Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“Euthanesia”

Dosen Pengampu : Susi Tentrem R.Talib S.Kep,Ns,M.Kes

Disusun Oleh :

1. Dwi Retno Kuntari P1337420717001


2. Fadila Septi Pradini P1337420717005
3. Mareta Ika Ragasuni P1337420717009
4. Aida Fitriana P1337420717013
5. Ganis Riski P1337420717017
6. Hevin Nova Rahmawati P1337420717021
7. Annisatul Ilzan P1337420717025
8. Asyifa Ridha Ayasofia P1337420717029
9. Satrya Anggara Y P1337420717037
10. Rika Zuliya Solikhah P1337420717041

PRODI D4 KEPERAWATAN MAGELANG

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG 2017/2018


Kata Pengantar

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik. Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Kepperawatan.

Dalam makalah ini, kami akan sedikit menjelaskan tentang “Euthanasia” dengan segala
permasalahannya. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan dan disusun
dalam berbagai keterbatasan. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan sarannya untuk bisa
memperbaikinya.

Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
penyusunan makalah ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik dan lancar. Kami berharap
makalah ini bermanfaat, khususnya bagi kami dan umumnya bagi siapa saja yang membacanya.
Aamiin.

Penyusun
Daftar Isi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terdapat beberapa masalah dalam bidang kesehatan yang berkaitan dengan aspek
hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, salah satunya adalah tentang
euthanasia. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini
tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yang dapat
diterima oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan euthanasia pada beberapa kasus dan
keadaan memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima,
bertentangan dengan hukum, moral dan agama.
Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan
masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak
tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi
demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak
ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain keadaan pada pasien yang sudah tidak
sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan
menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila
perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah istilah euthanasia
muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan atau mati
secara baik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian euthanasia ?
2. Bagaimana ketentuan mati dalam dunia kedokteran ?
3. Bagaimana diagnosis mati batang otak ?
4. Bagaimana pandangan tentang euthanasia?
5. Bagaimana eutanasia menurut etik dan hukum kedokteran di Indonesia?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan mengerti tentang pengertian euthanasia.
2. Mengetahui dan mengerti ketentuan mati dalam dunia kedokteran.
3. Mengetahui dan mengerti bagaimana diagnosis mati batang otak.
4. Mengetahui dan mengerti pandangan tentang euthanasia.
5. Mengetahui dan mengerti bagaimana euthanasia menurut etik dan hokum kedokteran
di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari dua kata : Eu
berarti baik dan Thanatos berarti mati, mayat. Kemudian pengertian istilah ini
berkembang menjadi mengakhiri hidup tanpa penderitaan, lengkapnya Euthanasia
diartikan perbuatan mengakhiri kehidupan seseorang untuk menghentikan
penderitaannya. Akan tetapi, ini sering diartikan pengakhiran kehidupan karena kasian
atau membiarkan orang mati.
Di Indonesia, menurut kode etik kedokteran Indonesia, istilah Euthanasia
dipergunakan dalam tiga arti, yaitu :
1. Berpindah kealam barka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang
beriman dengan nama Allah di bibir,
2. Ketika hidup berakhir, penderitaan si sakit yang dirigankan dengan memberikan obat
penenang, dan
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
Berikut berbagai pendapat yang diajukan mengenai definisi Euthanasia :
1. Voluntary Euthanasia
Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani
yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan
fisik dan jiwa yang tidak menunjang.
2. Involuntary Euthanasia
Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dikerjakan karena,
misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sach. Keputusan atau keinginan untuk
mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
3. Assisted suicide
Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk
menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
4. Tindakan langsung menginduksi kematian. Alasan adalah meringankan penderitaan tanpa
izin individu yang bersangkutan dan pihak yang punya hak untuk mewakili. Hal ini
sebenarnya merupakan pembunuhan, tetai dalam pengertian yang berbeda karena
tindakan ini dilakukan atas dasar kasian.
Euthanasia pada dasarnya dapat dibedakan dalam tiga macam,yaitu :
1. Euthanasia aktif
Tindakan ini secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.
2. Euthanasia pasif
Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan
medis yang dapat memerpanjang hidup pasien.
3. Auto-euthanasia
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan
medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau megakhiri hidupnya.
Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).
Autoeuthanasia pada dasrnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
B. Ketentuan mati dalam dunia kedokteran
Di Indonesia Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dengan surat keputusan nomer 336/ PB /
A. 4/88. Merumuskan bahwa seseorang dinyatakan mati apabila :
1. Fungsi spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau (irreversible)
2. Apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak

Pernyataan tersebut dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang seperti EKG, EEG.


