Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KELOMPOK 11

ISLAM DAN BUDAYA JAWA

HUBUNGAN ISLAM DAN KEBUDAYAAN

Dosen pengampu : Mohammad Ashif Fuadi, S. IP, M. Hum

Disusun Oleh :

1. Lailatus Shafira Ramadani (195211089)


2. Dzalika Anjalina (195211094)
3. Pingki Permata Sari (195211097)

KELAS 2C
PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRERI SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirobbil ‘aalamiin, segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah
SWT yang telah memberikan nikmat serta karunianya sehingga penulis dapat menyusun makalah
ini dengan sebaik-baiknya. Makalah yang berjudul “Hubungan Islam dan kebudayaan" disusun
untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Islam dan Budaya Jawa pada semester 2.
Makalah ini berisi tentang hubungan antara islam dan kebudayaan, pandangan islam
terhadap budaya,penjelasan ritual jawa islam dan juga contoh ritual jawa yang harus masyarakat
semua ketahui dan pahami dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terimakasih atas dukungan dari beberapa pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan makalah ini.
Akan tetapi penulis sadar masih banyak kekurangan dalam makalah ini baik dari segi
perkataan dan bahasa yang kurang baik. Maka dari itu mohon dimaafkan. Harapan penulis
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca nya, sehingga pembaca dapat memahami
materi tentang budaya dan kebudayaan kemudian merealisasikannya dalam kehidupan sehari-
hari.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga dapat berguna dan bermanfaat bagi
pembaca.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... 2

DAFTAR ISI....................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah..................................................................................................... 4
C. Tujuan Pembahasan.................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Islam dan Kebudayaan.............................................................................................. 6


B. Pandangan Terhadap Budaya ................................................................................... 9
C. Ritual Jawa Islam...................................................................................................... 12
D. Selametan dan Megengan......................................................................................... 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................................... 17
B. Saran......................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 18

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama Islam yang universal dan mempunyai ajaran yang masih bersifat
global. Islam merupakan salah satu agama terbesar di dunia, yang pada saat ini sedang
mendapat ujian yang sangat berat. Oleh sebab itu, berbicara tentang budaya tidak dapat
dilepaskan dari peradaban budaya yang sangat luas, yakni budaya Indonesia yang terbentuk
dengan budaya yang menganut sistem budaya terbuka. Sehingga budaya yang masuk yang
bisa diterima.
Ajaran-ajaran yang penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala
aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu ucapan pun bentuk kegiatan yang dilakukan
manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam Islam ini. Kebudayaan
adalah salah satu dari sisi penting dalam kehidupan manusia, dan Islam pun telah mengatur
dan memberikan batasan-batasannya. Budaya cakupannya lebih luas yang masyarakatnya
sudah mempunyai kepercayaan tertentu.
Islam sebagai agama, tidak hanya mengenal tradisi atau normativitas tapi ia juga mempunyai
manivestasi keragaman dalam kehidupan yang sangat plural. Oleh karena itu, meskipun
muslim di Indonesia mengakui sumber universal yang sama yaitu Al-Qur’an dan As-
Sunnah, tapi interpretasi atas ajaran dan praktek-praktek keagamaan sangat beragam. Sebagai
agama dengan seperangkat nilainya telah mempengaruhi pula budaya dan tradisi masyarakat
pemeluknya. Namun demikian aspek sosial budaya dari masyarakat setempat tidak serta
merta terkikis.

B. Rumusan Masalah
a. Apa hubungan antara Islam dan kebudayaan?
b. Bagaimana pandangan Islam terhadap kebudayaan?
c. Bagaimana penjelasan dari ritual Jawa Islam?
d. Apa itu selametan dan megengan?

