Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obtruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah
dan diobati dengan karakteristik gejala pernapasan yang menetap dan keterbatasan
aliran udara akibat abnormalitas dari aliran udara dan/atau alveolar, biasanya
disebabkan oleh pajanan gas atau partikel berbahaya.1 Karakteristik hambatan
aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas
kecil (obstruksi bronkiolotis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi
pada setiap individu.2
Penyakit Paru Obtruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak
menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya
antara lain semakin tingginya pajanan faktor resiko seperti faktor pejamu yang
diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok
khususnya pada kelompok usia muda serta pencemaran udara didalam maupun
luar ruangan dan di tempat kerja.2
Salah satu dampak negatif PPOK adalah penurunan kualitas hidup pasiennya.
Hal ini dikarenakan PPOK penyakit paru kronik, progresif nonreversibel. Salah
satu gejala PPOK yaitu sesak nafas, akibat sesak nafas yang sering terjadi
penderita menjadi panik, cemas dan frustasi sehingga penderita mengurangi
aktifitas untuk menghindari sesak nafas yang menyebabkan penderita tidak aktif.
Keadaan ini menyebabkan kapasitas fungsional menjadi menurun sehingga
kualitas hidup juga menurun. Penderita PPOK juga sering mengalami PPOK
eksaserbasi akut yang akan memperburuk keadaan penderitanya.3
1
memprediksi tahun 2030 PPOK akan menjadi penyabab kematian ketiga di
dunia.4 Prevalensi PPOK di Indonesia adalah 3,7% atau sekitar 9,2 juta penduduk.
Angka ini bisa meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok karena
90% penderita PPOK adalah perokok atau mantan perokok. 2 Hal ini terlihat dari
meningkatnya prevalensi merokok pada anak usia ≥10 tahun dari 8,8% pada tahun
2016 menjadi 9,1% pada tahun 2018.5 Di Aceh sendiri prevalensi PPOK pada usia
≥ 30 tahun sekitar 4,3%.6
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.2 Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor – faktor yang dapat memicu PPOK ini, yaitu :
a. Kebiasaan merokok
Dari berbagai partikel gas yang noxius atau berbahaya, asap rokok
merupakan salah satu penyebab utama, kebiasaan merokok merupakan
faktor resiko utama dalam terjadinya PPOK. Perokok memiliki resiko
empat kali lebih besar terkena PPOK dibandingkan dengan orang yang
tidak pernah merokok. Perokok pasif juga menjadi faktor resiko karena
terjadi peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas. Resiko PPOK pada
perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok,
jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok. Hal ini juga
digunakan untuk melihat tingkat keparahan PPOK. Salah satu cara
mengklasifikasikan perokok yaitu menggunakan indeks brinkman. Dari
indeks tersebut perokok diklasifikasikan menjadi perokok ringan, sedang
dan berat.2,8
b. Paparan Pekerjaan
Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara dapat
diakibatkan oleh paparan debu di tempat kerja. Beberapa paparan pekerjaan
yang khas termasuk penambangan batu bara, panambangan emas, dan debu
kapas tekstil telah diketahui sebagai faktor risiko obstruksi aliran udara
kronis.7,9
c. Polusi udara
4
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar
dapat menyebabkan terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel
akan memberikan efek yang berbada terhadap timbulnya dan keparahan
PPOK. Polusi terbagi menjadi :
Polusi didalam ruangan : asap rokok, asap kompor
Polusi diluar ruangan : asap kendaran, debu jalanan
Polusi tempat kerja : bahan kimia, zat iritasi, gas beracun
Polusi didalam ruangan memberikan risiko lebih besar
dibandingkan polusi lainnya. Beberapa penelitian menyebutkan di negara
berkembang polusi didalam ruangan lebih banyak menyebabkan
PPOK.1,2,10
5
Defisiensi α1AT yang berat merupakan faktor risiko genetik terjadinya
PPOK. Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK yang mewarisi
defisiensi α1AT, pasien-pasien ini menunjukkan bahwa faktor genetik
memiliki pengaruh terhadap kecenderungan untuk berkembangnya PPOK.
α1AT adalah suatu anti-protease yang diperkirakan sangat penting untuk
perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami oleh bakteri,
leukosit PMN, dan monosit.7,9
2.3 Patogenesis
Stres oksidatif
Stres oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan penting dalam PPOK.
Biomarker stres oksidatif (misalnya, peroksida hidrogen, 8-isoprostan) meningkat
dalam dahak, kondensat hembusan napas dan sirkulasi sistemik pada pasien
PPOK. Stres oksidatif lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang
dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat yang dihirup lainnya yang dilepaskan
dari sel-sel inflamasi ( seperti makrofag dan neutrophil ) diaktifkan. Mungkin juga
ada penurunan antioksidan endogen pada pasien PPOK.1,2
Ketidakseimbangan protease-Antiprotease
Ada bukti kuat mengenai ketidakseimbangan protease dan antiprotease
pasien PPOK, yaitu protease yang memecah komponen jaringan ikat dan
antiproteases yang melindunginya. Beberapa protease, berasal dari sel inflamasi
dan sel epitel, yang meningkat pada pasien PPOK. Proteasemediated perusakan
6
elastin, komponen jaringan utama penghubung dalam parenkim paru-paru, adalah
faktor penting dari emphysema dan kemungkinan tidak dapat diubah.1,2
Sel Inflamasi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dikarakteristikkan dengan
peningkatan jumlah makrofag di saluran napas perifer, parenkim paru dan
pembuluh darah pulmonal. Diikuti juga dengan peningkatan aktivitas neutrofil
dan limfosit termasuk Tc1, Th1, Th17 dan ILC3. Di beberapa pasien, terdapat
juga peningkatan eosinofil, Th2 atau ILC2. Sel – sel inflamasi ini bersama
dengan sel epitelial dan sel struktural melepaskan mediator – mediator
inflamasi.1,2
2.4 Patofisiologi
Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis
yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang karakteristik. Misalnya
penurunan FEV1 yang terjadi disebabkan peradangan dan penyempitan saluran
napas perifer, sementara transfer gas yang menurun disebabkan kerusakan
parenkim yang terjadi pada emphysema.1,2
7
utama timbulnya dyspnea pada aktivitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran
napas perifer mengurangi perangkap udara, sehingga mengurangi volume paru
residu dan gejala serta meeningkatkan dan kapasitas berolahraga.1,2
Hipersekresi lendir
Hipersekresi lendir, yang mengakibatkan batuk produktif kronis, adalah
gambaran dari bronkitis kronis tidak selalu dikaitkan dengan keterbatasan aliran
udara. Sebaliknya, tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi
lendir. Hal ini disebabkan karena metaplasia mukosa yang meningkatkan jumlah
sel goblet dan membesarnya kelenjar submukosa sebagai respons terhadap iritasi
kronis saluran napas oleh asap rokok atau agen berbahaya lainnya. Beberapa
mediator dan protease merangsang hipersekresi lendir melalui aktivasi reseptor
faktor EGFR.1,2
Hipertensi Paru
Hipertensi paru ringan sampai sedang mungkin terjadi pada PPOK akibat
proses vasokonstriksi yang disebabkan hipoksia arteri kecil pada paru yang
kemudian mengakibatkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intimal
dan kemudian hipertrofi otot polos / hiperplasia. Respon inflamasi dalam
pembuluh darah sama dengan yang terlihat di saluran udara dengan bukti
terlihatnya disfungsi sel endotel. Hilangnya kapiler paru pada emfisema juga
8
dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru sehingga terjadi.
pulmonary hypertension yang bersifat progresif dapat mengakibatkan hipertrofi
ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan (cor pulmonale).1,2
Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi
dalam saluran napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus
atau oleh polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan
eksaserbasi PPOK, masih banyak yang belum diketahui. Dalam eksaserbasi
ringan dan sedang terdapat peningkatan neutrophil, beberapa studi lainnya juga
menemukan eosinofil dalam dahak dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan
dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-, LTB4 dan
IL-8, serta peningkatan biomarker stres oksidatif.1,2
Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah
satu penelitian menunjukkan peningkatan neutrofil pada dinding saluran nafas dan
peningkatan ekspresi kemokin. Selama eksaserbasi terlihat peningkatan
hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengan aliran ekspirasi berkurang,
sehingga terjadi sesak napas yang meningkat. Terdapat juga memburuknya
abnormalitas VA / Q yang mengakibatkan hipoksemia berat.1,2
9
2.5 Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai
ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK
dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala berikut ini :1,2
Sesak napas
Sesak napas merupakan gejala kardinal dari PPOK. Sesak napas bersifat
progresif, persisten, bertambah berat dengan aktivitas, dada terasa berat,
membutuhkan usaha untuk bernapas, terengah – engah.
Tabel 2.1. Skala sesak napas berdasarkan Modified Medical Research
Council (mMRC)
Grade Keluhan
0 Sesak napas timbul jika melakukan kegiatan berat
Sesak napas timbul bila berjalan cepat pada lantai datar atau
1
jika berjalan ditempat yang sedikit landai
Jika berjalan bersama teman seusia selalu tertinggal atau jika
2 berjalan dijalan yang datar sering beristirahat untuk
mengambil napas
Perlu istirahat untuk menarik napas setiap berjalan 100
3
meter atau setelah berjalan beberapa menit
4 Timbul sesak napas ketika mandi atau berpakaian
Tabel 2.2. Kelompok PPOK berdasarkan mMRC atau CAT dan gejala
eksaserbasi
Populasi C Populasi D
- Eksaserbasi ≥2 kali/tahun atau ≥1 - Eksaserbasi ≥2 kali/tahun atau ≥1
10
kali masuk rumah sakit kali masuk rumah sakit
- mMRC 0-1 atau CAT < 10 - mMRC ≥2 atau CAT ≥ 10
Populasi A Populasi B
- Eksaserbasi 0 – 1 kali/tahun atau - Eksaserbasi 0 – 1 kali/tahun atau
tidak pernah masuk rumah sakit tidak pernah masuk rumah sakit
- mMRC 0-1 atau CAT < 10 mMRC ≥2 atau CAT ≥ 10
Batuk kronis
Seringkali merupakan gejala pertama yang timbul pada pasien PPOK.
Kebanyakan pasien menganggap batuk sebagai konsekuensi dari rokok
dan/atau lingkungan. Awalnya batuk hilang timbul lama kelamaan
menjadi sepanjang hari. batuk dapat berdahak atau tidak.
Produksi sputum
Pasien PPOK biasanya mengalami batuk berdahak. Batuk berdahak
selama 3 bulan atau lebih dalam 2 tahun merupakan gejala bronkitis
kronik. Sputum yang purulen menunjukkan peningkatan mediator
inflamasi dan adanya bakteri.
Mengi dan dada terasa berat
Gejala ini dapat terjadi sesekali atau setiap harinya. Mengi bisa hanya
sebatas ditingkat laring sehingga tidak terdengar ketika auskultasi. Tidak
adanya gejala ini bukan berarti diagnosis PPOK dapat disingkirkan
ataupun adanya gejala ini tidak berarti pasti didiagnosis asma
Gejala lainnya
Gejala lain seperti kelelahan, penurunan berat badan dan penurunan nafsu
makan biasanya dijumpai pada pasien dengan PPOK berat. Tetapi gejala
ini juga bisa merupakan tanda dari penyakit lainnya seperti tuberkulosis
ataupun kanker paru.
Anamnesa
Pasien yang terpapar dengan faktor resiko seperti rokok dan/atau zat iritan
pada lingkungan
11
Riwayat penyakit terdahulu seperti asma, alergi, sinusitis, polip nasal,
infeksi pernapasan saat kecil, penyakit respiratori dan non-respiratori
kronis.
Riwayat keluarga menderita PPOK atau penyakit saluran napas kronis
lainnya
Riwayat eksaserbasi atau masuk rumah sakit sebelumnya akibat penyakit
saluran napas
Efek penyakit di kehidupan pasien seperti keterbatasan melakukan
aktivitas, tidak dapat bekerja, merasa cemas dan takut, depresi dan lainnya.
Dukungan dari keluarga dan lingkungan
Kemungkinan pasien menjauhi faktor resiko seperti merokok
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien PPOK dapat bervariasi dari tidak ditemukan
kelainan sampai kelainan jelas dan tanda inflasi paru.1,2
Inspeksi
1. Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)
Sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Ini diakibatkan oleh mekanisme tubuh yang
berusaha mengeluarkan CO2 yang tertahan di dalam paru akibat gagal
nafas kronis.
2. Penggunaan alat bantu napas
Penggunaan otot bantu napas terlihat dari retraksi dinding dada,
hipertropi otot bantu nafas, serta pelebaran sela iga.
3. Barrel chest
Barrel chest merupakan penurunan perbandingan diameter antero-
posterior dan transversal pada rongga dada akibat usaha memperbesar
volume paru. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut
vena jugularis di leher dan edema tungkai.
4. Pink puffer
Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, yaitu kulit
kemerahan pasien kurus, dan pernafasan pursed-lips breating.
5. Blue bloater
12
Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronis, yaitu pasien
tampak sianosis sentral serta perifer, gemuk, terdapat edema tungkai
dan ronki basah di basal paru.
Palpasi
Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah dan sela iga
melebar. Terutama dijumpai pada pasien dengan emfisema dominan.
Perkusi
Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara yang terperangkap, batas
jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
terutama pada emfisema.
Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi
pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi
memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.
Pemeriksaan penunjang1,2
13
Pemeriksaan post-bronchodilator dilakukan dengan memberikan
bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian
dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 <20%, maka ini
menunjukkan pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.
Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar eksaserbasi
akut). Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator
dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOK
berdasarkan derajat obstruksinya.
Foto toraks
Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit paru lain. Pada penderita emfisema dominan
didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata,
hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung
yang menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada
penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan
hasil yang normal ataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang
meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen.
14
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya faktor
pencetus seperti leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi akut,
polisitemia pada hipoksemia kronik.
Analisa Gas Darah Arteri
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat
penting dilakukan dan wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita
menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis tampak
tanda-tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis
sentral, pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous
pressure. Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda
pada pasien dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis
kronis dominan.
Pada bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan hipoksemi
yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%. Dapat juga
menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi
alveolar, serta asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran
seperti ini disebabkan karena pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio
ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata.
Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh
karena baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan
berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada
emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan
normoksia atau hipoksia ringan, dan normokapnia. Analisa gas darah
berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan untuk
memantau keseimbangan asam basa.
Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada
penderita PPOK di Indonesia.
Pemeriksaan penunjang lain
15
Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk
mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonale
atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat namun jarang
dilakukan antara lain uji latih kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT-
scan resolusi tinggi, ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1
antitryipsin.
Diagnosis Gejala
PPOK Onset pada usia pertengah
Gejala progresif lambat
Lamanya riwayat merokok
Sesak saat aktivitas
Sebagian besar hambatan aliran udara irreversibel
Asma Onset awal sering pada anak
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala pada malam/menjelang pagi
Disertai alergi, rinitis. Atau eksim
Riwayat keluarga dengan asma
Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversibel
Gagal Jantung Auskultasi terdengan ronki halus dibagian basal
Kongestif Foto toraks tampak jantung membesar bisa disertai edema
paru
Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi
Bronkiektasis Sputum produktif dan purulen
Umumnya disebabkan dengan infeksi bakteri
Auskultasi terdengar ronki kasar
Foto toraks/CT – Scan toraks menunjakkan pelebaran dan
penebalan bronkus
Tuberkulosis Onset segala usia
Foto toraks menunjukkan infiltrat di paru
Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah endemis
16
asap
CT – Scan toraks pada ekspirasi menunjukkan daerah
hipodens
Panbronkiolitis Lebih banyak pada laki – laki bukan perokok
difusa Hampir semua menderita sinusitis kronis
Foto toraks dan HRCT toraks menunjukkan nodul opak
menyebar kecil di sentrilobular dan gambaran hiperinflasi
2.7 Penatalaksaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah mengurangi gejala dan risiko
eksaserbasi akut. Indikator penurunan gejala adalah gejala membaik, memperbaiki
toleransi terhadap aktivitas, dan memperbaiki status kesehatan. Sedangkan
indikator penurunan risiko adalah mencegah perburukan penyakit, mencegah dan
mengobati eksaserbasi, menurunkan mortalitas.1,2
Secara umum, pengobatan PPOK menggunakan beberapa golongan obat,
seperti:1,2
1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1 dan
atau mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan mengubah tonus
otot polos pada saluran pernafasan dan meningkatkan refleks bronkodilatasi
pada aliran ekspirasi dibandingkan dengan mengubah elastisitas paru.
Bronkodilator bekerja dengan menurunkan hiperventilasi dinamis saat istirahat
dan beraktivitas, serta memperbaiki toleransi terhadap akivitas. Pada kasus
PPOK ketegori berat atau sangat sangat berat sulit untuk memprediksi
perbaikan FEV1 yang diukur saat istirahat.
Bronchodilator dose-respone (perubahan FEV1) kurang memberikan
respon relatif pada setiap kelas bronkodilator. Peningkatan dosis beta2-agonist
atau antikolinergik, khususnya yang diberikan dengan nebulizer, menunjukkan
efek positif pada episode akut, namun tidak terlalu membantu pada kondisi
stabil. Bronkodilator pada PPOK diberikan sebagai dasar untuk mencegah atau
menurunkan gejala. Tidak direkomendasikan penggunaan bronkodilator
dengan kerja pendek.
17
2. Beta2-agonist
Prinsip kerja obat ini adalah relaksasi otot polos pada saluran pernafasan
dengan menstimulasi reseptor beta2-adrenergik, dimana akan meningkatkan
siklus AMP dan memproduksi efek fungsional yang berlawanan dengan
bronkokonstriksi. Terdapat beta2-agonist dengan kerja pendek (SABA) dan
kerja panjang (LABA), dimana efek SABA biasanya muncul dalam 4-6 jam.
Penggunaan SABA secara regular dapat meningkatkan FEV1 dan memperbaiki
gejala. Untuk dosis tunggal, khususnya pada kasus PPOK, tidak terdapat
keuntungan apabila digunakan secara rutin, contohnya levalbuterol
dibandingkan konvensional bronkodilator. LABA menunjukkan durasi kerja 12
jam atau lebih dan tidak dimasukkan sebagai efek tambahan pada terapi SABA.
Folmetrol dan salmeterol merupakan LABA yang diberikan 2 kali dalam
sehari, dimana secara signifikan memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak,
laju eksaserbasi serta jumlah kejadian masuk rumah sakit, namun tidak terdapat
efek pada perbaikan mortalitas atau fungsi paru. Indacaterol atau LABA yang
dikonsumsi 1 kali sehari dapat memperbaiki sesak, status kesehatan, dan laju
eksaserbasi. Beberapa pasien dengan riwayat batuk akan diikuti dengan
pemberian indacaterol inhalasi. Oladaterol dan vilanterol merupakan tambahan
LABA yang dapat dikonsumsi 1 kali sehari dan dapat memperbaiki gejala dan
fungsi paru.
Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat memproduksi sinus takikardia
dan memiliki potensi untuk menjadi gangguan ritme jantung. Tremor dapat
dirasakan pada pasien tua dengan dosis tinggi. Apabila terapi dikombinasi
dengan diuretik thiazide, dapat menimbulkan hipokalemia dan peningkatan
konsumsi oksigen pada pasien gagal ginjal kronis, dimana terjadi efek
penurunan metabolik.
3. Antimuskarinik
Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi asetikolin pada
reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran pernafasan. Short-acting
18
antimuscarinic (SAMAS) seperti ipratropium dan oxitroprium juga mem-blok
reseptor neuronal M2, yang secara potensial dapat memicu bronkokonstriksi.
Long acting muscarinic antagonist (LAMAS) seperti tiotropium, aclidinium,
glycopyrronium bromide dan umeclidinium, mempunyai ikatan dengan reseptor
muskarinik M3 dengan disosiasi yang lebih cepat dibandingkan reseptor
muskarinik M2 yang memperpanjang durasi efek bronkodilator.
Ipratropiun sebagai muskarinik antagonis kerja pendek memiliki efek yang
kecil dibandingkan beta2-agonist kerja pendek dalam hal perbaikan fungsi paru,
status kesehatan dan kebutuhan terhadap oral steroid. Beberapa jenis LAMAs
seperti titropiun dan umeclidinium dikonsumsi 1 kali sehari, aclidinium untuk 2
kali sehari, dan glycopyrronium, dimana beberapa negara memberikan 1 kali
sehari dan negara lain memberikan 2 kali sehari. Pengobatan dengan tiotripium
dapat memperbaiki gejala dan status kesehatan, memperbaiki efektivitas
rehabilitasi paru dan mengurangi eksaserbasi terkait hospitalisasi. Beberapa
penelitian menunjukkan efek eksaserbasi yang lebih besar pada golongan obat
LAMAs (tiotropium) dibandingkan LABA. Efek samping yang dapat muncul
berupa mulut kering, gangguan buang air kecil, dan pada penggunaan
ipratropium menunjukkan gejala mulut terasa pahit dan gangguan pengecapan
serta sebagian kecil peningkatan kejadian kardiovaskuler.
4. Methylxanthines
Theophylline merupakan jenis methylxantine yang paling sering
digunakan, dimana dimetabolisme oleh cytochrome P450 dengan fungsi
oksidase. Efek yang ditimbulkan berupa peningkatan fungsi otot skeletal
respirasi. Penambahan theophylline dengan salmeterol memberikan efek
perbaikan pada FEV1 dan gejala sesak dibandingan hanya pemberian salmeterol
saja.
Toksisitas methylxanthine tergantung pada dosis yang diberikan, dimana
efek yang ditimbulkan berupa palpitasi akibat atrium dan ventrikel aritmia. Efek
lain termasuk sakit kepala, insomnia, mual, terasa panas di dada. Pengobatan ini
19
juga memiliki interaksi yang signifikan dengan beberapa obat seperti digitalis
dan coumadin.
20
berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes, katarak, dan infeksi
mikobakteri termasuk TB. Efek withdrawl ICS, tergantung pada fungsi paru,
gejala dan eksaserbasi. Peningkatan eksaserbasi dan/atau gejala diikuti dengan
efek withdrawal ICS. Penurunan FEV1 (40 ml) dengan efek withdrawal ICS
berhubungan dengan peningkatan batas eosinophil.
- Terapi inhaler
Terapi inhaler triple berupa penambahan LABA, LAMA, dan ICS, dimana
efek yang diberikan berupa perbaikan fungsi paru, pada risiko eksaserbasi.
- Oral glukokortikoid
Efek yang diberikan berupa steroid miopati yang berhubungan dengan
kelemahan otot, penurunan fungsional, dan kegagalan pernapasan pada
pasien dengan PPOK berat. Sistemik glukokortikoid pada akut eksaserbasi
menunjukkan laju kegagalan terapi, laju kekambuhan, serta memperbaiki
fungsi paru dan sesak. Oral glukokortikoid memberikan efek terapi pada
akut eksaserbasi, namun tidak berperan pada kondisi kronis karena memiliki
komplikasi sistemik yang tinggi.
- Phosphodiesterase-4 (PDE-4) inhibitor
Prinsip kerjanya adalah dengan menurunkan inflamasi dengan menghambat
pemecahan siklus intraseluler AMP. Roflumilast merupakan obat oral yang
dikonsumsi 1 kali sehari tanpa aktivitas bronkodilator. Efeknya adalah
menurunkan eksaserbasi sedang dan berat yang telah diobati dengan
kortikosteroid sistemik pada pasien bronchitis kronis, PPOK berat sampai
sangat berat, dan riwayat eksaserbasi. Efek pada fungsi paru dapat juga
dilihat ketika roflumilast ditambahkan pada bronkodilator kerja panjang dan
pada pasien yang tidak terkontrol pada kombinasi fixed-dose LABA/ICS.
Efek samping yang dapat ditimbulkan lebih banyak jika dibandingkan
dengan pengobatan inhaler untuk PPOK. Efek tersering yaitu diare, mual,
penurunan nafsu makan, penurunan berat badan (2 kg), nyeri perut,
gangguan tidur, dan sakit kepala. Pemberian roflumilast perlu diperhatikan
khususnya pada pasien underweight dan depresi.
21
7. Antibiotik
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik secara regular
dapat menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg 3
kali per minggu) atau eritromycin (500 mg 2 kali per hari) dalam satu tahun
dapat menurunkan risiko eksaserbasi. Azithromycin berhubungan dengan
peningkatan insiden resistensi bakteri dan gangguan pendengaran.
Terapi non-farmakologi1,2
22
1. Edukasi dan self managemen
Tujuannya adalah untuk memotivasi dan membuat pasien tetap berpikir
positif dalam mengahadapi penyakitnya. Selain itu, juga membantu pasien
memodifikasi faktor risiko yang dapat sebagai pencetus eksaserbasi. Pasien juga
diharapkan dapat melakukan penanganan apabila gejala muncul.
Berdasarkan GOLD 2017, Kelompok A,B,C, dan D, dapat memodifikasi
faktor risiko, termasuk merokok, mengatur aktivitas fisik dan mengatur tidur dan
pola hidup sehat. Sedangkan khusus untuk Kelompok B dan D, harus dapat
melakukan penanganan terhadap gejala sesak, teknik konservasi energi dan
management stress. Kelompok C dan D dapat melakukan tindakan pencegahan
terhadap faktor pemicu, monitoring dan menangani gejala buruk, dan mempunyai
rencana serta mengatur komunikasi dengan tenaga kesehatan. Kelompok D harus
mulai melakukan diskusi paliative dengan tenaga kesehatan.
3. Vaksinasi
Vaksinasi pneumococcus, PCV13 dan PPSV23 direkomendasikan pada
pasien dengan umur > 65 tahun. PPSV23 juga direkomendasikan pada pasien
PPOK umur muda dengan penyakit komorbid gagal jantung kronik atau penyakit
paru lainnya.
4. Terapi oksigen
23
Indikasi:
• PaO2 <7,3 kPa (55mmHg) atau SaO2 <88% dengan atau tanpa hiperkapnia 2
kali dalam 3 minggu atau
• PaO2 7,3 kPa (55 mmHg)- 8,0 kPa (60 mmHg), atau SaO2 88%, jika terdapat
hipertensi pulmonal, edema perifer yang mengarah pada gagal jantung
kongestive, atau policitemia (HCT>55%).
` Terapi ini harus dievaluasi 60-90 hari dengan analisa gas darah.
5. Terapi ventilasi
Terapi ini diberikan pada pasien dengan hiperkapnia yang terjadi setiap hari
dan sering hospitalisasi, dimana terapi sistemik tidak menunjukkan
perbaikan.
Terapi farmakologi1,2
Terapi farmakologi pada PPOK keadaan stabil berdasarkan kelompok atau
populasi yang sudah ditentukan.
24
Tabel 2.5 Terapi PPOK Keadaan Stabil1,2
Grup C Grup D
Roflumilast jika
LABA+ LAMA FEV1 <50%, Makrolide
bronkitis kronik (perokok)
LABA+ICS
Eksaserbasi
lanjutan
Eksaserbasi
lanjutan LABA+
LAMA+ICS Gejala
persisten +
eksaserbasi
lanjutan
Grup A Grup B
Lanjutkan, stop atau coba LABA+
kelas bronkodilator LAMA
Gejala
Evaluasi efeknya persisten
LABA atau
LAMA
Bronkodilator
25
dan LABA atau LAMA dan PDE4-inhibitor. Sedangkan untuk pilihan
alternative dapat menggunakan corbocysteine, SABA dan/atau SAMA,
serta theophylline.
26
bentuk nebulizer; menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur;
menambahkan mukolitik; dan menambahkan ekspektoran.1,2
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan pasien harus segera dibawa ke
dokter. Penatalaksanaan eksaserbasi akut sedang dan berat dilakukan di rumah
sakit, dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di
poliklinik rawat jalan, unit gawat darurat, ruang rawat, atau ruang ICU.1,2
Indikasi pasien harus dirawat di rumah sakit tergantung pada derajat
eksaserbasi dan gejala klinis pasien, dengan mengikuti kriteria :1,2
1. Tidak terdapat gagal pernapasan: RR 20-30x/menit, tidak menggunakan otot
pernapasan aksesoris, tidak terdapat perubahan status mental, hipoksemia
membaik dengan tambahan oksigen melalui masker venturi 28-35%, tidak
terdapat peningkatan PaCO2.
2. Gagal nafas akut-tidak mengancam nyawa: RR >30x/menit, menggunakan
bantuan otot pernapasan, tidak terdapat perubahan status mental, hipoksemia
membaik dengan tambahan oksigen melalui masker venturi 34-40%, hiperkarbia,
PaCO2 meningkat 50-60 mmHg.
3. Gagal nafas akut-mengancam nyawa : RR>30x/menit, menggunakan bantuan
otot pernapasan, perubahan akut status mental, hipoksemia tidak membaik dengan
tambahan oksigen melalui masker venturi >40%, hiperkarbia, PaCO2 meningkat
>60 mmHg, asidosis (pH≤ 7,25).
Terapi farmakologi1,2
1. Bronkodilator
Beta2-agonist kerja pendek dengan atau tanpa antikolinergik kerja pendek
merupakan terapi bronkodilator utama pada pasien PPOK dengan eksaserbasi.
Tidak terdapat perbedaan efek yang signifikan antara penggunaan metered dose
inhaler (MDI) dan nebulizer. Pasien yang tidak mendapatkan nebul secara
berlanjut dapat menggunakan MDI inhaler 1 semprot setiap 1 jam untuk 2-3 dosis
dan setiap 2-4 jam berdasarkan respon pasien.
2. Glukokortikoid
27
Sistemik glukokortikoid pada pasien PPOK dapat menurunkan waktu
eksaserbasi dan memperbaiki fungsi paru. Selain itu juga memperbaiki
oksigenasi, risiko kejadian berulang, kegagalan terapi dan lamanya dirawat di
rumah sakit. Terapi prednisolon oral memiliki efektivitas yang sama dengan terapi
intravena dan nebul budesonide dapat sebagai alternatif kortikosteroid oral pada
terapi PPOK eksaserbasi.
3. Antibiotik
Pemberian antibiotik berdasarkan gejala klinis infeksi bakteri seperti
peningkatan produksi dan konsistensi sputum. Antibiotik dapat diberikan apabila
pasien memiliki gejala cardinal seperti sesak , peningkatan volume dan
konsistensi sputum, terdapat 2 gejala dari 3 gejala, terdapat peningkatan
konsistensi sputum sebagai salah satu gejala dari 2 gejala atau memerlukan
ventilasi mekanik (invasive atau noninvasive). Lama pemberian antibiotik adalah
5-7 hari.
Pemilihan antibiotik berdasarkan resistensi bakteri lokal, biasanya dimulai
dengan terapi empiris aminopenicillin dengan asam clavulanic, macrolide atau
tetracycline. Pada pasien dengan eksaserbasi yang berulang, keterbatasan aliran
udara, dan/atau eksaserbasi yang membutuhkan ventilasi mekanik, hasil kultur
yang menunjukkan bakteri gram negatif, dapat menunjukkan gejala resisten
terhadap antibiotik tersebut. Pemberian secara oral atau intravena, tergantung
kemampuan pasien, namun lebih disarankan diberikan secara oral.
4. Terapi pendukung
Terapi ini diberikan berdasarkan kondisi pasien seperti kebutuhan
keseimbangan cairan, diuretik, antikoagulan apabila terdapat indikasi atau
penyakit komorbid diikuti dengan edukasi berhenti merokok. Pada pasien yang
dirawat di rumah sakit, PPOK dengan eksaserbasi meningkatkan risiko terjadinya
deep vein thrombosis, emboli paru, sehingga diperlukan pemeriksaan lanjutan.
5. Terapi oksigen
28
Terapi oksigen harus dititrasi pada pasien dengan hipoksemia dengan
saturasi target 88-92%. Ketika memulai terapi oksigen, analisa gas darah harus
dilakukan untuk mengetahui oksigenasi tanpa retensi karbodioksida
dan/atauasidosis yang memburuk. Pemberian oksigen dengan masker venturi
menunjukkan hasil yang akurat dibandingkan dengan nasal prongs.
6. Terapi ventilasi
Pemberian terapi ventilasi pada kasus PPOK eksaserbasi dapat secara
noninvasive (nasal atau facial mask) atau invasive (oro-tracheal tube atau
tracheostomy), Ventilasi mekanik noninvasive diberikan pada pasien gagal nafas
akut yang sudah hospitalisasi dan mengalami PPOK eksaserbasi. Beberapa
penelitian menunjukkan terdapat perbaikan oksigenasi dan asidosis respirasi akut,
peningkatan pH dan penurunan PaCO2, penurunan laju pernafasan, dan sesak.
Namun, memiliki komplikasi berupa pneumonia yang berhubungan dengan
ventilator dan lamanya hospitalisasi. Ventilasi mekanik invasive diberikan dengan
indikasi kegagalan terapi ventilasi mekanik non-invasive sebagai terapi pertama
pada gagal nafas akut, PPOK eksaserbasi. Efek samping yang ditimbulkan berupa
risiko infeksi pneumonia (multi-resisten organisme), barotrauma dan volutrauma.
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah:1,2
a. Gagal nafas
• Gagal nafas kronis
Dapat diatasi dengan menjaga keseimbangan PO2 dan PCO2,
bronkodilator adekuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas atau
waktu tidur, antioksidan, latihan pernapasan dengan pursed lips breathing.
• Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis, ditandai oleh sesak nafas dengan
atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam, kesadaran menurun.
b. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada
29
kondisikronis ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya
kadar limfosit darah.
c. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai
gagal jantung kanan.
2.9 Pencegahan
a. Mencegah terjadinya PPOK dengan menghindari asap rokok, hindari polusi
udara, hindari infeksi saluran pernapasan berulang.
b. Mencegah perburukan PPOK dengan berhenti merokok, gunakan obat-
obatan adekuat, mencegah eksaserbasi berulang. Strategi yang dianjurkan
oleh Public Health Service Report USA adalah: ask, lakukan identifikasi
perokok pada setiap kunjungan; advice, terangkan tentang
keburukan/dampak merokok sehingga pasien didesak mau berhenti
merokok; assess, yakinkan pasien untuk berhenti merokok; assist, bantu
pasien dalam berhenti merokok; dan arrange, jadwalkan kontak usaha
berikutnya yang lebih intesif, bila usaha pertama masih belum
memuaskan.1,6
BAB III
LAPORAN KASUS
30
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. MHB
Umur : 61 tahun
Jenis Kelamin : Laki - Laki
No. CM : 181311
Alamat : Blang Malo, kec. Tangse, Pidie
Suku : Aceh
Pekerjaan : Petani
Tanggal Masuk RS : 07 Februari 2020
3.2 Anamnesa
Sesak Napas
Batuk Berdahak
Pasien datang ke IGD RSUD Tgk Chik Ditiro diantar oleh keluarganya
dengan keluhan sesak napas yang dialami sudah 1 bulan ini dan memberat 2 jam
sebelum masuk rumah sakit. sesak napas dirasakan memberat terutama saat pasien
melakukan aktivitas seperti berjalan dan berkurang saat pasien beristirahat. Sesak
napas tidak dipengaruhi dengan cuaca maupun debu. Riwayat terbangun di malam
hari akibat sesak napas tidak dijumpai. Pasien juga mengeluhkan batuk sudah 6
bulan ini. Batuk semakin lama semakin berat. Awalnya batuk tidak berdahak lama
kelamaan batuk menjadi berdahak dengan dahak berwarna kekuningan. Batuk
berdarah tidak dijumpai. Riwayat batuk lama sebelumnya disangkal pasien.
Riwayat keringat malam tidak dijumpai. Riwayat penurunan nafsu makan dan
berat badan dijumpai tetapi pasien tidak tahu pasti jumlah penurunannya. Riwayat
minum obat batuk selama 6 bulan ataupun obat merah disangkal pasien. Riwayat
31
merokok dijumpai ± 35 tahun tetapi sudah berhenti ± 10 tahun ini. Riwayat
menghisap rokok 1 – 2 bungkus per hari. BAK dan BAB dalam batas normal.
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 96 x/menit
32
Frekuensi Pernapasan : 30 x/menit
Suhu : 36.5˚ C
Status Generalis
Pemeriksaan Hasil
Kepala Normocephali, rambut hitam,
Mata Konjungtiva anemis -/-, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+, sclera ikterik -/-
Telinga Normotia, liang telinga lapang +/+, membran timpani
intak +/+
Hidung Deformitas -, sekret -, mukosa hiperemis -
Mulut & tenggorokan Bibir tidak kering, oral hygiene cukup, tonsil T1/T1,
hiperemis -
Leher KGB tidak teraba membesar
Toraks Normochest
Jantung S1S2 reguler, murmur -, gallop -
Paru Suara nafas vesikuler melemah, rhonki +/+, wheezing +/
+
Abdomen Bentuk simetris, bising usus + normal,shifting dullnes -,
undulasi (-), nyeri tekan (+), Hepar tidak teraba
membesar, Lien tidak teraba membesar
Ekstremitas Akral hangat +, CRT < 2”, oedem -
Pemeriksaan Hasil
33
Palpasi Stem fremitus melemah
HITUNG JENIS
Granulosit 78.4 43.0-76.0 %
Limfosit 15.7 20.0-40.0 %
Monosit 5.9 2.0-8.0 %
KIMIA DARAH
GDS 109 76 – 180 mg/dl
Ureum 18 15-45 mg/dl
Creatinin 1 0.7-1.2 mg/dl
34
Kesan :
Cor : normal
Pulmo : tidak ada gambaran infiltrat
Hipervaskularisasi (+)
Diafragma letak rendah
Kedua sinus frenikus-costalis tajam
Kesimpulan :
Emfisematous Lung (COPD)
35
1. PPOK eksaserbasi akut + pneumonia atipikal
2. Asma + TB paru
3. Bronkitis kronik
3.7 Terapi :
Farmakologis :
- O2 2 – 4 l/i
- IVFD Nacl 0,9% 20 tts/menit
- Inj. Azitromisin 500 mg/ 24 jam (IV)
- Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam (IV)
- Inj. Metil Prednisolon 62,5 mg/ 8 jam (IV)
- Nebul albuterol+ipratropium bromide 1 resp/ 8 jam
- Ambroxol sirup 3 x CI
Non Farmakologis :
Diet makanan rendah karbohidrat
Chest fisioterapi
Rencana :
- Spirometri
- TCM
3.8 Evaluasi
- Monitor kesadaran, keadaan umum dan tanda-tanda vital
- Awasi adanya komplikasi
3.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
FOLLOW UP
36
Tanggal Subjek, Objective, Planning
Assesment
8/2/2020 S/ sesak napas berkurang Th/
Batuk (+) - O2 2 – 4 l/i
O/ KU: Sedang E4V5M6 - IVFD Nacl 0,9% 20 tts/menit
TD: 130/80 mmHg - Inj. Azitromisin 500 mg/ 24 jam (IV)
N: 84 x/i - Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam (IV)
RR: 24 x/i - Inj. Metil Prednisolon 62,5 mg/ 8 jam
T: 36,5oC (IV)
Paru: - Nebul albuterol+ipratropium bromide 1
I : bentuk simetris resp/ 8 jam
P: stem fremitus melemah - Ambroxol sirup 3 x CI
P: hipersonor - Budesonide + formoterol 160/4,5 2 x
A: suara napas vesikuler puff I
melemah, ronki +/+, - Neurodex 1 x 1 tab
wheezing +/+ R/ spirometri : retriksi sangat berat
A/ PPOK eksaserbasi akut TCM (-)
37
TD: 130/80 mmHg - Inj. Azitromisin 500 mg/ 24 jam (IV)
N: 78 x/i - Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam (IV)
RR: 22 x/i - Inj. Metil Prednisolon 62,5 mg/ 8 jam
T: 36,1 oC (IV)
Paru: - Nebul albuterol+ipratropium bromide 1
I : bentuk simetris resp/ 8 jam
P: stem fremitus melemah - Ambroxol sirup 3 x CI
P: hipersonor - Budesonide + formoterol 160/4,5 2 x
A: suara napas vesikuler puff I
melemah, ronki +/+ - Neurodex 1 x 1 tab
A/ PPOK eksaserbasi akut
10/2/2020 S/ sesak napas (-) Th/
Batuk berkurang - O2 2 – 4 l/i
O/ KU: Sedang E4V5M6 - IVFD Nacl 0,9% 20 tts/menit
TD: 140/80 mmHg - Inj. Azitromisin 500 mg/ 24 jam (IV)
N: 80 x/i - Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam (IV)
RR: 22 x/i - Inj. Metil Prednisolon 62,5 mg/ 8 jam
T: 36,5oC (IV)
Paru: - Nebul albuterol+ipratropium bromide 1
I : bentuk simetris resp/ 8 jam
P: stem fremitus melemah - Ambroxol sirup 3 x CI
P: hipersonor - Budesonide + formoterol 160/4,5 2 x
A: suara napas vesikuler puff I
melemah, ronki -/- - Neurodex 1 x 1 tab
A/ PPOK eksaserbasi akut
11/2/2020 S/ sesak napas (-) Th/
Batuk berkurang (+) - Azitromisin 1 x 500 mg
O/ KU: Sedang E4V5M6 - Salbutamol 3 x 2 mg
TD: 120/80 mmHg - Metilprednisolon 3 x 4 mg
N: 80 x/i - Ambroxol sirup 3 x CI
RR: 22 x/i - Salmeteral+fluticasone propium discus
38
T: 37,1oC 2 x puff 1
Paru: Non – farmakologi :
I : bentuk simetris - Menghindari faktor resiko seperti
P: stem fremitus melemah rokok, asap kendaraan
P: hipersonor - Melakukan chest fisioterapi seperti
A: suara napas vesikuler clapping, pursed-lip breathing, batuk
melemah, ronki -/- efektif,
A/ PPOK stabil - Menjaga nutrisi makanan. Makan dalam
porsi kecil tetapi sering
- Latihan fisik seperti jalan
- Penggunaan inhaler secara teratur
R/ PBJ
BAB IV
PEMBAHASAN
39
Pada anamnesa didapati pasien mengeluhkan sesak napas yang semakin
lama semakin memberat. Pasien mengatakan jika berjalan sebentar saja pasien
harus beristirahat karena sesak napas. Hal ini sesuai dengan teori yang
mengatakan bahwa salah satu gejala untuk mendiagnosis PPOK adalah sesak
napas dan batuk kronis. Dari skala sesak napas berdasarkan mMRC diketahui
bahwa pasien masuk ke grade 3 yaitu perlu istirahat untuk menarik napas setiap
berjalan 100 m atau setelah berjalan beberapa menit.
Pasien juga menderita batuk kronis hal ini sesuai dengan teori yang
mengatakan batuk seringkali merupakan gejala pertama yang timbul pada pasien
PPOK. Awalnya batuk hilang timbul kemudian menjadi sepanjang hari. pasien
PPOK biasanya juga mengalami batuk berdahak. Hal ini sesuai dengan kondisi
pasien.
Salah satu faktor resiko terbesar pada PPOK yaitu merokok. Pasien
merupakan seorang mantan perokok. Pasien merokok sudah ± 35 tahun sebanyak
1 – 2 bungkus per hari. pasien mengaku sudah berhenti merokok ± 10 tahun ini.
hal ini mendukung diagnosis PPOK pada pasien.
40
diberikan SABD yaitu combiven yang mengandung ipratropium bromide dan
albuterol, antibiotik golongan makrolida yaitu azitromisin dan kortikosteroid yaitu
metil prednisolon. Serta terapi lainnya yang mendukung gejala pada pasien seperti
oksigen dan ambroxol.
BAB V
KESIMPULAN
41
Pasien a.n. MHB, 61 tahun, laki – laki datang dengan keluhan sesak napas.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang pasien di diagnosa
dengan PPOK eksaserbasi akut. Pasien dirawat inap dan mendapatkan terapi yaitu
tirah baring, oksigen 2 – 4 L/i, IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/I, inj. Azitromisin 500
mg/24 jam, inj. Ranitidin 50 mg/12 jam, inj. Metilprednisolon 62,5 mg/8 jam,
nebul combiven 1 respul/8jam, ambroxol sirup 3 x CI. Saat ini pasien sudah
diperbolehkan pulang berobat jalan. Pasien diberikan obat pulang yaitu
azitromisin 1 x 500 mg, salbutamol 3 x 2 mg, metilprednisolon 3 x 4 mg dan
ambroxol sirup 3 x CI.
DAFTAR PUSTAKA
42
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Tim Kelompok Kerja PPOK; 2011.
3. Muthmainah, Restuastutu T, Munir SM. Gambaran Kualitas Hidup Pasien
PPOK Stabil Di Poli Paru RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Dengan
Menggunakan Kuesioner SGRQ. JOM FK. Oktober 2015;2(2)
4. WHO. Chronic Respiratory Diseases : Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD). WHO [Internet]. 2020 [citasi 12 februari 2020]. Diakses
dari: https://www.who.int/ respiratory/copd/en/
5. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan Kemenkes RI. Hasil Utama
Riskesdas 2018. Kementerian Kesehatan RI;2018.
6. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan Kemenkes RI. Riset
Kesehatan Dasar: Riskesdas 2013. Kementerian Kesehatan RI;2013.
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
8. Bellou V, Belbasis L, Konstantinidis AK, et al. Elucidating the risk factors for
chronic obstructive pulmonary disease : an umbrella review of meta-analyses.
Int J TuberC Lung Dis. 2019;23(1):58-66.
9. Reilly J, Silverman EK, Shapiro SD. Chronic obstructive pulmonary disease.
In: Longo D, Fauci AS, Kasper D, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison's
principles of internal medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2011. pp.
2151–2159.
10. Hansel NN, McCormack MC, Kim V. The Effects of Air Pollution and
Temperature on COPD. Journal of COPD. Dec 2015.
43