Anda di halaman 1dari 13

Makalah Ilmu Tasawuf

Tasawuf ‘Irfani

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Tasawuf

Dosen Pengampu : Dr. Dian Siti Nurjanah, M.Ag

Disusun oleh Kelompok V (IAT/3/E) :

 Chandra Gita Tresna (1171030037)


 Dion Prayoga ()
 Ira Ri’ayatul Khotimah
 Khadafi Ilyasa
 Sina Lailatul Hamidah

Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir


Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
2018
Kata Pengantar
Segala puji kami panjatkan kepada Allah swt. Karena atas izin-Nya lah kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tasawuf Irfani”. Makalah ini berisi
mengenai epistimologi khas sufi yang tidak lain adalah irfani, metode-metode, serta
tokoh-tokoh yang mewarnai tasawuf irfani.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu tasawuf. Selain
itu, materi yang terdapat dalam makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
diskusi Bersama agar lebih dapat memahami apa itu tasawuf irfani. Disamping itu,
kami menyadari bahwa dalam tersusunnya makalah ini, terdapat banyak kekurangan
dalam hal kelengkapan materi atau kurang secara sistematika. Untuk itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun saat diskusi agar kekurangan
tersebut dapat diperbaiki.
Bandung, 25 November 2018
Kelompok 5
Daftar Isi

Kata Pengantar.........................................................................................................2
Daftar Isi..................................................................................................................3
Bab I Pendahuluan...................................................................................................4
Bab II Isi..................................................................................................................5
A. Irfani dalam Tasawuf.........................................................................................
B. Qalb Sebagai Sarana Irfani................................................................................
C. Prosedur Tasawuf Irfani....................................................................................
D. Istilah Penting dalam Tasawuf .........................................................................
E. Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani............................................................................

Bab III Penutup........................................................................................................

Daftar Pustaka..........................................................................................................
Bab I

Pendahuluan

Tasawuf Irfani merupakan tasawuf yang berlandaskan pada aspek kebathinan


seseorang. Dimana pengetahuan didapat melalui sarana hati, dan segala aspek batin
lainnya yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang mengalaminya. Pengetahuan
tersebut akan sulit untuk diterjemahkan dalam Bahasa teks maupun secara lisan.
Karena titik beratnya adalah pasa rasa yang didapat dari pengalaman spiritual yang
dimiliki seseorang.

Jika diambil sebuah contoh sederhana misalnya, seseorang tidak dapat


menggambarkan bagaimana ketenangan hati yang dirasakannya dalam ibadah dan
dari buah perasaan sabarnya terhadap cobaan. Hal ini merupakan sisi indah dan khas
yang dimiliki tasawuf. Secara metodis, epistimologi irfani merupakan konsep
pengetahuan yang hanya ada dalam Islam dan merupakan pengetahuan yang tinggi
serta tidak terikat dalam kajian objek maupun subjek, karena dalam tasawuf
pengetahuan datang langsung dari Allah swt, dan hanya dapat dirasakan oleh orang
tertentu. Untuk itu, baiknya bagi kita untuk mempelajari bagaimana epistimologi
dalam tasawuf ini. Karena seperti yang kita tahu, bahwa tokoh-tokoh sufi penting
seperti Rabiyah Al-Adawiyah, Dzun Al-Nun Al-Mishri, Hasan Al-Bashri, dan lainnya
merupakan orang-orang mulia yang menempuh jalan kesufian, serta menganut
epistimologi irfani. Pada epistimologi irfani, biasanya beberapa sufi menggunakan
simbol-simbol tertentu sebagai upaya penjelasan apa yang dirasakannyaa, sekali pun
simbol yang diutarakan masih membutuhkan penjelasan tertentu. Seperti ungkapan
cahaya, kebersatuan, atau pun lainnya.
Bab II

