RSMC-UPH
Kelainan Makula
Lubang makula
Lubang makula adalah hilangnya seluruh ketebalan retina sensorik di makula. Gangguan ini
terjadi paling sering pada pasien usia lanjut dan biasanya unilateral. Pemeriksaan
biomikroskopi terhadap mata yang bergejala menampakkan lubang bundar atau oval, pada
seluruh ketebalan (full-thickness), berbatas tegas dengan diameter sepertiga diskus di pusat
makula, yang mungkin dikelilingi oleh daerah ablasio retina sensorik berbentuk cincin.
Ketajaman penglihatan terganggu, dan pada pemeriksaan Amsler grid dijumpai
metamorfopsia dan skotoma sentral. Uji cahaya celah Watzke-Allen mempunyai korelasi
dengan keberadaan lubang makula full-thickness. Seberkas cahaya celah yang diarahkan ke
lubang makula digambarkan pasien sebagai cahaya yang menipis atau terputus-putus.
Lubang makula terjadi akibat traksi tangensial pada korteks vitreosa epiterina. Perkembangan
lubang ini dibagi menjadi empat stadium. Pada stadium 1, lubang tersembunyi, terdapat
bintik kuning di foveola tanpa refleks fovea. Stadium ini masih reversibel sekalipun terjadi
pelepasan vitreus posterior. Pada stadium 2, terjadi pembesaran lubang dengan sebuah
cincinm kuning perifovea yang dalam. Pada stadium 3, lubang makula full-thickness tersebut
dikelilingi oleh suatu manset cairan retina. Pada stadium 4, lubang full-thickness disertai
dengan pelepasan vitreus posterior.
Optical coherence tomography adalah cara terbaik untuk mendiagnosis dan menilai kelainan
sebelum dan setelah tindakan bedah. Terapi untuk melekatkan kembali retina pada manset
cairan subretina di sekeliling lubang melibatkan tindakan vitrektomi, pelepasan hyaloid
posterior, pembuangan membran limitans interna retina, dan penyuntikan gas intravitreal,
yang menyediakan landasan untuk reparasi sel glia. Pasien harus diposisikan menunduk
sekurang-kurangnya 8 jam selama 5-7 hari pasca bedah. Pasien tidak boleh tidur terlentang
untuk mengurangi risiko peningkatan tekanan intraokular dan ketidakstabilan lensa. Di
sebagian besar kasus, timbul katarak akibat gas intraokular. Katarak ini dapat kembali jernih
secara spontan, tetapi sejumlah pasien memerlukan tindakan bedah. Pada beberapa kasus,
bedah katarak dilakukan sebelum atau bersamaan dengan tindakan bedah lubang makula.
Penggunaan zat pewarna memperbaiki visualisasi membran limitans interna dan sangat
meningkatkan insidens penutupan lubang makula, tetapi potensi toksisitas zat tersebut masih
diperdebatkan.
Penutupan anatomik lubang makula dapat mencapai 90% kasus, tetapi tidak selalu
berhubungan dengan perbaikan fungsi. Dua puluh sampai dua puluh lima persen pasien
dengan lubang makula yang menutup secara anatomis tidak berhasi mencapai visus yang
lebih baik dari 20/50, khususnya pada lubang kronik dan akibat trauma.
bercak cotton-wool, ablasio retina serosa, dan kelainan makula yang merangsang
terbentuknya lubang makula (lubang pseudomakula). Pelepasan korpus vitreus posterior
hampir selalu dijumpai. Optical cohorence tomography berguna untuk menentukan adanya
membran epiretina dan untuk memantau perkembangan ke arah edema makula. Kelainan-
kelainan yang berkaitan dengan membran epiretina, antara lain robekan retina dengan atau
tanpa ablasio retina regmatogenosa, penyakit peradangan vitreus, trauma, dan berbagai
penyakit vaskular retina.
Ketajaman penglihatan biasanya stabil, mengisyaratkan bahwa kontraksi membran epiretina
merupakan suatu proses yang berlangsung singkat. Pengelupasan membran epiretina yang
parah melalui tindakan bedah dapat dilakukan untuk menyembuhkan gangguan penglihatan,
tetapi kekambuhan terjadi pada beberapa kasus.
menetap, seperti penurunan sensitivitas warna, mikropsia atau skotoma relatif. 20-30% pasien
akan mengalami kekambuhan penyakit sesekali atau lebih. Ditemukan berbagai komplikasi,
diantaranya neovaskularisasi subretina dan edema makula kistoid kronik, pada pasien-pasien
yang sering mengalami pelepasan serosa berkepanjangan.
