Anda di halaman 1dari 5

1.

4 Anemia

1.4.1 Definisi
Anemia adalah kumpulan gangguan yang ditandai dengan berkurangnya hemoglobin
(Hb) atau sel darah merah (red blood cells / RBCs) yang berfungsi sebagai pembawa
oksigen darah, sehingga sel sel dalam tubuh tidak mendapat cukup oksigen dan tidak
berfungsi secara normal. Menurut WHO, seseorang dikatakan mengalami anemia bila
jumlah Hb kurang dari 13g/dL (<8,07 mmol/L) pada pria dan kurang dari 12g/dL (<7,45
mmol/L) pada wanita (DiPiro dkk., 2014).
1.4.2 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala pada anemia akut yaitu takikardia, sakit kepala ringan, dan dispnea.
Anemia kronis sering disertai dengan kelemahan, kelelahan, sakit kepala, vertigo, dan pucat
(DiPiro dkk., 2014).
1.4.3 Etiologi
Menurut DiPiro dkk., 2014 anemia terjadi karena beberapa hal seperti berikut :
A. Berdasarkan ukuran dari sel, berikut disebutkan beberapa keadaan pada anemia.
Kondisi makrositiksel yang lebih besar dari normal diasosiasikan sebagai anemia
defisiensi nasiamin B12 atau asam folat. Anemia makrositik dapat dibagi menjadi
anemia megaloblastik dan nonmegaloblastik. Tipe dari anemia makrositik dapat
dibedakan secara mikroskopis dengan pemeriksaan apusan darah tepi. Megaloblas
adalah sel khas yang mengekspresikan kelainan biokimia sintesis DNA sehingga
menghasilkan pertumbuhan sel yang tidak seimbang. Anemia megaloblastik dapat
mempengaruhi semua garis sel hematopoietik. Penyebab paling umum dari anemia
megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12 dan folat. Anemia makrositik
nonmegaloblastik dapat timbul dari penyakit hati, hipotiroidisme, proses hemolitik,
dan alkoholisme.
Kondisi mikrositiksel yang lebih kecil daripada ukuran normal. Anemia mikrositik
adalah hasil dari defisiensi kuantitatif dalam sintesis Hb, biasanya karena defisiensi
atau gangguan pemanfaatan zat besi. Akibatnya, eritrosit yang mengandung Hb
tidak mencukupi terbentuk. Mikrositosis dan hipokromia adalah kelainan
morfologis yang memberikan bukti gangguan sintesis Hb, sedangkan normositik
diasosiasikan dengan kehilangan darah atau penyakit kronis.
Defisiensi dapat disebabkan oleh asupan makanan yang tidak memadai, absorpsi
gastrointestinal yang inadekuat, meningkatnya kebutuhan besi (misal dalam
kehamilan), kehilangan darah dan penyakit kronis, obat-obatan dapat menyebabkan
anemia dengan mengurangi penyerapan folat (misalnya, fenitoin) atau melalui
antagonisme folat (misalnya, metotreksat).
B. Anemia Infamasi (AI) adalah istilah baru yang digunakan untuk menggambarkan
anemia penyakit kronis dan anemia penyakit kritis. AI adalah anemia
hipoproliferatif yang secara tradisional telah dikaitkan dengan proses infeksi atau
inflamasi, cedera jaringan, dan kondisi yang terkait dengan pelepasan sitokin
proinflamasi.
C. Pengurangan cadangan sumsum tulang terkait usia dapat membuat pasien usia lanjut
lebih rentan terhadap anemia yang disebabkan oleh beberapa penyakit ringan dan
sering tidak dikenal (misalnya, kekurangan nutrisi) yang secara negatif
mempengaruhi erythropoiesis.
D. Anemia anak sering disebabkan oleh kelainan hematologis primer. Risiko IDA
meningkat dengan tumbuhnya pertumbuhan yang cepat dan defisiensi makanan.

Selain berdasarkan hal diatas, etiologi anemia terjadi akibat adanya infeksi dan faktor
genetik meliputi hemoglobinopati, talasemia, kelainan enzim pada jalur glikolitik, kerusakan
sitoskeleton RBC, anemia diserythropoietic bawaan, penyakit rh nol, xerocytosis herediter,
abetalipoproteinemia (Joseph, 2019).