Pembahasan

A. Irfani dalam Tasawuf


Keunikan tasawuf dengan ilmu-ilmu lainnya adalah karena model
pengetahuannya yang didapatkan dari pengalaman spiritual (spiritual experience)
yang dalam suatu masa akan merasakan bagaimana fana’ pada realitas absolut.
Pengalaman spiritual ini akan susah dijelaskan dengan Bahasa yang biasa karena hal
yang dialami bersifat pengalaman bathiniyah yang natural. Epistimologi tasawuf
disebut dengan irfani.
Tasawuf merupakan ilmu yang tidak bisa hanya dilalui dengan persepsi indra
(idrak al-hawas), dan proses akal sehat (ta’aqul). Melainkan dilalui dengan
pengalaman intuitif hati (adz-dzawq al-qalbiy) yang diperoleh melalui penyucian hati
dari sifat-sifat jeleknya, serta dengan riyadhah dan mujahadah diri.
Pengalaman bathiniyah seseorang melalui tasawuf ini, akan mengantarkannya
pada ketenangan jiwa (An-nafs al-muthmainnah) yang mana peristiwa ini tidak dapat
disampaikan melalui Bahasa.
Irfani secara etimologis, berasal dari bahawa arab ‘Irfan yang merupakan kata
yang semakna dengan ma’rifah. Dalam Bahasa Yunani, Irfan disebut dengan gnosis
yakni pengetahuan yang diperoleh melalui berfikir (tafakkur), dan berkontemplasi
(tadabbur). Dalam Bahasa arab, ma’rifah berbeda dengan ilmu. Menurut Alparslan,
ilmu diperoleh melalui akal, sedangkan ma’rifah didapat melalui hati.1
B. Qalb Sebagai sarana ‘Irfani
Hati, atau dalam Bahasa Arab disebut dengan qalb adalah sarana dalam
mendapatkan pengetahuan sufi (‘irfani). Dimana, dalam Al-Qur’an kata “Qalb”
disebutkan sebanyak 130 kali dan tersebar dalam 45 surat dan 112 ayat, dan
maknanya yang berbeda sesuai posisinya dalam sebuah ayat.
Dalam tasawuf, hati merupakan instrumen penting yang dengannya manusia
dapat mencapai ma’rifatullah. Hati dalam pandangan sufi, bukan hanya tempat
beraadanya rasa cinta (hubb), perasaan (‘athifah), melainkan sebagai tempat
pengetahuan dan mengetahui (idzrak), dan tempat intuisi (dzauq). 2Untuk itu, fungsi

1
Ryandi, 2015, “Epistemologi ‘Irfani dalam Tasawwuf”. Analytica Islamica. Vol. 4, No.1, 2015, 89.
2
Ryandi, 2015, “Epistemologi ‘Irfani dalam Tasawwuf”. Analytica Islamica. Vol. 4, No.1, 2015, 89.
hati dalam tasawuf dapat dikatakan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada
Allah swt.
Hakim Tirmidhi, seorang sufi klasik abad ke-3 dan ke-4 hijriyah menyebut
an-nafs an-nathiqah sebagai entitas metafisik yang terdiri dari struktir batin, yakni
dada (shadr), hati (qalb), hati kecil (fu’ad), serta hati nurani (lubb).
Dada (shadr), merupakan sumber ilm’ ibarah dan tempat nafs ammarah juga
sebagai tempat Cahaya iman. Qalb (hati) adalah sumber ilm isyarah dan nafs
mulhamah erat kaitannya dengan cahaya islam. Lalu, hati kecil (fu’ad) merupakan
tempat penglihatan bathin (ar-ru’yah al-bathiniyah) dan tempat nafs lawwamah serta
berkaitan dengan cahaya ma’rifah. Dan yang terakhir adalah lubb, yakni sumber
shifat al-llahiyat dan tempatnya nafs muthma’innah serta berkaitan dengan cahaya
tauhid. Dengan demikian, maka qalb merupakan eksistensi ruhani manusia, dimana
potensi manusia seperti berpikir, memahami, mengetahui, juga mencapai
ma’rifatullah adalah dapat dilalui dengan sarana qalb. Inilah mengapa dalam tradisi
sufi, pembersihan atau penyucian hati adalah hal yang paling mendasar dan tujuan
utama dalam melaksanakan hidup. Jelaslah, bahwa epistimologi tasawuf, yakni
‘irfani, menjadikan hati sebagai sarana utamanya. 3
C. Prosedur Tasawuf ‘Irfani (Tajribah Bathiniyah)
Pengalaman kesufian didapatkan dengan latihan-latihan diri (riyadhah an-
nafs), pembersihan diri (tazkiyah an-nafs), dan sebagai usaha untuk menjadikan diri
lebih baik di hadapan Allah swt.
Maqamat, dapat pula diartikan sebagai tingkatan-tingkatan hidup sufi yang
telah dapat dicapai sufi untuk dekat dengan Allah swt. Menurut Al-Sarraj, maqamat
adalah tingkatan-tingkatan seorang hamba di hadapan Allah swt. Dalam hal ibadah,
mujahadah, dan riyadhah (memerangi dan menguasai hawa nafsu). Sikap hidup
seperti ini melekat pada akhlak dan perbuatan seseorang.
Prosedur ini dalam ilmu tasawwuf disebut dengan tingkatan-tingkatan
perjalanan spiritual yang disebut dengan maqamat. Maqamat secara Bahasa, diartikan
sebagai dimana sesuatu berdiri, yakni dimanakah kiranya seorang sufi berdiri.
Tingkatan spiritual ini menjadi cermin atas ruh manusia, kata Abu Bakr Al-Wasithi.
Tingkatan maqamat yang popular di kalangan sufi adalah sebagai berikut :4