Berbagai pola kelainan terlihat melalui angiografi fluoresein, yang paling khas diantaranya
adalah konfigurasi “cerobong asap” dari zat warna yang merembes keluar koriokapiler dan
menumpuk di bawah epitel pigmen retina atau retina sensorik. Fotokoagulasi laser argon
pada bagian yang bocor akan mempersingkat pelepasan retina sensorik secara bermakna dan
memulihkan penglihatan sentral dengan cepat, tetapi fotokoagulasi yang segera dilakukan
tidak terbukti memperbaiki hasil penglihatan. Terapi ini tidak dianjurkan untuk lesi-lesi di
dekat fiksasi sentral karena pembentukkan parut dapat menimbulkan gangguan penglihatan
permanen. Untuk lesi-lesi yang demikian, terapi fotodinamik, dengan dosis verteporfin yang
lebih rendah dari normal, dan micropulse laser memberikan hasil yang menjanjikan. Hasil
terapi kurang baik pada CSR yang disertai pelepasan epitel pigmen retina. Pada semua kasus,
lama dan lokasi penyakit, keadaan mata sebelahnya, dan kebutuhan visual okupasional
merupakan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan terapi.
Edema makula
Edema retina yang mengenai makula dapat disebabkan oleh penyakit peradangan intraokular,
penyakit vaskular retina, membran epiretina, bedah intraokular, degenerasi retina didapat atau
herediter, terapi obat, atau mungkin idiopatik. Edema makula mungkin bersifat difus bila
cairan intraretina yang tidak terlokalisasi menyebabkan penebalan makula. Edema makula
setempat, akibat timbunan cairan dalam ruang-ruang mirip sarang lebah pada lapisan inti
dalam dan lapisan pleksiform luar, dikenal sebagai edema makula kistoid (CME). CME
memiliki gambaran yang khas pada optical coherence tomography, yang merupakan suatu
metode noninvasif yang baik untuk memantau respon terapi. Pada angiografi fluoresens, zat
warna fluoresens merembes keluar dari kapiler-kapiler retina perifovea dan daerah
peripapilar, tertimbun dengan pola kelopak bunga di sekitar fovea.
Penyebab CME tersering adalah operasi katarak, terutama bila operasinya lama atau
menimbulkan komplikasi. Pelepasan vitreus posterior total tampaknya agak menghalangi
perkembangan CME. Setelah tindakan bedah fakoemulsifikasi rutin, CME terdeteksi sekitar
25% dengan angiografi fluoresens dan sekitar 2% dengan pemeriksaan klinis. Edema ini
biasanya terjadi dalam 4-12 minggu pascaoperasi, tetapi pada beberapa keadaan onsetnya
mungkin tertunda beberapa bulan sampai tahun. Banyak pasien dengan lama CME kurang
dari 6 bulan mengalami perhentian kebocoran secara spontan dan sembuh tanpa pengobatan.
Terapi inflamasi nonsteroid dan atau steroid topikal dapat mempercepat permulihan
ketajaman penglihatan pada pasien edema makula pascaoperasi kronik. Pada kasus-kasus
yang resisten, terapi dengan triamcinolone dasar orbita atau intravitreal mungkin bermanfaat.
Vitreolisis laser YAG atau vitrektomi dapat dipertimbangkan bila ada traksi vitreus. Apabila
pemasangan lensa intraokular merupakan penyebab edema makula pascaoperasi, akibat
disain, posisi, atau fiksasinya tidak adekuat, perlu dipertimbangkan pengangkatan lensa
tanam tersebut.
Robby (17120060085)
RSMC-UPH
Degenerasi makula terkait usia (ARMD) didefinisikan sebagai penyakit okular yang
menyebabkan hilangnya penglihatan sentral pada usia lanjut. Gangguan dibedakan atas
kerusakan primer dan sekunder dari sel epitel pigmen retina (EPR) makula, yang
menyebabkan formasi drusen (deposit kuning antara EPR dan membran Bruch), formasi
membran pembuluh darah koroid yang baru, yang disebut choroidal neovascularization
(CNV), atrofi fotoreseptor dan lapisan koriokapilaris dari koroidea.
Degenerasi makula dapat disebabkan oleh beberapa faktor dan dapat diperberat oleh beberapa
faktor resiko, diantaranya:
1. Umur, faktor resiko yang paling berperan pada terjadinya degenerasi makula adalah
umur. Meskipun degenerasi makula dapat terjadi pada orang muda, penelitian
menunjukkan bahwa umur di atas 60 tahun beresiko lebih besar terjadi di banding dengan
orang muda. 2% saja yang dapat menderita degenerasi makula pada orang muda, tapi
resiko ini meningkat 30% pada orang yang berusia di atas 70 tahun.
2. Genetik, penyebab kerusakan makula adalah CFH, gen yang telah bermutasi atau faktor
komplemen H yang dapat dibawa oleh para keturunan penderita penyakit ini. CFH terkait
dengan bagian dari sistem kekebalan tubuh yang meregulasi peradangan.
3. Merokok, Merokok dapat meningkatkan terjadinya degenrasi makula.
4. Ras kulit putih (kaukasia) adalah sangat rentan terjadinya degenerasi makula di banding
dengan orang Afrika atau yang berkulit hitam.
5. Riwayat keluarga, resiko seumur hidup terhadap pertumbuhan degenerasi makula adalah
50% pada orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga penderita dengan degenerasi
makula, dan hanya 12 % pada mereka yang tidak memiliki hubungan dengan degenerasi
makula.