1.4.4 Patofisiologi
Prekursor eritroid berkembang di sumsum tulang dengan kecepatan yang biasanya
memproduksi Hb yang dapat bersirkulasi pada jaringan oksigenat secara memadai.
Prekursor eritroid membedakan secara berurutan dari sel punca ke sel progenitor ke
eritroblast ke normoblas dalam proses yang membutuhkan faktor pertumbuhan dan sitokin.
Proses diferensiasi ini membutuhkan beberapa hari. Biasanya, prekursor eritroid dilepaskan
ke sirkulasi sebagai retikulosit. Retikulosit bergantung pada rRNA dan tetap dalam sirkulasi
selama sekitar 1 hari sebelum matang menjadi eritrosit yaitu setelah digesti RNA oleh sel
retikuloendotelial. Eritrosit yang matang tetap beredar sekitar 120 hari sebelum ditelan dan
dihancurkan oleh sel-sel fagosit dari sistem retikuloendotelial (Joseph, 2019).
Eritrosit sangat terdeformasi dan meningkatkan diameternya dari 7 μm menjadi 13 μm
ketika mereka melintasi kapiler dengan diameter 3 µm. Mereka memiliki muatan negatif
pada permukaannya, yang dapat berfungsi untuk mencegah fagositosis. Karena eritrosit
tidak memiliki nukleus, mereka tidak memiliki siklus Krebs dan bergantung pada glikolisis
melalui Embden-Meyerhof dan jalur pentosa untuk menghasilkan energi. Banyak enzim
yang dibutuhkan oleh jalur glikolitik aerob dan anaerob menurun dalam sel seiring
bertambahnya usia. Selain itu, sel yang menua memiliki penurunan konsentrasi kalium dan
peningkatan konsentrasi natrium. Faktor-faktor ini berkontribusi pada matinya eritrosit pada
akhir umur 120 hari. Kehilangan darah, peningkatan kerusakan sel darah merah (hemolisis),
penurunan lama hidup sel darah merah dan penurunan produksi sel darah merah
menyebabkan jumlah eritrosit menurun hingga terjadilah penurunan jumlah Hb dalam tubuh
(Joseph, 2019).
Anemia pada penyakit kronis mencakup penyakit peradangan, infeksi, atau penyakit
ganas yang sudah berlangsung lama yaitu termasuk rheumatoid arthritis, trauma parah,
penyakit jantung, diabetes mellitus, dan penyakit radang usus. Anemia pada penyakit kronis
ditandai oleh berkurangnya ketersediaan zat besi, kadar erythropoietin menurun secara
relatif, penurunan umur sel darah merah menjadi 70-80 hari (biasanya 120 hari) (Colbert,
2020) .
Hepcidin, suatu peptida antimikroba endogen yang disekresi oleh hati, diidentifikasi
sebagai pengontrol kadar besi plasma dengan mengatur penyerapan zat besi dari usus, serta
pelepasan zat besi dari makrofag dan transfer zat besi yang disimpan dalam hepatosit.
Peningkatan kadar hepcidin dalam perjalanan penyakit inflamasi mungkin merupakan
mediator yang signifikan dari anemia yang menyertainya (Colbert, 2020).
Mekanisme lain dari anemia pada penyakit kronis melibatkan sitokin, seperti
interleukin (IL-1 dan IL-6) dan faktor nekrosis tumor (TNF-alpha). Hal ini diyakini
menyebabkan kerusakan prekursor sel darah merah dan mengurangi jumlah reseptor
erythropoietin pada sel-sel progenitor (Colbert, 2020).
1.4.5 Tatalaksana Terapi
Menurut DiPiro dkk., 2014 terapi yang dapat diberikan pada pasien anemia yaitu seperti
berikut :
A. Suplemen Besi
Terapi besi dilakukan pada pasien dengan anemia defisiensi besi. Terapi besi peroral
menggunakan garam besi terlarut yang tidak bersalut atau lepas lambat. Dosis harian
yang disarankan 200 mg dengan dua atau tiga dosis terbagi sekurangnya 1 jam sebelum
makan karena makanan dapat mempengaruhi absorpsi besi. Produk garam besi yang
dapat digunakan secara peroral yaitu
- ferri sulfat 60-65mg/324-325 mg tablet juga tersedia dalam bentuk sirup dan eliksir
- ferri glukonat 38 mg/325 mg tablet
- ferri fumarat 66 mg/200mg tablet.
Respon positif terhadap terapi zat besi oral ditandai dengan retikulositosis dalam
