Disusun oleh :
Pendamping :
KABUPATEN PATI
JAWA TENGAH
2020
LAPORAN KEGIATAN INTERNSIP
Disusun oleh :
Pendamping :
KABUPATEN PATI
JAWA TENGAH
2020
HALAMAN PENGESAHAN
F.2 Upaya Kesehatan Lingkungan
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2. Permasalahan..........................................................................................................3
1.3. Tujuan.....................................................................................................................3
1.4. Manfaat...................................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................5
2.1. Demam Typhoid......................................................................................................5
2.2. Pengendalian dan Pencegahan Demam Typhoid..................................................23
BAB III PELAKSANAAN KEGIATAN DAN INTERVENSI.........................................................26
3.1. Tujuan...................................................................................................................26
3.2. Metode..................................................................................................................26
3.3. Media....................................................................................................................26
3.4. Sasaran..................................................................................................................26
3.5. Waktu....................................................................................................................26
3.6. Tempat..................................................................................................................26
3.7. Kegiatan................................................................................................................26
3.8. Evaluasi dan Hasil Penyuluhan..............................................................................27
BAB IV PENUTUP..............................................................................................................28
4.1. Kesimpulan............................................................................................................28
4.2. Saran.....................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................29
LAMPIRAN........................................................................................................................33
FORM BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO.............................................................34
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun
dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan
1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan
antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Standar emas untuk diagnosis Demam Typhoid adalah kultur darah atau
aspirasi sumsum tulang. Selain kultur darah dan cairan aspirasi sum-sum tulang,
kultur juga bisa berasal dari cairan tubuh lainnya seperti cairan duodenum, urin
atau feses. Tes serologi telah digunakan untuk diagnosis selama lebih dari 100
tahun. Tes Widal dikembangkan pada tahun 1896 untuk mendeteksi anti S
serotipe Typhi antibodi. Saat ini telah tersedia 3 jenis tes serologi untuk
mendiagnosis infeksi akut S. typhi yang lebih praktis dan cepat diantaranya Multi
test Dip-S-Ticks , Tubex, dan Typhidot. Tubex merupakan alat diagnostik yang
paling cepat untuk mendiagnosis Demam Typhoid, dan memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan yang lain.
2
setempat dalam mengupayakan lingkungan tempat tinggal yang lebih baik untuk
pencegahan penularan Demam Typhoid.
1.2. Permasalahan
Sebagian besar warga Kecamatan Gabus belum memahami pentingnya
cuci tangan pakai sabun, kebersihan makanan dan lingkungan sekitar (toilet,
pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari) sebagai
pencegahan penularan penyakit Demam Typhoid.
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Teoritis
3
1.4.2. Manfaat Praktis
i. Bagi Puskesmas
a. Membantu dalam pengembangan program promosi kesehatan
lingkungan dengan sasaran yang terkhususkan pada
masyarakat Gabus.
ii. Bagi Masyarakat
a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit
Demam Typhoid.
b. Membantu masyarakat mengenali gejala dan penatalaksanaan
Demam Typhoid.
c. Memberikan edukasi akan pentingnya cuci tangan pakai
sabun, menjaga kebersihan makanan dan lingkungan sekitar
(toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya
sekali sehari) sebagai pencegahan penularan penyakit
Demam Typhoid.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu
pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan
sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.
6
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin.
7
maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,
nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
- Demam. Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.
Bersifat febris remitten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu
pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam.
Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu ketiga. Pada era pemakaian antibiotik
belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus Demam
Typhoid mempunyai istilah khusus yaitu step ladder temperature chart
yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara
bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu
pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4
demam turun secara perlahan, kecuali bila terjadi fokus infeksi seperti
kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap.
8
abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus).
Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya
didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat
terjadi diare. Pada beberapa kasus dijumpai gejala nausea, anoreksia,
malaise, nyeri perut dan radang tenggorokan.