6. Hipertensi dan diabetes. Degenerasi Makula menyerang para penderita penyakit diabetes,
atau tekanan darah tinggi gara-gara mudah pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil
(trombosis) sekitar retina. Trombosis mudah terjadi akibat penggumpalan sel-sel darah
merah dan penebalan pembuluh darah halus.
7. Paparan terhadap sinar Ultraviolet
8. Obesitas dan kadar kolesterol tinggi
Ada beberapa faktor yang bertanggung jawab pada perkembangan ARMD. Model patogenik
ialah didasarkan dari kerusakan oksidatif yang memberikan pengaruh negatif pada
metabolisme fotoreseptor dan EPR. Cahaya yang merusak, radikal bebas dan perubahan
hemodinamik memberikan efek kumulatif yang menyebabkan apoptosis dari sel. Kemudian
berbagai mediator inflamasi seperti, prostaglandin, sitokin, leukotrien, dan bebagai pencetus
inflamasi dan kemotaksis dari makrofag dan limfosit.
Konsentrasi dari asam lemak tidak jenuh meningkat dalam segmen terluar dari
fotoreseptor. Cahaya yang merusak menyebabkan perubahan kimia (terutama oksigenasi)
pada metabolism lemak, dimana mulai berakumulasi sebagai granula lipofuscin dalam EPR.
Bentuk formasi yang lembut dan drusen yang besar (deposit basal linear) ini, menyebabkan
penipisan pada membrane Bruch.
Analisis dari drusen yang diisolasi pada donor mata ARMD, ditemukan adanya
perubahan oksidatif protein yang dapat juga turut serta dalam pembentukan formasi drusen
(Crabb et al, 2002). Konsentrasi drusen yang tinggi dapat merusak ERP, dimana efeknya
dapat menurunkan fagositosis, dan atrofi pada area geografi muncul.
Robby (17120060085)
RSMC-UPH
Degenerasi makula yang terkait usia terdapat dua jenis, tipe kering (non eksudatif)
dan tipe basah (eksudatif). Walaupun pasien dengan degenerasi makula biasanya hanya
memperlihatkan kelainan tipe kering, sebagian besar pasien menderita tipe basah.
Tipe kering (non eksudatif) ditandai oleh adanya atrofi dan degenerasi retina bagian
luar, epitel pigmen retina, membran Bruch, dan koriokapilaris dengan derajat yang bervariasi.
Produk lipid terdapat pada membrane Bruch. Lipid ini diperkirakan timbul dari bagian luar
fotoreseptor karena kegagalan epitel pigmen retina (EPR) untuk mengeluarkan bahan ini.
Bentuk deposit yang dapat dilihat dengan oftalmoskop sebagai lesi kuning diskret subretina
disebut drusen (gambar 2b). Drusen adalah endapan putih kuning, bulat, diskret, dengan
ukuran bervariasi di belakang epitel pigmen dan tersebar di seluruh makula dan kutub
posterior. Seiring dengan waktu, drusen dapat membesar, menyatu, mengalami kalsifikasi
dan meningkat jumlahnya. Secara histopatologis sebagian besar drusen terdiri dari kumpulan
lokal bahan eosinifilik yang terletak di antara epitel pigmen dan membran Bruch; drusen
mencerminkan pelepasan fokal epitel pigmen.
Gejala-gejala klinik yang biasa didapatkan pada penderita degenerasi makula antara lain :
1. Distorsi penglihatan, obyek-obyek terlihat salah ukuran atau bentuk
2. Garis-garis lurus mengalami distorsi (membengkok) terutama dibagian pusat penglihatan
3. Kehilangan kemampuan membedakan warna dengan jelas
4. Ada daerah kosong atau gelap di pusat penglihatan
5. Kesulitan membaca, kata-kata terlihat kabur atau berbayang
6. Secara tiba-tiba ataupun secara perlahan akan terjadi kehilangan fungsi penglihatan tanpa
rasa nyeri.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan hasil pemeriksaan oftalmoskopi
yang mencakup ruang lingkup pemeriksaan sebagai berikut :
Robby (17120060085)
RSMC-UPH
1. Test Amsler Grid, dimana pasien diminta suatu halaman uji yang mirip dengan kertas
milimeter grafis untuk memeriksa luar titik yang terganggu fungsi penglihatannya. Kemudian
retina diteropong melalui lampu senter kecil dengan lensa khusus.
2. Test penglihatan warna, untuk melihat apakah penderita masih dapat membedakan warna,
dan tes-tes lain untuk menemukan keadaan yang dapat menyebabkan kerusakan pada makula.
3. Kadang-kadang dilakukan angiografi dengan zat warna fluoresein. Dokter spesialis mata
menyuntikan zat warna kontras ini ke lengan penderita yang kemudian akan mengalir ke
mata dan dilakukan pemotretan retina dan makula. Zat warna ini memungkinkan melihat
kelainan pembuluh darah dengan lebih jelas.