Upaya resusitasi dalam keadaan ini tidak memberikan banyak arti lagi. Upaya resusitasi
dilakukan dalam keadaan mati klinis, yaitu bila denyut nadi besar dan napas berhenti dan
diragukan apakah kedua fungsi spontan jantung dan pernapasan telah berhent secara
pasti. Upaya resusitasi darurat dapat diakhiri apabila terjadi hal berikut :

1) Diketahui kemudian bahwa sesudah dimulai resusitasi, pasien ternyata berada


dalam stadium suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi atau hamper
dapat dipastikan bahwa pasien tidak akan memperoleh kembali fungsi serebralnya
yaitu sesudah selama ½ - 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa
resusitasi jantung paru.
2) Terdapat tanda- tanda klimis mati otak, yaitu sesudah resusitasi pasien tetap tidak
sadar, tidak timbul nafas spontan dan reflek GAG, serta pupil tetap dilatasi selama
paling sedikit 15-30 menit. Perkecualian untuk itu ialah hipotermia atau dibawah
pengaruh barbiturate atau anesthesia.
3) Terdapat tanda-tanda mati jantung, yaitu asistol listrik membandel (garis datar
pada EKG ) selama paling sedikit 30 menit meskipun telah dilakukan resusitasi
dan pengobatan optimal.
4) Penolong terlalu lelah sehingga tidak dapat melakukan upaya resusitasi.
C. Diagnosis Mati Batang Otak
Untuk menegakkan diagnosis mati batang otak diperlukan tiga langkah yaitu :
1. Meyakinkan bahwa telah terdapat pra kondusi tertentu, yaitu:
a. Pasien dalam keadaan koma dan henti napas, yaitu tidak responsive walaupun sudah
dibantu dengan ventilator
b. Penyebabnya adalah kerusakan otak structural yang tidak dapat diperbaiki lagi karena
gangguan yang dapat menuju mati batang otak.
2. Menyingkirkan penyebab, dengan henti napas yang irreversible.
3. Memastikan arefleksi batang otak dan henti napas yang menetap.
Adapun tanda- tanda menghilangnya fungsi batang otak adalah :
1. Terjadinya koma
2. Tidak ada sikap abnormal ( dekortilasi, deserebrasi)
3. Tidak ada sentakan epleptik
4. Tidak ada reflek batang otak
5. Tidak ada napas spontan
Apabila tanda –btanda fungsi batang otak yang hilang di atas ada semua, maka
hendaknya diperiksa 5 reflek batang otak yaitu :
1. Bila ada atau tidak respond terhadap cahaya
2. Bila ada atau tidak reflek kornea
3. Bila ada atau tidak reflek vestibulokoklear
4. Bila ada atau tidak respond motor dalam distribusi saraf cranial terhadap rangsang
adekuat pada area somatic
5. Bila ada atau tidak reflek muntah atau reflek batuk terhadap rangsang oleh kateter
isap yang dimasukkan kedalam trachea.

Adapun tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti napas.

Dengan berkembangnya tekhnologi kedokteran saat ini, para ahli membedakan


antara mati klinis dan mati vegetative. Berakhirnya pernapasan dan detak jantung dulu
merupakan gejala yang menentukan matinya seseorang,tetapi kini tidak lagi menjadi
dasar penentuan matinya seseorang. Fungsi manusia seperti berfikir dan merasa hanya
dapat berjalan apabila otak masih bekerja. Jika otak tidak lagi berfungsi, maka
berakhirlah kehidupan secara intelektual da psikis walaupun pernapasan dan detak
jantung masih ada. Mati otak dalam proses kematian menjadi tanda bahwa orang tersebut
telah meninggal dunia. Dalam ilmu dikenal istilah hidup dan mati,tetapi tidak ada
penjelasan yuridis entang pengertian istilah tersebut. Sekaran penjelasan itu dirasakan
penting dengan pesatnya perkembanan dan penemuan tekhnoloi baru dalam dunia
kedokteran.