- Gangguan kesadaran. Umumnya kesadaran penderita menurun, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. Pada
kasus yang berat penderita dapat datang dengan kondisi yang
toksik/sakit berat bahkan datang dengan syok hipovolemik sebagai
akibat kurang masuknya cairan dan makanan.
- Gejala lain. Rose spot dapat dijumpai pada penderita Typhoid, yaitu
suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2
sampai 4 um seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, jarang terjadi pada
anak Indonesia. Bronchitis dan bradikardia relatif juga dapat dijumpai
pada penderita demam tifoid tapi dalam persentase yang sangat sedikit.
9
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
Demam Typhoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
10
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada Demam Typhoid ini
meliputi :
Uji Widal. Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk
mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji
telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita
dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka
akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka Demam Typhoid, yaitu;
o Aglutinin O (dari tubuh kuman)
o Aglutinin H (flagel kuman)
o Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi
titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada
demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap
menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O
lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O
masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H
menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul
lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh
dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung
meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan
diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan
pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
11
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif
96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit
Demam Typhoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila
titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang
terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis Demam Typhoid dapat
ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi
atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti
mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat
dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam
tifoid yang terbukti biakan darah positif. Ada 2 faktor yang
mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.
o Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu:
Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian
kortikosteroid.
Gangguan pembentukan antibodi.
Saat pengambilan darah.
Daerah endemik atau non endemik.
Riwayat vaksinasi.
Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin
pada infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid
masa lalu atau vaksinasi.
o Faktor teknik, yaitu:
Akibat aglutinin silang.
Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu. Pemberian antibiotika yang dilakukan
sebelumnya (paling sering terjadi saat pengobatan, demam
terapi antibiotika tidak sembuh dalam 5 hari tes
12
Widal) menghalangi respon antibodi. Mungkin sebenarnya
bisa positif jika dilakukan kultur darah.
Positif Palsu. Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya
(misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan
H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan
jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil
positif palsu (false positive). Mungkin sebenarnya yang
positif kuman non S. typhi (bukan typhoid).
13
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi Demam
Typhoid.
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi Demam
Typhoid.
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
Immunodominan yang kuat
Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi
(antigen Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan
mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T
sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang
kuat dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan
reseptor yang lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang
jarang ditemukan baik di alam maupun diantara
mikroorganisme.
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX:
Mendeteksi infeksi akut Salmonella
Muncul pada hari ke 3 demam
Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman
Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
Hasil dapat diperoleh lebih cepat
Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT. Uji serologi ini
didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan
IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam
tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi.
Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik
14
akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut,
konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan
inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan
pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik. Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001)
terhadap 207 kasus Demam Typhoid bahwa spesifisitas uji ini
sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16% nilai prediksi
positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.
Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144
kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%,
spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian
lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar
89%. Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan
salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal.
Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang
bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan
bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila
digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis
Demam Typhoid akut yang cepat dan akurat. Beberapa
keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya
reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena
menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak
menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara
luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan
lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan
nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil
selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
15
Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Uji
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS
O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi
terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk
mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis
adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel
darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum
tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya,
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu
kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta
spesifisitas 100%.
Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine
penderita Demam Typhoid mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44%
pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap
antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut
akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan
pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan
Brucellosis.
Pemeriksaan dipstik. Uji serologis dengan pemeriksaan
dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi
antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S.
typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang
tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. Penelitian
oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
16
69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang
dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan
spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.
Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita
demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%.
Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas
sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial
yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita Demam
Typhoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan
dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada
penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi
dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman.
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S.typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum
tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan
patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan
dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan
pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan
yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan Demam Typhoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang
diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan
(3) waktu pengambilan darah. Volume 10-15 mL dianjurkan untuk
anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.
Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini
juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur
17
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan
dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi
adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan
media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena
hanya S.typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut. Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari
saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti
melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel
penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang
dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu
pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara
perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini
terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah
mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur
pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan
memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan
secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak.
