Tasawuf ‘Irfani
Kata Pengantar.........................................................................................................2
Daftar Isi..................................................................................................................3
Bab I Pendahuluan...................................................................................................4
Bab II Isi..................................................................................................................5
A. Irfani dalam Tasawuf.........................................................................................
B. Qalb Sebagai Sarana Irfani................................................................................
C. Prosedur Tasawuf Irfani....................................................................................
D. Istilah Penting dalam Tasawuf .........................................................................
E. Tokoh-Tokoh Tasawuf Irfani............................................................................
Daftar Pustaka..........................................................................................................
Bab I
Pendahuluan
Pembahasan
1
Ryandi, 2015, “Epistemologi ‘Irfani dalam Tasawwuf”. Analytica Islamica. Vol. 4, No.1, 2015, 89.
2
Ryandi, 2015, “Epistemologi ‘Irfani dalam Tasawwuf”. Analytica Islamica. Vol. 4, No.1, 2015, 89.
hati dalam tasawuf dapat dikatakan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada
Allah swt.
Hakim Tirmidhi, seorang sufi klasik abad ke-3 dan ke-4 hijriyah menyebut
an-nafs an-nathiqah sebagai entitas metafisik yang terdiri dari struktir batin, yakni
dada (shadr), hati (qalb), hati kecil (fu’ad), serta hati nurani (lubb).
Dada (shadr), merupakan sumber ilm’ ibarah dan tempat nafs ammarah juga
sebagai tempat Cahaya iman. Qalb (hati) adalah sumber ilm isyarah dan nafs
mulhamah erat kaitannya dengan cahaya islam. Lalu, hati kecil (fu’ad) merupakan
tempat penglihatan bathin (ar-ru’yah al-bathiniyah) dan tempat nafs lawwamah serta
berkaitan dengan cahaya ma’rifah. Dan yang terakhir adalah lubb, yakni sumber
shifat al-llahiyat dan tempatnya nafs muthma’innah serta berkaitan dengan cahaya
tauhid. Dengan demikian, maka qalb merupakan eksistensi ruhani manusia, dimana
potensi manusia seperti berpikir, memahami, mengetahui, juga mencapai
ma’rifatullah adalah dapat dilalui dengan sarana qalb. Inilah mengapa dalam tradisi
sufi, pembersihan atau penyucian hati adalah hal yang paling mendasar dan tujuan
utama dalam melaksanakan hidup. Jelaslah, bahwa epistimologi tasawuf, yakni
‘irfani, menjadikan hati sebagai sarana utamanya. 3
C. Prosedur Tasawuf ‘Irfani (Tajribah Bathiniyah)
Pengalaman kesufian didapatkan dengan latihan-latihan diri (riyadhah an-
nafs), pembersihan diri (tazkiyah an-nafs), dan sebagai usaha untuk menjadikan diri
lebih baik di hadapan Allah swt.
Maqamat, dapat pula diartikan sebagai tingkatan-tingkatan hidup sufi yang
telah dapat dicapai sufi untuk dekat dengan Allah swt. Menurut Al-Sarraj, maqamat
adalah tingkatan-tingkatan seorang hamba di hadapan Allah swt. Dalam hal ibadah,
mujahadah, dan riyadhah (memerangi dan menguasai hawa nafsu). Sikap hidup
seperti ini melekat pada akhlak dan perbuatan seseorang.
Prosedur ini dalam ilmu tasawwuf disebut dengan tingkatan-tingkatan
perjalanan spiritual yang disebut dengan maqamat. Maqamat secara Bahasa, diartikan
sebagai dimana sesuatu berdiri, yakni dimanakah kiranya seorang sufi berdiri.
Tingkatan spiritual ini menjadi cermin atas ruh manusia, kata Abu Bakr Al-Wasithi.
Tingkatan maqamat yang popular di kalangan sufi adalah sebagai berikut :4
3
Ryandi, 2015, “Epistemologi ‘Irfani dalam Tasawwuf”. Analytica Islamica. Vol. 4, No.1, 2015, 90.
4
Ryandi, 2015, “Epistemologi ‘Irfani dalam Tasawwuf”. Analytica Islamica. Vol. 4, No.1, 2015, 92.
1. Taubat
Para sufi sepakat dalam menempatkan taubat sebagai tingkatan pertama
dalam mendekatkan diri kepada Allah. Ibn Hamdan menyatakan bahwa taubat
adalah kembali dari sesuatu yang diketahui tercela kepada sesuatu yang terpuji.
Menurut Al-Ghazali, taubat adalah kembali dari kemaksiatan menuju keta’atan,
kembali dari jalan yang jauh ke jalan yang lebih dekat. Imam Al-haramain
mengartikan taubat sebagai meninggalkan keinginan untuk melakukan kejahatan
yang sama karena membesarkan Allah dan menghindari kemurkaan-Nya.
Dengan demikian, taubat bukanlah sebagai sarana untuk menghapus dosa,
melainkan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Taubat yang
dimaksud, adalah taubat yang sebenar-benarnya, dimana kita tidak akan
mengulangi perbuatan dosa. Taubat dimulai dengan meninggalkan dosa besar
hingga bersih, kemudian meninggalkan dosa-dosa kecil, perbuatan makruh, dan
juga syubhat.5
2. Zuhud
Zuhud artinya meninggalkan dunia dan hidup kematerian, bukan saja dari
yang haram tetapi juga dari yang halal 6. Zuhud merupakan stasion terpenting yang
harus dilalui. Tanpa jalan Zuhud, seseorang tidak akan mencapai derajat sufi.
