dan old-old (lebih dari 85 tahun).

Sedangkan Setyonegoro (1984) mengolongkan bahwa yang disebut usia

lanjut (geriatric age) adalah orang yang berusia lebih dari 65 tahun.

Selanjutnya terbagi dalam usia 70-75 tahun (young old), 75-80 tahun (old),

dan lebih dari 80 tahun (very old) (Tamher & Noorkasiani, 2009).

2.2.2 Batasan lansia

Berdasarkan pendapat beberapa ahli dalam program kesehatan usia

lanjut. Departemen Kesehatan membuat pengelompokan seperti di bawah

ini:

1. Kelompok pertengahan umur. Kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu

masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik dan

kematangan jiwa (45-54 tahun).

2. Kelompok usia lanjut dini. Kelompok dalam masa pra senium, yaitu

kelompok yang mulai memasuki usia lanjut (55-64 tahun).

3. Kelompok usia lanjut. Kelompok dalam masa senium (65 tahun ke atas).

4. Kelompok usia lanjut dengan resiko. Kelompok yang berusia lebih dari

70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil,

menderita penyakit berat atau cacat (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (World Health

Organization) pada tahun 1999 (Azizah, 2011) menggolongkan lanjut usia

berdasarkan usia kronologis atau biologis menjadi empat kelompok, yaitu:

1. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun

2. Lanjut usia (elderly) antara 60 sampai 74 tahun

44
3. Lanjut usia tua (old) antara 75 dan 90 tahun

4. Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses menua

Proses menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara

perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti

dan mempertahankan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan

terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua

merupakan proses yang terus-menerus (berlanjut) secara alamiah. Dimulai

sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup (Nugroho,

2008),

Menurut Pudjiastuti (2003), penuaan dapat terjadi secara fisiologis

dan patologis. Bila seseorang mengalami penuaan fisiologis (isiological

aging), diharapkan mereka tua dalam keadaan sehat (healthy aging).

Penuaan itu sesuai dengan kronologis usia (penuaan primer) yang

dipengaruhi oleh faktor endogen, perubahan dimulai dari sel-jaringan-organ-

sistem pada tubuh.

Bila penuaan banyak dipengaruhi oleh faktor eksogen, yaitu

lingkungan, sosial budaya, gaya hidup disebut penuaan sekunder. Penuaan

itu tidak sesuai dengan kronologis usia dan patologis. Faktor eksogen juga

dapat mempengaruhi faktor endogen, sehingga dikenal dengan faktor risiko.

Faktor risiko tersebut yang menyebabkan terjadinya penuaan patologis

(patological aging).

Penuaan sckunder yaitu ketidakmampuan yang disebabkan oleh

45
trauma atau sakit kronis, mungkin pula terjadi perubahan degeneratif yang

timbul karena stres atau faktor psikologis yang dialami oleh individu. Stres

itu dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu. Degenerasi akan

bertambah apabila terjadi penyakit fisik yang berinteraksi dengan lansia.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses menua meliputi hereditas

(keturunan atau genetik), nutrisi (makanan), status kesehatan, pengalaman

hidup, lingkungan, dan stres (Nugroho, 2008),

2.2.4 Teori penuaan

Teori-teori yang menjelaskan bagaimana dan mengapa penuaan

terjadi biasanya dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu teoni

biologis dan psikososial (Stanley & Guanlett, 2006).

1. Teori biologis

Teori biologis mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan,

termasuk perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang usia

dan kematian. Teori biologis juga mencoba untuk menjelaskan

mengapa orang mengalami penuaan dengan cara yang berbeda dari

waktu ke waktu dan faktor apa yang mempengaruhi umur panjang,

perlawanan terhadap organisme, dan kematian atau perubahan (Stanley

& Guanlett, 2006). Teori-teori ini meliputi:

a. Teori genetika

Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama

dipengaruhi oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada

pembentukan kode genetik. Menurut teori genetika, penuaan

46
adalah suatu proses yang secara tidak sadar diwariskan yang

berjalan dari waktu ke waktu untuk mengubah sel atau struktur

jaringan (Stanley & Guanlett, 2006).

b. Teori wear and tear

Pada teori biologi dikenal istilah pemakaian dan perusakan

(wear and tear) yang terjadi karena kelebihan usaha dan stres yang

menyebabkan sel-sel tubuh menjadi lelah (pemakaian). Pada teori

ini juga didapatkan terjadinya peningkatan jumlah kolagen dalam

tubuh lansia, tidak ada perlindungan terhadap radiasi, penyakit,

dan kekurangan gizi (Maryam & Dkk, 2008).

c. Riwayat lingkungan

Menurut teori ini, faktor-faktor di dalam lingkungan

(misalnya karsinogen dari industri, cahaya matahari, trauma dan

infeksi) dapat membawa perubahan dalam proses penuaan

(Stanley & Guanlett, 2006).

d. Teori imunitas

Sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan

masuknya usus ke dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan

organ tubuh (Bandiyah, 2009).

e. Teori neuroendokrin

Penuaan terjadi oleh karena adanya suatu perlambatan

dalam sekresi hormon tertentu yang mempunyai suatu dampak

pada reaksi yang diatur oleh sistem saraf. Salah satu area neurologi

47
yang mengalami gangguan secara universal akibat penuaan adalah

waktu reaksi yang diperlukan untuk menerima, memproses dan

bereaksi terhadap perintah (Stanley & Guanlett, 2006).

f. Teori akumulasi dari produk sisa

Teori ini berasumsi bahwa pengumpulan dari pigmen atau

lemak dalam tubuh mengakibatkan mengganggu fungsi sel itu

sendiri (Nugroho, 2008).

g. Teori stres

Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan

tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan

lingkungan internal. Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-

sel tubuh lebih terpakai (Nugroho, 2008).

h. Teori rantai silang

Sel-sel yang tua atau usang, reaksi kimianya menyebabkan

ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini

menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi

(Nugroho, 2008).

i. Teori radikal bebas

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya

radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen,

bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini

menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi (Azizah, 2011)

j. Teori seluler

48
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah

tertentu dan kebanyakan sel-sel tubuh "diprogram" untuk

membelah 50 kali, akan tetapi pada lansia sel yang akan membelah

akan terlihat sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa pembelahan sel

lebih lanjut mungkin terjadi untuk pertumbuhan dan perbaikan

jaringan sesuai dengan berkurangnya umur (Azizah, 2011).

k. Teori genetic clock

Menurut teori ini, menua telah diprogram secara genetik

untuk spesies-spesies tertentu. Tiap spesies mempunyai di dalam

nuclei (inti selnya) suatu jam genetik yang telah diputar menurut

suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitung mitosis dan

menghentikan replikasi sel bila tidak diputar (Azizah, 2011).

l. Teori menua akibat metabolisme

Menurut Mc Kay et al (1935) yang dikutip Darmojo dan

Martono (2004), pengurangan "intake" kalori pada rodentia muda

akan menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur.

Perpanjangan umur karena jumlah kalori tersebut antara lain

disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa proses

metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang

merangsang proferasi sel, misalnya insulin dan hormon

pertumbuhan (Azizah, 2011).

49
m. Teori keracunan oksigen

Teori tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel

di dalam tubuh untuk mempertahankan diri dari oksigen yang

mengandung zat racun dengan kadar yang tinggi tanpa mekanisme

pertahanan diri tertentu (Azizah, 2011).

n. Teori mutasi somatik (teori error catastrophe)

Menurut teori ini, terjadinya mutasi yang progresif pada

DNA sel somatik akan menyebabkan terjadinya penurunan

kemampuan fungsional sel tersebut. Mekanisme pengontrolan

dalam tingkat sub seluler dan molekuler yang bisa disebut juga

hipotesis "error catastrophe" (Azizah, 2011).

2. Teori psikososial

Teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan dan

perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari

implikasi biologi pada kerusakan anatomis (Stanley & Guanlett,

2006).

a. Teori kepribadian

Jung mengembangkan suatu teori pengembangan

kepribadian orang dewasa yang memandang kepribadian

sebagai ekstrovert atau introvert. la berteori bahwa

keseimbangan antara kedua hal tersebut adalah penting

bagi kesehatan (Stanley & Guanlett, 2006).

b. Teori tugas perkembangan

50
Erickson mengungkapkan tugas utama lansia adalah

mampu melihat kehidupan seseorang sebagai kehidupan

yang dijalani dengan integritas. Pada kondisi tidak

adanya pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati

kehidupan yang baik, maka lansia tersebut berisiko

untuk disibukkan dengan rasa penyesalan atau putus asa

(Stanley & Guanlett, 2006).

c. Teori disengagement

Teori ini dikenal pula sebagai teori penarikan diri.

Teori ini merupakan teori sosial tentang penuaan yang

paling awal dan pertama kali diperkenalkan oleh

Gumming dan Henry (1961). Kemiskinan yang diderita

lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan

seorang lansia secara perlahan-lahan menarik diri dari

pergaulan di sekitarnya (Maryam & Dkk, 2008)

d. Teori aktifitas

Lawan langsung teori disengangement adalah teori

aktifitas penuaan, yang berpendapat bahwa jalan menuju

penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif.

Gagasan pemenuhan kebutuhan seseorang harus oleh

orang lain. Kesempatan untuk turut berperan dengan

cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang

penting bagi dirinya adalah suatu komponen

51
kesejahteraan yang penting bagi lansia (Stanley &

Guanlett, 2006).

e. Teori kontinuitas

Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat

merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi

lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku

dan harapan seseorang ternyata tidak berubah meskipun

ia telah menjadi lansia (Maryam & Dkk, 2008).

2.2.5 Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia

1. Perubahan-perubahan fisik

a. Sel

Pada sel menjadi lebih sedikit jumlahnya, lebih besar

ukurannya, berkurangnya jumlah cairan tubuh dan

berkurangnya cairan intraseluler, jumlah sel otak

menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel dan

menjadi atrofi.

b. Sistim persyarafan

Mengecilnya syaraf panca indra, cepat menurunnya

hubungan batnya respon terhadap stres dan kurang

sensitif persyarafan, lambatnya respon trhadap stres dan

kurang sensitif terhadap sentuhan.

52
c. Sistim pendengararn

Terjadi gangguan pada pendengaran. Hilangnya

kemampuan pendengaran pada telinga dalam terutama

terhadap bunyi atau suara tinggi, membrana timpani

menjadi atropi menyebabkan osteosklerosis; terjadinya

pengumpulan serumen, dapat mengeras karena

meningkatkan keratin.

d. Sistim penglihatan

Hilangnya respon terhadap sinar kekeruhan pada

lensa; daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat:

hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapangan

pandang; dan menurunnya daya membedakan warna

biru dan hijau pada skala.

e. Sistim kardiovaskuler

Tekanan darah meninggi diakibatkan oleh

meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer

kehilangan elastisitas pembuluh darah, otot-otot

pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku.

f. Sistim respirasi

Paru-paru kehilangan elastisitas; alveoli ukurannya

melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang; O² pada

arteri menurun menjadi 75 mmHg; perubahan pada otot,

kartilago dan sendi toraks mengakibatkan gerakan

53
pernafasan terganggu dan kemampuan peregangan

toraks berkurang.

g. Sistim gastrointestinal

Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi,

kehilangan gigi, indra pengecap menurun, esophagus

melebar, fungsi absorbsi melemah, rasa lapar menurun.

h. Sistem genitourinaria

Ginjal mengecil dan nefron menjadi atropi; vesika

urinaria atau kandung kemih dimana otot-otot menjadi

lemah, kapasitas menurun sampai 200 ml atau

menyebabkan frekuensi buang air seni meningkat

terjadi pembesaran prostat 75% dialami oleh para pria

di atas 65 tahun; atrofi vulva.

i. Sistim endokrin

Produksi dari hampir semua hormon menurun;

fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah, terjadi

penurunan sekresi hormon kelamin, misalnya:

progesteron, estrogen, dan testosteron dan menurunnya

aktifitas tiroid, produksi aldosteron.

j. Sistim kulit

Kulit mengkerut atau keriput akibat kehilangan

jaringan lemak, permukaan kulit menjadi kasar dan

54
bersisik, mekanisme proteksi kulit menurun, kelenjar

keringat berkurang jumlah dan fungsinya.

k. Sistim muskuloskeletal

Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh,

persendian membesar dan kaku, atrofi serabut otot.

2. Perubahan-perubahan mental

a. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa

b. Kesehatan umum

c. Tingkat pendidikan

d. Keturunan (hereditas)

e. Lingkungan

3. Perubahan-perubahan psikososial

Perubahan psikososial meliputi rangkaian dari

kehilangan diantaranya kehilangan finansial, kehilangan

status, kehilangan teman atau kenalan, kehilangan pekerjaan

atau kegiatan. Merasakan atau sadar akan kematian, terjadi

perubahan dalam gaya hidup, perubahan ekonomi akibat

pemberhentian dari pekerjaan, mengalami penyakit kronis

dan ketidakmampuan, terjadi gangguan saraf pancaindera

dan gangguan gizi, serta perubahan terhadap gambaran diri,

perubahan konsep diri.

55
4. Perubahan spiritual

Terjadi perkembangan spiritual pada lansia terdiri

dari agama atau kepercayaan yang semakin terintegrasi

dalam kehidupannya serta lansia pun matur dalam

kehidupan keagamaannya. Hal ini terlihat dalam berpikir

dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari (Nugroho, 2008).

2.3 Konsep Dasar Kualitas Hidup

2.3.1 Pengertian kualitas hidup

Kualitas hidup merupakan persepsi individu terhadap

posisinya di dalam kehidupan dalam konteks budaya sebuah sistem

nilai dimana mereka tinggal dan dalam hubungannya dengan tujuan

mereka, harapan, standar dan kepedulian. Definisi ini merefleksikan

pandangan bahwa kualitas hidup mengacu pada evaluasi subjektif yang

berpegangan pada konteks budaya, sosial dan lingkungan. Kualitas

hidup tidak dapat disamakan dengan terminologi "status kesehatan",

"gaya hidup", kepuasan hidup", "status mental" atau "kesejahteraan"

(WHO, 1996).

Kualitas hidup merupakan suatu kondisi yang menyatakan

tingkat kepuasan sccara batin, kenyamanan dan kebahagiaan hidup

dalam arti seluas- luasnya (Jusup, 2010).