beberapa hari dengan peningkatan Hb terlihat dalam 2 minggu. Evaluasi ulang pasien
jika retikulositosis tidak terjadi. Hb akan kembali normal setelah 2 bulan, terapi zat besi
dilanjutkan sampai persediaan zat besi dalam tubuh normal kembali dan serum feritin
normal (hingga 12 bulan).
Pemberian besi secara parental disarankan pada kondisi malabsorpsi besi, intoleransi
atau ketidakpatuhan. Ferri dextran, sodium ferri glukonat, ferumoxytol dan besi sukrosa
tersedia untuk sediaan parental dengan efikasi yang mirip namun dengan perbedaan
ukuran molekul, famakokinetik, bioavailabilitas dan efek samping.
Monitoring pada pasien pediatri yaitu indeks Hb, Hct, dan RBC 6 hingga 8 minggu
setelah mulai terapi besi. Pantau Hb atau Hct mingguan pada bayi prematur.
B. Vitamin B12 dan folat
- Anemia defisiensi vitamin B12
Sediaan oral vitamin B12 sama efektifnya dengan sediaan parental. Dosis awal
cobalamin yang dapat diberikan yaitu 1-2 mg/hari untuk satu dosis terbagi selama
2 minggu, diikuti dengan 1 mg/hari.
Sediaan parenteral memberikan aksi yang lebih cepat daripada oral sehingga
direkomendasikan apabila terdapat gejala neurologis. Regimen yang diberikan
yaitu, cianocobalamin 100 mcg secara intramuskular perhari selama satu minggu
- Anemia defisiensi folat
Folat 1 mg/hari diberikan peroral selama 4 bulan. Jika terjadi malabsorpsi, maka
dosis yang direkomendasikan yaitu 1-5 mg/hari.
Tanda dan gejala biasanya membaik dalam beberapa hari setelah memulai terapi
vitamin B12 atau folat. Gejala neurologis dapat membutuhkan waktu lebih lama
untuk membaik atau bisa ireversibel, tetapi tidak boleh berkembang selama terapi.
Retikulositosis harus terjadi dalam 3 hingga 5 hari. Hb mulai meningkat seminggu
setelah memulai terapi vitamin B12 dan harus kembali normal dalam 1 hingga 2
bulan. Hct harus naik dalam 2 minggu setelah memulai terapi folat dan akan menjadi
normal dalam 2 bulan.
C. Transfusi darah
Transfusi darah diindikasikan pada pasien dengan Hb < 8 g/dL, terutama pada
pada ibu hamil dengan gawat janin atau gawat ibu, hemodinamik tidak stabil,
perdarahan aktif. Transfusi darah harus dibatasi jika Hb telah mencapai 8-10
mg/dL. Transfusi dapat dilakukan dengan packed red cell 300 ml 2 unit.
D. Erythropoiesis-stimulating agents (ESAs)
Jenis ESA yang dapat diberikan yaitu, epoetin alfa dengan dosis 50-100 unit/kg 3 kali
dalam seminggu atau darbepoetin alfa dengan dosis 0,45 mcg/kg sekali seminggu.
ESA mungkin menyebabkan defisiensi besi. Erythropoiesis-stimulating agents (ESA)
dan transfusi darah disediakan untuk kasus yang parah dan simptomatik. Administrasi
ESA biasanya paling baik dilakukan di bawah naungan ahli hematologi atau
nefrologi, yang mungkin lebih mengetahui tentang pedoman terbaru tentang
penggunaan agen tersebut, serta untuk cakupan kebijakan asuransi.
Penggunaan ESA dan transfusi sel darah merah yang dilakukan secara terus menerus
tidak direkomendasikan. Monitoring pada penggunaan ESA yaitu retikulositosis harus
terjadi dalam beberapa hari. Pantau kadar zat besi, TIBC, saturasi transferrin, dan
feritin pada awal dan secara berkala selama terapi. Bentuk dan jadwal suplementasi
zat besi yang optimal tidak diketahui. Hentikan ESA jika respons klinis tidak terjadi
setelah 8 minggu.

Pustaka
Colbert, G. B. ; 2020. Anemia of Chronic Disease and Kidney Failure.
https://emedicine.medscape.com/article/1389854-overview#a9 [Diakses pada June 2,
2020].
DiPiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B. G. Wells, dan L. M. Posey. 2014.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Ed. McGraw-Hill Medical, New
York.
Joseph, E. M. 2019. Anemia. https://emedicine.medscape.com/article/198475-overview
[Diakses pada June 3, 2020].

Anda mungkin juga menyukai