Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

AKUNTANSI PERPAJAKAN “ASET TAK BERWUJUD”

DOSEN PEMBIMBING

Elia Rossa, SE.AK, M.Si

DISUSUN OLEH

1) Ade Garini Wydyasari (201810315085)

2) Agna Maulidyah (201810315094)

3) Lestari Juhana Putri (201810315197)

4) Selawati (201810315065)

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA

FAKULTAS EKONOMI

AKUNTANSI

2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, karunia dan
anugerah yang telah diberikan sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada seorang manusia yang membawa risalah
mulia hingga mampu membawa umat manusia terlepas dari belenggu kebodohan kembali kepada
cahaya ilahi yang terang benderang yaitu Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya,
dan umatnya yang senantiasa istiqomah dijalan-Nya.

Makalah dengan judul “ASET TAK BERWUJUD” untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Akuntansi Perpajakan.

Pembuatan makalah ini tentunya tidak lepas dari beberapa kendala, namun berkat berkah
dari Allah SWT dan bantuan dari dosen pembimbing dan teman-teman kelas lainnya yang telah
mendorong dan membimbing kami, kendala tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu selama proses pembuatan
makalah ini.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati kami menyadari bahwa dalam pembuatan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih terdapat kekurangan dan kelemahan,oleh
karena itu kami mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca untuk melengkapi atas
segala kekurangan dan kelemahan makalah ini. Namun demikian kami telah berusaha
semaksimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang optimal. Harapan kami semoga makalah ini
membawa manfaat bagi para pembaca. Aamiin.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2

DAFTAR ISI...................................................................................................................................3

BAB I (PENDAHULUAN).............................................................................................................4

1. 1. Latar Belakang..................................................................................................................4

1. 2. Rumusan Masalah.............................................................................................................4

1. 3. Tujuan Penulisan...............................................................................................................4

1. 4. Manfaat Penelitian............................................................................................................5

BAB II (PEMBAHASAN)..............................................................................................................6

2.1 Definisi Aset Tak Berwujud.............................................................................................6

2.2 Nilai Perolehan Aset Tak Berwujud.................................................................................7

2.3 Umur Manfaat dan Metode Amortisasi............................................................................7

2.4 Perpajakan.........................................................................................................................9

2.5 Kasus Lapangan dalam Aset Tak Berwujud...................................................................10

BAB III (PENUTUP)....................................................................................................................17

3. 1. Kesimpulan.....................................................................................................................17

3. 2. Saran................................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Perusahaan pasti mempunyai Aset tidak berwujud yang digunakan untuk kegiatan
operasional perusahaan. Aset tak berwujud adalah hak, hak istimewa dan keuntungan kompetitif
yang timbul dari pemilikan suatu Aset yang berumur panjang, yang tidak memiliki wujud fisik
tertentu. Bukti pemilikan Aset tak berujud bisa berupa kontrak, lisensi atau dokumen lain.
Dimana Aset tidak berwujud merupakan bagian dari Aset Nonlancar lainnya yang di neraca
diklasifikasikan dan disajikan sebagai Aset Lainnya.
Dengan penjelasan yang sangat minim ini tentu saja berpotensi pada kurang akuratnya
pencatatan terhadap transaksi Aset tidak berujud tersebut. Sebagai bagian dari neraca, Aset tidak
berwujud juga memerlukan standar akuntansi untuk memberi penjelasan yang terkait dengan
pengakuan, pengukuran, serta pengungkapan dan penyajian dalam laporan keuangan. Selain itu
juga terdapat kemungkinan adanya perlakuan khusus, contohnya yang terkait dengan amortisasi
dan penghentian serta penghapusannya. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kelompok
kami membuat makalah yang berjudul “Aset Tidak Berwujud”.

1. 2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian aset tak berwujud?
2. Apa saja nilai perolehan aset tak berwujud?
3. Apa itu umur manfaat dan metode amortisasi dalam aset tak berwujud?
4. Apa saja ketentuan perpajakan dalam aset tak berwujud?
5. Adakah kasus dalam aset tak berwujud?

1. 3. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian aset tak berwujud.
2. Menjelaskan.nilai perolehan aset tak berwujud.
3. Menjelaskan umur manfaat dan metode amortisasi.
4. Menjelaskan ketentuan perpajakan dalam aset tak berwujud.
5. Menjelaskan contoh kasus dalam aset tak berwujud.
1. 4. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai materi tentang asset tak berwujud.
2. Memudahkan pengguna dan pembaca untuk mengetahui informasi mengenai asset tak
berwujud.
3. Makalah ini juga diharapkan mampu dimengerti pembaca.