Kualitas hidup pada populasi lansia mempunyaı keunıkan

tersendiri karena berhubungan dengan berbagai penyakit kronis dan

56
degeneratif, begitu pula perubahan yang berhubungan dengan

kehidupan masa pensiun (Taylor dan Kermode, 2010).

Tidak mudah untuk mendefinisikan kualitas hidup secara

tepat. Pengertian mengenai kualitas hidup telah banyak dikemukakan

oleh para ahli, namun semua pengertian tersebut tergantung dari siapa

yang membuatnya. Seperti halnya definisi sehat, yaitu tidak hanya

berarti tidak ada kelemahan atau penyakit, demikian juga mengenai

kualitas hidup, kualitas hidup bukan berarti hanya tidak ada keluhan

saja, akan tetapi masih ada hal-hal lain yang dirasakan oleh penderita,

bagaimana perasaan penderita sebenarnya dan apa yang sebenarnya

menjadi keinginannya. Menurut Calman yang dikutip oleh Hermann

(1993) mengungkapkan bahwa konsep dari kualitas hidup adalah

bagaimana perbedaan antara keinginan yang ada dibandingkan perasaan

yang ada sekarang, definisi ini dikenal dengan sebutan "Calman's Gap".

Calman mengungkapkan pentingnya mengetahui perbedaan antara

perasaan yang ada dengan keinginan yang sebenarnya, dicontohkan

dengan membandingkan suatu keadaan antara "dimana seseorang

berada" dengan "dimana seseorang ingin berada". Jika perbedaan antara

kedua keadaan ini lebar, ketidakcocokan ini menunjukkan bahwa

kualitas hidup seseorang tersebut rendah. Sedangkan kualitas hidup

tinggi jika perbedaan yang ada antara keduanya kecil (Silitonga, 2007).

Menurut Post, Witte dan Schrijvers (1999), ada tiga cara

yang dapat digunakan untuk mengoperasionalkan konsep dari kualitas

57
hidup, yaitu melihat kualitas hidup sebagai kesehatan, sebagai

kesejahteraan dan sebagai konstruk yang bersifat global (superordinate

construct). Dalam penelitian mengenai kesehatan, kualitas hidup sering

dianggap sama dengan kesehatarn (health). Beberapa peneliti kemudian

menggunakan istilah yang lebih sempit yaitu "health related quality of

life" atau health status". "Health related quality of life" dilihat sebagai

bagian dari konsep kualitas hidup secara keseluruhan (termasuk bagian

dari kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan individu).

Cara yang kedua adalah melihat kualitas hidup sebagai

kesejahteraan (well being). Kualitas hidup yang dipandang sebagai

kesejahteraan memiliki dua pandangan. Pandangan yang pertama

memfokuskan pada well being sebagai judgement keseluruhan dari

kehidupan seseorang, sedangkan pandangan yang kedua melihat well

being sebagai evaluasi subjektif dari fungsi seseorang dalam satu atau

lebih bagian (domain) kehidupan. Pandangan yang pertama ini melihat

kualitas hidup sebagai evaluasi dari kepuasan secara keseluruhan dari

kehidupan seseorang. Dalam hal ini, istilah kualitas hidup sama dengan

konsep kesejahteraan umum (global well being) subjective well being,

dan kebahagiaan (happiness). Sedangkan penilaian yang kedua melihat

bahwa kepuasan seseorang dilihat melalui beberapa bagian atau aspek

dari kehidupan mereka, bukan secara keseluruhan.

Sedangkan cara yang ketiga adalah melihat kualitas hidup

sebagai konstruk yang global (superordinate construct), Pendekatan

58
kualitas hidup yang ketiga ini melihat bahwa kesehatan dan well being

termasuk dalam definisi kualitas hidup. Cara ini digunakan oleh WHO

dalam mendefinisikan kualitas hidup dan membuat alat ukur yang dapat

digunakan secara lintas budaya. Dalam definisinya, WHO juga

mempertimbangkan adanya konteks sosial dan konteks lingkungan

dalam mengukur kualitas hidup (Sekarwiri, 2008).

Lauer mengatakan bahwa tidak terdapat satupun definisi

kualitas hidup yang dapat diterima secara universal. Secara awam,

kualitas hidup berkaitan dengan pencapaian kehidupan manusia yang

ideal atau sesuai dengan yang diinginkan. Felce dan Perry (1995)

menyebut komponen dalam mengukur kualitas hidup yakni komponen

objektitf, komponen subjektif dan komponen kepentingan. Komponen

objektif berkaitan dengan data objektif atau kondisi kehidupan yang

sebenarnya pada berbagai aspek kehidupan, komponen subjektif

merupakan penilaian individu mengenai kondisi kehidupannya saat ini

pada berbagai aspek kehidupan, dan komponen kepentingan merupakan

seberapa penting suatu aspek kehidupan dalam mempengaruhi kualitas

hidup individu. Komponen subjektif dan komponen kepentingan dari

kualitas hidup saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain,

sedangkan perubahan komponen objektif yang berupa perubahan

kondisi objektif dari berbagai aspek kehidupan dapat mempengaruhi

perubahan pada komponen subjektif maupun komponen kepentingan

dari kualitas hidup. Carl dan Higginson (2001) mengatakan bahwa

59
kualitas hidup merupakan suatu konstruk yang bersifat individual. Jadi

komponen objektif dari kualitas hidup tidak mempengaruhi kualitas

hidup itu sendiri secara langsung melainkan diperantarai oleh persepsi

individu. Kualitas hidup merupakan interaksi dari penghayatan

subjektif dan bobot kepentingan dalam/dari aspek-aspek kehidupan

tertentu dengan beberapa faktor kondisi kehidupan yang dapat

berpengaruh ataupun tidak tergantung dari persepsi individu mengenai

berbagai kondisi kehidupan (Nofitri, 2009).

Molnar (2009) mengatakan bahwa pada dasarnya menyusun

konsep mengenai kualitas hidup adalah hal yang sulit. Meskipun secara

umum. Kualitas hidup menggambarkan kesejahteraan individual dari

suatu masyarakat. Untuk mempermudah konseptualisasi mengenai

kualitas hidup hal-hal penting dalam konseptualisasi kualitas hidup

diantaranya: 1) kualitas hidup tidak boleh disamakan dengan status

kesehatan ataupun kemampuan fungsional, 2) kualitas hidup lebih

didasarkan oleh evaluasi subjektif daripada parameter objektif, 3) tidak

terdapat perbedaan yang jelas antara indikator-indikator kualitas hidup

dengan faktor-faktor yang menentukan kualitas hidup, 4) kualitas hidup

dapat berubah seiring waktu, namun tidak banyak, 5) kualitas hidup

dapat dipengaruhi secara positif maupun negatif (Nofitri, 2009).

2.3.2 Ruang lingkup kualitas hidup

Secara umum terdapat 4 bidang (domains) yang dipakai untuk

mengukur kualitas hidup berdasarkan kuesioner WHOOOL BREF yang

60
dikembangkan oleh WHO (World Health Organization), bidang

tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik, hubungan sosial

dan lingkungan, sedangkan secara rinci bidang-bidang atau faset yang

termasuk kualitas hidup adalah:

1. Kesehatan fisik (physical health): aktifitas sehari-hari,

ketergantungan pada obat-obatan dan bantuan medis, energi dan

kelelehan, mobilitas, sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat,

dan kapasitas kerja.

2. Kesehatan psikologis (psychological health): bodily image and

appearance, perasaan negatif, perasaan positif, konsep diri,

kepercayaan individu/spiritual/agama, dan berpikir, belajar, memori

dan konsentrasi.

3. Hubungan sosial (sosial relationship): hubungan personal,

dukungan sosial, dan aktifitas seksual.

4. Lingkungan (environment): sumber finansial, kebebasan,

keselamatan dan keamanan, kesehatan dan perawatan: aksesibilitas

dan kualitas, lingkungan rumah kesempatan untuk mendapatkan

berbagai informasi baru dan ketrampilan, partisipasi dan

kesempatan untuk melakukan rekreasi atau kegiatan yang

menyenangkan, lingkungan fisi transportasi (WHO, 1996).

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

secara subjektif kontekstual, diantaranya lingkungan fisik dan

61
sosial, faktor budaya dan sosial ekonomi, faktor personality,

kesejahteraan subjektif, status kesehatan dan karakteristik klinis.

Sedangkan faktor-faktor yang dipersepsikan oleh para lansia

sangat penting bagi mereka dan mempengaruhi kualitas hidup

secara subjektif, diantaranya hubungan dengan keluarga dan

pertemanan, kontak sosial, kesehatan pribadi, keleluasaan,

mobilitas, kesehatan emosional kondisi ekonomi, spiritualitas,

aktifitas di waktu senggang dan lingkungan rumah (Bond dan

Corner, 2004). Penuaan ditandai oleh penurunan status kesehatan,

penurunan mobilitas, depresi, isolasi, dan kesepian. Kesehatan

dan berfungsinya lansia dipengaruhi oleh banyak faktor selain

akibat perubahan biologis. Faktor demografi, sosial dan

lingkungan, termasuk aktifitas fisik dan pola makan memainkan

peran utama dan sangat mempengaruhi kualitas hidup lansia

(Drenowski dan Evans, 2001).

Amarantos, Martinez dan Dwyer (2001) menyatakan

status gizi dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Hal ini

disebabkan karena pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi tubuh

mulai dari menurunnya kemampuan alat indra seperti penciuman

dan penurunan indra pengecap dalam hal cita rasa sampai pada

penurunan fungsi gastrointestinal dan fungsi usus yang semuanya

menyebabkan penurunan nafsu makan sehingga mempengaruhi

status gizi.

62
Menurut Nofitri (2009), faktor-faktor yang didapatkan

mempengaruhi kualitas hidup tidak selalu sama antara penelitian

satu dengan yang lain. Beberapa penelitian menemukan faktor-

faktor individual yang dapat mempengaruhi kualitas hidup, seperti

variabel demografis, diantaranya:

1. Gender/jenis kelamin

Bain, dkk (2003) menemukan adanya perbedaan

antara kualitas hidup laki-laki dan perempuan, dimana kualitas

hidup laki-laki cenderung lebih baik daripada kualitas hidup

perempuan. Bertentangan dengan penemuan Bain, Wahl,

Rustoen, Hanestad, Lerdal dan Moum (2004) menemukan

bahwa kualitas hidup perempuan cenderung lebih tinggi

daripada laki-laki. Fadda dan Jiron (1999) mengatakan bahwa

laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam peran serta

akses dan kendali terhadap berbagai sumber sehingga

kebutuhan atau hal-hal yang penting bagi laki-laki dan

perempuan juga akan berbeda. Hal ini mengindikasikan adanya

perbedaan aspek-aspek kehidupan dalam hubungannya dengarn

kualitas hidup pada laki-laki dan perempuan. Secara umum,

kesejahteraar laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda,

namun perempuan lebih banyak terkait dengan aspek hubungan

yang bersifat positif, sedangkan kesejahteraan tinggi pada pria

63
lebih terkait dengan aspek pendidikan dan pekerjaan yang lebih

baik.

Hasil penelitian Hutapea (2011) menyebutkan bahwa

tidak ada perbedaan kepuasan hidup antara perempuan dengan

laki-laki. Salah satu alasan yang mungkin bahwa kepuasan

hidup lebih rendah pada perempuan adalah dalam hal

penguasaan terhadap lingkungan, pertumbuhan pribadi dan

relasi yang positif dengan orang lain. Namurn sebaliknya

terkait tujuan dalam hidup dan penerimaan dri. Hasil penelitian

Nurhasanah, dkk. (2009) menunjukkan perempuan mempunyai

kualitas hidup yang lebih buruk daripada laki-laki (r=0,126).

2. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Wagner, Abbot dan

Lett (2004) menemukan adanya perbedaan yang terkait

dengan usia dalam aspek- aspek kehidupan yang penting bagi

individu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Riff dan

Singer, individu dewasa mengekspresikan kesejahteraan yang

lebih tinggi pada usia dewasa madya. Penelitian yang

dilakukan pada responden tua menemukan adanya kontribusi

dari faktor usia terhadap kualitas hidup subjektif individu yang

disebabkan karena individu pada masa usia tua sudah

melewati masa untuk melakukan perubahan dalam hidupnya

64
sehingga mereka cenderung mengevaluasi hidupnya dengan

lebih positif dibandingkan saat masa mudanya.

Hasil penelitian Nurhasanah, dkk. (2009)

menunjukkan hubungan tara umur dengan kualitas hidup,

dimana hubungan tersebut sangat lemah dan berpola negatif

artinya semakin bertambah usia, maka semakin an buruk

kualitas hidupnya (r=0,042).

3. Pendidikan

Penelitian yang dilakukan oleh Wahl, Rustoen,

Hanestad, Lerdal dan Moum (2004) menemukan bahwa

kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih tingginya

tingkat pendidikan yang didapatkan oleh individu. Penelitian

yang dilakukan oleh Noghani, Asgharpour, Safa, dan Kermani

(2007) menemukan adanya pengaruh positif dari pendidikan

terhadap kualitas hidup subjektif namun tidak banyak.

Hasil penelitian Abdurrachim (2007) bahwa kualitas

hidup lebih baik pada kelompok pendidikan yang tinggi

(akademi/universitas) dibandingkan dengan pendidikan yang

lebih rendah. Penelitian Nurhasanah, dkk. (2009)

menunjukkan mereka yang mempunyai pendidikan rendah

(tidak tamat/tamat SD/tamat SMP) cenderung mempunyai

kualitas hidup yang buruk dibandingkan dengan mereka yang

65
termasuk dalam kelompok berpendidikan tamat SMA/PT

(r=0,003).

4. Pekerjaan

Moons, Marquet, Budst dan de Geest (2004)

mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara

penduduk yang berstatus pelajar, penduduk yang bekerja,

penduduk yang tidak bekerja (atau sedang mencari pekerjaan),

dan penduduk yang tidak mampu bekerja (atau sedang

memiliki disabilitas tertentu). Wahl, Rustoen, Hanestad,

Lerdal Moum (2004) menemukan bahwa status pekerjaan

berhubungan kualitas hidup baik pada pria atau wanita.

Hasil penelitian Nurhasanah, dkk. (2009)

menunjukkan ada hubungan antara faktor pendapatan dengan

kualitas hidup meski hubungan tersebut lemah dan berpola

negatif, artinya mereka yang mempunyai pendapatan di bawah

UMR akan mempunyai kualitas hidup yang semakin buruk

dibanding mereka yang berpenghasilan di atas UMR (r=0,092;

p=0,013).

