Anda di halaman 1dari 23

SIKLOOKSIGENASE, JALUR ARAKIDONAT, DAN

NONSTEROIDAL ANTIINFLAMMATORY DRUGS

Oleh :

Ida Bagus Ari Sudewa

dr. I Gede Budiarta, Sp.An, KMN

SMF/BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVESITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 2
2.1 Enzim Siklooksigenase (COX) ................................................................ 2
2.1.1 Struktur Molekuler COX................................................................. 2
2.1.2 Perbedaan Isoenzim COX-1 dan COX-2 ........................................ 4
2.1.3 Peran Fisiologis COX-1 dan COX-2 .............................................. 4
2.2 Jalur Arakidonat ......................................................................................... 6
2.3 Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAID)..................................... 9
2.3.1 Karakteristik Umum NSAID........................................................... 9
2.3.2 Farmakokinetik NSAID ................................................................ 10
2.3.3 Farmakodinamik NSAID .............................................................. 11
2.3.4 Beberapa Contoh NSAID .............................................................. 13
2.3.5 Farmakokinetik NSAID ................................................................ 16
BAB III SIMPULAN .......................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Siklooksigenase (COX)-1 pertama kali dipurifikasi pada tahun 1976. Pada


saat itu, peneliti mengira bahwa pembentukan prostaglandin (yang telah ditemukan
sejak 1962) hanya melalui satu enzim ini.1,2 Penemuan gen pengkode COX-2 yang
terjadi pada tahun 1991 mengubah pandangan mereka.1 COX-1 dan COX-2
memiliki struktur yang sangat mirip meskipun susunan asam amino mereka hanya
memiliki 61% kemiripan.3

Baik COX-1 dan COX-2 berperan dalam biosintesis prostanoid dari


substratnya yakni asam arakidonat melalui jalur arakidonat. Prostanoid adalah
sekelompok senyawa kimia mediator aktif yang dihasilkan dari kerja COX.
Prostanoid adalah bagian dari eicosanoid, yang merupakan kelompok besar
senyawa biokimia yang meliputi tromboksan, prostasiklin, leukotriene,
hydroxyeicosatetraenoic acid, epoxyeicosatrienic acids, lipoksin, dan isoprostan.
Setiap kelas eicosanoid memiliki fungsi spesifik dan bekerja dalam lingkup lokal
untuk meregulasi respon sel tertentu.4

Karena COX-1 dan COX-2 mirip dan bekerja dalam tahap yang sama pada
jalur arakidonat, penghambatan selektif menjadi tantangan tersendiri. Berbekal
asumsi bahwa COX berperan aktif dalam proses inflamasi, NSAID penghambat
COX bermunculan.5 Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAID) termasuk
dalam kelompok obat yang paling sering diresepkan di dunia. Kelompok obat ini
mencakup aspirin, penghambat cyclooxygenase (COX) nonselektif, dan
penghambat COX-2 selektif. Mereka memiliki kemampuan umum sebagai
analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik.6

Untuk memahami mekanisme kerja dan efek NSAID terhadap tubuh, kita
perlu memiliki pemahaman mengenai proses apa yang dihambat obat tersebut yakni
enzim COX dan jalur arakidonat tempat enzim tersebut bekerja. Diharapkan paper
ini dapat menambah wawasan mengenai COX, jalur arakidonat, dan NSAID
sehingga dapat menunjang pelayanan kesehatan kedepannya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Enzim Siklooksigenase (COX)

2.1.1. Struktur Molekuler COX

COX (Prostaglandin G/H sintase; Prostaglandin endoperoksida H


sintase; EC 1.14.99.1) adalah enzim homodimer yang mengkatalis dua
langkah pertama dalam biosintesis prostaglandin. Enzim COX memiliki dua
isoform, yakni isoenzim COX-1 dan COX-2. COX-1 memiliki 576 asam
amino sementara COX-2 memiliki 581 asam amino. COX-1 memiliki tiga
oligosakarida, salah satu oligosakarida berperan dalam pelipatan protein.
COX-2 memiliki empat oligosakarida, dimana satu oligosakarida berperan
dalam pelipatan protein dan oligosakarida keempat berperan dalam
degradasi protein ini.7