D. Pandangan Tentang Euthnasia

Masalah euthanasia menimbulkan pro dan kontra. Alasan yang dikemukakan oleh
masing-masing kelompok adalah sebagai berikut:

1. Yang tidak menyetujui tndakan euthanasia


Kelompok ini berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu pembunuhan
yang terselubung. oleh karena itu, tindakan ini bertentangan dengan kehendak
tuhan. Kelompok ini berpendapat bahwa hidup adalah semata-mata diberikan oleh
tuhan sendiri sehingga tak satu orang atau institusipun yang berhak mencabutnya
bagaimanapun keadaan penderita tersebut. Dikatakan pula bahwa manusia
sebagai makhluk ciptaan tuhan tidak memiliki hak untuk mati.
2. Yang menyetujui euthanasia
Kelmpok ini menyatakan bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan
persetujuan dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Salah satu
prinsip yang menjadi pendoman kelompok ini ialah pendapat bahwa manusia tdak
boleh dipaksa untuk menderita. Jadi , tujuan utamanya adalah meringankan
penderitaan pasien dengan risiko hidupnya diperbaiki.

Dalam hal ini tampak ada batasan , karena adanya sesuatu yang mutlak berasal
dari Tuhan dan batasa karena adanya hak asasi manusia . pembicaraan mengenai
euthanasia tidak akan memperoleh satu kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Didalam
Voluntary Euthanasia Ect (1969) , kelompok yang setuju dengan euthanasia
menampilkan dua pandangan :