5. Status pernikahan

Moons, Marquet, Budst dan de Geest (2004)

mengatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup antara

individu yang tidak menikah, individu bercerai ataupun janda

dan individu yang menikah atau kohabitasi. Status pernikahan

66
merupakan prediktor terbaik dari kualitas hidup secara

keseluruhan. Penelitian empiris secara umum menunjukkan

bahwa individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang

lebih tinggi daripada individu yang tidak menikah, bercerai

ataupun janda/duda akibat pasangan meninggal. Demikian

pula penelitian yang dilakukan oleh Wahl, Rustoen, Hanestad,

Lerdal dan Moum (2004) bahwa baik pada pria maupun

wanita, individu dengan status menikah atau kohabitasi

memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi.

Hasil penelitian Thomopoulou, dkk (2010) juga

menunjukkan individu lansia yang menikah atau masih

mempunyai pasangan hidup mempunyai kualitas hidup yang

lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan mereka

yang janda/duda akibat perceraian atau kematian serta yang

belum atau tidak menikah. Hasil penelitian Nurhasanah, dkk.

(2009) menunjukkan kualitas hidup akan semakin buruk pada

mereka yang berstatus tidak kawin dibanding dengan mereka

yang kawin (r0,012).

6. Penghasilan

Baxter, dkk (1998) dan Dalkey (2002) menemukan

adanya pengaruh faktor demografi berupa penghasilan dengan

kualitas hidup yang dihayati secara subjektif. Penelitian yang

dilakukan oleh Noghani, Asgharpour, Safa, dan Kermani

67
(2007) juga menemukan adanya kontribusi yang lumayan dari

faktor penghasilan terhadap kualitas hidup subjektif namun

tidak banyak.

7. Hubungan dengan orang lain

Baxter, dkk. (1998) menemukan adanya pengaruh

dari faktor demografi berupa faktor jaringan sosial dengan

kualitas hidup yang dihayati secara subjektif. Myers

mengatakan bahwa pada saat kebutuhan akan hubungan dekat

dengan orang lain terpenuhi, baik melalui hubungan

pertemanan yang saling mendukung maupun melalui

pernikahan, manusia akan memiliki kualitas hidup yang lebih

baik secara fisik maupun emosional. Penelitian yang

dilakukan Noghani, Asgharpour Safa, dan Kermani (2007)

juga menemukan bahwa faktor hubungan dengan orang lain

memiliki kontribusi menjelaskan kualitas hidup subjektif.

yang cukup besar dalam menjelaskan kualitas hidup subjektif.

2.3.4 Status gizi dengan kualitas hidup lansia

Hidup sehat berarti penggunaan secara maksimal kapasitas

fungsiona tubuh pada tiap tahap kehidupan, sejak bayi hingga lanjut

usia. Perubahan akibat menua melibatkan penurunan secara gradual

fungsi tubuh dalam konteks biologis. Sebagai contoh, menua umumnya

berhubungan dengan peningkatan lemak tubuh dan penurunan massa

otot. Penurunan massa otot berfhubungan langsung dengan penurunan

68
kekuatan otol, peinurunan kapasias aerobik maksimal dan penurunan

densitas tulang pada lansia. Namun tidak semua perubahan yang

berhubungan dengan usia disebabkan oleh usia itu sendiri, namun juga

akibat akumulasi pajanan berbagai faktor resiko.

Perubahan yang berhubungan dengan proses menua khususnya

dalam hal metabolisme dan fungsi fisiologis merupakan penyebab

penurunan intake energi, selain disebabkan pula oleh perubahan pilihan

makanan dan kebiasaan makan. Penurunan massa otot mengakibatkan

penurunan kebutuhan energi. Menurut Morley, proses menua

mengakibatkan perubahan sensasi rasa haus, lapar dan sensasi kenyang

serta penyesuaian yang kurang baik dalam asupan makanan dari hari ke

hari. Penurunan fungsi penciuman ula rasa mereduksi kepuasan

sensorik atas makanan. Demikian pula penurunan nafsu makan dapat

menjelaskan alasan mengapa lansia membatasi pilihan makanan dan

mengadopsi pola makan monoton.

Proses menua juga merupakan efek kumulatif dari penyakit

kromik, seperti hipertensi, diabetes, hiperlipidemia dan ateros kesehatan

yang buruk, pengobatan dan diet makanan khusus mempengaruhi

pilihan makanan, kebiasan makan dan intake nutrisi. Imobilitas,

ketidakmampuan untuk menyiapkan sendiri makanan atau kesehatan

gigi dan mulut yang buruk, merubah kebiasaan makan dan selanjutnya

mempengaruhi asupan makanan yang inadekuat (Drewnowsky dan

Evans, 2001). Akibat dari kondisi malnutrisi diantaranya

69
ketidakmampuan fisik, mental dan sosial. Jika intake nutrisi tidak

adekuat dalam jangka waktu lama, terjadilah kondisi kurang gizi. Jika

kurang gizi berlangsung sangat ekstrim, dapat mengakibatkan

hilangnya massa dan kekuatan otot, kerusakan fungsional, dan

menurunkan kualitas hidup. Malnutrisi juga menyebabkan hilangnya

nafsu makan, anoreksia yang dapat menyebabkan masalah psikologis,

medis dan sosial. Di samping itu, intake nutrisi yang berlebihan dan

aktifitas fisik yang kurang menyebabkan berbagai masalah kesehatan,

khususnya jika menjadi kasus berat badan berlebih dan obesitas.

Konsekuensi dari berat badan berlebih dan obesitas adalah peningkatan

resiko diabetes, kanker, penyakit kardiovaskular, dan kematian

prematur, selanjutnya menurunkan kualitas hidup lansia tersebut

(Amarantos, Martinez dan Dwyer, 2001).

2.3.5 Pengukuran kualitas hidup

Terdapat bebcrapa alat ukur kualitas hidup. Salah satu contoh

instrumen umum adalah the Stckness Impact Profile (SIP), the Medical

Outcome Study (MOS) 36-item short-form Health Survey (SF-36).

Sedangkan instrumen khusus adalah instrumen y sesuatu yang khusus

dari penyakit, populasi tertentu (misalnya pada orang tua) atau fungsi

yang khusus (misalnya fungsi emosional), contohnya adalah "The

Washington Psychosocial Seizure Inventory" (WPSI), "The Liverpool

Group", "The Epilepsy Surgery Inventory"(ESI-55) (Silitonga, 2007).

70
Untuk mengukur kualitas hidup seseorang WHO telah

membentuk WHO Quality of Life (QOL) Group. Kelompok ini telah

melakukan penelitian di 15 negara yang berbeda budaya, norma dan

adat istiadatnya. Dengan demikian WHO telah berhasil mengatasi hal

yang paling kontroversial tentang emics dan etics kuesioner yang sama

pada berbagai budaya yang berbeda. Pengukuran kualitas hidup

dilakukan menggunakan instrumen World Healtih Organization Quality

of Life-100 (WHOQOL-100). WHOQOL-100 terdiri dengan

mengaplikasikan sebuah dari 100 pertanyaan yang mencakup 25 segi

(facets) dan sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa di 15 negara

tersebut. Kemudian WHO menyusun WHOOOL-BREF yang

merupakan versi singkat dari WHOQOL- 100. WHOOOL-BREF dapat

digunakan bila waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan 100

pertanyaan terlalu lama dan tingkat dari segi (facets) secara rinci tidak

diperlukan, misalkan pada survei epidemiologi dan percobaan klinik.

Penelitian ini menggunakan WHOOOL- BREF. Pengukuran

kualitas hidup yang dikembangkan oleh WHO yang disebut The World

Health Organization Quality of Life (WHOOOL)- BREF terdiri dari

empat di yaitu: fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Alat

ukur terdiri dari 26 item dengan perhitungan menggunakan Skala Likert

yang sesuai dengan kebutuhan 2 item periama merupalan pertanyan

umum entang kualitas hidup dan kesehatan yang tidak diikutsertakan

dalam perhitungan. Untuk 24 pertanyaan lainnya dianalisa dengan cara

71
dianalisa per domain dengan cara mencari mean skor per domain

dengan kur terdiri bervariasi penilaian tinggi (<mean skor) dan rendah

(≤ mean skor) dan secara keseluruhan dengan cara total skor tiap

domain ditransformasikan menjadi skala 0-100 WHO QOL- 100 item.

Perhitungan total skor tiap domain adalah:

Table 2.7 Tabel perhitungan skor tiap domain

Perhitungan skor Total Skor


domain skor transformasi
0-100
Domain 1 (fisik) (6-P3)+(6-P4)+P10+ =
P15+P16+P17+P18
Domain 2 P5+P6+P7+P11+P19+ =
(6-P26)
(psikologi)

Domain 3 (social) P20+P21+P22 =

Domain 4 P8+P9+P12+P13+P14+ =
(lingkungan) P23+P24+P25
Total skor keseluruhan domain=

Sumber: WHO (1996)

Tingkat kualitas hidup secara keseluruhan didapatkan dari

jumlah keempat total skor domain tersebut dengan rentang nilai 0-400.

Kriteria meliputi:

1. Tingkat kualitas hidup tinggi jika total skornya 201-400

2. Tingkat kualitas hidup yang rendah jika total skornya 0-200 (WHO,

2004)

72
2.4 Keranga Teori

Faktor yang mempengaruhi: Lansia


- Usia
- Jenis kelamin
- Faktor sosial Perubahan pada lansia
- Penurunan aktifitas fisik
- Faktor kesehatan
- Faktor psikologis

Fisik Psikososial Mental Spiritual

Penurunan asupan energi

1.Daya tahan tubuh menurun


2. Proses degenerative
3. Pengecilan masa otot
4. Kekuatan otot menurun

Kualitas hidup

Kualitas hidup (WHOQOL-


BREF):
1.Lingkungan
2. Fisik
3. Sosial
4. Psikososial

Tingi Rendah

Gambar 2.1 Kerangka teori hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas
hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan
Pungging Kabupaten Mojokerto.

73
2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka

hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui

penelitian yang akan dilakukan (Notoadmodjo,2010).

Faktor-faktor yang Lansia


mempengaruhi status gizi:
1.Usia
2.Jenis kelamin Status gizi lansia
3.Faktor lingkungan
4.Faktor social
5.Penurunan aktifitas fisik
6.Faktor kesehatan
7.Faktor fisiologis Kurang Normal Lebih

Faktor-faktor yang
mempengauhi kualitas hidup: Kualitas hidup (WHOQOL-
BREF):
1.Lingkungan fisik dan sosial
2.Faktor budaya dan social 1.Lingkungan
2.Fisik
ekonomi
3.Sosial
3.Faktor personality 4.Psikologis
4.Status kesehatan
5.Aktifitas fisik
6.Status gizi
7.Faktor demografi
Tinggi Rendah
Keterangan:
: Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka konsep hubungan antara status gizi lansia


dengan kualitas hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa
Balongmasin Kecamatan Pungging-Kab. Mojokerto.

74
2.6 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas pertanyaan

penelitian yang telah dirumuskan. Hipotesis terdiri dari hipotesis nol

(hipotesis statistik atau nihil) dan hipotesis alternative (hipotesis kerja)

(Hidayat,2010).

H0 = Tidak ada hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas

hidup lansia di Desa Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten

Mojokerto.

H1 = Ada hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas hidup

lansia di Desa Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten

Mojokerto.

75
BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan disajikan antara lain: desain atau rancangan

penelitian, populasi, sampel dan sampling, identifikasi variabel penelitian

dan definisi operasional, prosedur penelitian, analisis data, dan etika

penelitian.

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan wadah menjawab pertanyaan

penelitian atau menguji kebenaran hipotesis (Setiadi, 2007). Penelitian

korelasional bertujuan untuk mengungkapkan hubungan antar variabel.

Hubungan korelatif mengacu pada kecenderungan bahwa variasi suatu

variabel diikuti oleh variasi variabel yang lainnya (Nursalam, 2008).

Cross sectional adalah penelitian yang menekankan waktu pengukuran

atau observasi data variabel independen dan dependen hanya 1 kali pada

satu saat. Jadi tidak ada tindak lanjut (Nursalam, 2008). Berdasarkan

tujuan penelitian, desain penelitian yang digunakan adalah analitik

korelasional. Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional.

Pada penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara

status gizi lansia dengan kualitas hidup lansia di Desa Balongmasin

Kecamatan Pungging Kabupaten mojokerto

76
3.2 Populasi, Sampel dan Sampling

3.2.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek

atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiono, 2009). Populasi adalah keseluruhan subjek

penelitian (Arikunto, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh lansia di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan

Pungging Kabupaten Mojokerto sebanyak 46 orang.

3.2.2 Sampel

Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap

mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2007). Sampel merupakan

bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari

karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2010). Dalam

penelitian ini, sampel yang digunakan adalah seluruh lansia di Dusun

Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten

Mojokerto sebanyak 46 orang.

3.2.3 Sampling

Teknik sampling adalah cara atau teknik-teknik tertentu dalam

mengambil sampel penelitian, sehingga sampel tersebut sedapat

mungkirn mewakili populasinya (Notoatmodjo, 2010). Teknik sampling

yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling, yaitu cara

77
pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi

(Sugiono, 2010). Alasan mengambil total sampling, karena menurut

Sugiyono jumlah populasi yang kurang dari 100 maka seluruh populasi

tersebut dijadikan sampel penelitian.

3.3 Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.3.1 Identifikasi variabel penelitian

Variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari, sehingga diperoleh informasi

tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,

2009). Variabel dalam penelitian ini dibagi menjadi 2, yaitubel bebas

(independent variable) dan variabel tergantung (dependent variable)

1. Variabel bebas

Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan

variabel lain. Variabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati dan

diukur untuk diketahui hubungannya atau pengaruhnya terhadap

variabel lain (Nursalam, 2008). Variabel bebas dalam penelitian ini

adalah status gizi lansia.

2. Variabel tergantung

Variabel tergantung adalah variabel yang nilainya

ditentukan oleh variabel lain. Variabel yang muncul sebagai akibat

dari manipulasi suatu variabel independen (Nursalam, 2008).

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kualitas hidup

lansia.

78
3.3.2 Definisi operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara

operasional dan berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga

memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran

secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Hidayat, 2010).