4
C. Tujuan pembahasan
a. Mengetahui hubungan antara Islam dan kebudayaan.
b. Dapat mengetahui pandangan Islam terhadap kebudayaan.
c. Mengetahui apa itu ritual Jawa Islam.
d. Mengetahui apa makna selametan dan megengan.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Islam dan Kebudayaan


Naluri, masyarakat manusia cenderung mempertahankan budaya mereka,
sekalipun mereka mulai meninggalkannya. Mereka melakukan demikian karena unsur
mereka yang mereka pertahankan dengan sangat berguna unsur yang mereka pertahankan
dianggap sangat berguna bagi masyarakat sebagai pedoman hidup bersama. Maka, jika
terjadi perubahan mereka menganggapnya sebagai sebuah ancaman yang akan
menggoyahkan keseimbangan system sosial mereka. Masyarakat desa bahkan sering
mengecam cara hidup mahasiswa yang bertentangan yang bertentangan dengan nilai
moral (budaya) dan agama yang berlaku di masyarakat (sebagai hukum adat). Disini
tampak sekali kecenderungan yang demikian kuat dalam masyarakat untuk
mempertahankan beberapa unsure kebudayaan dan menolak unsure-unsur kebudayaan
dan menolak unsure-unsur yang berasal dari kebudayaan lain. 1
Hubungan antara budaya dengan agama demikian erat. Bahkan seakan tidak ada
sekat dan masyarakat pun kadang-kadang tidak bisa membedakan antara budaya dan
agama. Maka hubungan antara agama dan budaya menjadi suatu yang sangat urgen untuk
diketahui terlebih dahulu. Di sini akan diketengahkan tiga pendapat mengenai hubungan
islam sebagai agama dengan kebudayaan, yaitu : 2
1. Agama sebagai sumber kebudayaan
Pendapat ini dikemukakan oleh Hegel yang mengatakan bahwa keseluruhan karya
yang dihasilkan dari kesadaran manusia yang berupa ilmu, tata hukum, tata Negara,
kesenian, dan filsafat tidak lain sebagai realisasi roh ilahi. Kecenderungan manusia
untuk berbudaya merupakan dinamika ilahi. Denga demikian kebudayaan merupakan
bentuk nyata dari agama itu sendiri.3
Pendapat Hegel di atas tampaknya terlalu filosofis. Senada dengan pendapat ini
juga dikemukakan oleh Nashr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual muslim asal
Mesir. Menurutnya, alquran sebagai kitab suci umat islam memiliki peran penting

1
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 41
2
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 42
3
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 42

6
dalam mengubah budaya. Karenanya ia berfungsi sebagai produsen budaya(muntijli
at-thaqafah). Alquran menjadi teks yang hemogonik dan menjadi rujukan bagi teks
yang lain. 4
2. Agama dan budaya tidak ada hubungan
Pendapat ini dikemukakan oleh Pater Jan Bakker. Menurutnya, agama
merupakan keyakinan hidup ruhani pemeluknya; merupakan jawaban manusia
kepada panggilan ilahi dan di sini terkandung apa yang disebut iman. Iman berasal
dari suatu tempat ataupun merupakan pemberian makhluk lain. Iman ini asalnya dari
Tuhan sehingga nilai-nilai yang muncul dari daya ini tidak dapat disamakan dengan
karya-karya kebudayaan yang lain, sebab karya tersebut berasal dari Tuhan. Dengan
demikian agama merupakan keyakinan hidup rohani pemeluknya sebagai jawaban
atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut iman, dan iman merupakan pemberian dari
tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. 5
3. Agama merupakan salah satu unsur kebudayaan
Heddy SA Putra, seorang antropologi mengemukakan demikian ini karena
manusia mempunyai akal pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang
digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala atau simbol-simbol agama. Pemahaman
manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam
kitab suci masing-masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci
tersebut dengan kemampuan yang ada.6
Dalam konteks penafsiran Al-Qur’an, Quraisy Shihab mengatakan bahwa Tafsir
Al-Qur’an yang dihasilkan dari para mufassir adalah bersifat nisbi. Artinya produk itu
tidak memiliki kebenaran mutlak. Penafsiran yang dapat diterima kebenarannya,
menurut al-Zarqani, hanya ada dua yaitu ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan oleh ayat
Al-Qur’an dan Al-Qur’an ditafsirkan dengan sunnah al-shahihah. Di sinilah bahwa
agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan,
masih menurut ahli antropologi, bukanlah diatur oleh ayat-ayat dari kitab suci,
melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.7

4
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 43
5
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 43
6
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 44
7
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 44