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir
sama dengan kultur sumsum tulang. Kegagalan dalam
isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
18
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri
yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang
tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak
tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur
mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala
berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta
peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga
tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode
diagnosis baku dalam penanganan pasien.
Pemeriksaan kuman secara molekuler. Metode lain untuk
identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah
dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi
DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui
identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR
sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada
penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL
darah.
Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas
sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%)
dan uji Widal (35.6%). Kendala yang sering dihadapi pada
penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang
menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis
tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam
spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin
dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam
empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan
teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari
spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan
sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam
laboratorium penelitian.
19
2.1.4. Pengobatan Demam Typhoid
- Non Medika Mentosa
Tirah baring. Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat
sangat membantu. Pasien harus diedukasi untuk tinggal di
rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.
Nutrisi. Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein
(TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu dalam
memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk
kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat)
untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita
demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak,
tim, dan nasi.
Cairan. Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara
oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada
penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran
serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan
kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara
dengan kebutuhan cairan rumatannya.
Kompres air hangat. Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat
dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu dengan pemberian
kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke
hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika
reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang,
sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan
vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur
oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai
otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga
terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat
(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh
sehingga mencapai keadaan normal kembali. Hal ini
sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden
20
(2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu
(thermoregulator) dihipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat,
maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga
sebaliknya.
- Medika Mentosa
Simptomatik. Panas yang merupakan gejala utama pada Typhoid
dapat diberi antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan
yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis
500mg/8jam untuk dewasa dan 10 mg/kgBB/kali minum untuk
anak, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya
karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan
saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat
keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah
yang mengandung Methamizole Na.
Antibiotik. Antibiotik yang sering diberikan adalah :
o Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk
infeksi tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan
untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis
untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam
turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh
karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi
atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang
sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah
mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
o Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika
trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5.
Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50
mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara
syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum
21
sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari
pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara
antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.
o Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih
rendah dibandingkan dengan chloramphenicol dan
cotrimoxazole. Namun untuk anak-anak golongan obat ini
cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan
untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis
selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama
dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
o Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim,
Cefixime), merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya
setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan
Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella
typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100
mg/kg/hari Ivdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari)
selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan
Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10
hari.
Pada Demam Typhoid berat kasus berat seperti delirium, stupor,
koma sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV
(dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal,
dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam. Untuk Demam
Typhoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi
perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan
antibiotika metronidazol.
22
2.2. Pengendalian dan Pencegahan Demam Typhoid
23
- Sering cuci tangan. Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan
untuk menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama
minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah menggunakan
toilet.
- Bersihkan alat rumah tangga secara teratur. Bersihkan toilet,
pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.
- Hindari memegang makanan. Hindari menyiapkan makanan untuk
orang lain sampai dokter berkata bahwa anda tidak menularkan lagi.
Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan,
anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda
tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
- Gunakan barang pribadi yang terpisah. Sediakan handuk, seprai, dan
peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan menggunakan air
dan sabun.
Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi. Di banyak negara
berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan
mengendalikan Demam Typhoid dengan air minum yang aman, perbaikan
sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai.
Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi
berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan Demam
Typhoid.
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin Typhoid, yakni:
- Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan). Vaksin yang
mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali
dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan
pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang
demam, sedang minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-
21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi
dilaporkan 6 tahun.
- Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine). Vaksin ini mengandung sel
utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung kurang lebih 1
24
milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12
tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis
dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan.
Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan
bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di
kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat
demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi,
mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang
pendek.
- Vaksin polisakarida. Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari
bakteri Salmonella. Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang
dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia
dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam
buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan
diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini
dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang
demam, dan anak kecil 2 tahun.