79
Table 3.1 Definisi operasional hubungan antara status gizi lansia dengan
kualitas hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin
Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto
Variabel Definisi Indikator Alat ukur Skala skor
operasional
Independen: Perwujudan Berat badan Timbangan Ordinal 1.Gizi
status gizi dari dan tinggi badan injak kurang
lansia keseimbangan badan dan mistar (<18,5
konsumsi kayu kg/m2)
lansia yang Panjang 2
didasarkan meter 2.Gizi
pada kategori normal
yang (18,5-25
digunakan kg/m2)
3.Gizi
lebih
(>25
kg/m2)
(Depkes,
2005
dalam
Fatmah,
2010)
Dependen: Penialaian WHO-QOL Kuesioner Ordinal 1.Tinggi:
Kualitas lansia BREF: WHOQOL- 201-400
hidup lansia mengenai BREF 2.Rendah:
1.Lingkungan
kondisi 0-200
2.Fisik
mereka saat
3.Sosial (WHO,
ini
4.Psikologis 2004)
dibandingkan
dengan
keinginan dan
harapannya

80
3.4 Prosedur penelitian

Pengumpulan data dilakukan setelah mendapatkan ijin dari pihak

STIKES Bina Sehat PPNI Kabupaten Mojokerto khususnya Program

Studi SI Keperawatan untuk mengadakan penelitian. Peneliti meminta

ijin kepada Kepala Puskesmas Watukenongo lalu ke Kantor Kecamatan

Pungging lalu ke kepala Desa Balongmasin untuk mengadakan

penelitian di Dusun Balongmasin.

Setelah mendapatkan ijin, peneliti kemudian meminta data terbaru

pada kepala desa setempat tentang jumlah lansia yang ada dan

didapatkan 46 lansia usia ≤60 tahun. Selanjutnya peneliti

mengumpulkan responden di balai dusun untuk melakukan penelitian.

Langkah berikutnya, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan

penelitian lalu menawarkan calon responden apakah bersedia menjadi

responden penelitian. Jika bersedia, maka ia diminta menandatangani

lembar persetujuan menjadi responden dan dari 46 lansia didapatkan

seluruh lansia bersedia menjadi responden penelitian.

Responden selanjutnya diberikan kuesioner kualitas hidup dan

menjelaskan cara pengisiannya. Terdapat beberapa responden yang tidak

mampu atau tidak mau mengisi sendiri, maka peneliti membantu

membacakannya. Selama pengisian kuesioner, peneliti mendampingi

responden jika responden kurang memahaminya, sehingga data yang

diharapkan dapat terkumpul dengan lengkap. Selain itu setelah kuesioner

81
dikembalikan responden, peneliti langsung melakukan proses editing.

Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi jika ada data yang kurang

lengkap dapat langsung dikonfirmasikan pada responden.

Setelah itu peneliti menimbang berat badan dan mengukur tinggi

badan responden untuk memperoleh data status gizi lansia. Setelah

semua data terkumpul, lalu dilakukan pengolahan yaitu coding, scoring

dan tabulating dilanjutkan analisis data. Usai analisis data dilakukan

penyusunan laporan penelitian.

82
Kerangka kerja adalah pertahapan atau langkah-langkah dalam

aktifitas ilmiah, mulai dari penetapan populasi, sampel, dan seterusnya

yaitu kegiatan sejak awal penelitian akan dilaksanakan (Nursalam,

2008).

Populasi
Seluruh lansia di Dusun balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging
Kabupaten Mojokerto sebanyak 46 orang

Sampling
Menggunakan total sampling

Sampel
Seluruh lansia di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging
Kabupaten Mojokerto sebanyak 46 orang

Pengumpulan data

Status gizi Kualitas hidup


Timbangan injak dan mistar kayu Kuesioner WHOQOL-BREF

Analisa data
Setelah data terkumpul, dilakukan pengolahan dan analisis data dengan
menggunakan uji statistic Spearman’s rho

Penyajian data terdiri dari data umum dan data khusus dalam bentuk tabel

Desimisasi hasil penelitian


Hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas hidup lansia di Desa
Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto
Gambar 3.1 Kerangka Kerja hubungan antara status gizi lansia
dengan kualitas hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa
Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten
Mojokerto.

83
3.5 Pengumpulan Data

3.5.1 Instrumen penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang

digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya

lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap

dan sistematis (Arikunto, 2010). Instrumen yang digunakan untuk

mengidentifikasi variabel status gizi lansia digunakan timbangan injak

untuk mengukur berat badan lansia dan mistar kayu panjang 2 meter

untuk mengukur tinggi lutut lansia.

Sedangkan alat ukur kualitas hidup menggunakan WHO-

QOL BREF versi Indonesia yang telah diterjemahkan oleh penterjemah

resmi dari Indonesia yang ditunjuk oleh WHO (WHO, 2004). The

World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) - BREF terdiri

dari empat dimensi yaitu: fisik, psikologis, hubungan sosial dan

lingkungan. Alat ukur terdiri dari 26 item dengan perhitungan

menggunakan Skala Likert yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan. 2

item pertama merupakan pertanyaan umum tentang kualitas hidup dan

kesehatan yang tidak diikutsertakan dalam perhitungan. Untuk 24

pertanyaan lainnya dianalisa dengan cara dianalisa per-domain dengan

cara mencari mean skor per domain dan secara keseluruhan dengan cara

total skor tiap domain ditransformasikan menjadi skala 0-100 WHO

QOL-100 item. Tingkat kualitas hidup secara keseluruhan didapatkan

dari jumlah keempat total skor domain tersebut dengan rentang nilai 0-

84
400. Kriteria skor meliputi: 1) dikatakan memiliki tingkat kualitas

hidup tinggi jika total skonya 201-400; 2) dikatakan memiliki tingkat

kualitas hidup yang rendah jika total skormya 0-200 (WHO, 2004).

3.5.2 Tempat dan waktu

Penelitian ini dilakukan di Desa Balongmasin Kecamatan

Pungging Kabupaten Mojokerto. Penelitian dilaksanakan sejak bulan

Februari 2019 hingga Maret 2019, sedangkan pengambilan data

dilaksanakan pada tanggal 9 Februari -13 Maret 2019.

3.6 Analisis Data

Menurut (Hidayat, 2010) dalam melakukan analisis data,

terlebih dahulu data harus diolah dengan tujuan mengubah data menjadi

informasi. Dalam statistik, informasi yang diperoleh dipergunakan

untuk proses pengambilan keputusan, terutama dalam pengujian

hipotesis. Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah awal

yang harus ditempuh, diantaranya:

3.6.1 Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data

yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap

pengumpulan data atau setelah data terkumpul (Hidayat, 2010). Dalam

penelitian ini editing dilakukan saat masih bertemu dengan responden

dengan cara memeriksa kembali isi kuesioner berkaitan dengan

kelengkapa jawaban, keterbukan tulisan, kesesuaian jawaban, dan

keseragaman suatu ukuran. Selain itu mengecek kembali data yang

85
diperlukan untuk menghitung status gizi lansia apakah sudah lengkap

atau masih ada kekurangan.

3.6.2 Coding atau klasifikasi

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka)

terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini

sangat penting dan biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar

kode dan artinya dalam satu buku untuk memudahkan kembali melihat

lokasi dan arti suatu kode dari suatu (Hidayat, 2010).

Coding data umum:

3.6.2.1 Umur:

1. 60-64 tahun: 1

2. 65-70 tahun: 2

3. >70 tahun: 3

3.6.2.2 Pekerjaan di masa lalu:

1. Pegawai Negeri Sipil: 1

2. Swasta: 2

3. Wiraswasta: 3

4. Petani: 4

86
3.6.2.3 Pendidikan terakhir

1. Tidak sekolah: 1

2. Pendidikan dasar (SD/SMP): 2

3. Pendidikan menengah (SMA): 3

4. Pendidikan tinggi (Akademi/PT): 4

3.6.2.4 Jenis kelamin

1. Laki-laki: 1

2. Perempuan: 2

3.6.2.5 Status pernikahan

1. Belum/tidak menikah: 1

2. Masih mempunyai pasangan hidup: 2

3. Janda/duda cerai/mati: 3

Coding data khusus:

3.6.2.1 Status gizi

1. Kurang: 1

2. Normal: 2

3. Lebih: 3

3.6.2.2 Kualitas hidup

87
1. Tinggi: 1

2. Rendah: 2

3.6.3 Scoring

Memberikan skor pada item-item yang perlu diberi skor (Arikunto,

2010).

Skoring untuk variable dependen (kualitas hidup lansia)

dilakukan dengan memberikan skor antara rentang 1 hingga 5

tergantung dari masing-masing tipe pertanyaan. Misalnya:

Pertanyaan positif:

Dalam jumlah berlebihan: 5

Sangat sering: 4

Dalam jumlah sedang: 3

Sedikit: 2

Tidak sama sekali: 1

Pertanyaan negative:

Dalam jumlah berlebihan: 1

Sangat sering: 2

Dalam jumlah sedang: 3

Sedikit: 4

Tidak sama sekali: 5

3.6.4 Tabulating

Merupakan proses data entry, yaitu memasukkan data yang

telah dikumpulkan ke dalam master table (Hidayat, 2010). Pekerjaan

88
taulasi adalah pekerjaan membuat table. Jawaban-jawaban yang sudah

diberi kode kategori dan skor kemudian dimasukkan dalam table. Data

yang diperoleh dari masing-masing responden melalui kuesioner, akan

direkapitulasi dengan teliti. Kemudian data tersebut disusun, diseleksi

kelengkapannya dan dikelompokkan (tabulasi data).

3.6.5 Analisis data

3.6.5.1 Variable independent (status gizi lansia)

Untuk menganalisis status gizi lansia dapat

diinterprestasikan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛(𝑘𝑔)
IMT =
𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛(𝑚)²

(Fatmah, 2010)

Keterangan:

IMT= Indeks Masa Tubuh

Kriteria:

1. Gizi kurang : <18,5 kg/m²

2. Gizi normal : 18,5-25 kg/m²

3. Gizi lebih : >25 kg/m²

(Fatmah, 2010)

3.6.5.2 Variabel dependen (kualitas hidup lansia)

Untuk 24 pertanyaan dianalisa dengan cara per domain

dengan cara mencari mean skor per domain dengan penilaian

89
tinggi (>mean skor) dan rendah (≤ mean skor) serta secara

keseluruhan dengan cara total skor tiap domain ditransformasikan

menjadi skala 0-100 WHO QOL-100 item. Tingkat kualitas hidup

secara keseluruhan didapatkan dari jumlah keempat total skor

domain tersebut dengan rentang nilai 0-400.

90
Perhitungan skor domain Total Skor
skor transformasi
0-100
Domain 1 (fisik) (6-P3)+(6-P4)+ =
P10+P15+P16+P17+P18
Domain 2 (psikologi) P5+P6+P7+P11+P19+ =
(6-P26)
Domain 3 (sosial) P20+P21+P22 =

Domain 4 (lingkungan) P8+P9+P12+P13+P14+ =


P23+P24+P25
Total skor keseluruhan domain =

Perhitungan skor tiap domain adalah sebagai berikut:

Sumber: WHO (1998)

Perhitungan skor domain Total Skor


skor transformasi
0-100
Domain 1 (fisik) (6-2)+(6-1)+ 2+ 3+ 3+ 1+ 2 = 20 44

Domain 2 (psikologi) 3+3+5+2+1+ = 19 56


(6-1)
Domain 3 (sosial) 3+ 2+ 3 =8 44

Domain 4 (lingkungan) 2+2+1+4+5+3+1+2 = 20 38

Total skor keseluruhan domain = 182

91
Cara perhitungan, misalnya:

Untuk menganalisa kualitas hidup lansia dapat

diinterprestasikan dengan menggunakan rumus sebagai berikut

untuk tiap domainnya lalu dijumlahkan hingga didapatkan

transformasi total skor.

∑X = X1 + X2 + X3 + … + Xn

Keterangan

∑X = total skor

X1 = skor dari pertanyaan nomor 1

Xn = skor dari pertanyaan ke-n

Kriteria

1. Tinggi: 201-400

2. Rendah: 0-200

(WHO, 2004)

3.6.5.3 Hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas hidup lansia

Setelah semua data dianalisis pada tiap variabelnya, maka

untuk mencari adanya hubungan antar variabel independent dengan

variabel dependen maka dilakukan uji statistik spearman’s rho,

dengan ketentuan Ho ditolak apabila sig (2 tailed) (p) < a (0,05). Uji

statistik menggunakan bantuan program SPSS versi 20.0.

Syarat penggunaan uji Spearman's rho adalah:

92
1. Digunakan untuk mengukur tingkat atau eratnya hubungan

antara dua variabel atau pada tujuan penelitian analitik

korelasional

2. Kedua variabel berskala ordinal

3. Dilakukan pada sampel yang independen (Hidayat, 2010).

Nilai r (-1 ≤ r ≤ I), dengan kriteria (Arikunto, 2010):

1. 0 sampai dengan 0,55 (hubungan tidak kuat)

2. 0,56 sampai dengan 0,65 (hubungan cukup kuat)

3. 0,66 sampai dengan 0,75 (hubungan kuat)

4. 0,76 sampai dengan 0,99 (hubungan sangat kuat)

5. 1 hubungan sempurna

3.7 Etika Penelitian

Masalah etika dalam penelitian merupalan maslah yang sangat

penting dalam penelitian keperawatan mengingat penelitian akan

berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus

diperhatikan karena manusia mempunyai hak asasi dalam kegiatan

penelitian (Hidayat, 2010).

3.8 Informed consent

Lembar persetujuan diberikan pada subjek yang akan diteliti.

Kemudian peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang

akan dilakukan, serta dampak yang mungkin terjadi selama maupun

93
sesudah pengumpulan data. Jika responden bersedia diteliti, maka

memperbolehkan responden untuk menandatangani persetujuan, jika

responden menolak untuk diteliti, tidak akan memaksa dan tetap

menghormati hak-haknya.

3.9 Anonimity

Merupakan masalah etika dalam penelitian dengan cara

tidak memberikan nama responden pada lembar alat ukur hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.

3.10 Confidentiality

Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan

dari hasil penelitian baik informasi maupun masalah-masalah lainnya,

semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh

peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil

riset.

3.11 Keterbatasan

Keterbatasan adalah masalah-masalah atau hambatan yang

ditemui peneliti dalam proses pengumpulan data (Nursalam, 2008).