3
Ryandi, 2015, “Epistemologi ‘Irfani dalam Tasawwuf”. Analytica Islamica. Vol. 4, No.1, 2015, 90.
4
Ryandi, 2015, “Epistemologi ‘Irfani dalam Tasawwuf”. Analytica Islamica. Vol. 4, No.1, 2015, 92.
1. Taubat
Para sufi sepakat dalam menempatkan taubat sebagai tingkatan pertama
dalam mendekatkan diri kepada Allah. Ibn Hamdan menyatakan bahwa taubat
adalah kembali dari sesuatu yang diketahui tercela kepada sesuatu yang terpuji.
Menurut Al-Ghazali, taubat adalah kembali dari kemaksiatan menuju keta’atan,
kembali dari jalan yang jauh ke jalan yang lebih dekat. Imam Al-haramain
mengartikan taubat sebagai meninggalkan keinginan untuk melakukan kejahatan
yang sama karena membesarkan Allah dan menghindari kemurkaan-Nya.
Dengan demikian, taubat bukanlah sebagai sarana untuk menghapus dosa,
melainkan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Taubat yang
dimaksud, adalah taubat yang sebenar-benarnya, dimana kita tidak akan
mengulangi perbuatan dosa. Taubat dimulai dengan meninggalkan dosa besar
hingga bersih, kemudian meninggalkan dosa-dosa kecil, perbuatan makruh, dan
juga syubhat.5
2. Zuhud
Zuhud artinya meninggalkan dunia dan hidup kematerian, bukan saja dari
yang haram tetapi juga dari yang halal 6. Zuhud merupakan stasion terpenting yang
harus dilalui. Tanpa jalan Zuhud, seseorang tidak akan mencapai derajat sufi.
Ahmad bin Hanbal membagi zuhud ke dalam tiga macam : (1) zuhud awam
dengan meninggalkan yang haram. (2) zuhud orang khawas dengan meninggalkan
yang halal. (3) zuhud orang arif dengan meninggalkan apa saja yang akan
menghalanginya dari Allah.
3. Sabar
Sabar, sebagaimana dikatakan oleh Abu Zakaria Al-Anshari, merupakan
kemampuan seseorang mengendalikan diri terhadap sesuatu yang terjadi, baik itu
disenangi maupun dibenci. Menurut Qasim Al-Junaidi, sabar adalah mengalihkan
perhatian dari urusan dunia kepada urusan akhirat. Al-Ghazali menyebutkan sabar
sebagai kondisi jiwa dalam mengendalikan nafsu yang terjadi karena dorongan
agama. Al-Ghazali membagi sabar ke dalam tiga tingkatan, :
a. Sabar tertinggi, yaitu sifat yang mampu menghadapi semua dorongan nafsu,
sehingga nafsu benar-benar dapat ditundukkan.

