Oleh
Kelas : x iis 3
KECAMATAN BONTOMATENE
KELURAHAN BATANGMATA
MAKALAH SEJARAH INDONESIA
Oleh
Nama : FAJAR
Kelas : x iis 3
KECAMATAN BONTOMATENE
KELURAHAN BATANGMATA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah berjudul “Kerajaan Sriwijaya”.
Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas sekolah untuk menambah pengetahuan tentang
Kesejarahan Nusantara.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan di masa mendatang.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………………………………….
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………………………
Bab I Pendahuluan………………………………………………………………………………………….
Latar Belakang………………………………………………………………………………..
Rumusan Masalah……………………………………………………………………………
Tujuan……………………………………………………………………………………………
Bab II Pembahasan…………………………………………………………………………………………
Historiografi………………………………………………………………………………….
Sumber Sejarah………………………………………………………………………………
Negara Maritim………………………………………………………………………………
Kehidupan Politik…………………………………………………………………………..
Struktur Birokrasi…………………………………………………………………………..
Kehidupan Ekonomi……………………………………………………………………….
Kehidupan Sosial dan Budaya…………………………………………………………
Hubungan Regional dan Luar Negeri………………………………………………..
Masa Keemasan……………………………………………………………………………..
Masa Kemunduran………………………………………………………………………….
REPORT THIS AD
Kesimpulan……………………………………………………………………………………..
Saran……………………………………………………………………………………………..
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wilayah Indonesia terdiri dari pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh selat dan laut, hal
ini menyebabkan sarana pelayaran merupakan lalu lintas utama penghubung antar pulau.
Pelayaran ini dilakukan dalam rangka mendorong aktivitas perdagangan. Pelayaran
perdagangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, bukan hanya dalam wilayah Indonesia saja,
tetapi telah jauh sampai ke luar wilayah Indonesia.
Pelayaran dan perdagangan di Asia semakin ramai setelah ditemukan jalan melalui laut antara
Romawi dan China. Rute jalur laut yang dilalui dalam hubungan dagang China dengan Romawi
telah mendorong munculnya hubungan dagang pada daerah-daerah yang dilalui, termasuk
wilayah Indonesia. Karena posisi Indonesia yang strategis di tengah-tengah jalur hubungan
dagang China dengan Romawi, maka terjadilah hubungan dagang antara Indonesia dan China
beserta India.
Melalui hubungan itu juga, berkembang kebudayaan-kebudayaan yang dibawa oleh para
pedagang di Indonesia. Dalam perkembangan hubungan perdagangan antara Indonesia dan
India, lambat laun agama Hindu dan Budha masuk dan tersebar di Indonesia serta dianut oleh
raja-raja dan para bangsawan. Dari lingkungan raja dan bangsawan itulah agama Hindu-Budha
tersebar ke lingkungan rakyat biasa.
Agama Hindu-Budha diperkirakan masuk ke Indonesia pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh
para musafir dari India. Raja-raja dan para bangsawan yang pertama kali menganut agama ini
kemudian membangun kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha seperti Kerajaan Kutai
yang terletak di Kalimantan Timur, Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, Kerajaan Holing,
Kerajaan Melayu di Sumatra Selatan dan berpusat di Jambi, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan
Mataram Kuno, Kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari, Kerajaan Bali dan Pajajaran, serta Kerajaan
Majapahit.
Masing-masing kerajaan tentu memiliki sejarah dan peninggalan-peninggalan yang harus kita
ketahui. Salah satunya adalah Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan yang terletak di Sumatera Selatan
dan beribukota di Palembang ini memiliki nilai sejarah yang tinggi untuk kita ketahui seperti
historiografi, sejarah berdirinya, lokasi kerajaan, prasasti-prasasti peninggalan, hubungan
regional dan luar negeri, masa kejayaannya, masa kemunduran maupun aspek-aspek kehidupan
apa saja yang terkandung dalam kerajaan ini.
B. Rumusan Masalah
4. Mengetahui aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya dalam pemerintahan
Kerajaan Sriwijaya.
PEMBAHASAN
Historiografi
Nama Kerajaan : Sriwijaya
Ibukota : Palembang
Pemerintahan : Monarki
Lokasi Kerajaan
Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah membawa kejayaan kepulauan
Nusantara di masa lampau. Bukan saja dikenal di wilayah Indonesia, tetapi hampir setiap
bangsa yang berada jauh di luar Indonesia mengenal Kerajaan Sriwijaya. Hal ini disebabkan
karena letak Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat dengan jalur perdagangan antar bangsa
yakni Selat Malaka. Selat Malaka pada masa itu adalah jalur perdagangan ramai yang
menghubungkan pedagang-pedagang Cina dengan India maupun Romawi.