Dalam penlitian ini keterbatasan yang di hadapi adalah:

3.11.1 Peneliti melakukan penelitian kualitas hidup lansia hanya dari satu

sisi status gizinya, faktor lain tidak dikaji.

3.11.2 Kondisi responden yang cenderung tertutup terhadap orang asing

terkadang menyulitkan peneliti untuk menjelaskan maksud dan tujuan

94
penelitian, hal tersebut diantisipasi dengan penjelasan yang lengkap

membawa data diri.

3.11.3 Beberapa responden mengalami kesulitan karena faktor penuaan dan

ada yang tidak mau untuk membaca kuisioner yang di sodorkan,

sehingga membutuhkan bantuan peneliti untuk membacakan.

95
BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan. Hasil penelitian

dibagi menjadi gambaran lokasi penelitian, data umum dan data khusus. Data

umum menampilkan krasteristik responden yaitu: Umur, pekerjaan di masa

lalu, Pendidikan terakhir, jenis kelamin, dan status pernikahan. Data khusus

adalah data tentang hubungan status gizi lansia dengan kualitas hidup lansia di

Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten

Mojokerto.

4.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 09 Februari 2019 –

13 Maret 2019 di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan

Pungging Kabupaten Mojokerto, didapatkan data sebagai berikut:

4.1.1 Gambaran lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Balongmasin Desa

Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto. Dusun

Balongmasin berbatasan sebelah utara dengan Dusun Gadon Desa

Balongmasin, dan sebelah selatan dengan Pungging Krisik Desa

Balongmasin, dan sebelah timur dengan Dengan Desa Jasem, dan sebelah

barat dengan Dusun Manukan Desa Balongmasin.

96
Fasilitas kesehatan yang ada di Dusun Balongmasin terdiri dari 1

Puskesmas pembantu dan 1 bidan praktek mandiri, sedangkan tenaga

kesehatan yang berdomisili ada 2 orang. Terdapat 1 posyandu lansia yang

aktif melakukan kegiatan selama 1 bulan sekali di Minggu kedua.

4.1.2 Data umum

1. Karakteristik responden berdasarkan umur

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di Dusun


Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging
Kabupaten Mojokerto tanggal 9 Februari - 13 Maret 2019

No Usia Frekuensi Presentase


B 1 60-64 10 21,7%
2 65-70 14 30,4%
e
3 >70 22 47,4%
r Total 46 100%

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa sebagian besar responden

berumur >70 tahun sebanyak 22 responden (47,7%).

2. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan di


Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging
Kabupaten Mojokerto tanggal 9 Februari - 13 Maret 2019

No PML Frekuensi Presentase


1B PNS/TNI/Polri 4 8,7%
e 2 Swasta 9 19,6%
3 Wiraswasta 16 34,8%
r 4 Petani 17 37,0%

d Total 46 100%

97
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa sebagian besar responden di masa

lalu bekerja sebagai petani sebanyak 17 responden (37,0%).

3. Karakteristik responden berdasarkan penddikan terakhir

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan Pendidikan


terakhir di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin
Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto tanggal 9
Februari - 13 Maret 2019

No PDDKT Frekuensi Presentase


1 Tidak sekolah 5 10,9%
2 Pendidikan dasar 29 63,0%
(SD/SMP)
3 Pendidikan menengah 11 23,9%
(SMA)
4 Penddikan tinggi 1 2,2%
(Akademi/PT)
Total 46 100%

Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa sebagian besar

responden berpendidikan terakhir dasar (SD/SMP) sebanyak 29

responden (63,0%).

4. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di


Dusun Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging
Kabupaten Mojokerto tanggal 9 Februari - 13 Maret 2019

No Jenis Kelamin Frekuensi Presentase


1 Laki-laki 16 34,8%
2 Perempuan 30 65,2%
Total 46 100%

98
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa sebagian besar

responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 30 responden

(65,2%).

5. Karasteristik responden berdasarkan status pernikahan

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan status


pernikahan di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin
Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto tanggal 9
Febuari - 13 Maret 2019
No Status pernikahan Frekuensi Presentase
1 Belum/tidak menikah 0 0%
2 Masih mempunyai 28 60,9%
pasangan hidup
3 Janda/duda/cerai/mati 18 39,1%
Total 46 100%

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa sebagian besar

responden yang masih mempunyai pasangan hidup sebanyak 28

responden (60,9%).

99
4.1.3 Data khusus

1. Status gizi lansia di di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin

Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto

Tabel 4.6 Distribusi frekuensi status gizi lansia di Dusun


Balongmasin Desa Balongmasin Kecamatan Pungging
Kabupaten Mojokerto tanggal 9 Februari - 13 Maret
2019

No Status Gizi Frekuensi Persen


1 Kurang 17 37,0
2 Normal 17 37,0
3 Lebih 12 26,1
Total 46 100%

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa sebagian besar


responden yang mempunyai gizi kurang sebanyak 17 responden
(37,0%) dan responden yang mempunyai gizi normal sebanyak 17
responden (37,0%).
2. Kualitas hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin

Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto

Tabel 4.7 Distribusi frekuensi kualitas hidup lansia secara


umum di Dusun Balongmasin Desa Balongmasin
Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto tanggal
9 Februari - 13 Maret 2019

No Kualitas hidup secara umum Frekuensi Persen

1 Tinggi 22 47,8%
2 Rendah 24 52,2%

Total 46 100%

100
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahwa sebagian besar responden

yang mempunyai kualitas hidup rendah sebanyak 24 responden (52,2%).

3. Hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas hidup lansia di

Dusun Balongmasin Desa balongmasin Kecamatan Pungging

Kabupaten Mojokerto

Tabel 4.8 Hasil tabulasi silang hubungan status gizi lansia dengan
kualitas hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa
Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten
Mojokerto tanggal 9 Febuari - 13 Maret 2019

Kualitas Hidup
Total
Gizi Tinggi Rendah
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
Rendah 0 0,0% 17 100% 17 100%
Normal 16 94,1% 1 5,9% 17 100%
Lebih 6 50% 6 50% 12 100%
Total 22 47,8% 24 52,2% 46 100%

Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa responden yang

mempunyai status gizi rendah seluruhnya (100%) mempunyai kualitas

hidup yang rendah sebanyak 17 responden. Selanjutnya responden yang

mempunyai status gizi normal, hampir seluruhnya (94,1%) mempunyai

kualitas hidup tinggi sebanyak 16 responden, dan sisanya sebanyak 1

(5,9%) responden mempunyai kualitas hidup yang rendah.

Berdasarkan hasil uji statistik dengan bantuan SPSS versi 22.0

menggunakan Spearman's rho test, didapatkan p value (0,000) < ɑ

(0,05), sehingga H0 ditolak artinya terdapat hubungan antara status gizi

101
lansia dan kualitas hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa

balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto. Hasil tersebut

menunjukkan semakin baik status gizi lansia, maka semakin tinggi

kualitas hidup lansia.

102
2.7 Pembahasan

4.2.1 Status gizi lansia di Dusun Balongmasin Desa balongmasin Kecamatan

Pungging Kabupaten Mojokerto

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa sebagian besar responden

mempunyai status gizi kurang sebanyak 17 responden (37,0 %).

Status gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan

antara kebutuhan dan masukan nutrien (Beck, 2011). Terjadinya kekurangan

gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang bersifat primer maupun

sekunder. Sebab-sebab primer meliputi ketidaktahuan, isolasi sosial, hidup

seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan fisik, gangguan

indera, gangguan mental, dan kemiskinan hingga asupan makan sehari-hari

memang kurang. Sebab-sebab sekunder meliputi malabsorbsi, penggunaan

obat-obatan, peningkatan kebutuhan gizi serta alkoholisme (Azizah, 2011).

Kurangnya status gizi pada lansia dapat disebabkan oleh beberapa

faktor, diantaranya akibat perubahan psikososial yang dialami responden.

Status gizi kurang juga menunjukkan rendahnya asupan makan lansia hingga

berpengaruh pada berat badan yang makin menurun. Selain itu juga dilatar

dilatarbelakangi oleh umur, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, serta

status perkawinan.

Umur yang makin tua menyebabkan penurunan aktifitas fisik, sehingga

mempengaruhi kemampuan untuk mendapatkan makanan jika harus berbelanja

dahulu, memasak dan aktifitas penyiapan makanan lainnya sehingga

103
menyebabkan penurunan status gizi. Pekerjaan di masa lalu menunjukkan

besaran simpanan finansial yang sangat dibut tua saat tubuh tidak lagi mampu

bekerja. Status pekerjaan wiraswasta sangat rentan dengan penghasilan yang

naik turun, jika tidak mampu mengelola keuangan akan berdampak negatif saat

usia lanjut. Sedangkan pendidikan merupakan aspek dasar dari pengetahuan

gizi seseorang. Jika orang tersebut mempunyai pendidikan tinggi maka

pengetahuan gizinya relatif lebih baik dan sebaliknya. Jenis kelamin

perempuan relative mempunyai aktifitas fisik yang lebih sedikit ditambah

semakin bertambah umur, biasanya lansia mengalami penyusutan nafsu

makan, sehingga menyebabkan status gizi kurang. Responden yang telah

berstatus janda/duda cerai/mati cenderung mengalami status gizi kurang

disebabkan karena faktor kesepian dan gangguan emosional yang menghambat

nafsu makan dan mengurangi status gizi.

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa sebagian besar responden

berumur <70 tahun sebanyak 22 responden (47,4%).

Seiring pertambahan usia, kebutuhan zat gizi karbohidrat dan lemak

menurun, sedangkan kebutuhan protein, vitamin dan mineral meningkat karena

ketiganya berfungsi sebagai antioksidan untuk melindungi sel-sel tubuh dari

radikal bebas (Fatmah, 2010). Semakin bertambahnya usia seseorang, maka

aktivitas fisik yang dilakukannya semakin menurun. Hal ini terkait dengan

penurunan kemampuan fisik yang terjadi secara alamiah. Pada lansia yang

aktivitas fisiknya menurun, asupan energi dikurangi untuk mencapai

keseimbangan energi dan mencegah terjadinya obesitas, karena salah satu

104
faktor yang menentukan berat badan seseorang adalah keseimbangan antara

masukan energi dan keseimbangan energi. Penurunan aktivitas fisik pada

lansia dapat meningkatkan risiko penyakit degeneratif (Fatmah, 2010).

Hasil penelitian sesuai dengan teori bahwa semakin bertambahnya usia

seseorang, maka aktivitas fisik yang dilakukannya semakin menurun dan

terjadi pula penurunan konsumsi karbohidrat dan lemak. Penurunan aktifitas

fisik yang diimbangi dengan penurunan asupan kalori tubuh menyebabkan

status gizi kurang. Sedangkan responden yang mempunyai status gizi lebih

paling banyak berusia 60-64 tahun, dimana status gizi lebih merupakan

kecenderungan yang didapatkan sejak masih muda. Selain itu pada kelompok

usia ini masih mempunyai semangat untuk beraktifitas yang tinggi serta masih

mempunyai pasangan hidup sehingga tidak kesepian saat menyantap hidangan

dan menambah nafsu makan, sehingga dapat mempunyai status gizi lebih.

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa sebagian besar responden masa

lalu bekerja sebagai petani sebanyak 17 responden (37,0%).

Perubahan lingkungan sosial seperti perubahan kondisi ekonomi

karena pensiun dan kehilangan pasangan hidup dapat membuat lansia merasa

terisolasi dari kehidupan sosial dan mengalami depresi. Akibatnya, lansia

kehilangan nafsu makan yang berdampak pada penurunan status gizi lansia

(Fatmah, 2010).

Status bekerja sebagai petani membutuhkan tenaga yang ekstra untuk

mendapatkan penghasilan yang maksimal. Rata-rata responden mengelola

105
sawah mereka sendiri. Usia yang semakin tua menyebabkan mereka tidak lagi

mampu bekerja secara maksimal, sehingga terjadi penurunan pendapatan. Hal

ini berdampak pada penurunan pemasukan keuangan yang selanjutnya

mempengaruhi kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan gizi, sehingga

responden makan apa adanya dan mempengaruhi status gizinya menjadi

kurang. Namun di sisi lain masih terdapat responden yang dulunya bekerja di

sektor swasta dan wiraswasta yang mempunyai status gizi lebih. Hal ini dapat

dipahami karena status pekerjaan tersebut memberikan upah yang relative

cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Investasi berupa simpanan lemak sudah

terbentuk sejak masa bekerja dahulu dan pola makan di atas kebutuhan terus

berlanjut hingga masa lansia, sehingga menyebabkan status gizinya tetap lebih.

Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa sebagian besar responden

berpendidikan terakhir pendidikan dasar (SD/SMP) sebanyak 29 responden

(63,0%).

Faktor lingkungan seperti isolasi sosial berupa hidup sendiri setelah

pasangan meninggal dan rendahnya pemahaman gizi menyebabkan mundurnya

atau memburuknya keadaan gizi lansia (Azizah, 2011).

Kondisi tidak sekolah dan berpendidikan dasar menyebabkan

kurangnya kemampuan responden untuk memahami bahwa semakin lanjut

usia, responden harus semakin memperhatikan kebutuhan gizinya. Hal ini

menyebabkan responden mengkonsumsi makanan dengan prinsip asal

kenyang. Ditunjang pendidikan dasar bahkan tidak sekolah menyebabkarn

penghasilan yang diperoleh untuk membeli bahan makanan bergizi juga

106
terbatas, sehingga status gizinya kurang. Namun di sisi lain adapula responden

yang berpendidikan dasar (SD/SMP) mempunyai status gizi lebih meski

kondisi sosial ekonominya pas-pasan. Hal ini dapat disebabkan karena asupan

makanan paling banyak didapat dari karbohidrat yang setelah berubah menjadi

kalori tersimpan dalam bentuk lemak, sehingga meski ia berpendidikan dasar

dapat mengalami status gizi lebih.

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa sebagian besar respon den

berjenis kelamin perempuan sebanyak responden (65,2%).

Dibandingkan lansia wanita, lansia pria lebih banyak memerlukan

kalori, protein dan lemak. Ini disebabkan karena perbedaan tingkat aktifitas

fisik (Fatmah, 2010).

Kebutuhan gizi lansia perempuan lebih rendah dari laki-laki. Hal ini

menyebabkan rendahnya asupan kalori tubuh yang menyusutkan massa lemak

tubuh dan menyebabkan status gizinya kurang. Namun status gizi lebih paling

banyak juga dialami oleh responden perempuan. Hal ini dapat disebabkan

karena kurangnya aktifitas fisik namun tingginya asupan makan responden

perempuan sehingga status gizinya lebih.