\
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Definisi Aset Tak Berwujud
Menurut SAK-ETAP yang diatur oleh IAI (2009:76), asset tak berwujud adalah
asset nonmoneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik. Ciri utama
asset tak berwujud ialah berupa benda yang tidak dapat dilihat dan dipegang.

Entitas dapat mengakui asset tak berwujud, apabila:

a) Kemungkinan entitas akan memperoleh manfaat ekonomi masa depan dari


asset tersebut
b) Biaya perolehan asset atau nilai asset tersebut dapat diukur dengan andal.

Apabila entitas tidak mampu menentukan nilai wajar yang andal atas asset yang
diperoleh, maka biaya perolehannya diukur pada jumlah tercatat asset yang diberikan.

Berikut adalah yang termasuk asset tak berwujud:

1) Hak paten
2) Hak cipta
3) Merek (trade mark)
4) Goodwill
5) Waralaba (franchise)

Berikut adalah yang tidak termasuk asset tak berwujud:

1) Efek/surat berharga.
2) Hak atas mineral dan cadangan mineral seperti; minyak, gas dan sumber daya
yang tidak dapat diperbarui.
2.2 Nilai Perolehan Aset Tak Berwujud
Aset tak berwujud dapat diperoleh dengan cara membeli dari pihak luar dan
dihasilkan secara internal. Menurut SAK-ETAP (2009:77), nilai aset tak berwujud dicatat
sesuai dengan biaya perolehannya.

Biaya perolehan aset tak berwujud terdiri atas:

(a) Harga beli, termasuk bea impor dan pajak yang sifatnya tidak dapat
dikreditkan setelah diskon dan potongan dagang;
(b) Biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung dengan mempersiapkan
aset hingga siap digunakan sesuai dengan tujuannya.

Apabila aset tak berwujud yang dihasilkan secara internal, maka entitas harus
mengakui pengeluaran internal yang terjadi atas aset tersebut, termasuk semua
pengeluaran untuk aktivitas riset dan pengembangan sebagai beban pada saat terjadinya.

2.3 Umur Manfaat dan Metode Amortisasi


Untuk tujuan SAK-ETAP, semua aset tak berwujud dianggap mempunyai umur
manfaat yang terbatas. Tetapi, apabila entitas tidak mampu mengestimasi umur manfaat
aset tak berwujud, maka umur manfaatnya dianggap 10 tahun.

Amortisasi dimulai ketika aset siap digunakan, yaitu aset tersebut berada di lokasi
dan kondisi yang dibutuhkan untuk mampu beroperasi sesuai dengan keinginan pihak
manajemen. Amortisasi dihentikan ketika aset dihentikan pengakuannya.

Entitas harus memilih metode amortisasi yang mencerminkan pola pemanfaatan


aset dimasa mendatang, tetapi apabila entitas tidak dapat menetapkan pola yang andal
maka entitas harus menggunakan metode garis lurus.

Nilai residu suatu aset tak berwujud seharusnya diasumsikan sama dengan 0,
kecuali:

(a) Ada komitmen dari pihak ketiga untuk membeli aset tak berwujud tersebut pada
akhir masa manfaatnya;
(b) Ada pasar aktif untuk aset tak berwujud; dan
i. Nilai residu aset dapat ditentukan dengan mengacu pada harga pasar yang
berlaku dipasar tersebut; dan
ii. Terdapat kemungkinan bahwa pasar yang aktif tersebut akan tetap ada pada
akhir umur manfaat aset tak berwujud.

Penelaah ulang atas periode dan metode amortisasi dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti perubahan pemakaian aset, perkembangan teknologi, dan perubahan harga
pasar dapat mengindikasikan bahwa umur manfaat aset tak berwujud telah
berubah sejak tanggal periode tahunan paling kini.