7
Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahawa para ahli kebudayaan
mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan
kebudayaan. Kelompok pertama menganggap bahwa agama merupakan sumber
kebudayaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari
agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok kedua, yang diwakili
oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubunganya sama
sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yang menganggap bahwa agama
merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Untuk melihat dan kebudayaannya,
islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia
mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah
kedalam tubuhnya.8
Selain menciptakan manusia, Allah SWT juga menciptakan makhluk yang
bernama Malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena
diciptakan dari unsur cahaya. Demikian juga menciptakan Setan atau Iblis yang hanya
bsa berbuat jahat, karena diciptakan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana
tersebut diatas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut, merupakan
gabungan dari unsur dua makhluk tersebut, cahaya dan tanah.9
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik,
pembisik dari malaikat, sebagai aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan
pembisik dari setan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat
dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia
melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang,
sebliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat, dan membuat kerusakan di
muka bumi ini, maka unsur setan lah yang dominan. Oleh karena itu, selain
memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan,
dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu
menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadah dan berbuat baik di muka bumi
ini. 10

8
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 45
9
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 46
10
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 47

8
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan
untuk berkarya, berpikir, dan menciptakan suatu kebudayaan. Disini, Islam mengakui
bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian
Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada
manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar
bernmanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya,untuk selalu
menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi
sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah
berperan sebagai pendorong manusia untuk “berbudaya”. Dan dalam satu waktu
islamlah yang meletakkan kaidah, norma, dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa
dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri berasal dari agama. Teori sepeti ini
tampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel diatas.11

B. Pandangan Terhadap Budaya


Islam dalam memandang kebudayaan ada tiga bentuk klasifikasi, yaitu menerima
(taslim), mengubah (taghyir-rekonstruksi), dan menolak (mardud). 12
1. Menerima (taslim) sepanjang belum ada ketentuan hukum yang pasti
Kebudayan yang sudah ada dan tidak bertentangan dengan islam dapat dijadikan
sebagai dasar hukum. Dalam kaidah fiqih disebutkan : “al-adatu muhakkamatun”
artinya bahwa adat istiadat merupakan bagian dari budaya manusia, dihukumi.
Ketentuan ini hanya mengatur pada hal-hal yang belum ada ketentuan hukumnya
dalam syari’at islam yang jelas (sharih), seperti masalah mahar (mas kawin),
ketentuan (jenis dan kadar) zakat fitrah, arsitektur banguna masjid, alat penutup aurat,
dan lain-lain. Jenis dan kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, setiap daerah
di Indonesia berbeda-beda, seperti emas atau perak, uang tunai, jenis binatang (sapi,
kerbau, atau kambing), seperangkat alat shalat,atau mengajarkan membaca Al-qur’an.
Di masyarakat Aceh, misalnya dalam menentukan jenis dan jumlah mas kawin ada
pembatasan minimal yaitu berkisar antara 50 sd. 100 gram emas. Jika mempelai laki-
laki tidak sanggup membayar standar minimal, maka pihak mempelai perempuan bisa
11
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 47
12
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 48

9
menambah kekurangannya sehingga ketika disebutkan didepan umum (saat akad
nikah) memenuhi batas minimal berdasarkan ketentuan adat setempat. Bagi mereka,
ketentuan ini menyangkut kehormatan dalam hukum adat yang sudah turun temurun.
Berbeda dengan masyarakat Madura Jawa Timur, dalam hal pemberian mas kawin
(mahar) nya menggunakan hewan sapi dengan tanpa harus menyebutkan batasan
minimal dan maksimal. Sedangkan masyarakat Muslim Jawa, umunya mereka
menggunakan alat shalat dijadikan mas kawin dalam akad nikah.13
Demikian pula Islam tidak menentukan bentuk arsitektur bangunan masjid,
sehingga di tiap-tiap daerah memiliki karakter dan ciri khas sesuai dengan
kebudayaan atau adat istiadat setempat. Maka bentuk banguna masjid diperbolehkan
memakai arsitektur Persia, Spanyol, ataupun arsitektur lokal seperti Jawa, Minang,
Bali, dan lain-lain. Atau mengadopsi kebudayaan lain (Hindhu) seperti Masjid
Menara Kudus di Jawa Tengah.14
2. Mengubah (taghyir-rekonstruksi) apabila ada sebagian unsurnya bertentangan dengan
Islam
Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam kemudian
dilakukan “rekonstruksi” sehingga berpotensi menjadi Islami. Hal ini seperti terjadi
pada tradisi Jahiliyah yang melakukan kegiatan ritual mirip dengan ibadah haji
(thawaf) dengan mengucapkan lafadz “talbiyah” yang sarat dengan kesyirikan
(pemujaan terhadap patung berhala) dan berjalan berkeliling di Ka’bah dengan
telanjang. Kemudian Islam merekontruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ibadah”
yang telah ditetapkan aturan-aturan pada ibadah haji dan umrah yang berbeda dengan
tradisi jahiliyah. Mereka berjalan mengelilingi ka’bah dengan mengenakan pakaian
ihram dan membaca talbiyah (labbaik allahumma labbaik). Contoh lain adalah ibadah
Qurban. Penyembelihan binatang disekitar Ka’bah, melumatkan darah di dinding
ka’bah, dan mempersembahkan daging binatang kepada arca-berhala, kemudian
diganti (rekonstruksi) denga Ibadah Qurban dipersembahkan hanya kepada Allah
kemudian daging binatang qurban disedekahkan kepada fakir miskin, saudara, dan
tamu. Demikian pula perayaan Hari Raya Keagamaan, kemudian diubah bentuknya
sebagaimana sekarang ini, terutama Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri. Masih
13
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 48
14
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 49