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa sebagian besar responden

masih mempunyai pasangan hidup sebanyak 28 responden (60,9%).

Faktor lingkungan seperti isolasi sosial berupa hidup sendiri setelah

pasangan meninggal dan rendahnya pemahaman gizi menyebabkan mundurnya

atau memburuknya keadan gizi lansia (Azizah, 2011). Interaksi sosial

107
mendorong orang untuk makan dan mempertahankan minat mereka terhadap

makanan (Barasi, 2007). Kehilangan adalah masalah utama pada pria lansia

yang tidak pernah memasak untuk dirinya sendiri (Watson, 2003). Menurut

Tamher dan Noorkasiani (2009), lansia yang tinggal sendiri juga berhubungan

dengan status gizi rendah, karena mereka cenderung kurang termotivasi untuk

mengkonsumsi makanan seimbang bagi dirinya sendiri.

Meski masih mempunyai pasangan hidup, namun dapat disebabkan

karena keterbatasan keuangan menyebabkan responden kesulitan membeli

makanan yang bergizi. Sehingga prinsip asal kenyang masih terjadi. Hal ini

menyebabkan rendahnya asupan kalori yang dibutuhkan tubuh. Apalagi

responden yang sudah berstatus janda/duda cerai/mati yang kurang

termotivasi untuk mengkonsumsi makanan sehingga menyebabkan status

gizinya kurang. Berbeda dengan responden yang masih mempunyai pasangan

hidup namun status gizinya lebih. Hal ini dapat disebabkan kemampuan

finansialnya cukup baik sehingga mampu membeli bahan makanan yang

tinggi kalori dan menjadikan status gizinya lebih.

4.2.2 Kualitas hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa balongmasin

Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa sebagian besar responden

mempunya kualitas hidup rendah sebanyak 24 responden (52,2 % ).

Menurut Calman yang dikutip oleh Hermann (1993)

mengungkapkan bahwa konsep dari kualitas hidup adalah bagaimana

108
perbedan antara keinginan yang ada dibandingkan perasaan yang ada

sekarang, definisi ini dikenal dengan sebutan "Calman's Gap" Calman

mengungkapkan pentingnya mengetahui perbedaan antara perasaan yang ada

dengan keinginan yang sebenarnya, dicontohkan dengan membandingkan

suatu keadaan antara "dimana seseorang berada" dengan "dimana seseorang

ingin berada". Jika perbedaan antara kedua keadaan ini lebar,

ketidakcocokan ini menunjukkan bahwa kualitas hidup seseorang tersebut

rendah. Sedangkarn kualitas hidup tinggi jika perbedaan yang ada antara

keduanya kecil (Silitonga, 2007).

Meski secara umum, responden merasa kualitas hidupnya tinggi,

namun jika ditelaah per domain, sebagian besar mempunyai kualitas hidup

rendah. Demikian pula status kesehatan secara umum juga rendah.

Pengeluaran yang semakin bertambah dengan penghasilan kecil, ditunjang

berbagai penurunan kondisi fisik yang menyebabkan kesulitan mencari

pekerjaan baru membuat mereka merasakan perubahan-perubahan yang

cukup signifikan yang dianggapnya sangat menurunkan kualitas hidupnya.

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa sebagian besar responden

berumur <70 tahun sebanyak 22 responden (47,4%).

Penelitian yang dilakukan oleh Wagner, Abbot dan Lett menemukan

adanya perbedaan yang terkait dengan usia dalam aspek-aspek kehidupan

yang penting bagi individu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Riff dan

Singer, individu dewasa mengekspresikan kesejahteraan yang lebih tinggi

pada usia dewasa madya. Penelitian yang dilakukan pada responden tua

109
menemukan adanya kontribusi dari faktor usia terhadap kualitas hidup

subjektif individu yang disebabkan karena individu pada masa usia tua sudah

melewati masa untuk melakukan perubahan dalam hidupnya sehingga

mereka cenderung mengevaluasi hidupnya dengan lebih positif

dibandingkan saat masa mudanya. Hasil penelitian Nurhasanah, dkk. (2009)

menunjukkan hubungan antara umur dengan kualitas hidup, dimana

hubungan tersebut sangat lemah dan berpola negatif artinya semakin

bertambah usia, maka semakin buruk kualitas hidupnya.

Responden baru saja memasuki umur lansia Mereka harus banyak

beradaptasi dengan berbagai perubahan baik secara fisik maupun secara

social. Penurunan status kesehatan fisik, perubahan-perubahan fisik yang

menyebabkan gangguan kesehatan, keterbatasan keuangan karena tubuh

sudah tidak kuat lagi bekerja maksimal menyebabkan responden

menganggap kurangnya kepuasan hidup yaitu ketidakseimbangan antara

harapan dengan kondisi sesungguhnya yang harus dihadapi sehari-hari. Data

juga menunjukkan makin bertambah usia, kualitas hidup responden makin

rendah. Hal ini disebabkan makin bertambah usia makin banyak gang fisik

maupun psikologis yang dialami, sehingga makin menurunkan kepuasan

hidupnya.

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa sebagian besar responden masa

lalu bekerja sebagai petani sebanyak 17 responden (37,0%).

Moons, Marquet, Budst dan de Geest (2004) mengatakan bahwa

terdapat perbedaan kualitas hidup antara penduduk yang berstatus pelajar,

110
penduduk yang bekerja, penduduk yang tidak bekerja (atau sedang mencari

pekerjaan), dan penduduk yang tidak mampu bekerja (atau memiliki

disabilitas tertentu). Wahl, Rustoen, Hanestad, Lerdal dan Moum (2004)

menemukan bahwa status pekerjaan berhubungan dengan kualitas hidup baik

pada pria atau wanita. Hasil penelitian Nurhasanah, dkk. (2009)

menunjukkan ada hubungan antara faktor pendapatan dengan kualitas hidup

meski hubungan tersebut lemah dan berpola negatif, artinya mereka yang

mempunyai pendapatan di bawah UMR akan mempunyai kualitas hidup

yang semakin buruk dibanding mereka yang berpenghasilan di atas UMR.

Pendapatan sebagai wiraswastawan tidak bersifat konstan, karena

tergantung dari individu yang melaksanakan usaha tersebut. Demikian pula

status pekerjaan sebagai petani yang sangat tergantung dari usaha individual

dan musim. Kondisi keuangan yang makin menurun berdampak pada

pemenuhan berbagai kebutuhan hidup. Hal ini menimbulkan tekanan

tersendiri bagi diri responden yang selanjutnya menyebabkan kualitas

hidupnya rendah. Namun responden yang bekerja di sektor swasta dan PNS

pun juga ada yang menganggap kualitas hidupnya rendah. Hal ini dapat

terjadi karena di saat mereka masih bekerja dapat memenuhi segala

kebutuhan hidup serta eksistensi dirinya masih diakui, namun setelah tidak

bekerja semua fasilitas, kemampuan finansial dan pengakuan juga makin

menurun.

111
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa sebagian besar responden

berpendidikan terakhir pendidikan dasar (SD/SMP) sebanyak 29 responden

(63,0%).

Penelitian yang dilakukan oleh Wahl, Rustoen, Hanestad, Lerdal dan

Moum (2004) menemukan bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring

dengan lebih tingginya tingkat pendidikan yang didapatkan oleh individu.

Penelitian yang dilakukan oleh Noghani, Asgharpour, Safa, dan Kermani

(2007) menemukan adanya pengaruh positif dari pendidikan terhadap

kualitas hidup subjektif namun tidak banyak. Hasil penelitian Abdurrachim

(2007) bahwa kualitas hidup lebih baik pada kelompok pendidikan yang

tinggi (Akademi/universitas) dibandingkan dengan pendidian yang lebih

rendah. Penelitian Nurhasanah, dkk. (2009) menunjukkan mereka yang

mempunyai pendidikan rendah (tidak tamat/tamat SD/tamat SMP)

cenderung mempunyai kualitas hidup yang buruk dibandingkan dengan

mereka yang termasuk dalam kelompok berpendidikan tamat SMA/PT.

Sesuai dengan teori bahwa mereka yang berpendidikan rendah

mempunyai kualitas hidup rendah. Hal ini disebabkan pendidikan rendah

bahkan tidak sekolah berbanding lurus dengan rendahnya kesempatan kerja

dan rendahnya penghasilan. Kondisi yang serba terbatas menyebabkan

kualitas hidupnya pun rendah. Namun responden dengan pendidikan

menengah dan tinggi ada juga yang menganggap kualitas hidupnya rendah.

Hal ini dapat disebabkan karena mereka menyadari berbagai perubahan yang

terjadi setelah memasuki masa lansia, seperti keterbatasan kemampuan untuk

112
menghidupi keluarga, kurangnya dukungan pasangan hidup, sedangkan

kondisi fisiknya sudah banyak penurunan, sehingga hal ini dianggapnya

sebagai penurunan kualitas hidup.

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa sebagian besar respon den

berjenis kelamin perempuan sebanyak responden (65,2%).

Bain, dkk (2003) menemukan adanya perbedaan antara kualitas

hidup laki-laki dan perempuan, dimana kualitas hidup laki-laki cenderung

lebih baik daripada kualitas hidup perempuan. Bertentangan dengan

penemuan Bain, Wahl, Rustoen, Hanestad, Lerdal dan Moum (2004)

menemukian bahwa kualitas hidup perempuan cenderung lebih tinggi

daripada laki-laki. Fadda dan Jiron (1999) mengatakan bahwa laki-laki dan

perempuan memiliki perbedaan dalam peran serta akses dan kendali

terhadap berbagai sumber sehingga kebutuhan atau hal-hal yang penting bagi

laki-laki dan perempuan juga akan berbeda. Hal ini mengindikasikan adanya

perbedaan aspek-aspek kehidupan dalam hubungannya dengan kualitas

hidup pada laki- laki dan perempuan. Secara umum, kesejahteraan laki-laki

dan perempuan tidak jauh berbeda, namun perempuan lebih banyak terkait

dengan aspek hubungan yang bersifat positif, sedangkan kesejahteraan tinggi

pada pria lebih terkait dengan aspek pendidikan dan pekerjaan yang lebih

baik. Hasil penelitian Hutapea (2011) menyebutkan bahwa tidak ada

perbedaan kepuasan hidup antara perempuan dengan laki-laki. Salah satu

alasan yang mungkin bahwa kepuasan hidup lebih rendah pada perempuan

adalah dalam hal penguasaan terhadap lingkungan, pertumbuhan pribadi dan

113
relasi yang positif dengan orang lain. Namun sebaliknya terkait tujuan dalam

hidup dan penerimaan diri. Hasil penelitian Nurhasanah, dkk. (2009)

menunjukkan perempuan mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk

daripada laki-laki.

Hasil penelitian menunjukkan kualitas hidup responden perempuan

sebagian besar rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesempatan

untuk mendapatkan kehidupan yang lebih memuaskan dirinya di semua

domain fisik, psikologi, sosial maupun lingkungan. Pekerjaan dan

Pendidikan yang mampu diraih oleh responden laki-laki cenderung lebih

baik daripada responden perempuan, sehingga kualitas hidupnya pun lebih

tinggi sedangkan responden laki-laki yang mempunyai kualitas hidup rendah

dapat karena sudah tidak mempunyai pasangan hidup serta keterbatasan

kemampuan untuk menghidupi keluarga.

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa sebagian besar responden

masih mempunyai pasangan hidup sebanyak 28 responden (60,9%).

Moons, Marquet, Budst dan de Geest (2004) mengatakan bahwa

terdapat perbedaan kualitas hidup antara individu yang tidak menikah,

individu bercerai ataupun janda dan individu yang menikah atau kohabitasi.

Status pernikahan merupakan prediktor terbaik dari kualitas hidup secara

keseluruhan. Penelitian empiris secara umum menunjukkan bahwa individu

yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi daripada individu

yang tidak menikah, bercerai ataupun janda/duda akibat meninggal.

Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Wahl, Rustoen, Hanestad,

114
Lerdal dan Moum (2004) bahwa baik pada pria maupun wanita, individu

dengan status menikah atau kohabitasi memiliki kualitas hidup yang lebih

tinggi. Hasil penelitian Nurhasanah, dkk. (2009) menunjukkan kualitas hidup

akan semakin buruk pada mereka yang berstatus tidak kawin dun dibanding

dengan mereka yang kawin.

Status pernikahan merupakan prediktor terbaik dari kualitas hidup

secara keseluruhan. Meski hasil penelitian menunjukkan responden yang

secara masih mempunyai pasangan hidup memiliki kualitas hidup yang

rendah, namun relatif lebih tinggi dibandingkan individu yang tidak

menikah, bercerai ataupun janda/duda akibat pasangan meninggal.

Responden yang masih mempunyai pasangan hidup namun kualitas

hidupnya rendah disebabkan karena keterbatasan sumber daya ekonomi yang

mempengaruhi pengeluaran rumah tangga, sehingga ketidaksiapan pasangan

dapat mempengaruhi suasana batin dan kondisi fisik yang makin menurun.

4.1.3 Hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas hidup lansia di

Dusun Balongmasin Desa balongmasin Kecamatan Pungging

Kabupaten Mojokerto

Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa responden yang

mempunyai status gizi rendah seluruhnya (100%) mempunyai kualitas

hidup yang rendah sebanyak 17 responden. Selanjutnya responden yang

mempunyai status gizi normal, hampir seluruhnya (94,1%) mempunyai

kualitas hidup tinggi sebanyak 16 responden, dan sisanya sebanyak 1

(5,9%) responden mempunyai kualitas hidup yang rendah.

115
Berdasarkan hasil uji statistik dengan bantuan SPSS versi 22.0

menggunakan Spearman's rho test, didapatkan p value (0,000) < ɑ (0,05),

sehingga H0 ditolak artinya terdapat hubungan antara status gizi lansia

dan kualitas hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa balongmasin

Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto. Hasil tersebut menunjukkan

semakin baik status gizi lansia, maka semakin tinggi kualitas hidup lansia.

Usia lanjut selalu dalam keadaan risiko malnutrisi karena terjadinya

penurunan asupan makanan akibat adanya perubahan fungsi usus,

metabolisme yang tidak efektif, kegagalan hemeostatis dan defek nutrien.