George Coedes, seorang sejarawan, menulis karangan berjudul Le Royaume de Crivijaya pada
tahun 1918 M. Coedes kemudian menetapkan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di
Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa letak ibukota Sriwijaya adalah
Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the
Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-
fo-ts‘I adalah Palembang yang terletak di Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi
atau sekitar kota Palembang sekarang.
Dari tepian Sungai Musi di Sumatera Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya semakin meluas.
Mencakup wilayah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa bagian barat, Bangka,
Jambi Hulu, Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya hingga ke Tanah Genting Kra.
Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita
asing dan prasasti-prasasti.
Sumber Cina
Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama kali pada tahun 671 M. Dalam
catatannya disebutkan bahwa saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di
Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara
yang dilakukan oleh para pendeta Budha di pusat ajaran agama Budha, India. I-tsing tinggal
selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu ia berangkat ke
Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan
tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta
ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang
secara rutin ke Cina, yang terakhir pada tahun 988 M.
Sumber Arab
Orang-orang Arab sering menyebut Sriwijaya dengan nama Sribuza, Sabay atau Zabaq. Mas‘udi,
seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam
catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang
sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana,
pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya. Bukti lain yang mendukung adalah
ditemukannya perkampungan-perkampungan Arab sebagai tempat tinggal sementara di pusat
Kerajaan Sriwijaya.
Sumber India
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan-kerajaan di India
seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja
Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda. Dalam
prasasti tersebut dinyatakan bahwa Raja Nalanda yang bernama Raja Dewa Paladewa berkenan
membebaskan 5 desa dari pajak. Sebagai gantinya, kelima desa tersebut wajib membiayai para
mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Di samping
menjalin hubungan dengan Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga menjalin hubungan
dengan Kerajaan Chola (Cholamandala) yang terletak di India Selatan. Hubungan ini menjadi
retak setelah Raja Rajendra Chola ingin menguasai Selat Malaka.
Sumber lain
Pada tahun 1886, Beal mengemukakan pendapatnya bahwa Shih-li-fo-shih merupakan suatu
daerah yang terletak di tepi Sungai Musi. Sumber lain, yakni Kern, pada tahun 1913 M telah
menerbitkan tulisan mengenai Prasasti Kota Kapur, prasasti peninggalan Sriwijaya yang
ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern menganggap Sriwijaya yang tercantum pada
prasasti itu adalah nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau
gelar raja.
Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari Kerajaan
Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya sebagian besar menggunakan huruf Pallawa
dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain sebagai berikut.
Prasasti Talangtuo
Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra atas
perintah Raja Dapunta Hyang.
Prasasti Ligor
Prasasti berangka tahun 775 M itu menyebutkan tentang ibu kota Ligor yang difungsikan untuk
mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
Prasasti Nalanda
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti Syailendra
yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti
Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui
haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja
Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para
mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
Negara Maritim
Dalam upaya mewujudkan cita-cita agar Sriwijaya menjadi kerajaan Maritim, perluasan
kerajaan dilakukan untuk menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan Selat Sunda yang
merupakan jalur perdagangan dan pelayaran yang sangat penting. Keberhasilan Sriwijaya
berkuasa atas semua selat itu menjadikan Kerajaan Sriwijaya sebagai penguasa tunggal jalur
aktivitas perdagangan dunia yang melalui Asia Tenggara.
Armada Sriwijaya yang kuat dapat menjamin keamanan aktivitas pelayaran dan perdagangan.
Armada Sriwijaya juga dapat memaksa perahu dagang untuk singgah di pusat atau di bandar-
bandar Kerajaan Sriwijaya. Semakin ramainya aktivitas pelayaran dan perdagangan menjadikan
Sriwijaya sebagai tempat pertemuan para pedagang atau pusat perdagangan di Asia Tenggara.
Pengaruh dan peranan Kerajaan Sriwijaya semakin besar di lautan. Bahkan para pedagang dari
Kerajaan Sriwijaya juga melakukan hubungan sampai di luar wilayah Indonesia, sampai ke
China di sebelah utara, dan Laut Merah serta Teluk Persia di sebelah barat.
Kehidupan Politik
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah melakukan perkawinan dengan
kerajaan lain. Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya, Dapunta Hyang pada tahun 664 M
dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara.
Saat kerajaan Funan di Indo-China runtuh, Sriwijaya memperluas daerah kekuasaannya hingga
bagian barat Nusantara. Di wilayah utara, melalui kekuatan armada lautnya, Sriwijaya mampu
mengusai lalu lintas perdagangan antara India dan Cina, serta menduduki Semenanjung Malaya.
Kekuatan armada terbesar Sriwijaya juga melakukan ekspansi wilayah hingga ke Pulau Jawa,
Brunei atau Borneo. Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah mampu menguasai
seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara.
Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sriwijaya.
Ada tiga syarat utama untuk menjadi raja Sriwijaya, yaitu :
Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684 M)
Berita mengenai raja ini diketahui dari Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M dan Prasasti
Talangtuo tahun 684 M. Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang Sri Yayanaga telah
berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Minangatamwan, Jambi. Sejak
awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya
menjadi kerajaan maritim.
Struktur Birokrasi
Kerajaan Sriwijaya menerapkan struktur birokrasi yang bersifat langsung, karena raja berperan
penting dalam pengawasan terhadap tempat-tempat yang dianggap strategis. Raja dapat
memberikan penghargaan terhadap penguasa daerah yang setia dan sebaliknya dapat
menjatuhi hukumanterhadap penguasa daerah yang tidak setia kepada kerajaan.
Dalam beberapa prasasti disebutkan tentang pelaksanaan suatu keputusan raja, lengkap dengan
perincian hadiah atau sanksi yang dapat diterima dalam suatu peristiwa. Selain itu, ditemukan
prasasti-prasasti yang mencatat masalah-masalah penyelesaian hokum sengketa antarwarga.
Hal yang menarik bahwa sebagian prasasti memuat ancaman-ancaman atau kutukan-kutukan
yang ditujukan kepada keluarga raja itu sendiri. Walaupun kedengarannya aneh, namun ada
pendapat yang menganggap bahwa hal itu sangat mungkin terjadi, karena keluarga-keluarga
raja yang menjadi ancaman itu, kekuasaannya berada di luar pengawasan langsung dari raja
yang berkuasa.
Kehidupan Ekonomi
Penguasaan Kerajaan Sriwijaya di urat nadi perhubungan pelayaran dan perdagangan Asia
Tenggara yaitu di Selat Malaka, mempunyai arti penting bagi perekonomian kerajaan. Karena
banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air minum, perbekalan makanan,
istirahat, atau melakukan aktivitas perdagangan. Karena bertambah ramainya kegiatan
perdagangan di Selat Malaka, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu
di Ligor yang dibuktikan dengan Parasasti Ligor (755 M). Pendirian ibukota Ligor tersebut
bukan berarti meninggalkan ibukota di Sumatera Selatan, melainkan hanya untuk melakukan
pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka atau menghindari
penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah Genting Kra.
Menurut catatan asing, bumi Sriwijaya menghasilkan cengkeh, kapulaga, pala, lada, pinang, kayu
gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan,
rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katu,
sutera dan porselen melalui relasi dagang dengan Cina, India, Arab dan Madagaskar.
Kerajaan Jambi merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya yang akhirnya
dapat ditaklukkan pada abad ke-7 dan ke-9. Di Jambi, pertambangan emas merupakan sumber
ekonomi cukup penting dan kata Suwarnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini.
Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra,
Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian Barat. Pada abad ke-11 pengaruh Sriwijaya mulai
menyusut. Hal ini ditandai dengan seringnya konflik dengan kerajaan-kerajaan Jawa, pertama
dengan Singasari dan kemudian dengan Majapahit. Di akhir masa, pusat kerajaan berpindah
dari Palembang ke Jambi.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand sebagai ibu kota terakhir kerajaan,
walaupun klaim tersebut tidak mendasar. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda
Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga
kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, terutama dalam bidang
kebudayaan dan agama. Sebuah prasasti tertahun 860 M mencatat bahwa raja Balaputradewa
mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di
India selatan cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi peperangan di abad ke-11.
Selain dengan Kerajaan Pala, Sriwijaya juga menjalin hubungan baik dengan Kerajaan
Cholamandala. Raja Sriwijaya yakni Raja Sanggrama Wijayatunggawarman mendirikan sebuah
biara (1006 M) di Kerajaan Chola untuk tempat tinggal para bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya.