Contoh-contoh aset tak berwujud dan aset lainnya

I. Goodwill
Goodwill adalah hak-hak istimewa yang dimiliki oleh suatu perusahaan,
misalnya keistimewaan dalam lokasi, produksi, distribusi, nama, dan
pengalaman yang membuatnya lebih unggul daripada perusahaan lain.
Namun, perusahaan tersebut tidak dapat secara otomatis mencantumkan
goodwill dalam neraca. Goodwill hanya dapat dicatat dalam pembukuan
apabila suatu perusahaan membeli perusahaan lain dengan harga diatas
yang berlaku. Nilai goodwill yang dicantumkan adalah nilai seluruh aset
setelah dikurangi biaya-biaya. Untuk keperluan perpajakan, goodwill
hanya dapat dicatat sebagai harta yang dapat diamortisasikan apabila
goodwill tersebut diperoleh melalui pembelian perusahaan.
II. Biaya Pra-operasi
Biaya sebelum operasi adalah pengeluaran yang dilakukan sebelum
operasi komersial dan mempunyai manfaat lebih dari 1 tahun. Contoh
biaya pra-operasi ini adalah biaya notaris, pengurusan izin-izin, kontribusi
kepada negara, biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan, tetapi
tidak termasuk biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji
karyawan, beban telepon atau listrik dan beban kantor lainnya.
Pengeluaran rutin tersebut harus dibebankan pada saat tahun terjadinya.
Oleh karena itu, pengeluaran sebelum operasi harus dikapitalisasi (sebagai
biaya pra-operasi) dan kemudian diamortisasi.

2.4 Perpajakan
Proses penyusutan aset tak berwujud dalam akuntansi dan perpajakan disebut
amortisasi. Aset tak berwujud menurut perpajakan (Penjelasan Pasal 11A ayat (1) UU
PPh Nomor 36 Tahun 2008) harus diamortisasikan apabila harta itu mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan. Namun untuk perhitungan amortisasi dalam perpajakan sesuai
dengan ketentuan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 11A, aset tak berwujud
dikelompokkan menjadi kelompok 1,2,3, dan 4 dengan masa manfaat 4,8,16 dan 20
tahun.

Adapun tarif amortisasi yang diatur dalam UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal
11A ayat (2) sebagai berikut:

TARIF AMORTISASI BERDASARKAN


KELOMPOK ASET MASA METODE
TAK BERWUJUD MANFAAT
GARIS LURUS SALDO MENURUN
kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

Menurut PMK-248/PMK/03/2008, amortisasi atas pengeluaran untuk


memperoleh aset tak berwujud dan pengeluaran lainnya untuk bidang usaha tertentu
dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan produksi komersial. Bulan
produksi komersial adalah bulan dimana penjualan mulai dilakukan.

Diatur juga untuk bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, Kawasan
hutan, dan hasil hutan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru
menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 tahun dan bidang usaha peternakan, yaitu
bidang usaha peternakan yang dapat berproduksi berkali-kali dan baru dapat dijual
setelah dipelihara sekurang-kurangnya 1 tahun.
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi untuk aset tak berwujud yang masa
manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka WP dapat
menggunakan manfaat yang terdekat. Contoh: aset tak berwujud dengan masa manfaat
yang sebenarnya adalah 5 tahun, maka aset tak berwujud tersebut dapat diamortisasikan
dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun.

Biaya pendirian dan perluasan modal dapat dibebankan sebagai biaya pada tahun
pengeluaran atau diamortisasi berdasarkan metode garis lurus atau saldo menurun dengan
masa manfaat sesuai dengan Pasal 11A ayat (1) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 diatas.

Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial (biaya pendirian) yang


mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, dapat dikapitalisasi dan diamortisasi sesuai
dengan ketentuan masa manfaat dan tarif amortisasi dalam UU PPh. Sedangkan, untuk
pengeluaran biaya pendirian yang memiliki masa manfaat kurang dari 1 tahun, haruslah
dibebankan sekaligus pada tahun berjalan yang bersangkutan.

2.5 Kasus Lapangan dalam Aset Tak Berwujud


Contoh ke-1:

PT Boki yang baru berdiri tahun 2008 telah menghabiskan biaya sebesar
Rp.50.000.000 untuk mendapatkan berbagai izin pengurusan pendirian perusahaan.
Biaya tersebut diperlakukan sebagai aset lainnya dan memiliki masa manfaat 5 tahun
(menurut pertimbangan pihak manajemen), sehingga oleh perusahaan diamortisasi
dengan metode garis lurus.

Jurnal untuk mencatat pengakuan biaya tersebut pada tahun pertama adalah
sebagai berikut.