10
banyak Ibadah-ibadah lain yang disasarkan pada tradisi setempat kemudian diisi
dengan nilai-nlai Islami, kemudian menjadi budaya Islam. Bagi masyarakat Jawa
abangan nyekar di kuburan dijadikan sebagai bentuk permohonan terhadap roh nenek
moyang yang telah meninggal. Maka kondisi ini oleh Islam diubah (direkontruksi)
bukan kepemujaan terhadap roh nenek moyang, tetapi ziarah kubur untuk mendoakan
ahli waris yang telah meninggal dunia. Memintakan ampunan kepada Allah agar amal
baiknya diterima disisi-Nya dan ditempatkan disisi-Nya. Demikian pula istilah
pemberian sesajen ke roh-roh halus (demit) diubah menjadi sedekah (hidangan
makanan) kepada fakir miskin dan orang-orang yang ikut mendoakan, baik saudara,
tetangga, dan orang-orang yang simpati kepadanya. Karena mereka mempunyai
keyakinan bahwa sedekah adalah menolak bala’ sama seperti orang yang masih
hidup.15
3. Menolak (mardud) apabila nyata-nyata bertentangan dengan Islam
Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam secara jelas dan unsurnya tidak bisa
dikompromikan, maka Islam tidak akan mengadopsinya, bahkan secara tegas
ditolak. Sebagai contoh budaya “ngaben” (pembakaran mayat manusia) yang
dilakukan oleh masyarakat Hindhu Bali. Demikian pula budaya “tiwah” seperti
yang dilakukan oleh masyarakat di Kalimantan Tengah, yaitu upacara
pembakaran mayat. Bedanya, dalam upacara “tiwah” ini dilakukan pemakaman
jenazah yang berbentuk perahu lesung terlebih dahulu, kemudian kalau sudah tiba
masanya, jenazah tersebut digali lagi untuk dilakukan proses pembakaran.
Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau bahkan lebih dari seminggu.
Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah
yang besar, karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dari daerah lain
yang berdatangan untuk menyaksikannya. Di daerah Tanah Toraja Sulawesi
Selatan, untuk memakamkan orang yang meninggal, memerlukan biaya yang
cukup besar, yaitu penyembelihan kerbau. Semakin kaya, semakin banyak kerbau
yang di sembelih. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan
puncak upacara pemakaman yang diiringi musik dan tarian para pemuda yang
menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut

15
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 51

11
diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai
utang pada keluarga almarhum.16
C. Ritual Jawa Islam
Ritual jawa islam yaitu tradisi. Tradisi yang dimaksud adalah aneka tradisi umat
Islam Indonesia, khususnya Jawa, yang pada mulanya beredar luas di Jawa, dan
kemudian berkembang meluas ke berbagai daerah pelosok Indonesia, yang terkait dengan
ritual yang dilaksanakan oleh kaum muslim Jawa, yang terkait dengan siklus kehidupan
manusia.17
Berbagai ritual dan doa tersebut adalah yang terkait dengan apa yang disebut
sebagai selamatan (slametan, wilujengan), kenduri atau shadaqahan (sedekahan). Tentu
masih banyak jenis ritual dan doa yang terkait dengan berbagai siklus kehidupan dan
kematian manusia.18
1. Siklus kelahiran
a. Ngupati atau ngapati waktu pelaksanaannya saat kehamilan mencapai usia 120
hari (4 bulan)
b. Nglimani waktu pelaksanaannya saat kehamilan (pertama) mencapai usia 5
bulan
c. Mitoni atau tingkeban waktu pelaksanaannya saat kehamilan (pertama)
mencapai usia 7 bulan
d. Nyangani waktu pelaksanaannya saat kehamilan (pertama) mencapai usia 9
bulan
e. Brokohan waktu pelaksanaannya saat selamatan kelahiran bayi
f. Sepasaran waktu pelaksanaannya saat selamatan hari ke-5 kelahiran bayi, hari
pemberian nama dan aqiqahan. Biasanya disertai kenduri dan bancakan
g. Puputan waktu pelaksanaannya saat selamatan setelah tali pusar lepas (jatuh)
h. Selapanan waktu pelaksanaannya saat selamatan hari ke-35 dari kelahiran
bayi. Hari memperbagus fisik sang bayi. Biasanya juga disertai kenduri dan
bancakan.

16
Abdullah Faishol dan Samsul Bakri, “Islam dan Budaya Jawa”(Surakarta: P2B IAIN SKA, 2014), hlm. 52
17
https://books.google.co.id/books?id=7XnEB1PJhSsC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false
18
https://books.google.co.id/books?id=7XnEB1PJhSsC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false

12
i. Tedhak siti waktu pelaksanaannya saat selamatan anak usia 7 lapan (245 hari).
Doa kepada allah agar menjadi anak yang jujur, ahli ibadah, senang kepada
ilmu,dermawan dan etos kerja tinggi.
j. Setahun waktu pelaksanaannya saat selamatan ketika anak usia 1 tahun
2. Perkawinan
a. Kumbakarnan waktu pelaksanaannya saat selamatan setelah
memusyawarahkan segala hal yang akan dilaksanakan terkait dengan upacara
pernikahan. Umumnya dilaksanakan 7 hari sebelum acara di rumah yang akan
menggelar hajat
b. Pasang tarub waktu pelaksanaannya saat selamatan diadakan pada malam 2
atau 1 hari sebelum upacara, yakni mempersiapkan tempat acara.
c. Midadareni dan majemukan waktu pelaksanaannya saat ritual dan selamatan
malam upacara, sekaligus pelaksanaan tebusan kembar mayang. Calon
pengantin laki-laki “nyantri” di rumah calon istri (tradisi warisan nabi
Muhammad di rumah mertuanya Nabi Syu’aib). Setelah penebusan kembang
mayang, diadakan selamatan majemukan, mendoakan keselamatan semua
yang akan dilaksanakan.
d. Selamatan walimahan waktu pelaksanaannya saat selamatan yang
dilaksanakan saat sesudah ijab qabul atau setelah upacara perkawinan.
e. Sepasaran manten waktu pelaksanaannya saat selamatan yang dilakukan pada
hari ke-5 dari ijab dan qabul.
3. Kematian
a. Surtanah waktu pelaksanaannya saat ritual setelah mayat dikebumikan, agar
ruhya mendapat tempat baik di sisi tuhan.
b. Nelung dina waktu pelaksanaannya saat selamatan hari ke-3 dari kematian,
untuk memohonkan ampunan kepada Allah, memperoleh jarang terang
menuju tuhan.
c. Mitung dina waktu pelaksanaannya saat selamatan hari ke-7 setelah wafat.
Berdoa agar ruh mayat mendapat jalan terang menuju Tuhan, dan bermakna
menyempurnakan kulit, rambut dan kuku jenazah.