COX memiliki tiga domain, yakni domain faktor pertumbuhan


epidermal, domain penempelan membran, dan domain terbesar yakni
domain katalitik.7 COX adalah enzim yang terikat pada membran sel. Enzim
ini tidak memiliki bagian transmembran. Domain penempelan membran
enzim ini terdiri dari struktur seperti kaki-kaki yang membentuk area
hidrofobik. Melalui area ini COX dapat tetap terikat dengan membran sel.9
COX memiliki dua tempat aktif, yakni tempat aktif siklooksigenase dan
tempat aktif peroksidase.7 Tempat aktif siklooksigenase ada di dalam area
hidrofobik ini, tepatnya di puncak kanal berbentuk L. Substrat (dan
penghambat) harus memasuki kanal ini untuk mencapai tempat aktif
siklooksigenase.9,10 Di tempat yang berlawanan dengan area hidrofobik ini,
terdapat tempat aktif peroksidase. Struktur tempat aktif ini menyerupai
lembah dengan gugus heme di dasarnya dan bukit asam amino hidrofobik
di sekitar lembah tersebut.11,12

2
3

Gambar 2.1. Struktur enzim COX. Warna merah adalah gugus heme di tempat aktif
peroksidase. Warna hijau adalah asam arakidonat yang berikatan dengan tempat
aktif oksigenase.13

Gambar 2.2. Pemodelan yang menunjukkan kanal substrat serta posisi asam
arakidonat ketika menempel di tempat aktif siklooksigenase. Tampak bahwa
karbon-13 asam arakidonat tepat berada di depan Tyr-385.13
4

2.1.2. Perbedaan Isoenzim COX-1 dan COX-2

COX-1 diproduksi oleh sebagian besar jenis sel dalam tubuh. Gen
COX-1 bernama Ptgs-1. Gen ini mengkode RNA mRNA sepanjang 2,8 kb
yang stabil. Gen untuk COX-2, Ptgs-2, teraktivasi terutama ketika ada
rangsangan mediator inflamasi atau endotoksin bakteri di jaringan. Gen ini
apabila teraktivasi akan menghasilkan mRNA sepanjang 4 kb yang mudah
rusak karena ketidakstabilan di 3’-untranslated region.7

Enzim COX-2 bersifat unik karena memiliki sensitivitas lebih tinggi


terhadap hidroperoksida dibanding COX-1 sehingga mampu bekerja pada
konsentrasi asam arakidonat yang lebih rendah dibanding COX-1.7 Selain
itu, secara in vivo COX-2 terekspresi setelah ada induksi berupa lingkungan
inflamasi. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa COX-1 bekerja untuk
homeostasis sementara COX-2 bekerja dalam proses patologis.14

Ada spekulasi yang menyatakan bahwa isoform COX-3 ada pada


manusia (isoform ini baru ditemukan pada hewan). Spekulasi ini muncul
untuk menjelaskan cara kerja acetaminophen yang tidak begitu bagus dalam
menghambat COX-1 dan COX-2 tetapi ternyata mampu meredakan nyeri.6

2.1.3. Peran Fisiologis COX-1 dan COX-2

Peran fisiologis COX-1 meliputi:15

a. Agregasi platelet. Platelet merupakan vesikel sel tak berinti yang


akan beragregasi membentuk bekuan darah ketika terjadi kerusakan
pembuluh darah. Platelet dapat menghasilkan tromboksan A2
(TXA2) menggunakan substrat asam arakidonat dengan enzim
COX-1. Asam arakidonat yang menjadi substrat didapat dari
eksogen atau dari cadangan fosfolipid intrasel. TXA2 akan keluar
dari platelet dan berikatan dengan reseptor TXA2 platelet untuk
menginduksi perubahan bentuk dan agregasi platelet. TXA2 juga
bisa berikatan dengan reseptor di pembuluh darah untuk
menginduksi vasokonstriksi.
5

b. Persalinan. Percobaan menunjukkan bahwa pada hewan yang


kekurangan COX-1, PGF2α tidak terproduksi sehingga persalinan
menjadi terhambat. Akan tetapi tampaknya COX-2 pada kondisi
terinduksi inflamasi juga dapat memproduksi PGF2α untuk proses
persalinan.