Ahmad bin Hanbal membagi zuhud ke dalam tiga macam : (1) zuhud awam
dengan meninggalkan yang haram. (2) zuhud orang khawas dengan meninggalkan
yang halal. (3) zuhud orang arif dengan meninggalkan apa saja yang akan
menghalanginya dari Allah.
3. Sabar
Sabar, sebagaimana dikatakan oleh Abu Zakaria Al-Anshari, merupakan
kemampuan seseorang mengendalikan diri terhadap sesuatu yang terjadi, baik itu
disenangi maupun dibenci. Menurut Qasim Al-Junaidi, sabar adalah mengalihkan
perhatian dari urusan dunia kepada urusan akhirat. Al-Ghazali menyebutkan sabar
sebagai kondisi jiwa dalam mengendalikan nafsu yang terjadi karena dorongan
agama. Al-Ghazali membagi sabar ke dalam tiga tingkatan, :
a. Sabar tertinggi, yaitu sifat yang mampu menghadapi semua dorongan nafsu,
sehingga nafsu benar-benar dapat ditundukkan.
5
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hlm. 18
6
A.J Berry, Sufism an Account of The Mistic of Islam (London, Mandala Books, 1979), hlm. 76
b. Sabar orang-orang yang sedang dalam perjuangan. Pada tahapan ini, terkadang
seseorang dapat mengendalikan atau pun dikuasai hawa nafsu. Sehingga
bercampur antara yang baik dan yang buruk.
c. Tingkatan kesabaran terendah, yakni kuatnya hawa nafsu dan kalahnya
dorongan agama.
4. Tawakkal
Tawakkal secara Bahasa berarti keteguhan hati dalam menyerahkan urusan
kepada orang lain. Dapat dikatakan bahwa tawakal adalah sikap mental seorang
sufi yang berupa hasil dari keyakinannya yang kokoh kepada Allah. Karena
keyakinannya ini, seorang sufi menyerahkan segala urusannya kepada Allah,
sehingga hatinya tenang, tenteram, dan tidak timbul rasa curiga.
5. Ridha
Menurut Al-Qushairi, ridha adalah tidak menentang terhadap apa-apa yang
telah ditetapkan Allah. Menurut Ibnu Khafif, ridha adalah tenangnya hati dalam
menghadapi ketentuan-ketentuan Allah, hati menyesuaikan dan merasakan apa
yang diridhai Allah dan apa yang telah dipilihnya. Rabiyah Al-Adawiyah,
mengatakan bahwa ridha adalah ketika mendapat bencana, perasaan cinta kita
kepada Allah sama seperti halnya saat kita mendapatkan nikmat.
6. Mahabbah
Secara etimologis, mahabbah berasal dari kata hub yang artinya cinta,
yakni kecenderungan hati kepada apa yang disayangi. Dalam ajaran tasawuf,
mahabbah dimaksudkan sebagai perasaan cinta kepada Allah swt. . Harun
Nasution menjelaskan bahwa mahabbah merupakan sikap memeluk kapatuhan
kepada Tuhan dan memebenci sikan melawan kepada-Nya. Dan mengosongkan
hati dari segala-galanya kecuali diri yang dikasihi (Allah).
7. Ma’rifah
Ma’rifah merupakan tujuan pokok ajaran tasawuf yang dicapai dengan
mahabbah. Konsep ma’rifah menurut tasawuf merupakan pengetahuan paling
maksimal dalam pengalaman sufi dalam berkomunikasi dengan Tuhan dengan
hati sanubari. Menurut Dzun Al-Nun Al-Mishri, ma’rifah adalah cahaya yang
dilimpahkan Tuhan ke dalam hati seseorang.
Bab III
Penutup
7
Proyek pembinaan IAIN Sumatera Utara & Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Aga,a Islam Departemen
Agama, Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/1982, Hlm. 122-129.
Tasawwuf merupakan ilmu pengetahuan yang berasal dari proses-proses seorang
manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Dalam struktur pengetahuannya,
tasawwuf berkaitan erat dengan epistimologi khas sufi yakni Irfani. Dimana pengetahuannya
berasal dari olah rasa yang ada di dalam qalb sehingga pengetahuan yang dihasilkan hanya
dapat dirasakan dan dilihat dari akhlak mulia seorang sufi. Kesenangan-kesenangan
bathiniyah yang ditempuh melalui berbagai maqam serta latihan membuahkan kenikmatan
berupa rasa tenang dan damai dalam hati. Selalu memupuk diri dengan kecintaan untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt.
Inti dari tasawuf Irfani adalah bahwa tasawwuf, dan berbagai ibadah di dunia ini kita
lakukan semata-mata untuk merasakan cinta Allah, dan segala keagungan-Nya. Hidup dalam
tuntunan syariat-Nya, serta selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Sehingga epistemology
irfani, melalui sarana qalb wadah yang amat penting dalam merasakan kedekatan kita kepada
Allah swt. Serta berbagai langkah yang diambil dalam setiap maqam akan disertai oleh rasa
bathiniyah yang merupakan hasil dari pengamalan spiritual yang luar biasa dalam mencapai
ma’rifatullah.
Daftar Pustaka
Ryandi. 2015. Epistemologi ‘Irfani dalam Tasawwuf. Analytica Islamica. 4 (1) : 84-105.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Berry, A.J. 1979. Sufism an Account of The Mistic of Islam. London : Mandala Books.
Proyek pembinaan IAIN Sumatera Utara & Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama
Islam. 1981/1982. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera Utara : Departemen Agama.