KETERANGAN DEBIT KREDIT


Aset lainnya 50,000,000 -
Kas/Bank - 50,000,000
Beban Amortisasi 10,000,000 -
Aset lainnya - 10,000,000
Sementara itu, menurut fiscal beban-beban tersebut dapat dikapitalisasi dan
kemudian diamortisasi dengan masa manfaat 4 tahun sesuai dengan kelompok 1 sebesar
Rp.12.500.000.

Selisih antara akuntansi dengan perpajakan yang ada, maka WP harus melakukan
koreksi negatif sebesar RP.2.500.000 pada rekonsiliasi fiskal tanpa perlu membuat jurnal
koreksi. Cara penyajian biaya praoperasi dalam neraca adalah disajikan dengan nilai
bersih (neto) setelah dikurangi dengan amortisasi.

Contoh ke-2:

PT Hercules pada tanggal 1 Januari 2012 mengeluarkan uang sebesar


Rp.200.000.000 (belum termasuk PPN dan PPh 26) untuk memperoleh waralaba dari
McDolPhin selama 4 tahun. Perhitungan amortisasi untuk setiap metode yang
diperbolehkan dipilih sebagai berikut: (dalam rupiah)

METODE GARIS LURUS METODE SALDO MENURUN


TAHUN
AMORTISASI NILAI SISA BUKU AMORTISASI NILAI SISA BUKU
2012 25% × 200.000.000 = 50.000.000 150.000.000 25% × 200.000.000 = 50.000.000 150.000.000
2013 25% × 200.000.000 = 50.000.000 100.000.000 25% × 150.000.000 = 75.000.000 75.000.000
2014 25% × 200.000.000 = 50.000.000 50.000.000 25% ×n 75.000.000 = 37.500.000 37.500.000
2015 25% × 200.000.000 = 50.000.000 0 37.500.000 0
Jurnal untuk transaksi tersebut (apabila PT Hercules menggunakan metode garis
lurus) adalah:
TANGGAL KETERANGAN DEBIT KREDIT
1-Jan-12 Waralaba 200,000,000 -
Pajak masukan 20,000,000 -
Utang PPh 26 - 40,000,000
Kas/Bank - 180,000,000
31-Dec-12 Beban Amortisasi 50,000,000 -
Waralaba - 50,000,000
31-Dec-13 Beban Amortisasi 50,000,000 -
Waralaba - 50,000,000
31-Dec-14 Beban Amortisasi 50,000,000 -
Waralaba - 50,000,000
31-Dec-15 Beban Amortisasi 50,000,000 -

Sesuai UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4 huruf d atas BKP tak berwujud
yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siaapa pun di dalam
Daerah Pabean dikenakan PPN. Dan sesuai UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 26 ayat
(1), untuk transaksi dengan WP luar negeri selain BUT di Indonesia, pajak dipotong
sebesar 20% atau dengan tarif lain berdasarkan P3B yang berlaku dari jumlah bruto oleh
pihak yang wajib membayarkan.

Untuk pembelian waralaba McDolPhin, PT Hercules harus memungut pajak


berdasarkan P3B antara Indonesia dengan Taiwan dimana tarifnya adalah sebesar 10%.
Utang pajak P3B ataupun PPh 26 yang telah dipungut akan disetorkan ke kas negara
paling lambat tanggal 10 Februari 2012. Jurnal untuk penyetoran pajak yaitu sebagai
berikut.

TANGGAL KETERANGAN DEBIT KREDIT


10-Feb-12 Utang PPh 26 40,000,000 -
Kas/Bank - 40,000,000

Apabila PT Hercules membeli waralaba keripik Sehat DeDE (WP dalam negeri),
maka PT Hercules harus melakukan pemotongan PPh 23. Misalnya bahwa PT Hercules
membeli waralaba dengan uang kas Rp.200.000.000 (belum termasuk PPN dan PPh 23).
Perhitungan amortisasi adalah sebagai berikut:
METODE GARIS LURUS METODE SALDO MENURUN
TAHUN
AMORTISASI NILAI SISA BUKU AMORTISASI NILAI SISA BUKU
2012 25% × 200.000.000 = 50.000.000 150.000.000 50% × 200.000.000 = 50.000.000 150.000.000
2013 25% × 200.000.000 = 50.000.000 100.000.000 50% × 150.000.000 = 75.000.000 75.000.000
2014 25% × 200.000.000 = 50.000.000 50.000.000 50% × 750.000.000 = 37.500.000 37.500.000
2015 25% × 200.000.000 = 50.000.000 0 37.500.000 0

Jurnal atas transaksi pembelian waralaba Keripik Sehat DeDE adalah sebagai
berikut:

TANGGAL KETERANGAN DEBIT KREDIT


1-Jan-12 Waralaba 200,000,000 -
Pajak Masukan 20,000,000 -
Utang PPh 23 - 30,000,000
Kas/Bank - 190,000,000
31-Dec-12 Beban amortisasi 50,000,000 -
Waralaba - 50,000,000
31-Dec-13 Beban amortisasi 50,000,000 -
Waralaba - 50,000,000
31-Dec-14 Beban amortisasi 50,000,000 -
Waralaba - 50,000,000
31-Dec-15 Beban amortisasi 50,000,000 -
Waralaba - 50,000,000

Utang PPh 23 akan disetorkan oleh PT Hercules paling lambat tanggal 10


Februari 2012.

TANGGAL KETERANGAN DEBIT KREDIT


10-Feb-12 Utang PPh 23 30,000,000
Kas/Bank 30,000,000
Jurnal untuk pihak Keripik Sehat DeDE adalah sebagai berikut:

TANGGAL KETERANGAN DEBIT KREDIT


1-Jan-12 Kas/Bank 190,000,000 -
PPh 23 yang dibayar dimuka 30,000,000 -
Pajak Keluaran - 20,000,000
Pendapatan waralaba - 200,000,000

AKUNTANSI UNTUK SUMBER ALAM

Deplesi adalah istilah yang digunakan dalam akuntansi untuk menyatakan alokasi
sistematis dan rasional perolehjan sumber alam. Perpajakan menggunakan istilah lain
untuk deplesi, yaitu amortisasi.

Rumus untuk menghitung deplesi adalah:

{Total perolehan – Nilai residu}/Total unit yang diestimasi = Deplesi perunit

Deplesi per unit × Jumlah unit yang dihasilkan dan dijual = Beban deplesi per
tahun

Contoh:

Suatu perusahaan pertambangan melakukan investasi sebesar Rp 5.000.000 pada


lahan pertambangan yang diestimasikan memiliki 10.000.000 ton bahan tambang
dan tidak memiliki nilai residu. Pada tahun pertama, perusahaan menghasilkan
dan menjual bahan tambang sebanyak 800.000 ton.

Deplesi perunit = Rp.5.000.000 : 10.000.000 =Rp.0,5 per ton

Beban deplesi tahun ini adalah Rp.0,5 × 800.000 ton = Rp.400.000

Perusahaan membukukan beban deplesi untuk tahun pertama perusahaan


beroperasi adalah sebagai berikut:
TANGGAL KETERANGAN DEBIT KREDIT
14-Feb-12 Beban deplesi 400,000 -
Akumulasi deplesi - 400,000

Menurut ketentuan perpajaka, hak penambangan dan pengusahaan hutan


termasuk asset tak berwujud. Oleh karena itu, harga perolehannya dapat
diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan pembatasan sebagai
berikut:

1. Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi,
hak pengusahaan hutan dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam
lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 tahun; dapat diamortisasikan dengan menggunakan metode
satuan produksi persentase yang tidak lebih dari 20% setahun.
Ketentuan ini dapat dinyatakan dengan rumus:
Amortisasi per tahun = Jumlah Penambangan/penebangan × 20%
Taksiran total produksi/deposit
Contoh:
Perusahaan pertambangan batubara telah mengeluarkan biaya sebesar
Rp.1.000.000.000 untuk mendapatkan hak pegolahan penambangan
tersebut selama 5 tahun. Pada tahun pertama produksinya adalah sebesar
Rp.2.000.000.000 besarnya amortisasi atas biaya untuk mendapatkan hak
penambangan tersebut dalam tahun bersangkutan adalah sebesar 20% ×
Rp.1000.000.000 = Rp.2.000.000.000.
2. Biaya untuk memperoleh hak dan/atau biaya lain-lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun dalam bidang penambangan minyak
dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
Ketentuan ini dapat dinyatakan dengan rumus:
Amortisasi per tahun = Jumlah penambangan × tanpa Batasan
Taksiran total produksi
Amortisasi menggunakan metode satuan produksi berarti persentase
amortisasi dari biaya tersebut dalam setiap tahun pajak harus sama dengan
persentase penambangan atau penebangan yang dihasilkan setiap tahun.
Angka ini diperoleh dengan membandingkan dengan taksiran jumlah hasil
produksinya.
Amortisasi dengan menggunakan metode satuan produksi dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Metode satuan = (jumlah penambangan/penebangan dihasilkan setahun
produksi : Taksiran jumlah seluruh produksi) × 100%