Semakin tua umur seseorang, semakin tinggi resiko terkena malnutrisi,

yang bila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan defisiensi

energi protein dan nutrisi lainnya. Hal tersebut akhirmya berdampak pada

terjadinya penurunan kualitas hidup seseorang (Syahrul, 2013),

Amarantos, Martinez dan Dwyer (2001) menyatakan status gizi dapat

mempengaruhi kualitas hidup lansia. Hal ini disebabkan karena pada usia

lanjut terjadi penurunan fungsi tubuh mulai dari menurunnya kemampuan

alat indra seperti penciuman dan penurunan indra pengecap dalam hal cita

rasa sampai pada penurunan fungsi gastrointestinal dan fungsi usus yang

semuanya menyebabkan penurunan nafsu makan sehingga mempengaruhi

status gizi. Malnutrisi dapat mengakibatkan keterbatasan dalam akifitas

fisik yang menyebabkan ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari

dan hal inilah yang mempengaruhi kualitas hidup lansia. Peningkatan

kualitas hidup lansia seharusnya dapat ditingkatkan dengan meningkatkan

116
jumlah asupan nutrisi pada lansia (Depkes, 2010). Malnutrisi pada lansia

mengurangi hidup lansia, karena malnutrisi berkontribusi pada

munculnya penyakit serius, penurunan kapasitas fungsional merubah

konsep diri dan mempercepat disabilitas kronis (Chen, Schilling, dan

Lyder, 2001).

Bagi sebagian besar responden, kondisi malnutrisi disebabkan

responden kurang termotivasi untuk menyiapkan dan mengkonsumsi

makanan yang bergizi seimbang untuk dirinya. Karena responden berada

dalam kondisi yang serba terbatas, baik secara finansial maupun fisik.

Latar belakang sosial ekonomi keluarga yang pas-pasan, membuat

responden kesulitan untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Hal ini

menyebabkan mengalami penurunan kualitas hidup.

Responden dengan status gizi kurang namun mempunyai kualitas

hidup tinggi lebih dipengaruhi oleh faktor lain, seperti seperti tingginya

dukungan sosial keluarga. Tidak dapat dipungkiri keluarga terutama anak-

anak dan pasangan hidup sangat mempengaruhi kualitas hidup lansia

yang meningkat. Sebaliknya lansia yang mempunyai status gizi normal

namun kualitas hidupnya rendah disebabkan karena faktor lain seperti

mekanisme koping terhadap masalah yang rendah yang bersifat ego

oriented mechanism, yaitu menyikapi masalah dengan menitikberatkan

pada perasaan atau emosi, sehingga masalah-masalah yang muncul

akhimya kurang tertangani dan memperparah kualitas hidupnya.

Sedangkan lansia dengan status gizi lebih namun kualitas hidupnya tinggi

117
dapat disebabkan karena ia mampu memaknai hidup dengan lebih baik

dan menganggap masalah hidup seperti berbagai gangguan akibat

penyakit degeneratif yang dialami sebagai sesuatu yang wajar. Ditunjang

adanya dukungan keluarga menyebabkan responden mampu mengatasi

permasalahan hidup.

118
BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

5.1.1 Status gizi lansia di Dusun Balongmasin Desa balongmasin Kecamatan

Pungging Kabupaten Mojokerto, mempunyai status gizi kurang sebanyak

17 responden (37,0%) dan responden yang mempunyai status gizi normal

sebanyak 17 responden (37,0%)

5.1.2 Kualitas hidup lansia di Dusun Balongmasin Desa balongmasin

Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto, sebagian besar mempunyai

kualitas hidup rendah sebanyak 24 responden (52,2%).

5.1.3 Ada hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas hidup lansia di

Dusun Balongmasin Desa balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten

Mojokerto, yaitu semakin baik status gizi lansia, semakin tinggi pula

kualitas hidupnya.

5.2 Saran

5.2.1 Bagi lansia dan keluarganya

Lansia diharapkan meningkatkan pemahaman tentang pentingnya

pemenuhan kebutuhan nutrisi guna meningkatkan dan memelihara taraf

kualitas hidup dan kesehatan dirinya melalui berbagai sumber informasi

terutama petugas kesehatan setempat seperti perawat atau lebih aktif

mengikuti posyandu lansia yang diadakan di dusun setempat.

119
Keluarga lansia dapat lebih meningkatkan dukungannya dalam

pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi lansia. Peningkatan dukungan ini dapat

dilakukan dengan menyediakan makanan yang bergizi sesuai kebutuhan

lansia setiap hari, membantu pembiayaan belanja harian lansia yang sudah

menjadi duda/janda saat menyantap hidangan, mengingatkan lansia untuk

makan, ataupun mengontrol menu makanan lansia tiap harinya serta

mendampingi lansia saat makan, karena beberapa lansia terkadang

mengalami masalah isolasi sosial sehingga membutuhkan dukungan

keluarga di setiap aspek.

5.2.2 Bagi Petugas Kesehatan Setempat

Diharapkan tenaga medis di puskesmas Watukenongo , khususnya

perawat desa dapat melaksanakan program penyuluhan gizi lansi saat

posyandu lansia serta mengadakan program penyuluhan tentang cara

pemenuhan gizi seimbang bagi lansia. Memberikan informasi pada lansia

dan keluarganya mengenai berbagai upaya meningkatkan kualitas hidup,

seperti mengajak lansia aktif dalam kegiatan masyarakat, aktif mengajak

lansia dalam kegiatan posyandu lansia, keluarga dimotivasi untuk lebih aktif

berkomunikasi dengan lansia dan menyadari berbagai kelemahan yang

diderita lansia dapat mempengaruhi kualitas hidup.

120
5.2.3 Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melanjutkan penelitian yang bertujuan untuk

memberikan penyuluhan tentang pemenuhan kebutuhan nutrisi pada lansia dan

mencari responden yang lebih homogen atau mungkin lebih banyak dari peneliti

sebelumnya.

121
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S., Soetardjo, S., & Soekatri, M. (2011). Gizi Seimbang dalam Daur
Kehidupan. jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta.

Arisman. (2004). Gizi dalam Daur Kehidupan. jakarta: EGC.

Azizah, L. . (2011). Keperawatan Lanjut Usia. yogyakarta: Graha Ilmu.

Bandiyah, S. (2009). Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik. yogyakarta: Nuha


Medika.

Barasi, M. (2007). At a Glance: Ilmu Gizi. (Hermin, Ed.). jakarta: erlangga.

Cakrawati, D., & Mustika, N. (2012). Bahan Pangan, Gizi dan Kesehatan.
Bandung: Alfabeta.

Dalgleish, T., Williams, J. M. G. ., Golden, A.-M. J., Perkins, N., Barrett, L. F.,
Barnard, P. J., … Watkins, E. (2007). [ No Title ]. Journal of Experimental
Psychology: General, 136(1), 23–42.

Departemen Kesehatan. (2010). Buletin Lansia. Jakarta: Depkes RI.

Dinkes kab. mojokerto. (2016). Profil Kesehatan Tahun 2016, (4).

Fatmah. (2010). Gizi Lanjut Usia. jakarta: erlangga.

Gizi, S., Di, U., Padang, K., Enny, E., Elnovriza, D., & Hamid, S. (2006). Faktor-
Faktor Yang Berhubungan Dengan, (9), 5–8.

Hickson, M., & Frost, G. (2004). An investigation into the relationships between
quality of life, nutritional status and physical function. Clinical Nutrition,
23(2), 213–221. https://doi.org/10.1016/S0261-5614(03)00127-4

Hidayat, A. A. . (2010). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data.


Jakarta: salemba medika.

Ilmu, F., Universitas, K., Malang, M., Keperawatan, F., Airlangga, U., &
Mulyorejo, K. C. (2012). Quality of Life Elderly, 120–132.

Krisnansari, D. (2010). Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health, 4, 60–68.

122
Maryam, R. ., & Dkk. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta:
salemba medika.

Myckel B. Mainake. (n.d.). Myckel-Mainake-080112014-artikel.

Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka


Cipta.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka


Cipta.

Nugroho, W. (2008). Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta: salemba medika.

Proverawati, A., & Asfuah, S. (2009). Buku Ajar Gizi untuk Kebidanan.
yogyakarta: Nuha Medika.

Pudjiastuti, S, S. (2003). Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta: EGC.

Putri, S. T., Fitriana, L. A., Ningrum, A., & Sulastri, A. (207AD). Studi
Komparatif: Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal Bersama Keluarga dan
Panti. Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia, 85(229), 1–6.
https://doi.org/10.17509/jpki.v1i1.1178.g824

Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. yogyakarta: Graha


Ilmu.

Sigit. (2012). Keadaan Status Gizi Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan


Anak. Lumbung Pustaka UNY, 10–40.

Stanley, M., & Guanlett, P. . (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik (2nd ed.).
Jakarta: EGC.

Sugiono. (2009). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2009). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sulistyoningsih, & Hariyani. (2011). Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak.
yogyakarta: Graha Ilmu.

Tamher, S., & Noorkasiani. (2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan
Asuhan Keperawatan. Jakarta: salemba medika.

123
UI, F. (2007). Gizi dan Kesehatan Masyarakat. jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa.

Waryono. (2010). Gizi Reproduksi. yogyakarta: Pustaka Rihama.

Watson, R. (2003). Perawatan Pada Lansia. jakarta: EGC.

WHO. (2004). The World Health Organization: WHO QOL - BREF. Retrieved
from Internet

124
Lampiran 1

125
Lampiran 2

126
Lampiran 3

127
PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada
Yth. Calon responden
Di tempat

Saya adalah mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan STIKES Bina

Sehat PPNI Kabupaten Mojokerto:

Nama : NADIA ANITA ROSALINA

NIM : 201501112

Saya menharapkan partisipasi anda untuk menjadi responden dalam penelitian

yang berjudul “Hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas hidup lansia di

Desa Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto”.

Jika anda bersedia menjadi responden, saya berharap anda mengikuti

semua tahapan pengambilan data yang diperlukan untuk kepentingan penelitian ini.

Saya menjamin kerahasiaan hasil pengambilan data hanya akan dipergunakan

untuk pengembangan ilmu keperawatan.

Mojokerto, Januari 2019


Hormat saya,

NADIA ANITA ROSALINA

128
Kode responden:

PERNYATAAN BERSEDIA MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan untuk turut

berpartisipasi sebagai responden pada penelitian yang dilaksanakan oleh

mahasiswa strata 1 Program Studi Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Bina Sehat PPNI Kabupaten Mojokerto, bernama NADIA ANITA ROSALINA

(201501112), dengan judul “Hubungan antara status gizi lansia dengan kualitas

hidup lansia di Desa Balongmasin Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto”.

Pernyataan ini menunjukkan saya telah diberikan informasi dan

memahaminya serta tidak ada paksaan untuk berpartisipasi dalam penelitian

tersebut.

Mojokerto, Januari 2019

RESPONDEN

129
KISI KISI KUESIONER
KUALITAS HIDUP LANSIA

Indikator No Jumlah Pertanyaan Pertanyaan Skor


soal soal positif negatif
Menggunakan Skor:
alat ukur pertanyaan
WHOQOL - 1 2 soal 1,2 - positif:
BREF: 2 Dalam
Umum jumlah
1.Fisik 3,4,10 berlebihan:
15,16 10,15,16 3,4 5
17,18 7 soal 17,18 Sangat
2. Psikologis 5,6,7, sering: 4
11,9 5,6,7,11, 3,4 Dalam
26 6 soal 19 jumlah
3. Sosial 20,21, sedang: 3
21 3 soal 20,21,22 - Sedikit: 2
4. Lingkungan 8,9,12, Tidak sama
13,14 8,9,12, sekali: 1
23,24 8 soal 13,14,23 -
25 24,25 Pertanyaan
negatif:
Dalam
jumlah
berlebihan:
1
Sangat
sering: 2
Dalam
jumlah
sedang: 3
Sedikit: 4
Tidak sama
sekali: 5

Kriteria:
Tinggi: 201-
400
Rendah: 0-
200
(WHO,
2004)

130
KUESIONER
HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI LANSIA DENGAN KUALITAS
HIDUP LANSIA DI DESA BALONGMASIN KECAMATAN PUNGGING
KABUPATEN MOJOKERTO

DATA UMUM :

Pilihlah jawaban yang sesuai dengan kondisi anda dengan memberi tanda

(V) pada setiap kotak dalam pertanyaan tersebut.

1. Umur anda:……………. tahun

60-64 tahun

65-70 tahun

>70 tahun

2. Pekerjaan anda di masa lalu:


Pegawai Negeri Sipil/TNI/Polri
Swasta
Wiraswasta
Lain-lain:…………….

3. Pendidikan terakhir anda:


Tidak sekolah

Pendidikan dasar (SD/SMP)

Pendidikan menengah (SMA)

Pendidikan Tinggi (Akademi/Perguruan Tinggi)

131
4. Jenis kelamin:

Laki-laki

Perempuan

5. Status pernikahan:

Belum/Tidak menikah

Masih mempunyai pasangan hidup

Janda/duda cerai atau mati

132
KUESIONER WHOQOL-BREF

Pertanyaan berikut ini menyangkut perasaan anda terhadap kualitas hidup,

kesehatan dan hal- hal lain dalam hidup anda. Saya akan membacakan setiap

pertanyaan kepada anda, bersamaan dengan pilihan jawaban. Pilihlah jawaban

yang menurut anda paling sesuai. Jika anda tidak yakin tentang jawaban

yang akan anda berikan terhadap pertanyaan yang diberikan, pikiran pertama

yang muncul pada benak anda seringkali merupakan jawaban yang terbaik.

Camkanlah dalam pikiran anda segala standar hidup, harapan, kesenangan dan

perhatian anda. Kami akan bertanya apa yang anda pikirkan tentang kehidupan

Sangat Buruk Biasa-biasa Baik Sangat


buruk saja baik
1. Bagaimana menurut anda 1 2 3 4 5
kualitas hidup anda?
anda pada empat minggu terakhir.

Sangat tdk Tdk Memuas- Sang-at


Biasa-biasa mem-
memuaskan memuas- kan
saja uas-
kan
kan
2. Seberapa puas anda terhadap 1 2 3 4 5
kesehatan anda?

Pertanyaan berikut adalah tentang seberapa sering anda telah mengalami

hal-hal berikut ini dalam empat minggu terakhir.