25
BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN DAN INTERVENSI
3.1. Tujuan
Setelah dilakukan penyuluhan selama 20 menit, peserta penyuluhan
diharapkan mampu memahami tentang Demam Typhoid, khususnya pencegahan
dan pengupayaan lingkungan dalam pencegahan penyebaran Demam Typhoid.
3.2. Metode
Metode yang digunakan ialah melalui presentasi oral dan diskusi tanya
jawab
3.3. Media
Media yang digunakan ialah media presentasi / leaflet
3.4. Sasaran
Peserta Masyarakat di Kecamatan Gabus Kabupaten Pati
3.5. Waktu
Penyuluhan tentang Demam Tyohoid dilaksanakan pada :
1. Hari, tanggal : Jumat, 22 Mei 20120
2. Jam : 08.30 – selesai
3.6. Tempat
Penyuluhan dilaksanakan di Puskesmas Gabus I Kecamatan Gabus
Kabupaten Pati.
3.7. Kegiatan
Langkah- Kegiatan Kegiatan
Waktu
langkah Penyuluhan Masyarakat
1. Pendahuluan 5 menit 1. Menyampaikan 1. Membalas
salam salam
2. Memperkenalka 2. Mendengarkan
n diri dengan
3. Menjelaskan seksama
tujuan 3. Memberikan
4. Menyampaikan respon
estimasi waktu 4. Berpartisipasi
5. Menggali aktif
26
persepsi
masyarakat
terkait TB Paru
2. Penyajian 10 menit 1. Menjelaskan 1. Mendengarkan
materi tentang : dengan seksama
a. Definisi TB 2. Memberikan
Paru respon interaktif
b. Diagnosis TB
c. Gejala TB
d. Program
pencegahan
TB
e. Pencegahan
TB berbasis
Lingkungan
3. Penutup 5 menit 1. Memberikan 1. Mengajukan
kesempatan pertanyaan
untuk bertanya 2. Berperan aktif
2. Melakukan 3. Mendengarkan
evaluasi dengan dengan seksama
mengajukan
pertanyaan
terkait bahasan
sebelumnya
3. Menyampaikan
kesimpulan
27
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Kasus Demam Typhoid dalam penularannya sangat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan dan faktor individu
2. Masih kurangnya kesadaran diri masyarakat terkait kualitas makanan dan
minuman yang baik serta pemberian vaksinasi terhadap penyakit tifoid
dalam upaya pencegahan penularan Demam Typhoid.
3. Penyuluhan mengenai pengendalian Demam Typhoid berbasis lingkungan
mampu memberikan wawasan dan pengetahuan mengenai Demam
Typhoid terutama dalam upaya pencegahan penularan Demam Typhoid.
4.2. Saran
1. Diperlukannya peran aktif tenaga kesehatan maupun kader desa dalam
mengajak masyarakat sekitar dalam mengupayakan lingkungan yang baik
untuk mencegah penularan Demam Typhoid.
2. Tenaga kesehatan dan kader desa secara kontinyu memberikan penyuluhan
tentang penyakit Demam Typhoid dan pencegahan penularannya.
3. Perlu ditingkatkannya kualitas pelayanan UKM Puskesmas dalam
mengupayakan pencegahan penularan Demam Typhoid.
28
DAFTAR PUSTAKA
Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
2003.h.2-20
Alatas, Husein, dkk.Tifus Abdominalis dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak,
edisi keempat jilid 2. 1985. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI : hal.593
Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC. Typhoid fever. Nelson
textbook of pediatrics, edisi ke-14, Philadelphia: WB Saunders Co,
1992.h.731-4
Butler T. Typhoid fever. Dalam: Warren KS, Mahmoud AF, penyunting. Tropical
and geographical medicine, edisi ke-2. New York: Mc Graw-Hill
Information Services Co, 1990. H.753-7
Dimas.S.H.2012.,Demam Typoid. Jurnal Kesehatan Kedokteran Universitas Islam
Indonesia. Mengutif dari.,Cammie F. Lesser, Samuel I. Miller,
2005. Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine (16th ed),
897-900.