5
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hlm. 18
6
A.J Berry, Sufism an Account of The Mistic of Islam (London, Mandala Books, 1979), hlm. 76
b. Sabar orang-orang yang sedang dalam perjuangan. Pada tahapan ini, terkadang
seseorang dapat mengendalikan atau pun dikuasai hawa nafsu. Sehingga
bercampur antara yang baik dan yang buruk.
c. Tingkatan kesabaran terendah, yakni kuatnya hawa nafsu dan kalahnya
dorongan agama.
4. Tawakkal
Tawakkal secara Bahasa berarti keteguhan hati dalam menyerahkan urusan
kepada orang lain. Dapat dikatakan bahwa tawakal adalah sikap mental seorang
sufi yang berupa hasil dari keyakinannya yang kokoh kepada Allah. Karena
keyakinannya ini, seorang sufi menyerahkan segala urusannya kepada Allah,
sehingga hatinya tenang, tenteram, dan tidak timbul rasa curiga.
5. Ridha
Menurut Al-Qushairi, ridha adalah tidak menentang terhadap apa-apa yang
telah ditetapkan Allah. Menurut Ibnu Khafif, ridha adalah tenangnya hati dalam
menghadapi ketentuan-ketentuan Allah, hati menyesuaikan dan merasakan apa
yang diridhai Allah dan apa yang telah dipilihnya. Rabiyah Al-Adawiyah,
mengatakan bahwa ridha adalah ketika mendapat bencana, perasaan cinta kita
kepada Allah sama seperti halnya saat kita mendapatkan nikmat.
6. Mahabbah
Secara etimologis, mahabbah berasal dari kata hub yang artinya cinta,
yakni kecenderungan hati kepada apa yang disayangi. Dalam ajaran tasawuf,
mahabbah dimaksudkan sebagai perasaan cinta kepada Allah swt. . Harun
Nasution menjelaskan bahwa mahabbah merupakan sikap memeluk kapatuhan
kepada Tuhan dan memebenci sikan melawan kepada-Nya. Dan mengosongkan
hati dari segala-galanya kecuali diri yang dikasihi (Allah).
7. Ma’rifah
Ma’rifah merupakan tujuan pokok ajaran tasawuf yang dicapai dengan
mahabbah. Konsep ma’rifah menurut tasawuf merupakan pengetahuan paling
maksimal dalam pengalaman sufi dalam berkomunikasi dengan Tuhan dengan
hati sanubari. Menurut Dzun Al-Nun Al-Mishri, ma’rifah adalah cahaya yang
dilimpahkan Tuhan ke dalam hati seseorang.

D. Istilah-Istilah Penting dalam Tasawuf Irfani


1. Tingkatan (Strata) dalam beberapa komunitas kesufian
a. Murid
Menurut Al-Kalabazi dalam bukunya “At-Ta’aruf li al-Madzhabi Ahli
ash-Shaufiyah; menyatakan bahwa murid yaitu orang yang mencari
pengetahuan dan bimbingan dalam melaksanakan amal ibadahnya, dengan
memusatkan segala perhatian dan usahanya kearah itu melepas segala
kemauannya dengan menggantungkan diri dan nasibnta kepada Allah. (Al-
Kalabazi: 167)
Murid dalam dunia tasawuf ada tiga kelas yaitu :
 Mubtadi atau pemula, yaitu mereka yang baru mempelajari Syari’at.
 Mutawassith, adalah tingkat menengah, yaitu orang yang sudah dapat
melewati kelas pemula telah mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang Syari’at.
 Muntahi, adalah tingkat atas, yaitu orang yang telah matang ilmu
Syari’at sudah menjalani thariqat dan ilmu bathiniyah. Sudah bebas
dari perbuatan maksiat sehingga jiwanya bersih. Orang yang sudah
sampai kepada tingkat ini disebut orang ‘arif, yaitu orang yang sudah
diperkenankan mendalami ilmu hakikat. Sesudah itu iapun bebas dari
bimbingan guru, berjalan sendiri.
b. Syekh
Yaitu seorang pemimpin kelompok kerohanian, pengawas murid-
murid dalam segala kehidupannya, petunjuk jalan dan sewaktu-waktu
dianggap sebagai perantara anatara seorang murid dengan Tuhannya. Syekh
ini juga disebut mursyid, yaitu orang yang sudah melalui tingkat khalifah. Ia
adalah seorang yang mempunyai tingkat kerohanian yang tinggi, sempuran
imlu syari’atnya, matang ilmu hakikat dan ilmu ma’rifatnya. Dengan kata lain
seorang syekh adalah orang yang telah mencapai maqam rijalul kamal.
c. Wali dan quthub
Yaitu seorang yang telah mencapai ke puncak kesempurnaan bathin,
memperoleh ilmu laduni yang tinggi sehingga terisngkap tabir rahasia yang
ghaib-ghaib. Orang seperti ini akan memperoleh karunia dari Allah dan itulah
yang disebut wali. Jadi, seorang wali adalah orang yang telah mencapai
puncak kesempurnaan, kecintaan Allah. Karena pengabdian dan amalannya
yang luar biasa kepada Allah, ia memperoleh berbagai kemampuan yang luar
biasa, kemmapuan yang supra insanimsebagai karunia dari Allah. Menurut Al-
Kalabazi, inilah yang disebut karomah itu. (Al-Kalabazi: 89)
2. Syari’at
Syariat mereka artikan sebagai amalan-amalan lahir yang difardhukan
dalam agama, yang biasanya dikenal sebagai rukun Islamdan segala hal yang
berhubungan dengan itu. Bersumber dari Al-Quran dan sunnah Rasul. Seorang
yang ingin memasuki dunia tasawuf, harus lebih dulu mengetahui secara
mendalam tentang Al-Quran dan Hadits yang dimulai dengan amalan dzahir baik
aynag wajib maupun ynag sunnah. (H. Zaenal Arifin Abbas: 143)
3. Thariqat
Dalam melaksanakan syari’at tersebut diatas, haruslah dnegan tata cara
yang telah digariskan dalam agama dan dilakukan hanya karena penghambaan diri
kepada Allah, karena kecintaan kepada Allah dank arena ingin berjumpa dengan-
Nya. Perjalan menuju kepada Allah lah mereka sebut dengan Thariqat, yaitu
thariqat tasawuf. Perjlanan ini sudah mulai bersifat Bathiniyah, yaitu amalan
dzahir yang disertakan amalan bathin. (Hamka: 104)
4. Hakikat
Secara lughawi, hakikat berarti inti sesuatu, puncak atau sumber asal dari
sesuatu. Dalam dunia sufi, hakikat diartikan sebagai bathiniyah, berbeda dengan
syari’at yang bersifat lahiriyah. Dengan demikian dapat diartikan rahasia yang
paling dalam dari segala amal, inti dari syari’at dan akhir dari perjalanan yang
ditempuh oleh seorang sufi. (Al-Kalabazi: 158) Yang jelas, hakikat diperoleh
sebagai hikmah dan anugerah berkat ridho dan mujahadah. Ringkasnya, hakikat
adalah mengetahui inti yang paling dalam dari sesuatu sehingga tidak ada yang
tersembunyi baginya.
5. Ma’rifah
Dari segi bahasa, ma’rifah berarti pengetahuan atau pengalaman,
sedangkan dalam istilah sufi, ma’rifah itu diartikan sebagai pengetahuan mengenai
Tuhan melalui hati sanubari pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas
sehingga jiwanya itu merasa satu dengan yang diketahuinya itu. (Al-Kalabazi:
158-159)
Al-Mahabbah adalah satu istilah yang hamper selalu berdampingan dengan
ma’rifah, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau
ma’rifah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati, maka
mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhanmelalui cinta. Seluruh
jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh
kepada pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas dan
mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasabukan lagi cinta tetapi “diri yang
dicinta” . oleh karena itu menurut Al-Ghazali mahabbah itu mannisfestasi dari
ma’rifah kepada Tuhan.7
E. Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani

Bab III

Penutup

7
Proyek pembinaan IAIN Sumatera Utara & Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Aga,a Islam Departemen
Agama, Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/1982, Hlm. 122-129.
Tasawwuf merupakan ilmu pengetahuan yang berasal dari proses-proses seorang
manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Dalam struktur pengetahuannya,
tasawwuf berkaitan erat dengan epistimologi khas sufi yakni Irfani. Dimana pengetahuannya
berasal dari olah rasa yang ada di dalam qalb sehingga pengetahuan yang dihasilkan hanya
dapat dirasakan dan dilihat dari akhlak mulia seorang sufi. Kesenangan-kesenangan
bathiniyah yang ditempuh melalui berbagai maqam serta latihan membuahkan kenikmatan
berupa rasa tenang dan damai dalam hati. Selalu memupuk diri dengan kecintaan untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt.

Inti dari tasawuf Irfani adalah bahwa tasawwuf, dan berbagai ibadah di dunia ini kita
lakukan semata-mata untuk merasakan cinta Allah, dan segala keagungan-Nya. Hidup dalam
tuntunan syariat-Nya, serta selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Sehingga epistemology
irfani, melalui sarana qalb wadah yang amat penting dalam merasakan kedekatan kita kepada
Allah swt. Serta berbagai langkah yang diambil dalam setiap maqam akan disertai oleh rasa
bathiniyah yang merupakan hasil dari pengamalan spiritual yang luar biasa dalam mencapai
ma’rifatullah.

Daftar Pustaka
Ryandi. 2015. Epistemologi ‘Irfani dalam Tasawwuf. Analytica Islamica. 4 (1) : 84-105.

Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang.

Berry, A.J. 1979. Sufism an Account of The Mistic of Islam. London : Mandala Books.

Proyek pembinaan IAIN Sumatera Utara & Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama
Islam. 1981/1982. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera Utara : Departemen Agama.

Anda mungkin juga menyukai