1. Perasaan kasihan terhadap mereka yang menderita sakit berat dan secara medis tidak
mempunyai harapan untuk pulih.
2. Perasaan hormat atau agung terhadap manusia yang ada hubungan dengan suatu pilihan
yang bebas sebagai hak asasi.
Menurut Fletcher tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui berbagai cara melalui
beberapa cara seperti berikut:
1. Langsung dan sukarela
Tindakan dianggap seabagi bunuh diri.
2. Sukarela tetapi tidak langsung
Seseorang ingin orang lain yang mengakhiri hidupnya
3. Langsung tetapi tidak sukarela
Dilakukan tanpa sepengetahuan pasien
4. Tidak langsung dan tidak sukarela
Euthanasia pasif yang dianggap paling mendekati moral.
Sekitar 80% okter di Amerika menyetujui, bahkan pernah mempraktekkan
euthanasia negative, dan 18% srtuju euthanasia jika mereka mendapat kesempatan.
Dibeberapa Negara barat, euthanasia tidak lagi dianggap sebagai pembunuhan.
Bahkan hal itu sudah diatur dalam hkum pidana. Dalam beaberapa decade terakhir ,
adapula perkembangan pemikiran dan pengkajian beberapa keadaan didalam dunia
kedokteran, yang dikatakan sebagai bentuk pengakhiran kehidupan yang bukan
euthanasia, melainkan sangat mirip dengan euthanasia. Professor JJ Leenen
menyebutkan dengan pseudo-euthanasia yang terdiri dari atas:
Tipe 1. Pengakhiran perawatan pasien karena gejala mati batang otak (brainstem
death)
Tipe 2. Pengakhiran hidup seseorang akibat keadaan darurat yang terjadi oleh kuasa
yang tak terlawan (force-majeure)
Tipe 3. Penghentian suatu perawatan medis yang tidak berguna lagi
Tipe 4. Penolakan perawatan medis (sering disebut autoeuthanasia)
5. Penghentian tindakan terapeutik
Seringkali otak pasien tidak berfungsi sama sekali, tetapi jantungnya masih
berdenyut otomatis dan napasnya dapat dikendalikan dengan respirator, karena itu
jika kematian batang otak sudah dapat dipastikan, maka secara keseluruhan pasien
tersebut sudah mati walaupun jantungnya masih berdenyut karena fungsi intrisik
otonomnya. Dengan tidak berfungsinya otak,dapat dikatakan bahwa kehidupan secara
intelektual dan psikis telah berakhir. Apabila pasien gawat darurat yang tidak dapat
ditolong dengan cara pengobatan yang ada,sedangkan diagnose mati batang otak
belum ditegakkan, penghentian pengobatan sudah dapat dimulai.
Sesuai kondisi pasien,penghentian tindakan terapeutik/paiatif dilakukan secara
bertahap, yaitu sebagai berikut.
1. Untuk pengakhiran resusitasi jangka panjang dipakai triase gawat darurat sebagai
berikut.
a. Bantuan otak untuk pasien sakit atau cidera kritis yang diharapkan telah hidup
tanpa kegagalan otak berat yang menetap. System organ vital, wadislaupun
biasanya terpengaruh, tidak rusak ireversibel. Semua yang mungkin dilakukan
dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas.
b. Semua diusahakan kecuali resusitasi jantung paru untuk pasien dengan fungsi
otak tetap ada, atau dengan harapan ada pemulihan otak pasien yang
mengalami kegagalan jatung, paru-paru atau organ multiple yang lain atau
dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Semua yang
mungkin dilakukan untuk kenyamanan pasien . perpanjangan hidup tidak
dilakukan setelah jantung berhenti.
c. Tidak dilakukannya tindakan-tindakan luar biasa bagi pasien-pasien yang apa
bila diberi beberapa bentuk terapi tampak hanya berarti memperpanjang
proses kematian , bukan kehidupannya.
d. Pengakhiran semua bantuan hidup untuk pasien adalah penghentian fungsi
batang otak yang irevesibel.
2. Yang dapat digolongkan dalam tindakan luar biasa ialah :
a) Perawatan ICU
b) Pengendalian disritmia
c) Intubasi endotrakea
d) Ventilasi mekanika
e) Infuse i.v obat vasoaktif kuat
f) Nutrisi parenteral total
3. Keputusan untuk menghentikan tindakan luar biasa untuk bantuan hidup
merupakan keputusan medis. Keputusan itu harus diambil oleh dokter yang
bepengalaman dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi
dengan dokter spesialis yang berpengalaman (anestesiologi dan neurologi). Selain
itu, hendaknya dipertimbangkan keinginan pasien yang diharapkan, tetapi pihak
keluarga tidak diminta membuat keputusan agar penderita mati.
4. Bila keputusan yang diambil adalah membiarkan pasien meninggal secara wajar
dengan mematikan mesin ventilator, maka diupayakan pengembalian napas
spontan setelah mesin itu dimatikan. Apabila upaya ini gagal, terapi ventilator
tidak lagi diberikan dan pasien dibiarkan mati secara alamiah. Apabila secara
tidak terduga pasien bernapas spontan kembali, maka terapi ventilator diteruskan.
E. Eutanasia Menurut Etik Dan Hukum Kedokteran Diindonesia
Peraturan pemeritah tahun 1969 tentang lafal sumpah dokter Indonesia yang
bunyinya sama dengan deklarasi jenewa 1948 dan diklarasi Sydney 1968 menyebutkan
bahwa: “saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan “

Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
Dalam pasal 9, Bab 2 kode etik kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter
kepada pasien. Dengan demikian , dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah
memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien.

Sampai saat ini belum ada aturan hokum di Indonesia yang mengatur baik
euthanasia. Pasal pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun
pasif tanpa permintan dilarang. Demikian pula euthanasia aktif dengan permintaan.
Berikut ini bunyi pasal pasal KUHP tersebut :

a. Pasal 338 : barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena
pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama lamanya 15 tahun.
b. Pasal 340 : barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembenuhan
berencana, dipidana dengan pidana mata atau penjara seumur hidup atau penjara
sementara selama lamanya 20 tahun.
c. Pasal 344 : barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama lamanya 12 tahun.
d. Pasal 345 : barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun ,jikalau orang itu jadi bunuh
diri.
e. Pasal 359 : menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian,
dipidana dengan pidana penjara selama lamanya 5 tahun atau pidana kurungan
selama lamanya 1 tahun.