Peran fisiologis COX-2 meliputi: 15

a. Ovulasi dan implantasi. COX-2 berperan dalam peningkatan


produksi PGE2 ovarium. Deplesi PGE2 ovarium akan menyebabkan
masalah ovulasi dan fertilisasi. Kekurangan COX-2 juga membuat
PGI2 berkurang sehingga menghambat implantasi blastocyst dan
desidualisasi.
b. Perkembangan neonatus. COX-2 berperan dalam perkembangan
jaringan glomerulus ginjal serta mempercepat penutupan ductus
arteriosus.

Proses yang melibatkan baik COX-1 dan COX-2, meliputi:15,16

a. Inflamasi. Peran COX-1 dan COX-2 pada inflamasi masih


kontroversial. Selama ini hipotesis yang diterima adalah COX-2
adalah isoenzim utama dalam proses inflamasi namun data
menunjukkan bahwa prostanoid yang dihasilkan COX-1 juga
berperan.
Dalam proses inflamasi, COX-2 berperan pada proses inisiasi dan
resolusi. COX-2 terutama akan diproduksi ketika ada rangsangan
berupa lipopolisakarida, interleukin-1, tumor necrosis factor, serum,
epidermal growth factor, transforming growth factor alpha,
interferon gamma, platelet activating factor, dan endotelin. COX-1
tetap ada tetapi relatif sedikit dibanding COX-2. Saat terjadi
inflamasi, terjadi peningkatan TXA2 sebanyak dua kali lipat. Di saat
yang sama, COX-2, prostaglandin I (PGI) sintase, dan prostaglandin
E (PGE) sintase akan terstimulasi menyebabkan peningkatan jumlah
PGI2 sebanyak 54 kali lipat dan PGE2 sebanyak 84 kali lipat. Di
fase yang lebih lanjut, COX-2 terekspresi lebih banyak dan memicu
6

pembentukan prostaglandin antiinflamasi seperti PGD2 dan PGJ2,


sementara hanya sedikit PGE2 terbentuk. Induksi COX-2 bersifat
sementara. Jumlah COX-2 akan menurun dalam 24-48 jam setelah
pengobatan.
b. Perlukaan lambung. Pada hewan kekurangan COX-1, terjadi
penurunan PGE2 lambung hingga 99%. Namun hal ini tak serta
merta membuat terjadinya ulkus. Pada hewan, ulkus baru terjadi
ketika COX-2 juga ikut dihambat. COX-2 juga tampaknya mampu
mempercepat penyembuhan ulkus.
c. Karsinogenesis. Penelitian menunjukkan bahwa COX-1 dan COX-
2 memicu peningkatan PGE2 di polip usus sehingga berkontribusi
terhadap terbentuknya kanker kolon.

2.2. Jalur Arakidonat

Asam arakidonat adalah asam lemak tak jenuh berkarbon 20.8 Asam
arakidonat adalah salah satu asam lemak polioenol yang paling banyak
dalam tubuh mamalia. Asam arakidonat umumnya ditemukan terikat pada
membran fosfolipid sel. Melalui jalur arakidonat, asam arakidonat dapat
diubah menjadi prostanoid.17

Tahap pertama dalam jalur arakidonat adalah pelepasan asam


arakidonat dari membran fosfolipid oleh enzim fosfolipase A2. Asam
arakidonat kemudian diubah menjadi eicosanoid melalui tiga jalur yakni
siklooksigenase (COX), lipoksigenase (LOX), dan sitokrom P-450 (cyt P-
450).17 Selain itu, radikal bebas bisa mengubah asam arakidonat menjadi
isoprostan.8 Pada paper ini, yang akan dibahas adalah jalur siklooksigenase
(COX).