Freedman DO. Infections in returning travelers. Dalam: Mandell GL, Bennett JE,
Dolin R, penyunting. Principles and practice of infectious diseases. Edisi
tujuh. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2010. h.4019-28
Gunawan G. Infeksi: Demam tifoid. Dalam: Yunanto A, Gunawan G dan Muhyi
R, penyunting. Pedoman diagnosis dan terapi bagian/SMF ilmu kesehatan
anak. Edisi I. Banjarmasin: Rumah Sakit Umum Daerah Ulin. 2000.h. 16-
17 Laporan Kasus-Demam Tifoid-Ilmu Kesehatan Anak Page 13
Hadinegoro.,SR.,Prof.DR.dr SpA.,2011. Demam Tifoid Pada Anak : Apa Yang
Perlu Diketahui? Jurnal Manajement Modern dan Kesehatan Masyarakat
2011. Diakses pada 5 februari 2015 di www.Itokindo.org
29
Hammad OM, Hifnawy T, Omran D, El Tantawi MA, Girgis NI. Ceftriaxone
versus chloramphenicol for treatment of acute typhoid fever. Life Sci.
2011; 8:100-4
Hayani CH, Pickering LK. Salmonella infections. Dalam: Feigin RD, Cherry JD,
penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases, edisi ke-3, Tokyo:
WB Saunders Co, 1992.h.620-33
Hoffman SL. Typhoid fever. Dalam: Strickland GT, penyunting. Hunter’s tropical
medicine, edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991.h.344-58
House D, Wain J, Ho VA, Diep TS, Chinh NT, Bay PV, dkk. Serology of typhoid
fever in an area of endemicity and its relevance to diagnosis. J Clin
Microbiol. 2001; 39:1002-7
Inforamsi produk TUBEX ®TF Rapid typhoid detection. Diagnose tifoid
definitive semi kuantitatif dengan metode IMBI. Jakarta: PT Pacific
Biotekindo Intralab, 2011
Ismail R, The LK, Choo EK. Chloramphenicol in children: dose, plasma levels
and clinical effects. Ann Trop Paediatr, 1998; 18:123-8
Ismail TF. Rapid diagnosis of typhoid fever. Indian J Med Res, 2006; 123:489-91
James S. Mechanism of pathogenesis of salmonellae: Linking in vitro, Animal
and Human studies. Diunduh dari www.jifsan.com diakses tanggal 10
April 2013
Jesudason, M. V, dkk,(1994). Vi-specific latex agglutination for early and rapid
detection of Salmonella serotype typhi in blood cultures. Diagn
Microbiol Infect Dis 18, 75–78.
Kawano RL. Leano SA, Agdamag DMA. Comparison of serological test kits for
diagnosis of typhoid fever in the Philippines. J Clin Microbiol. 2007;
45:246-7
Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Chaignat CL, Morrissey AB, dkk. Sensitivity
and specificity of typhoid fever rapid antibody tests for laboratory
diagnosis at two sub-Saharan African sites. Bull World Health Organ.
2011; 89:640-7
30
Khan MI, Ochiai RL, Soofi SB, Von Seidlein L, Khan MJ, Sahito SM, dkk. Risk
factors associated with typhoid fever in children aged 2-16 years in
Karachi, Pakistan. Epidemiol Infect. 2012; 140:665-72
Ley B, Mtove G, Thriemer K, Amos B, Von Seidlein L, Hendriksen I, dkk.
Evaluation of the Widal tube agglutination test for the diagnosis of typhoid
fever among children admitted to a rural hospital in Tanzania and a
comparison with previous studies. BMC Infect Dis. 2010; 10:1-9
Ley B, Thriemer K, Ame SM, Mtove G, Von Seidlein L , Amos B, dkk.