Suatu konsesipertambangan ditaksir jumlah depositnya 100.000 ton, hasil


produksi satu tahun 10.000 ton. Persentase hasil produksi satu tahun adalah
(10.000 : 10.000) × 100% = 10%

Dengan demikian, hak penambangan tersebut dalam setahun


diamortisasikan sebesar 10%. Apabila biaya untuk memperoleh hak
penambangan dan hak pengusahaan hutan pada akhir masa produksi belum
habis diamortisasikan, maka sisa biaya tersebut tidak boleh dibebankan
sekaligus sebagai biaya dalam tahun pajak yang bersangkutan. Sisa tadi harus
diamortisasikan setinggi-tingginya 20%. Sebaliknya, apabila ternyata jumlah
produksi sebenarnya lebih kecil daripada jumlah cadangan yang diperkirakan
sehingga masih terdapat sisa biaya untuk memperoleh hak yang belum habis
diamortisasikan, maka sisa biaya tersebut boleh dibebankan sekaligus sebagai
biaya dalam tahun pajak.

Perbedaan utama antara deplesi dan amortisasi adalah nilai residu tidak
dipertimbangkan dalam menghitung persentase amortisasi hak penambangan
dan pengusahaan hutan.
BAB III

PENUTUP
3. 1. Kesimpulan
Setelah kita mengupas beberapa masalah seputar tidak berwujud, dapat
disimpulkan bahwa aktiva tidak berwujud adalah aktiva tetap perusahaan yang
secara fisik tidak dapat dinyatakan, tetapi berpengaruh terhadap kontinuitas perusahaan,
seperti hak paten, merk dagang, hak cipta, dan lain-lain.

Perlakuan akuntansi aktiva tak berwujud menyangkut masalah yang tidak berbeda
dengan perlakuan akuntansi terhadap aktiva tetap, diantaranya adalah penentuan nilai
perolehan, perlakuan akuntansi selanjutnya terhadap nilai perolehan tersebut dalam
kondisi usaha normal (amortisasi), dan perlakuan akuntansi atas penurunan nilai aktiva
tak berwujud yang material dan permanen. Kesulitan yang dihadapi dalam pemecahan
masalah perlakuan akuntansi aktiva tak berwujud pada umumnya disebabkan oleh sifat
aktiva tersebut, seperti tidak adanya wujud fisik yang menyebabkan bukti keberadaannya
kabur, dan kesulitan dalam penentuan nilai perolehan serta masa manfaat
keekonomiannya.

Aset tidak berwujud adalah aset tidak lancar dan tidak berbentuk yang
memberikan hak keekonomisan dan hukum kepada pemiliknya dan dalam laporan
keuangan tidak dicakup secara terpisah dalam klasifikasi set yang lain. Karaktristik yang
paling menonjol adalah tingkat ketidakpastian nilai dan manfaat dikemudian hari.
Bentuknya seperti hak paten, hak cipta, waralaba, merek dagang dan goodwill.

3. 2. Saran
Mungkin inilah hasil dari tugas makalah saya tentang Aktiva Tak Berwujud Mata
Kuliah Akuntansi Perpajakan dalam isi makalah ini terdapat kelebihan dan
kekurangannya tetapi saya rasa  penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
dan masih banyak kesalahan penulisan dan penyusunannya. Untuk itu saya sebagai
penyusun makalah ini butuh saran kritik dari para pembaca makalah ini untuk
menjadikan makalah ini lebih sempurna lagi. Dan saya mengucapkan terima kasih pada
dosen Mata kuliah Akuntasi Perpajakan yang telah memberikan tugas untuk membuat
makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, S., & Trisnawati, E. (2014). Akuntansi Perpajakan, Aktiva tidak berwujud. Jakarta:
Salemba Empat.

Yani, H. (2014, Januari 27). Aktiva Tidak Berwujud. Retrieved from blogspot:
http://anhyhandayaniunismuh12.blogspot.com/2014/01/makalah.html

Anda mungkin juga menyukai