Namun beberapa ahli juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan


medis yang tidak ada gunanya, secara yurdis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini
berkaitan erat dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Dengan
penjelsan tersebut, pasal 351 KUHP ( penaniayaan) dapat diterapkan apabila tindakan
medis yang tidak berguna sama sekali tersebut dilaksanakan oleh seorang dokter terhadap
pasiennya dengan tanpa ijin dari pasien tersebut.
Hubungan hukum dokter pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata. Pasal pasal
1313, 1314, 1315, 1319 KUH perdata mengatur hal perjanjian tersebut. Pasal 1320
KUHP perdata menyebutkan bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian dituntut ijin
berdasarkan kemauan bebas dari kedu belah pihak. Dengan demikian secara hukum dapat
diterapkan pasal 351 KUHP atau penganiayaan.

Contoh Kasus Pemecahan Masalah Dilema Etik Keperawatan


KASUS :

Seorang laki-laki usia 65 tahun menderita kanker kolon terminal denganmetastase yang telah
resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi dibawa ke IGD karena jatuh dari kamar mandi
dan menyebabkan robekan di kepala.  laki-laki  tersebut mengalami nyeri abdomen dan tulang
dan kepala yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan pemberian dosis morphin
intravena. Hal itu ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika istirahat dan nyeri bertambah hebat
saat laki-laki itu mengubah posisinya. Walapun klien tampak bisa tidur namun ia sering meminta
diberikan obat analgesik. Kondisi klien semakin melemah dan mengalami sesak yang tersengal-
sengal sehingga mutlak membutuhkan bantuan oksigen dan berdasar diagnosa dokter, klien
maksimal hanya dapat bertahan beberapa hari saja.

Melihat penderitaan pasien yang terlihat kesakitan dan mendengar informasi dari dokter,
keluarga memutuskan untuk mempercepat proses kematian pasien melalui euthanasia pasif
dengan pelepasan alat-alat kedokteran yaitu oksigen dan obat obatan lain dan dengan
keinginan agar dosis analgesik ditambah. Dr spesilalist onkologi yang ditelp pada saat itu
memberikan advistdosis morfin yang rendah dan tidak bersedia menaikan dosis yang ada karena
sudah maksimal dan dapat bertentangan dengan UU yang ada. Apa yang seharusnya dilakukan
oleh anda selaku perawat yang berdinas di IGD saat itu menghadapi desakan keluarga yang terus
dilakukan?.

Kasus di atas merupakan salah satu contoh masalah dilema etik (ethical dilemma). Dilema
etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau suatu
situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik
tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seseorang harus
tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional. Kerangkan pemecahan dilema
etik banyak diutarakan dan padadasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan /
pemecahan masalah secara ilmiah (Thompson & Thompson, 1985).

Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan dilema etik sebagai berikut :

1. Mengembangkan data dasar


2. Mengidentifikasi konflik
3. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat
5. Mendefinisikan kewajiban perawat
6. Membuat keputusan

PEMECAHAN KASUS DILEMA ETIK

1. Mengembangkan data dasar :


            Mengembangkan data dasar disini adalah dengan mencari lebih lanjut informasi yang ada
mengenai dilema etik yang sedang dihadapi. Mengembangkan data dasar melalui :

a. Menggali informasi lebih dalam terhadap pihak pihak yang terlibat meliputi : Klien,


keluarga dokter, dan perawat.
b. Identifikasi mengenai tindakan yang diusulkan : tidak menuruti keinginan keluarga
untuk melepas alat bantu nafas atau juga untuk memberikan penambahan dosis
morphin.
c. Maksud dari tindakan tersebut : agar tidak membahayakan diri klien dan tidak
melanggar peraturan yang berlaku.
d. Konsekuensi tindakan yang diusulkan, bila tidak menuruti keluarga untuk melepas
alat bantu nafas dan tidak diberikan penambahan dosis morphin, klien dan
keluarganya menyalahkan perawat karena dianggap membiarkan pasien
menderita dan apabila keluarga klien kecewa terhadap pelayanan di IGD mereka bisa
menuntut ke rumah sakit.
2. Mengidentifikasi konflik akibat situasi tersebut :
Penderitaan klien dengan kanker colon yang sudah mengalami metastase mengeluh nyeri
yang tidak berkurang dengan dosis morphin yang telah ditetapkan. Keluargameminta
penambahan dosis pemberian morphin untuk mengurangi keluhan nyerinya dan memutuskan
untuk tidak memberikan alat bantu apapun termasuk oksigen, Keluarga mendukung keinginan
klien agar terbebas dari keluhan nyeri. Konflik yang terjadi adalah :