Assessment and comparative analysis of a rapid diagnostic test (Tubex®)
for the diagnosis of typhoid fever among hospitalized children in rural
Tanzania. BMC Infect Dis. 2011; 11:1-6
Olopenia LA, King AL. Widal agglutination test 100 years later: still plaqued by
controversy. Postgrad Med J. 2000; 76:80-4
Olsen SJ, Pruckler J, Bibb W, My Thanh NT, My Trinh T, Minh NT, dkk.
Evaluation of rapid diagnostic tests for typhoid fever. J Clin Microbiol.
2004; 42:1885-89
Pramitasari, OP.2013,. Faktor Resiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid
Pada Penderita Yang Dirawat di RSUD Ungaran. Jurnal Kesehatan
Masyarakat 2013, Volume 2, Nomor 1 tahun 2013,. Diakses pada tanggal
5 februari 2015 di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm
Prasetyo, Risky Vitria., Ismoedijanto. 2010. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Divisi tropik dan penyakit infeksi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
UNAIR/RSU dr.Soetomo Surabaya
Rahman M, Siddique, dkk, (2007) Rapid detection of early typhoid fever in
endemic community children by the TUBEX® O9-antibody test. Diagn
Microbiol Infect Dis 3: 275–81.
Sanchez-Vargas FM, Abu-El-Haija MA, Gómez-Duarte OG. Salmonella
infection: an update on epidemiology, management, and prevention.
Travel Med Infect Dis. 2011; 9:263-77
Schwartz E. Typhoid and paratyphoid fever. Dalam: Schwartz E, penyunting.
Tropical diseases in travelers. Edisi pertama. Singapore: Blackwell
Publishing, 2009. h.144-51
31
Shetty N, Aorons E, Andrews J. General principles of antimicrobial
chemotherapy. Dalam: Shetty N, Tang JW, Andrews J, penyunting.
Infectious disease: pathogenesis, prevention, and case studies. Malaysia:
Blackwell Publishing, 2009. h.124-56
Shetty N. Infection in the returning traveler. Dalam: Shetty N, Tang JW,
Andrews J, penyunting. Infectious disease: pathogenesis, prevention, and
case studies. Malaysia: Blackwell Publishing, 2009. h.531-2
Sippel, J., Bukhtia, dkk, (1989). Indirect immunoglobulin G (IgG) and
IgM enzyme-linked immunosorbent assays (ELISAs) and IgM
capture ELISA for detection of antibodies to lipopolysaccharide in
adult typhoid fever patients in Pakistan. J Clin Microbiol 27, 1298–1302.
Soedarmo SPS, Garna H, Hadinegoro, Satari HI. Demam tifoid. Dalam:
Soedarmo SPS, Garna H, Hadinegoro, Satari HI, penyunting. Buku ajar
infeksi & pediatri tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2012.h.338-45
Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
Tam FCH, Ling TKW, Wong KT, Leung DTM, Chan RCY, Lim PL. The Tubex
test detects not only typhoid-specific antibodies but also soluble antigens
and whole bacteria. J Med Microbiol. 2008; 57:316-23
Thielman NM, Crump JA, Guerrant RL. Enteric fever and other causes of
abdominal symptoms with fever. Dalam: Mandell GL, Bennett JE, Dolin
R, penyunting. Principles and practice of infectious diseases. Edisi tujuh.
Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2010. h.1399-1409
WHO, Vaccines and Biologicals.,2003.,The Diagnosis, Treatment and Prevention
of Thypoid Fever. Dikutif dari Textbook: Clegg A, Passey M, Omena MK,
Karigifa K., Sueve N. Re evaluation of the Widal agglutination test in
response to the changing pattern of typhoid fever in the highlands of Papua
New Guinea. Acta Tropica 1994;57(4):255-63
World Health Organization. Background document: the diagnosis, treatment and
prevention of typhoid fever. Switzerland: WHO; 2003
32
LAMPIRAN
33
FORM BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO
Mengetahui
Pembimbing
34