13
d. Matang puluhan waktu pelaksanaannya saat selamatan hari ke-40 dari wafat.
Biasanya disetai denngan khataman al-Qur’an, tujuannya untuk mendoakan
agar ruh yang meninggal dapat diterima Allah sesuai dengan amal ibadahnya.
e. Nyatus dina waktu pelaksanaannya saat selamatan yang diadakan pada hari
ke-100 dari wafatnya. Tujuanya untuk menyempurnakan yang bersifat badani.
f. Mendhak pisan waktu pelaksanaannya saat peringatan satu tahun pertama dari
kematian. Tujuan untuk memintakan ampunan bagi ruh yang meninggal, juga
bermakna menyempurnakan semua anasir fisik selain tulang.
g. Mendhak pindho waktu pelaksanaannya saat peringatan dua tahun dari hari
wafat. Tujuannya untuk menyemputnakan anasir rasa dan bau menjadi lenyap.
h. Nyewu dina waktu pelaksanaannya saat purna upacara bagi orang yang sudah
meninggal, pada hari ke-1000.
i. Haul waktu pelaksanaannya saat selamatkan peringatan tahunan bagi orang
yang sudah meninggal. Dilaksanakan pada hari (dua pasaran) dan bulan wafat.
Intinya adalah doa memohonkan ampunan dari semua salah dan dosa, serta
mendoakan keselamatan perjalanan ru dialam akhirat.19
D. Selametan dan Megengan
1. Selamatan
Selamatan atau slametan adalah sebuah tradisi ritual yang dilakukan oleh
masyarakat Jawa. Selamatan adalah suatu bentuk acara syukuran dengan mengundang
beberapa kerabat atau tetangga. Secara tradisonal acara syukuran dimulai dengan doa
bersama, dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk
pauk. Selamatan dilakukan untuk merayakan hampir semua kejadian, termasuk
kelahiran, kematian, pernikahan, mengawali membangun rumah, pindah rumah,
meresmikan rumah, dan sebagainya.20
Selamatan pada dasarnya adalah merupakan suatu bentuk tradisi dari agama
Hindu. Selamatan dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan perbedaan antara

19
https://books.google.co.id/books?id=7XnEB1PJhSsC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false

20
Clifford Geertz,Abanngan Santri Priyayi dan Masyarakat Jawa, terj. Aswab Makasin, (Jakarta:Pustaka Jaya,
1983)h.18.

14
manusia yang satu dengan yang lain dan manusia bisa terhindar dari roh-roh jahat
yang mengganggu dan membahayakan manusia.21
2. Megengan
Megengan merupakan tradisi pada hari pertama Puasa pada bulan Ramadhan.
Dalam bulan Puasa orang menahan nafsu, makan, minum, hubungan suami istri,
menjaga lisan dan semua anggota tubuh dari terbit fajar sampai tenggelam matahari.
Megengan bagi masyarakat tertentu dilakukan dengan cara masing-masing. Ada yang
dengan padusan atau juga punggahan. Daris segi bahasa kata Megengan berasal dari
kata Megeng yang artinya menahan. Menahan yang dimaksud menahan lapar, haus,
serta hawa nafsu. Namun seperti yang diungkapkan Ismail Yahya dll bahwa tradisi
megengan dilaksanakan berbeda-beda di setiap masyarakat. Dari pendapat Yahya dkk
dapat dilihat bahwa tradisi Megengan mengalami suatu adaptasi pada setiap tipe
masyarakat yang berbeda, hal ini tidak menutup pula kemungkinan bahwa di Tradisi
Megengan selalu mengalami adaptasi pada masyarakat.22
Hal ini selaras dengan konsep yang dikatakan oleh Kurniawan, bahwa adaptasi
merupakan proses yang menghubungkan sistem budaya dengan lingkungannya.
Budaya dan lingkungan berinteraksi dalam sistem tunggal tidaklah berarti bahwa
pengaruh kasual dari budaya ke lingkungannya niscaya sama besar dengan pengaruh
lingkungan terhadap budaya. Salah satu daerah yang masih aktif melaksanakan tradisi
menyambut bulan Ramadhan adalah Desa Taman Fajar kecamatan Purbolinggo
Kabupaten Lampung Timur. Di desa Taman Fajar, tradisi Megengan masih sering
kali dilaksanakan setiap tahunnya oleh masyarakat setempat. Desa Taman Fajar
merupakan Desa Transmigrasi yang berasalh dari daerah Jawa Timur. Desa ini
terbentuk sekitar tahun 1952 dengan mayorutas penduduknya adalah masyarakat
Jawa. Pada masyarakat Taman Fajar, tradisi Megengan sendiri merupakan tradisi
yang dibawa dari daerah asalnya dan diturunkanke generasi-generasi berikutnya.
Pelaksanaan tradisi Megengan pada di desa Taman Fajar merupakan tradisi rutin yang
dilaksanakan satu hari menjelang memasuki bulan Ramadhan, atau yang biasa orang
Jawa menyebutnya bulan Pasa. Berdasarkan penelitian pendahuluan, pelaksanaan