133
Tdk Sedik- Dlm Sangat Dlm
sama it jumlah sering jumlah
sekali sedang berlebihan
3. Seberapa jauh rasa sakit fisik anda
mencegah anda dalam beraktivitas 5 4 3 2 1
sesuai kebutuhan anda?
4. Seberapa sering anda
membutuhkan terapi medis untuk 5 4 3 2 1
dpt berfungsi dlm kehidupan
sehari-hari anda?
5. Seberapa jauh anda menikmati 1 2 3 4 5
hidup anda?
6. Seberapa jauh anda merasa hidup 1 2 3 4 5
anda berarti?
7. Seberapa jauh anda mampu 1 2 3 4 5
berkonsentrasi?
8. Secara umum, seberapa aman anda 1 2 3 4 5
rasakan dlm kehidupan anda
sehari-hari?
9. Seberapa sehat lingkungan dimana 1 2 3 4 5
anda tinggal (berkaitan dgn sarana
dan prasarana)

Pertanyaan berikut ini adalah tentang seberapa penuh anda alami hal-hal
berikut ini dalam 4 minggu terakhir?

Tdk Sepenuhn
sama Sedikit Sedang Seringkali ya
Sekali dialami
10. Apakah anda memiliki 1 2 3 4 5
vitalitas yg cukup untuk
beraktivitas sehari2?
11. Apakah anda dapat 1 2 3 4 5
menerima penampilan
tubuh anda?

134
12. Apakah anda memiliki 1 2 3 4 5
cukup uang utk memenuhi
kebutuhan anda?
13. Seberapa jauh ketersediaan
informasi bagi kehidupan 1 2 3 4 5
anda dari hari ke hari?
14. Seberapa sering anda
memiliki kesempatan untuk 1 2 3 4 5
bersenang- senang
/rekreasi?

Biasa-
Sangat Buruk biasa Baik Sangat
buruk saja baik
15. Seberapa baik kemampuan 1 2 3 4 5
anda dalam bergaul?

Sangat Tdk Biasa- Sangat


tdk memuaska biasa Memuask memuaska
Memuask n saja an n
an
16. Seberapa puaskah anda dg 1 2 3 4 5
tidur anda?
17. Seberapa puaskah anda dg
kemampuan anda untuk 1 2 3 4 5
menampilkan aktivitas
kehidupan anda sehari-hari?
18. Seberapa puaskah anda 1 2 3 4 5
dengan kemampuan anda
untuk bekerja?
19. Seberapa puaskah anda 1 2 3 4 5
terhadap diri anda?
20. Seberapa puaskah anda 1 2 3 4 5
dengan hubungan personal /
sosial anda?
21. Seberapa puaskah anda 1 2 3 4 5
dengan kehidupan seksual
anda?
22. Seberapa puaskah anda
dengan dukungan yg anda 1 2 3 4 5
peroleh dr teman anda?
23. Seberapa puaskah anda
dengan kondisi tempat anda 1 2 3 4 5
tinggal saat ini?
24. Seberapa puaskah anda dgn 1 2 3 4 5
akses anda pd layanan
kesehatan?

135
25. Seberapa puaskah anda 1 2 3 4 5
dengan transportasi yg hrs
anda jalani?

Pertanyaan berikut merujuk pada seberapa sering anda merasakan atau


mengalami hal-hal berikut dalam empat minggu terakhir.

Tdk Jarang Cukup Sangat Selalu


pernah sering sering
26. Seberapa sering anda
memiliki perasaan negatif 5 4 3 2 1
seperti ‘feeling blue’
(kesepian), putus asa,
cemas dan depresi?

(WHO, 2011).

136
TABULASI HASIL PENELITIAN
HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI LANSIA DENGAN
KUALITAS HIDUP LANSIA DI DUSUN BALONGMASIN
KECAMATAN PUNGGING KABUPATEN MOJOKERTO

Jenis Status Status Kualitas


NO Umur PML PDDKT
kelamin Pernikahan Gizi Hidup
1 1 2 2 2 2 2 1
2 2 4 1 2 2 3 1
3 1 4 2 2 2 3 2
4 2 3 2 2 3 1 2
5 3 4 2 2 2 2 1
6 2 3 2 2 2 2 2
7 3 2 2 2 2 2 1
8 3 3 3 2 3 1 2
9 3 4 2 2 3 1 2
10 3 4 2 2 3 3 2
11 3 2 2 2 2 1 2
12 2 3 2 2 2 3 1
13 1 4 2 2 2 1 2
14 2 4 2 2 2 2 1
15 2 3 2 2 2 1 2
16 3 1 3 2 3 1 2
17 1 4 2 2 3 3 1
18 3 4 3 2 2 2 1
19 2 2 2 2 3 2 1
20 3 4 3 2 2 3 1
21 2 3 2 2 2 2 1
22 2 3 2 2 2 1 2
23 3 4 1 2 2 3 1
24 3 2 3 2 2 3 1
25 1 3 2 2 3 3 2
26 1 4 2 2 2 2 1
27 2 3 2 2 3 3 2
28 3 1 3 2 2 3 2
29 3 1 3 2 2 2 1
30 3 3 2 2 2 1 2
31 2 4 1 1 3 2 1
32 3 4 1 1 3 1 2
33 2 3 2 1 3 2 1
34 1 3 1 1 2 1 2

137
35 2 2 2 1 3 3 2
36 2 3 2 1 2 1 2
37 3 4 3 1 2 2 1
38 3 2 3 1 2 1 2
39 3 3 2 1 2 1 2
40 3 2 3 1 2 2 1
41 1 1 4 1 3 2 1
42 3 4 2 1 3 1 2
43 3 4 2 1 3 2 1
44 3 2 2 1 3 1 2
45 3 3 3 1 3 2 1
46 1 3 2 1 2 1 2

Keterangan:
Umur: Pekerjaan: Pendidikan: Jenis kelamin:
1: 60-64 tahun 1: PNS/TNI/Polri 1: Tidak sekolah 1: Laki-laki
2: 65-70 tahun 2: Swasta 2: Dasar(SD/SMP) 2: Perempuan
3: >70 tahun 3: Wiraswasta 3: Menengah (SMA)
4: Petani 4: Tinggi
(Akademi/PT)

Status pernikahan: Status gizi: Kualitas hidup


1: Belum/tidak menikah 1: Kurang 1: Tinggi
2: Menikah 2: Normal 2: Rendah
3: janda/duda cerai/mati 3: Lebih

138
TABULASI DATA KHUSUS
STATUS GIZI LANSIA DI DUSUN MANUKAN DESA
BALONGMASIN KECAMATAN PUNGGING KABUPATEN MOJOKERTO

Status gizi lansia


Jenis TB
NO BB IMT Kurang Normal Lebih Kode
Kelamin
Cm m2 <18.5 kg/m2 18.5-25 kg/m2 >25 kg/m2
1 2 52 150 1,50 23,1 √ 2
2 2 75 100 1,00 29,2 √ 3
3 2 69 100 1,00 26,9 √ 3
4 2 42 159 1,59 16,6 √ 1
5 2 59 149 1,49 24,3 √ 2
6 2 60 163 1,63 22,6 √ 2
7 2 55 157 1,57 22,3 √ 2
8 2 45 161 1,61 17,3 √ 1
9 2 50 165 1,65 16,4 √ 1
10 2 70 166 1,66 25,4 √ 2
11 2 41 153 1,53 17,5 √ 1
12 2 94 158 1,58 37,7 √ 3
13 2 38 154 1,54 16,3 √ 1
14 2 56 159 1,59 22,2 √ 2
15 2 45 163 1,63 16,9 √ 1
16 2 32 165 1,65 11,7 √ 1
17 2 78 158 1,58 28,6 √ 3
18 2 60 156 1,56 24,6 √ 2
19 2 50 159 1,59 19,8 √ 2
20 2 65 158 1,58 26,1 √ 3
21 2 60 160 1,60 23,4 √ 2
22 2 43 156 1,56 17,6 √ 1
23 2 70 160 1,60 27,3 √ 2
24 2 70 152 1,52 30,3 √ 3
25 2 70 157 1,57 28,4 √ 3
26 2 51 154 1,54 21,5 √ 2
27 2 75 160 1,60 29,2 √ 3
28 2 90 160 1,60 35,1 √ 3
29 2 51 161 1,61 20,4 √ 2
30 2 48 162 1,62 18,3 √ 1
31 1 62 160 1,60 24,2 √ 2
32 1 45 166 1,66 16,6 √ 1
33 1 50 155 1,55 20,8 √ 2
34 1 39 157 1,57 17,3 √ 1
35 1 80 160 1,60 31,2 √ 3
36 1 44 167 1,67 16,2 √ 1
37 1 51 161 1,61 20,4 √ 2
38 1 40 162 1,62 15,2 √ 1
39 1 50 170 1,70 17,3 √ 1
40 1 52 160 1,60 20,3 √ 2
41 1 60 162 1,62 22,9 √ 2

139
42 1 41 160 1,60 16,1 √ 1
43 1 65 170 1,70 22,4 √ 2
44 1 50 165 1,65 18,3 √ 1
45 1 67 172 1,72 22,7 √ 2
46 1 43 155 1,55 17,9 √ 1
Keterangan:
1. Gizi kurang (<18 kg/m2)
2. Gizi normal (18,5-25 kg/m2)
3. Gizi lebih (>25 kg/m2)

140
141
Crosstabs

Notes

Output Created 22-APR-2019 10:09:53

Comments

Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>
Input
Split File <none>

N of Rows in Working Data


46
File

User-defined missing values


Definition of Missing
are treated as missing.

Statistics for each table are


Missing Value Handling based on all the cases with
Cases Used valid data in the specified
range(s) for all variables in
each table.

CROSSTABS

/TABLES=Status_Gizi BY
Kualitas_Hidup

/FORMAT=AVALUE
Syntax
TABLES

/CELLS=COUNT ROW
COLUMN TOTAL

/COUNT ROUND CELL.

Resources Processor Time 00:00:00,02

142
Elapsed Time 00:00:00,02

Dimensions Requested 2

Cells Available 174762

[DataSet0]

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Status_Gizi *
46 100,0% 0 0,0% 46 100,0%
Kualitas_Hidup

Status_Gizi * Kualitas_Hidup Crosstabulation

Kualitas_Hidup Total

Tinggi Rendah

Count 0 17 17

% within Status_Gizi 0,0% 100,0% 100,0%


Gizi kurang
Status_Gizi % within Kualitas_Hidup 0,0% 70,8% 37,0%

% of Total 0,0% 37,0% 37,0%

Gizi normal Count 16 1 17

143
% within Status_Gizi 94,1% 5,9% 100,0%

% within Kualitas_Hidup 72,7% 4,2% 37,0%

% of Total 34,8% 2,2% 37,0%

Count 6 6 12

% within Status_Gizi 50,0% 50,0% 100,0%


Gizi lebih
% within Kualitas_Hidup 27,3% 25,0% 26,1%

% of Total 13,0% 13,0% 26,1%

Count 22 24 46

% within Status_Gizi 47,8% 52,2% 100,0%


Total
% within Kualitas_Hidup 100,0% 100,0% 100,0%

% of Total 47,8% 52,2% 100,0%

144
Warning # 849 in column 23. Text: in_ID

The LOCALE subcommand of the SET command has an invalid parameter. It could

not be mapped to a valid backend locale.

NONPAR CORR

/VARIABLES=status_gizi kualitas_hidup

/PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG

/MISSING=PAIRWISE.

Nonparametric Correlations

Notes

Output Created 26-NOV-2010 08:19:59

Comments

Input Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data


29
File

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are


treated as missing.

145
Cases Used Statistics for each pair of variables are
based on all the cases with valid data
for that pair.

Syntax NONPAR CORR

/VARIABLES=status_gizi
kualitas_hidup

/PRINT=SPEARMAN TWOTAIL
NOSIG

/MISSING=PAIRWISE.

Resources Processor Time 00:00:00,00

Elapsed Time 00:00:00,05

Number of Cases Allowed 174762 casesa

a. Based on availability of workspace memory

[DataSet0]

Correlations

status_gizi kualitas_hidup

Spearman's rho status_gizi Correlation Coefficient 1,000 ,110

Sig. (2-tailed) . ,569

N 29 29

kualitas_hidup Correlation Coefficient ,110 1,000

Sig. (2-tailed) ,569 .

146
N 29 29

NONPAR CORR

/VARIABLES=status_gizi kualitas_hidup

/PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG

/MISSING=PAIRWISE.

Nonparametric Correlations

Notes

Output Created 26-NOV-2010 08:47:20

Comments

Input Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data


46
File

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are


treated as missing.

147
Cases Used Statistics for each pair of variables are
based on all the cases with valid data
for that pair.

Syntax NONPAR CORR

/VARIABLES=status_gizi
kualitas_hidup

/PRINT=SPEARMAN TWOTAIL
NOSIG

/MISSING=PAIRWISE.

Resources Processor Time 00:00:00,00

Elapsed Time 00:00:00,03

Number of Cases Allowed 174762 casesa

a. Based on availability of workspace memory

Correlations

status_gizi kualitas_hidup

Spearman's rho status_gizi Correlation Coefficient 1,000 -,203

Sig. (2-tailed) . ,177

N 46 46

kualitas_hidup Correlation Coefficient -,203 1,000

Sig. (2-tailed) ,177 .

N 46 46

NONPAR CORR

/VARIABLES=status_gizi kualitas_hidup

148
/PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG

/MISSING=PAIRWISE.

Nonparametric Correlations

Notes

Output Created 26-NOV-2010 08:54:08

Comments

Input Active Dataset DataSet0

Filter <none>

Weight <none>

Split File <none>

N of Rows in Working Data


46
File

Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are


treated as missing.

Cases Used Statistics for each pair of variables are


based on all the cases with valid data
for that pair.

149
Syntax NONPAR CORR

/VARIABLES=status_gizi
kualitas_hidup

/PRINT=SPEARMAN TWOTAIL
NOSIG

/MISSING=PAIRWISE.

Resources Processor Time 00:00:00,00

Elapsed Time 00:00:00,00

Number of Cases Allowed 174762 casesa

a. Based on availability of workspace memory

Correlations

status_gizi kualitas_hidup

Spearman's rho status_gizi Correlation Coefficient 1,000 -,496**

Sig. (2-tailed) . ,000

N 46 46

kualitas_hidup Correlation Coefficient -,496** 1,000

Sig. (2-tailed) ,000 .

N 46 46

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

150
Lembar pengajuan judul skripsi

151
Lembar bimbingan skripsi

152
153
154
155
156

Anda mungkin juga menyukai