Namun, persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan membuat keduanya bermusuhan.Raja
Rajendra Chola melakukan serangan ke Kerajaan Sriwijaya sampai dua kali. Serangan pertama
tahun 1007 M mengalami kegagalan. Pada serangan kedua (1023 M) Kerajaan Chola berhasil
merebut kota dan bandar-bandar penting Sriwijaya, bahkan Raja Sanggrama
Wijayatunggawarman berhasil ditawan.
Masa Keemasan
Pada paruh pertama abad ke-10 yaitu antara masa jatuhnya Dinasti Tang dan naiknya dinasti
Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, Kerajaan Min dan negeri
kaya Guangdong, Kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan
dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibn Batutah sangat terkesan dengan
kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit
Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.
Masa Kemunduran
Tahun 1025, Rajendra Chola, Raja Chola dari Koromandel, India selatan menaklukkan Kedah
dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan penaklukannya
selama 20 tahun berikutnya ke seluruh imperium Sriwijaya. Meskipun invasi Chola tidak
berhasil sepenuhnya, invasi tersebut telah melemahkan hegemoni Sriwijaya yang berakibat
terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk kerajaan sendiri, seperti Kediri, sebuah
kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.
Antara tahun 1079 – 1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar
dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan 1088, Jambi mengirimkan lebih dari dua duta besar
ke China. Pada periode inilah pusat Sriwijaya telah bergeser secara bertahap dari Palembang ke
Jambi. Ekspedisi Chola telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah menggantikannya
sebagai pusat kerajaan.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-
Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat
dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya
memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan
sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri,
antara lain Kien-pi (Kampe, di utara Sumatra) dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia.
Pada masa itu wilayah Sriwijaya meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu),
Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-t’ing (Jelutong), Ts’ien-mai,
Pa-t’a (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi, bagian utara semenanjung
Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t’o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan
(Srilanka).
Pada tahun 1288, Singosari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan Palembang dan Jambi
selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit pengganti Singosari, memerintah
Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan tanggung jawab tersebut kepada Pangeran
Adityawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi pemberontakan
terhadap Majapahit, tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun di selatan
Sumatra sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.
Kedudukan Sriwijaya makin terdesak karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang juga
memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara.
Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di
Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam
kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan lemahnya kegiatan pelayaran dan perdagangan di
Kerajaan Sriwijaya.
Di masa berikutnya, terjadi pengendapan pada Sungai Musi yang berakibat tertutupnya akses
pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan. Penurunan
Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang disebarkan oleh pedagang-
pedagang Arab dan India. Di akhir abad ke-13, Kerajaan Pasai di bagian utara Sumatra
berpindah agama Islam.
Maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan wilayahnya
terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah akhirnya
dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M.
Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan Kesultanan Malaka di
Semenanjung Malaysia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan bercorak Hindu terbesar di Indonesia, bahkan dijuluki
sebagai pusat agama Hindu di luar India.
Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang sangat kuat dan kaya raya. Terbukti dari sebutan
negara maritimnya.
Sejarah Kerajaan Sriwijaya dapat diakses dari prasasti-prasasti peninggalan kerajaan baik di
dalam maupun di lur negeri serta dari berita-berita asing.
Saran
Sejarah harus selalu kita kaji agar menjadi sebuah pengetahuan dan motivasi dalm mengisi
kenerdekaan
Lestarikan terus nilai-nilai budaya sejarah bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Bellwood, Peter and James J. Fox, Darrell Tryon. The Austronesians: Historical and Comparative
Perspectives.
Hirth, Friedrich and Chao Ju-kua, W.W.Rockhill. The Chinese and Arab Trade in the Twelfth and
Thirteen centuries. Entitled Chu-fan-chi St Petersburg, 1911.
http://wikipedia/sejarahkerajaansriwijaya/com
Karso, Drs, dkk. Pelajaran Sejarah Untuk SMTA kelas 1. Bandung: Penerbit Angkasa, ISBN. 979-
404-179-3-7, 1988.
Munoz, Paul Michel. Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
Singapore: Editions Didier Millet, pages 171, 143, 140, 132, 130, 124, 113. ISBN 981-4155-67-5,
2006.
Notosusanto, Nugroho, dkk. Sejarah Nasional Indonesia 1. Jakarta: CV. Adhi Waskita Semarang,
ISBN. 979-462-144-7, 1992.
Soekmono, Drs. R. (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia
2, 2nd ed.. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, page 60.
Taylor, Jean Gelman. Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University
Press, pp. 8-9. ISBN 0-300-10518-5, 2003.