21
Clifford Geertz,Abanngan Santri Priyayi dan Masyarakat Jawa, terj. Aswab Makasin, (Jakarta:Pustaka Jaya,
1983)h.18.
22
http://digilib.unila.ac.id/57031/3/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20PEMBAHASAN.pdf

15
tradisi Megengan di desa Taman Fajar kini sudah dilaksanakan sejak dahulu dan
diperkirakan sudah mencapai sudah mencapai beberapa generasi. Selain itu
masyarakat Desa Taman Fajar juga masih banyak yang beranggapan bahwa setiap
keluarga wajib melaksanakan ttradisi ini (Bapak Subarno tanggal 13 September
2015). Berdasarkan keterangan tersebut dapat kita ketahui bahwa di Desa Taman
Fajar masyarakatnya melaksanakan tradis Megengan bukan hanya sebagai acara
tahunan masal dilakukan bersama-sama, namun juga ada yang melaksanakannya
sebagai hajat pribadi atau keluarga.23

BAB III

PENUTUP

23
http://digilib.unila.ac.id/57031/3/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20PEMBAHASAN.pdf

16
A. Kesimpulan
Hubungan antara budaya dengan agama demikian erat. Bahkan seakan tidak ada sekat
dan masyarakat pun kadang-kadang tidak bisa membedakan antara budaya dan agama.
Maka hubungan antara agama dan budaya menjadi suatu yang sangat urgen untuk
diketahui terlebih dahulu. Terdapat 3 pendapat mengenai hubungan islam sebagai agama
dengan kebudayaan, yaitu agama sebagai sumber budaya, agama dan budaya tidak ada
hubungan, dan agam merupakan salah satu unsure budaya. Islam dalam memandang
kebudayaan ada tiga bentuk klasifikasi, yaitu menerima (taslim), mengubah (taghyir-
rekonstruksi), dan menolak (mardud).
Ritual jawa islam yaitu tradisi. Tradisi yang dimaksud adalah aneka tradisi umat
Islam Indonesia, khususnya Jawa, yang pada mulanya beredar luas di Jawa, dan
kemudian berkembang meluas ke berbagai daerah pelosok Indonesia, yang terkait
denngan ritual yang dilaksanakan oleh kaum muslim Jawa, yang terkait dengan siklus
kehidupan manusia. Contoh dari ritual jawa islam antara lain, selametan, megengan,
kenduri, shodaqoh dan lain sebagainya.
B. Saran

Dengan mengetahui tentang hubungan antara budaya dengan islam maka kita akan
senantiasa mengenal tentang perpaduan islam dalam suatu kebudayaan. Maka kita
sebagai generasi penerus bangsa harus terus melestarikan kebudayaan jawa islam tersebut
agar tetap lestari dan dapat dirasakan oleh anak dan cucu kita kelak. Kita juga harus
mengetahui pesan moral yang terkandung di setiap tradisi islam yang telah ada sejak
zaman dahulu tersebut. Karena dengan begitu kita akan bisa menjaga akhlak seabgai
orang jawa yang sudah terkenal dengan kehalusan, kesopanan dan senantiasa
menghormati suatu kebudayaan.

DAFTAR PUSTAKA

Clifford Geertz. Abanngan Santri Priyayi dan Masyarakat Jawa, terj. Aswab Makasin,
Jakarta:Pustaka Jaya, 1983.h.18.

17
Faishol, Abdullah dan Samsul Bakri. 2014. Islam dan Budaya Jawa .Sukoharjo: P2B IAIN
Surakarta.
https://books.google.co.id/books?
id=7XnEB1PJhSsC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false

http://digilib.unila.ac.id/57031/3/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20PEMBAHASAN.pdf

18

Anda mungkin juga menyukai