a. Tidak memberikan Oksigen dan penambahan dosis pemberian morphin dapat


mempercepat kematian klien yang berarti melanggar prinsip
etik Beneficience- Nonmaleficience
b. Tidak memenuhi keinginan klien terkait dengan pelanggaran hak klien yang dapat
melanggar nilai autonomy.
3. Tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan konsekuensi
tindakan tersebut
a. Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat pengurang nyeri dan
melepaskan oksigen
Konsekuensi :

1) Tidak mempercepat kematian klien


2) Membiarkan Klien meninggal sesuai proses semestinya
3) Tidak melanggar peraturan mengenai pemberian morfin
4) Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung
5) Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
6) Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut
b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen nyeri.
 Konsekuensi :

1) Tidak mempercepat kematian pasien


2) Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan
ambang nyeri)
3) Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi
c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan
apabila diperlukan. .
Konsekuensi :

1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi


2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat
cukup beristirahat.
3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.
4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.
5) Beresiko melanggar peraturan yang berlaku.
d. Tidak menuruti keinginan keluarga dan membantu keluarga dalam proses berdukanya
 Konsekuensi :

1) Tidak mempercepat kematian klien


2) Keluarga dapat melewati proses berduka dengan seharusnya
3) Keluarga tidak menginginkan  dilakuakn euthanasia terhadap pasien
4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat :
Pada kasus di atas dokter adalah pihak yang membuat keputusan, karena dokterlah yang
secara legal dapat memberikan ijin penambahan dosis morphin. Namun hal ini perlu
didiskusikan dengan klien dankeluarganya mengenai efek samping yang dapat ditimbulkan dari
penambahan dosis tersebut. Perawat membantu klien dan keluarga klien dalam membuat
keputusan bagi dirinya. Perawat selalu mendampingi pasien dan terlibat langsung dalam asuhan
keperawatan yang dapat mengobservasi mengenai respon nyeri, kontrol emosi dan mekanisme
koping klien, mengajarkan manajemen nyeri, sistem dukungan dari keluarga serta sistem
berduka keluarga dan lain-lain.

5. Mendefinisikan kewajiban perawat


a) Memfasilitasi klien dalam manajemen nyeri yang sesuai
b) Membantu proses adaptasi klien terhadap nyeri / meningkatkan ambang nyeri
c) Mengoptimalkan sistem dukungan keluarga untuk pasien
d) Membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan keyakinannya
e) Membantu Keluarga untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap
masalah yang sedang dihadapi
f) Memfasilitasi sistem berduka keluarga dengan memberikan support.
6. Membuat keputusan
Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan konsekuensi masing-
masing terhadap klien. Perawat dan dokter perlu mempertimbangkan pendekatan yang paling
menguntungkan / paling tepat untuk klien. Namun upaya alternatif tindakan lain perlu dilakukan
terlebih dahulu misalnya manajemen nyeri (relaksasi, pengalihan perhatian, atau
meditasi) beserta perbaikan terhadap sistem berduka keluarga dan kemudian dievaluasi
efektifitasnya. Apabila terbukti efektif diteruskan namun apabila alternatif tindakan tidak efektif
maka keputusan yang sudah ditetapkan antara petugas kesehatan dan klien/ keluarganya akan
dilaksanakan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari dua kata : Eu
berarti baik dan Thanatos berarti mati, mayat. Secara lengkapnya Euthanasia diartikan
perbuatan mengakhiri kehidupan seseorang untuk menghentikan penderitaannya.
2. Ketentuan mati dalam dunia kedokteran di Indonesia Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Dengan surat keputusan nomer 336/ PB / A. 4/88.
3. Eutanasia menurut etik dan hukum kedokteran di Indonesia dalam pasal 9, Bab 2
kode etik kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien. Dengan
demikian , dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau
mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien.
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai