Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Chronic kidney disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara
metabolisme ,keseimbangan cairan, dan elektrolit yang berakibat pada
peningkatan ureum. Pada pasien gagal ginjal kronik mempunyai karakteristik
bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan, dan memerlukan pengobatan berupa
transplantasi ginjal, dialisis peritoneal, hemodialisis, dan rawat jalan dalam
jangka waktu yang lama (B & Hawk, 2014). Sekitar 1 dari 10 populasi global
mengalami penyakit gagal ginjal kronik pada stadium tertentu. Hasil sistematik
review dan meta-analisis yang dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan
prevalensi global penyakit gagal ginjal kronik sebesar 13,4%. Sedangkan, di
Indonesia sendiri prevalensi penyakit gagal ginjal kronik berdasarkan diagnosis
dokter sebesar 0,2% (Kemenkes, 2017). Penderita dengan gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisa (HD) harus mematuhi diet, minum obat, pembatasan
aktivitas, proses hemodialisis, dan pembatasan cairan. Apabila cairan tidak dijaga
atau terjadi kelebihan cairan antara sesi dialisis, maka akan menimbulkan dampak
berupa penambahan berat badan, edema, dan peningkatan tekanan darah. Namun,
membatasi cairan selama hemodialisa juga dapat menimbulkan beberapa efek
pada tubuh, salah satunya timbulnya keluhan rasa haus dan mulut kering
(xerostomia) akibat produksi kelenjar ludah yang berkurang (Bots, et al,2005).
Ginjal merupakan salah satu organ perkemihan yang berfungsi sebagai
pengaturan konsentrasi elektrolit dan ph cairan ekstra seluler (CES) yang
mengeksresikan sampah nitrogen serta produk sampingan metabolisme dalam
bentuk urin. Dua hormon yang dibentuk dan disekresikan oleh sel ginjal yaitu
hormon kalsitriol dan eritropoetin (Hudak, 2010; Widiyanto, dkk, 2013). Chronic
kidney disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal bersifat progresif dan
irreversibel yang berasal dari berbagai penyakit yang berlangsung lambat,

1
sehingga ginjal tidak mampu mempertahankan metabolisme tubuh dan
keseimbangan cairan elektrolit serta terjadi uremia (Fahmi, 2016). Memiliki nilai
laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 ml/ menit/ 1,73 m2 berlangsung selama lebih
dari 3 bulan (Syaiful, dkk, 2014). Pasien CKD yang menjalani hemodialisis
mengalami peningkatan di beberapa negara. Menurut Baradero (2009) di
Amerika Serikat, sekitar 5% pasien mengalami Acute Renal Failure (ARF) yang
dirawat di rumah sakit dan pasien yang dirawat di unit perawatan intensif
sebanyak 30% menderita ARF, yang dapat berlanjut menjadi Chronic Renal
Failure (CRF) atau Chronic kidney disease (CKD) jika tidak ditangani secara
cepat dan benar.
Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) penderita
Chronic kidney disease (CKD) sebanyak orang yang keseluruhan membutuhkan
hemodialisis (Triharyo, 2008; Sulistini, 2012). Sedangkan data dari RSUD Kota
Bandung untuk jumlah pasien dengan Hemodialisis sebanyak 53 pasien aktif.
Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung didapatkan
bahwa jumlah pasien yang menjalani hemodialisis tahun 2018 berjumlah 572
orang.
Hemodialisa merupakan terapi yang dilakukan untuk mengeluarkan
produk sampah sisa metabolisme tubuh yang berupa larutan dan air yang berada
didalam darah melalui membran semipermeabel atau disebut dialyzer, dan juga
pasien CKD harus menjalani dialisa selama hidupnya (Smeltzer, Bare dan
Hinkle, 2008; Arfany, 2015). Namun, sering terjadi komplikasi akibat
hemodialisis, yaitu dengan semakin lamanya pasien menjalani hemodialisis maka
akan semakin sering terpapar oleh efek samping dari hemodialisis baik akut
maupun kronis seperti dialysis diserquilibrium syndrome dan perubahan tekanan
darah (Lee dan Ganiesh, 2011; Rustanti, 2012; Sulistini, dkk, 2012). Yayasan
Ginjal Diantrans Indonesia (YGDI) menjelaskan hemodialisis diperlukan ketika
fungsi ginjal seseorang sudah mencapai tahap terakhir (stage 5) dari CKD
(Smeltzer dan Bare, 2008; Suryarinilsih, 2010; Sulistini, dkk, 2012). Pasien gagal
ginjal dengan stadium akhir yang menjalani hemodialisa harus membatasi asupan
cairan. Hal ini untuk mencegah kelebihan cairan antara sesi dialisis.

2
Pembatasan asupan cairan yang harus di jalani pasien CKD dapat
menimbulkan keluhan rasa haus dan mulut kering. Untuk mengurangi haus pada
pasien yang menjalani hemodialisis tindakan yang bisa digunakan diantaranya
dengan frozen grapes, menyikat gigi, bilas mulut dengan obat kumur dingin,
mengunyah permen karet bebas gula, dan menghisap es batu (Salomo, 2006;
Arfany, 2015).
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka peneliti tertarik
melakukan penelitian tentang Pengaruh Menghisap Slimber Ice Terhadap
Intensitas Rasa Haus Pada Pasien Chronic kidney disease (CKD) yang Menjalani
Hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD Kota Bandung.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah ada pengaruh Menghisap Slimber Ice Terhadap Intensitas Rasa Haus
Pada Pasien Chronic kidney disease (CKD) yang Menjalani Hemodialisa di
Ruang Hemodialisa RSUD Kota Bandung?

1.3 Tujuan Umum


Mengidentifikasi Pengaruh Menghisap Slimber Ice Terhadap Intensitas Rasa
Haus Pada Pasien Chronic kidney disease (CKD) yang Menjalani Hemodialisa di
Ruang Hemodialisa RSUD Kota Bandung.

1.4 Manfaat
1. Bagi Rumah Sakit
Memberikan gambaran kepada rumah sakit dalam menjalankan tugas pokok
rumah sakit salah satunya peningkatan mutu pelayanan pasien terutama
dalam hal perawatan pasien hemodialisa.
2. Bagi Perawat
Dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman Pengaruh Menghisap
Slimber Ice Terhadap Intensitas Rasa Haus Pada Pasien Chronic kidney
disease (CKD) yang Menjalani Hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD
Kota Bandung.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Fisiologi Cairan Tubuh


Cairan merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia, yang
merupakan 60% dari rata-rata berat badan orang dewasa. Cairan sangat
penting dalam pengaturan fungsi tubuh, yaitu untuk membantu
mempertahankan suhu dan bentuk sel dan membantu dalam transportasi zat-
zat nutrisi, gas dan zat-zat sisa. Pemeliharaan komposisi dan volume cairan
tubuh dalam batas normal sangat penting untuk mempertahankan
homeostasis tubuh.
2.1.1 Distibusi Cairan Tubuh
Cairan tubuh didistribusikan ke dalam dua area atau
kompartemen yang berbeda, yaitu intrasel dan ekstrasel. Ke dua
kompartemen ini dipisahkan oleh dinding pembuluh darah dan
membran sel. Cairan intrasel terdiri dari semua cairan yang terdapat di
dalam sel-sel tubuh yang mengandung zat-zat terlarut yang penting
untuk keseimbangan cairan dan elektrolit dan metabolisme sel.
Cairan ekstrasel merupakan semua cairan di luar sel, yang dibagi
ke dalam dua kompartemen yang lebih kecil, yaitu cairan interstisial
dan cairan intravaskuler. Cairan interstisial merupakan cairan yang
terdapat di antara sel dan di luar pembuluh darah, sedangkan cairan
intravaskuler adalah plasma darah. Pada orang dewasa, kira-kira 40%
dari berat badannya adalah cairan intrasel dan 20% dari berat badannya
adalah cairan ekstrasel. Distribusi cairan antara dua kompartemen ini
harus relatif konstan untuk mempertahankan keseimbangan cairan.
Cairan tubuh lainnya, yang disebut cairan transel berada di dalam
serebrospinal, cairan pleura, di dalam sistem limfe, sendi dan mata.

4
Cairan ini umumnya tidak mempunyai pengaruh yang bermakna dalam
peningkatan atau kehilangan cairan tubuh (Crisp & Taylor, 2001;
Guyton & Hall, 2000; Kokko & Tannen, 1996; Black & Hawks, 2005).
2.1.2 Komposisi Cairan Tubuh
Cairan di dalam tubuh umumnya tidak ditemukan dalam keadaan
murni, tetapi mengandung zat-zat yang dikenal dengan elektrolit
(Christensen and Kockrow, 1998, dalam Crisp & Taylor 2001;
Munden, 2006). Elektrolit sangat penting untuk hampir semua reaksi
dan fungsi sel. Elektrolit merupakan elemen atau senyawa yang bila
dicairkan atau dilarutkan di dalam air atau pelarut lainnya, terurai
menjadi ion-ion dan mampu membawa arus listrik.
Elektrolit yang bermuatan positif disebut kation, misalnya
natrium, kalium, kalsium dan magnesium, sebaliknya elektrolit
bermuatan negatif disebut anion, misalnya bicarbonat, klorida, dan
phosphat. Muatan listrik ini memungkinkan sel untuk berfungsi
normal. Jumlah total anion dan kation dalam masing-masing
kompartemen haruslah sama walaupun akumulasi elektrolit di dalam
cairan intrasel dan ekstrasel berbeda (Crisp & Taylor, 2001; Munden,
2006, Brown & Edwards, 2005). Protein umumnya mempunyai muatan
negatif sehingga dikelompokkan ke dalam anion (Brown & Edwards,
2005).
2.1.3 Pergerakan Cairan Tubuh
Cairan dan zat terlarut atau elektrolit secara konstan bergerak dan
berpindah antar kompartemen untuk mempermudah proses tubuh
seperti oksigenasi jaringan, keseimbangan asam basa dan pembentukan
urine melalui membran sel yang memisahkan ke dua kompartemen
tersebut. Membran sel bersifat permeabel selektif, sehingga air secara
bebas dapat melewati membran sel dan bergerak dari satu
kompartemen ke kompartemen lain. Sebaliknya, ion-ion tidak dapat
melewati membran sel dengan mudah.

5
Pergerakan cairan tubuh dan elektrolit antara cairan intrasel dan
ekstrasel terjadi melalui berbagai proses yang berbeda. Cairan bergerak
melalui dua kekuatan yaitu tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik.
Elektrolit bergerak menurut konsentrasinya, yaitu menuju area dengan
konsentrasi yang lebih rendah dan menurut gradien listrik mereka,
yaitu menuju area dengan muatan listrik yang berlawanan. Proses
perpindahan ini berupa difusi sederhana, difusi yang difasilitasi dan
transpor aktif (Brown & Edwards, 2005; Crisp & taylor, 2001;
Munden, 2006).
2.1.4 Pengaturan Cairan Tubuh
Cairan tubuh diatur oleh asupan cairan, regulasi hormonal, dan
pengeluaran cairan. Keseimbangan fisiologis ini disebut homeostatis
(Horne and others, 1997 dalam Crisp & taylor, 2001). Dalam kondisi
sehat, tubuh mampu berespon terhadap gangguan dalam keseimbangan
cairan dan elektrolit untuk mencegah atau memperbaiki kerusakan.
2.1.5 Asupan Cairan
Asupan cairan terutama diatur melalui mekanisme haus dan
regulasi hormonal (Crisp & Taylor, 2001; Guyton, 1994). Rata-rata
asupan cairan orang dewasa adalah kira-kira 2200 hingga 2700 ml
perhari, yang terdiri dari asupan oral kira-kira 1100 hingga 1400 ml,
makanan padat kira-kira 800 hingga 1000 ml, dan metabolisme
oksidatif 300 ml perhari (Horne and others, 1997 dalam Crisp & taylor,
2001).
2.1.6 Regulasi hormonal
Hormon mengatur asupan cairan melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Antidiuretik hormone (ADH)
Antidiuretik hormon dihasilkan oleh hipotalamus dan
disimpan di dalam kelenjer pituitary posterior dan dilepaskan
sebagai respon terhadap perubahan dalam osmolaritas darah
(Crisp & Taylor, 2001; Munden, 2006). Osmoreseptor di
dalam hipotalamus terstimulasi bila terjadi peningkatan

6
osmolaritas untuk melepaskan hormon ADH. ADH bekerja
secara langsung pada tubulus renal dan collecting duct untuk
membuatnya lebih permeabel terhadap air. Hal ini sebaliknya
menyebabkan air kembali ke sirkulasi sistemik, yang
melarutkan darah dan menurunkan osmolaritasnya.Saat tubuh
mencoba untuk mengkompensasi, maka akan terjadi
penurunan haluaran urine sementara. Bila darah telah
diencerkan dengan cukup, osmoreseptor berhenti melepaskan
ADH dan haluran urine dikembalikan ke keadaan normal
(Crisp & taylor, 2001).
b. Aldosteron
Aldosteron dilepaskan oleh korteks adrenal sebagai
respon terhadap peningkatan kadar kalium plasma atau
sebagai bagian dari mekanisme renin-angiotensin-aldosteron
untuk menetralkan hipovolemia. Aldosteron beraksi pada
bagian distal tubulus ginjal untuk meningkatkan reabsorpsi
natrium dan sekresi dan eksresi kalium dan hidrogen. Karena
aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium dari
tubulus ginjal, maka akan terjadi reabsorpsi air bersama-sama
dengan naiknya volume cairan ekstrasel. Dengan demikian,
pelepasan aldosteron bertindak sebagai regulator volume
(Horne and Others, 1997 dalam Crisp & Taylor, 2001;
Guyton, 1994).
c. Renin
Enzim proteolitik yang disekresikan oleh ginjal,
berespon terhadap penurunan perfusi ginjal akibat penurunan
volume ekstrasel. Renin bertindak untuk mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang menyebabkan
terjadinya vasokontriksi. Angiotensin I dengan segera diubah
menjadi angiotensin II. Angiotensin II kemudian
menyebabkan vasokonstriksi banyak pembuluh darah selektif

7
yang masif dan merelokasi dan meningkatkan aliran darah ke
ginjal, yang meningkatkan perfusi ginjal. Angiotensin II juga
menstimulasi pelepasan aldosteron bila konsentrasi natrium
rendah (Weldy, 1996 dalam Crisp & Taylor, 2001).

Pengeluaran Cairan
Pada orang yang sehat, jumlah asupan cairan dan
pengeluaran cairan kira- kira sama. Pengeluaran cairan terjadi
melalui empat organ, yaitu ginjal, kulit, paru-paru dan saluran
pencernaan. Kehilangan cairan melalui kulit, paru-paru dan
saluran pencernaan disebut dengan insensible water loss.
1. Ginjal merupakan organ pengatur keseimbangan cairan
utama. Ginjal menerima kira-kira 180 Liter plasma setiap
hari dan menghasilkan 1200 hingga 1500 ml urine. Jumlah
haluaran urine untuk semua usia secara umum adalah kira-
kira 1 mL per kilo gram berat badan per jam (1mL/kg/jam)
(Crisp & Taylor, 2001; Smeltzer, et al, 2008).
2. Kehilangan cairan melalui kulit diatur oleh sistem saraf
simpatis, yang mengaktivasi kelenjer keringat. Cairan yang
hilang melalui kulit dapat berupa kehilangan cairan yang
dapat dilihat dan tidak dapat dilihat. Rata-rata 500 hingga
600 mL cairan yang terlihat dan tidak terlihat hilang
melalui kulit setiap hari. (Horne and others, 1997 dalam
Crisp & taylor, 2001).
3. Paru mengeluarkan kira-kira 400 mL cairan per hari.
Kehilangan cairan yang tidak dapat dilihat ini dapat
meningkat sebagai respon terhadap perubahan frekuensi
dan kedalaman pernafasan. Peralatan untuk pemberian
oksigen juga dapat meningkatkan kehilangan cairan yang

8
tak terlihat dari paru-paru (Crisp & Taylor, 2001; Smeltzer
et al, 2008).
4. Saluran pencernaan memainkan peranan yang penting
dalam pengaturan cairan. Kira-kira 8 Liter cairan perhari
berpindah ke dalam saluran pencernaan dan kemudian
kembali lagi ke cairan ekstrasel. Pada kondisi normal,
orang dewasa hanya kehilangan rata-rata 100 hingga 200
mL perhari melalui feses. Namun, dalam kondisi sakit,
seperti diare, saluran pencernaan menjadi tempat terbesar
kehilangan cairan dalam jumlah yang besar (Crisp &
Taylor, 2001; Smeltzer et al, 2008).

2.2 Sensasi Haus


2.2.1 Definisi Haus
Menurut Guyton & Hall (2000), haus merupakan keinginan secara
sadar terhadap cairan. Defenisi haus juga digambarkan sebagai sebuah
simptom. Porth & Erikson (1992) mendefenisikan haus sebagai simptom
atau sensasi yang bersifat subjektif terkait dengan keinginan terhadap
cairan. Karena bersifat subjektif, penggunaan metode self-report untuk
mengukur sensasi haus merupakan hal yang tepat.
Haus sebagai simptom, berarti haus yang dirasakan oleh seseorang
tidak dapat dideteksi oleh orang lain. Evaluasi simptom dilakukan
berdasarkan pernyataan seseorang tentang simptom mereka. Pengukuran
intensitas haus dapat dilakukan dengan menggunakan Visual Analogue
Scale dengan rentang skala 0 – 100 secara kontinum dalam garis
vertical. Ujung paling bawah dengan nilai 0 diberi kategori “tidak haus
sama sekali” dan ujung paling atas dengan nilai 100 diberi kategori
“sangat haus sekali”. Intepretasi hasil pengukuran intensitas visual
analogue scale tersebut adalah sebagai berikut (Heidbreder, 1990 dalam
Mistiaen, 2001):
a. Nilai 0 – 20 : Tidak haus

9
b. Nilai >20 – 50 : Haus ringan
c. Nilai >50 – 80 : Haus sedang
d. Nilai >80 –100 : Haus berat

2.2.3 Fisiologi Haus


Haus merupakan sensasi umum yang didasarkan pada
gabungan aksi beberapa jenis sensor, beberapa di dalam perifer
dan lainnya pada sensor sistem saraf pusat. Pusat kontrol haus
terletak di dalam hipotalamus. Diencephalons, khususnya
hipotalamus, memainkan peran yang dominan dalam
mengintegrasikan input aferen yang banyak ini (Schmidt &
Thews, 1989). Hipotalamus terstimulasi bila osmolaritas
meningkat, cairan hilang secara berlebihan dan terjadi
hipovolemia, stimulasi mekanisme renin-angiotensin-aldosteron,
penurunan kadar kalium, faktor-faktor psikologis dan kekeringan
oropharingeal. Secara fisiologis, kehilangan cairan baik dari
intrasel maupun ekstrasel akan merangsang rasa haus, yang
disebut dengan haus osmometrik dan haus volumetrik (Kokko &
Tannen, 1996; Carlson, 2001).
2.2.4 Haus osmometrik
Rangsangan dasar untuk merangsang pusat haus adalah
dehidrasi intrasel, sehingga setiap faktor yang menimbulkan
keadaan dehidrasi intrasel akan menimbulkan sensasi haus. Pada
keadaan ini akan terjadi peningkatan osmolaritas dari cairan
ekstrasel, dan bila osmolaritas meningkat, hipotalamus
terstimulasi (Guyton, 1994; Crisp & Taylor, 2001). Kehilangan air

10
secara fisiologis (urine, keringat, penguapan saat bernafas),
menyebabkan kehilangan cairan dari kompartemen ekstra dan
intrasel, yang menyebabkan hipertonisitas osmotik.
Sekresi saliva yang berkurang, yang menyebabkan
perasaan kering di mulut dan tenggorokan, merupakan
karakteristik dari haus. Dengan adanya reseptor (sensor intrasel,
sensor ekstrasel, sensor di dalam mulut dan tenggorokkan) yang
sesuai, kekurangan cairan dapat diukur secara intrasel, dengan
volume atau tekanan osmotik sel, dengan volume atau tekanan
osmotik cairan ekstrasel, dan secara langsung dengan penurunan
sekresi saliva dan kekeringan mukosa mulut dan faring (Schmidt
& Thews, 1989). Schmidt & Thews, (1989) menjelaskan bahwa
struktur neural yang bertanggung jawab untuk mengatur
keseimbangan garam dan cairan terletak di dalam diencephalons,
khususnya di dalam hipotalamus dan daerah sekitarnya. Ada
sejumlah osmoreseptor, khususnya di dalam area di depan
hipotalamus, yang diaktivasi oleh peningkatan konsentrasi garam
intrasel bila sel kehilangan cairan.
Stimulasi listrik dari struktur neural yang sama juga
menyebabkan minum yang memanjang. Dalam banyak penelitian,
ablasi atau koagulasi kumpulan struktur hipotalamus tertentu telah
menyebabkan penurunan atau penghentian minum walaupun
cairan tubuh berkurang (adipsia). Semua hasil ini menunjukkan
bahwa osmoreseptor di dalam diencephalons, khususnya di dalam
area anterior dari hipotalamus, berperan sebagai sensor untuk haus
yang disebabkan oleh kekurangan cairan tubuh. Struktur neuronal
di dalam hipotalamus memainkan peranan yang penting dalam
pemrosesan informasi dari osmoreseptor (osmosensor) tersebut.
2.2.5 Haus volumetric
Sensor yang mendasari haus yang ditimbulkan oleh
kurangnya cairan di dalam rongga ekstrasel adalah stretch

11
reseptor, yang ada di dinding pembuluh darah vena di dekat
jantung. Stretch reseptor, disamping berpengaruh pada sirkulasi,
juga berpartisipasi dalam pengaturan keseimbangan cairan dan
induksi haus. Hipotalamus merupakan pusat pemrosesan yang
penting untuk sinyal-sinyal yang dibawa di dalam vagal aferen
dari stretch reseptor ke sistem saraf pusat.
Mekanisme neuronal yang membangkitkan haus juga
diperkuat oleh faktor-faktor hormonal. Dehidrasi ekstrasel
menyebabkan pelepasan renin sehingga terbentuk angiotensin II.
Angiotensin II mempunyai efek dipsogenik yang kuat, yang dapat
merangsang pusat haus . Pemberian angiotensin II secara intravena
atau pemberiannya langsung ke berbagai bagian hipotalamus,
termasuk organ subfornical yang dipercaya sebagai lokasi aksi
dipsogenik angiotensin II, menimbulkan rasa haus yang hebat
(Kokko & Tannen, 1996; Schmidt & Thews, 1989; Fitzsimons,
1998; Witherspoon, 1984).
Mulut yang kering yang disebabkan penurunan aliran
saliva diberi tanda oleh sensor-sensor yang ada di mukosa
oropharingeal (mekanoreseptor, reseptor dingin dan hangat, dan
mungkin reseptor air). Jika reseptor ini terangsang tanpa disertai
defisiensi cairan yang menyeluruh di dalam tubuh, seperti pada
saat berbicara, merokok, bernafas melalui mulut atau memakan
makanan yang sangat kering, maka akan timbul haus (Schmidt &
Thews, 1989). Pada kondisi-kondisi tertentu dapat terjadi haus
yang patologis, yang mendorong pasien minum berlebihan tanpa
adanya stimulus haus yang fisiologis, misalnya (Black & Hawks,
2005; Fitzsimons, 1998; Kokko & Tannen, 1996) :
1) Psychogenic polydipsia seperti pada beberapa pasien psikiatri
2) Haus yang disebabkan oleh peningkatan kadar Angiotensin II
seperti pada gagal ginjal, gagal jantung, renal artery stenosis,
Wilms’ tumor

12
3) Kondisi hypokalemia dan hiperkalsemia.
4) Gangguan sistem saraf pusat seperti pada pasien cedera kepala
berat
5) Pasien dengan thyrotoxicosis
6) Pasien Diabetes Melitus
7) Diabetes Insipidus

2.2.6 Memuaskan Rasa Haus


Rasa haus akan mendorong seseorang untuk minum. Minum
merupakan mekanisme koreksional yang menggantikan simpanan cairan
tubuh yang hilang, yang terdiri dari aktivitas-aktivitas yang pada
puncaknya adalah menelan cairan Minum sering terjadi sebagai hasil dari
kebiasaan atau alasan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan rasa
haus. Minum yang didorong oleh kekurangan cairan yang relatif atau
absolut di dalam salah satu ruang cairan tubuh disebut minum primer,
sedangkan minum yang tidak untuk penggantian cairan disebut minum
sekunder (Porth, 1998; Schmidt & Thews, 1989).
Perilaku minum dikontrol oleh suatu mekanisme yang disebut
mekanisme satiety atau kekenyangan. Segera setelah minum, seseorang
dapat terbebas dari rasa haus untuk sementara waktu, bahkan sebelum
cairan yang diminum diserap dari saluran pencernaan (Carlson, 2001;
Guyton, 1994). Schmidt & Thews (1989) menjelaskan bahwa terdapat
keterlambatan yang disadari antara saat minum dimulai dengan waktu
dihilangkannya defisiensi cairan di dalam ruang intrasel, di mana air
tersebut pertama harus diserap dulu dari saluran pencernaan dan dikirim
ke aliran darah. Hasil pengamatan yang umum menunjukkan bahwa

13
perasaan haus berhenti (minum berhenti) jauh sebelum kompensasi
defisiensi cairan di kompartemen ekstrasel dan intrasel terjadi. Sinyal
untuk mengakhiri minum ini tidak begitu dimengerti (Kandel, Schwartz &
Jessell, 2000), namun ada suatu mekanisme untuk mencegah asupan
cairan berlebihan sampai cairan yang diabsorpsi menjadi efektif yaitu,
kekenyangan preabsorpsi (preabsorptive satiety) mendahului
kekenyangan postabsorpsi (postabsorptive satiety). Bila cairan ini telah
diserap sistem pencernaan ke dalam pembuluh darah, penggantian cairan
pun akhirnya terjadi, dan mekanisme satiety akan menghentikan perilaku
minum lebih lanjut.
Stimulasi pada oropharingeal dan memasukan cairan melalui
esophagus merupakan determinan awal yang penting dalam mengakhiri
minum (Kokko & Tannen, 1996). Rangsangan haus yang disebabkan
bukan oleh karena tubuh kekurangan air yang menyeluruh, seperti mulut
yang kering akibat berbicara, merokok, bernafas melalui mulut atau
memakan makanan yang sangat kering, maka rasa haus dapat dihilangkan
dengan membasahi mukosa mulut, tetapi pada kondisi haus sejati,
membasahi mulut dapat mengurangi rasa haus, tetapi tidak dapat
menghilangkannya (Schmidt & Thews, 1989). Hal tersebut disebabkan
karena reseptor-reseptor yang ada di mulut dan tenggorokkan memainkan
peran dalam menghilangkan haus, namun satiety yang dihasilkan oleh
reseptor-reseptor ini tidak berlangsung lama (Carlson, 2001).
Percobaan pada seseorang yang esophagusnya terbuka keluar
sehingga cairan yang diminumnya keluar dari esophagusnya dan tidak
pernah masuk ke dalam saluran pencernaan, rasa hausnya hilang sebagian
segera setelah minum, namun hanya berlangsung untuk sementara waktu,
dan rasa haus yang dirasakannya kembali timbul setelah 15 menit atau
lebih (Guyton, 1994). Saat haus telah dikenyangkan (postabsorptive
satiety), akan terdapat suatu waktu tertentu sebelum sensasi haus kembali
berulang, walaupun kehilangan air fisiologis secara lambat dan menetap
tetap terjadi. Dengan demikian, terdapat suatu ambang untuk haus, yang

14
pada manusia sebanding dengan jumlah cairan yang hilang yang
menimbulkan sensasi haus.
Secara fisiologis, kandungan air pada tubuh manusia berfluktuasi
antara batas maksimum, yang menyertai postabsorptive satiety, dan
minimum, yang dalam kondisi ideal berada di bawah ambang haus.
Fluktuasi normal di dalam kandungan cairan tubuh manusia sering lebih
besar dari ambang ini, karena itu manusia seringkali meminum cairan
lebih banyak daripada yang dibutuhkan dan tidak dapat memuaskan rasa
haus sesegera mungkin (Schmidt & Thews, 1989). Secara umum manusia
cendrung untuk mengkonsumsi cairan yang dibutuhkan secara fisiologis.
Sebagai contoh, cairan yang diminum saat dan setelah makan. Umumnya
minum lebih banyak terjadi terjadi saat makan. Jumlah cairan yang
diminum disesuaikan dengan jenis makanan yang dimakan, jika makanan
tersebut asin, seseorang akan minum lebih, walaupun tidak ada sensasi
haus yang terjadi. Minum yang terjadi saat makan disebabkan karena
kegiatan makan menyebabkan sebagian cairan tubuh dialihkan ke
lambung dan usus halus yang diperlukan untuk proses pencernaan, dan
saat makanan tersebut diserap, akan meningkatkan konsentrasi zat terlarut
di dalam plasma darah, yang menyebabkan timbulnya haus osmometrik.
Minum karena makan juga melibatkan histamin dan angiotensin II
(Carlson, 2001; Schmidt & Thews, 1989).

2.3 Chronic Kidney Disease (CKD)


2.3.1 Definisi
Chronic kidney disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal
yang progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu
memelihara metabolisme ,keseimbangan cairan, dan elektrolit yang
berakibat pada peningkatan ureum. Pada pasien gagal ginjal kronik
mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan, dan
memerlukan pengobatan berupa transplantasi ginjal, dialisis peritoneal,

15
hemodialisis, dan rawat jalan dalam jangka waktu yang lama (B & Hawk,
2014).
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis
didefinisikan sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan
atau tanpa penurunan glomerulus filtration rate (GFR) (Nahas & Levin,
2010). CKD atau chronic kidney disease didefinisikan sebagai kondisi
dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif,
irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam
mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit,
sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009).
Chronic kidney disease (CKD) merupakan kegagalan fungsi ginjal
untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan serta cairan dan
elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan
manifestasi penumpukan sisa metaboli (toksik uremik) didalam darah
(Arif & Kumala, 2011).
2.3.2 Etiologi
Chronic kidney disease disebabkan oleh glumerulonefritis kronis,
ARF, penyakit ginjal polikistik, obstruksi, episode pielonefritis berulang,
dan nefrotoksin. Penyakit iskemik, seperti diabetes melitus, hipertensi,
lupus eritematosus, poliarteritis, penyakit sel sabit, dan amiloidosis, dapat
menyebabkan chronic kidney disease. Diabetes melitus adalah penyebab
utama dan terjadi lebih dari 30% klien yang menerima dialisis. Hipertensi
adalah penyebab utama chronic kidney disease kedua (Black & Hawks,
2014).
2.3.3 Klasifikasi
Menurut Arif dan Kumala (2011), KDOQI (Kidney Disease
Outcome Quality Initiative)  pembagian CKD berdasarkan stadium dari
tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) :
1. Stadium 1   : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria
persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)

16
2. Stadium 2   : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG
antara 60 -89 mL/menit/1,73 m2)
3. Stadium 3   : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59
mL/menit/1,73m2)
4. Stadium 4   : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-
29mL/menit/1,73m2)
5. Stadium 5   : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau
gagal ginjal terminal.
2.3.4 Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi
volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam
keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan
ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan
yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena
jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi
produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi
lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira
fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang
demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih
rendah itu. (Barbara C Long, 1996) Fungsi renal menurun, produk akhir
metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin)
tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem
tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan
semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner
& Suddarth, 2001). Tinjauan mengenai perjalanan umum chronic kidney
disease dapat diperoleh dengan melihat hubungan antara bersihan
kreatinin dengan laju filtrasi (GFR) sebagai persentase dari keadaan yang

17
normal, terhadap kreatini serum dan kadar nitrogen urea darah (BUN)
karena massa nefron dirusak secara progresif.
Perjalan klinik secara umum pada gagal ginjal progresif dapat
dibagi menjadi tiga stadium yaitu :
1. Stadium pertama
Penurunan cadangan ginjal selama stadium ini kreatinin serum kadar
BUN normal, dan pasien asitomik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat
terdeteksi degan memberi beban kerja yang berat pada ginjal, seperti
tes pemekatan urin yang lama atau dengan mengadakan tes GFR.
2. Stadium kedua
Perkembangan disebut infusiensi ginjal, bila lebih dari 75% jaringan
yang berfungsi telah rusak (GFR 25% dari normal). Pada tahap ini
BUN baru mulai akan meningkat diatas batas normal dan kadar
kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Pada
stadium ini terjadi infusiensi ginjal maka akan timbul gejala-gejala
nokturia dan poliuria. Nokturin disebabkan hilangnya pola pemekatan
urin di urnal normal sampai tingkattan tertentu dimalam hari. Poliuria
terjadi peningkatan volume urin yang terus-menerus.
3. Stadium ketiga/tahap akhir gagal ginjal progresif
Penyakit ginjal stadium akhir (ERSD) terjadi apabila 90% dari
massanefron telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nerfon yang
masih utuh. Nilai GFR hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan
kreatinin serum dan kadar BUN akan menigkat dengan sangat
mencolok sebagai respon terhadap GFR yang mengalami sedikit
peurunan (Price & Wilson, 2006).
2.3.5 Manifestasi Klinis
Menurut Brunner dan Suddarth, (2001), gagal ginjal kronis setiap
sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan
memperlihatkan tanda dan gejala lain :
1) Manifestasi kardiovaskuler
a. Hipertensi

18
b. Gagal jantung kongestif
c. Edema pulmoner
d. Perikarditis
e. Pitting edema
2) Manifestasi dermatologi
a. Rasa gatal yang parah (pruritis)
b. Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik
3) Gejala gastrointestinal
a. Anoreksia
b. Mual, muntah
c. Cegukan
d. Nafas berbau ammonia
4) Manifestasi neuromuskuler
a. Perubahan tingkat kesadaran
b. Tidak mampu berkonsentrasi
c. Kedutan otot dan Kejang
5) Manifestasi Pencernaan
a. Polidipsi
b. Adanya pembatasan cairan
Menurut Kowalak (2017), Komplikasi yang mungkin terjadi pada chronic
kidney disease meliputi:
1. Anemia.
2. Neuropati perifer.
3. Komplikasi kardiopulmoner.
4. Komplikasi GI.
5. Disfungsi seksual.
6. Defek skeletal.
7. Parastesia.
8. Disfungsi saraf motorik, seperti foot drop dan paralisis flasid.
9. Fraktur patologis.
2.3.6 Pemeriksaan Penunjang

19
1. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
1) Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan
adanya massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
2) Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis.
3) Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4) EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa.
2. Foto Polos Abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.
3. Pielografi Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal
ginjal pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.

4. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi sistem
pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi
sistem pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
5. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan (vaskuler,
parenkhim) serta sisa fungsi ginjal
6. Pemeriksaan Radiologi Jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
7. Pemeriksaan radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi metatastik
8. Pemeriksaan radiologi Paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
9. Pemeriksaan Pielografi Retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible

20
10. EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia).
11. Biopsi Ginjal
Dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau
perlu untuk mengetahui etiologinya.
12. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal diantara
lain:
1) Laju endap darah
2) Urin
(1) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine
tidak ada (anuria).
(2) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh
pus / nanah, bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat, sedimen kotor,
warna kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin, dan
porfirin.
(3) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
(4) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg
(5) menunjukkan kerusakan tubular, amrasio urine / ureum sering 1:1.
3) Ureum dan Kreatinin
Ureum: Kreatinin: Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar
kreatinin 10 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
4) Hiponatremia
5) Hiperkalemia
6) Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
7) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
8) Gula darah tinggi
9) Hipertrigliserida
10) Asidosis metabolik
Marilynn E. Doenges, (2001)

21
2.3.7 Penatalaksanaan
Penderita chronic kidney disease (GGK) memerlukan terapi yang bertujuan
untuk menunjang kehidupanya yaitu terapi hemodialisis (HD) atau cangkok
ginjal. Bagi pasien chronic kidney disease, terapi hemodialisis harus dilakukan
seumur hidupnya (Muhammad, 2012).
Menurut Price & Wilson (2006), pengobatan chronic kidney disease dapat
dibagi menjadi 2 (dua) tahap, yaitu tindakan konservatif dan dialisis atau
transplantasi ginjal.
a. Tindakan Konservatif
Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk meredakan atau
memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif, pengobatan antara lain :
1) Pengaturan diet protein, kalium, natrium, dan cairan,
2) Pencegahan dan pengobatan komplikasi; hipertensi, hiperkalemia,
anemia, asidosis,
3) Diet rendah fosfat.

b. Pengobatan hiperurisemia
Adapun jenis obat pilihan yang dapat mengobati hiperuremia pada penyakit
gagal ginjal lanjut adalah alopurinol. Efek kerja obat ini mengurangi kadar
asam urat dengan menghambat biosintesis sebagai asam urat total yang
dihasilkan oleh tubuh.
c. Dialisis
1) Hemodialisa
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek
(beberapa hari sampai beberapa minggu) atau pada pasien dengan
chronic kidney disease stadium akhir atau End Stage Renal Desease
(ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Sehelai
membran sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerulus serta
tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu
fungsinya itu.

22
2) CAPD
Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) merupakan salah
satu cara dialisis lainnya, CAPD dilakukan dengan menggunakan
permukaan peritoneum yang luasnya sekitar 22.000 cm2. Permukaan
peritoneum berfungsi sebagai permukaan difusi.
d. Menghisap es batu (Slimber Ice)
Pembatasan asupan cairan yang harus di jalani pasien CKD dapat
menimbulkan keluhan rasa haus dan mulut kering. Untuk mengurangi haus
pada pasien yang menjalani hemodialisis tindakan yang bisa digunakan
dengan Slimber Ice sesuai jurnal yang telah diteliti oleh Dasuki & Buhari
Basok (2018) Pengaruh Menghisap Slimber Ice Terhadap Intensitas Rasa
Haus Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa.
e. Transplantasi Ginjal (TPG)
Tranplantasi ginjal telah menjadi terapi pilihan bagi mayoritas pasien dengan
penyakit renal tahap akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi
ginjal sudah jelas terbukti lebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama
dalam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu diantaranya adalah
tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik.
2.3.8 Pencegahan
Untuk mencegah atau mengurangi perkembangan chronic kidney diseas
1) Minumlah air dalam jumlah yang cukup untuk menjaga angka keluaran
urine yang baik (bisa mampu mencegah batu ginjal dan infeksi saluran
kemih)
2) Memerhatikan kebersihan pribadi untuk mencegah infeksi saluran
kemih. Perempuan dan anak anak lebih rentan terhadap infeksi saluran
kemih (karena uretra yang pendek)
3) Kendali pola makan yang baik. Hindari asupan garam berlebih dan
daging, hindari asupan kalsium yang tinggi dan makanan oksalat untuk
pasien penderita CKD
4) Jangan menyalahgunakan obat- obatan, misalnya obat penghilang rasa
sakit, untuk rheumatoid dan antibiotic

23
5) Cegah komplikasi dari penyakit awal, misalnya DM, Hipertensi, dll.
Kadar gula darah dan tekanan darah harus dikendalikan dengan baik
6) Perbaiki penyebab obstruksi saluran kemih, misalnya buang batu ginjal
dan cobalah untuk memperbaiki penyebab awalnya
7) Lakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala. Tes urin bisa
mendeteksi penyakit ginjal stadium awal. Jika pasien menderita
hematuria (darah dalam urin) atau albumuria (albumin dalam urin) maka
klien harus memeriksakan kesehatannya sesegera mungkin.
Sumber: Chronic Renal Disease Indonesian, 2016. Hospital Authority

24

Anda mungkin juga menyukai