Pada jalur COX, asam arakidonat diubah oleh COX menjadi


prostaglandin H2 (PGH2) melalui dua tahap.16 Ketika asam arakidonat
menempel ke tempat aktif siklooksigenase, struktur kanal L akan membuat
karbon-13 asam arakidonat tepat berada di depan Tyr-385. Saat COX
mengalami aktivasi, Tyr-385 akan berubah menjadi molekul radikal.
Radikal tirosil akan melepaskan atom hidrogen dari karbon-13 (di
7

konfigurasi S). Lepasnya atom ini akan memicu reaksi siklooksigenasi


dimana terjadi penambahan molekul oksigen membentuk jembatan
endoperoksida antara karbon 9 dan 11 dan cincin 5 karbon yang khas pada
senyawa prostaglandin. Molekul oksigen kedua memasuki karbon 15
menghasilkan gugus hidroperoksida PGG2. Setelah tahap siklooksidasi
selesai, terjadi tahap peroksidasi dimana COX akan mereduksi gugus 15-
hidroperoksi di PGG2 menjadi gugus alkohol, membentuk PGH2.4,7,16

Setelah PGH2 terbentuk, PGH2 ini akan diproses kembali oleh


enzim sintase terminal yang berbeda-beda menjadi prostanoid aktif yang
akan bekerja di jaringan.16 Prostanoid menghasilkan banyak efek biologis
dan berperan penting dalam fisiologi tubuh maupun patologi penyakit.17
Jumlah prostanoid dalam tiap sel bervariasi tergantung isoform COX yang
banyak terekspresi.16

Gambar 2.3. Jalur pembentukan prostanoid dan tempat kerja obat-obatan yang
menghambat jalur ini. ASA, asam asetilsalisilat (aspirin); LT, leukotriene.18
8

Gambar 2.4. Jalur siklooksigenase, salah satu cabang dari jalur arakidonat. EC, sel
endotel; EP, reseptor PGE2; DP, reseptor PGD2; FP, reseptor PGF2; IP, reseptor
prostasiklin; PLT, platelet; VSMC, sel otot polos pembuluh darah.19

Jenis-jenis prostanoid yang disintesis melalui jalur siklooksigenase,


di antaranya adalah:20

a. PGD2, merupakan mediator inflamasi dan alergi. PGD2 diproduksi


oleh sel mast dan sel Th2. PGD2 juga merupakan salah satu zat
pemicu tidur di otak.
b. PGE2, berperan dalam homeostasis, pembentukan inflamasi, nyeri,
aterosklerosis, dan demam.
c. PGF2α, berperan dalam steroidogenesis ovarium, menginduksi
persalinan, dan memacu kontraksi otot rahim,
d. Prostasiklin/PGI, berperan dalam relaksasi otot polos dan mencegah
agregasi platelet.
e. TXA2, berperan dalam agregasi platelet dan vasokonstriksi.
9

2.3. Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAID)

2.3.1. Karakteristik Umum NSAID

Tahun 1971, Vane dkk menemukan bahwa aspirin dan indomethacin


menghambat produksi prostaglandin dengan cara memblokir aktivitas
COX.21 Sejak saat itu, dikenal istilah Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs
(NSAID). NSAID termasuk dalam kelompok obat yang paling sering
diresepkan di dunia. Kelompok obat ini mencakup aspirin, penghambat
COX nonselektif, dan penghambat COX selektif. Mereka memiliki
kemampuan umum sebagai analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik.6

NSAID dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelas sesuai


struktur kimia dasarnya yakni kelas asam asetat, oxicam, asam propionat,
salisilat, dan coxib.6

Gambar 2.5. Struktur kimia beberapa kelas NSAID.18


10

2.3.2. Farmakokinetik NSAID

NSAID yang diberikan secara peroral sangat cepat diabsorpsi,


biasanya dalam 15-30 menit. Setelah diabsorpsi, 90% obat akan berikatan
dengan albumin dan beredar bersamanya. Kondisi hipoalbuminemia akan
menyebabkan banyak obat tidak terikat dan efek samping yang ditimbulkan
semakin besar.6

Hati akan memetabolisme hampir semua NSAID dan ekskresinya


akan melalui ginjal atau empedu. Sirkulasi enterohepatik terjadi ketika
NSAID atau metabolitnya diekskresi ke empedu dan terserap kembali di
usus.6 Penelitian menunjukkan bahwa derajat iritasi pencernaan akibat efek
samping NSAID ternyata berkorelasi positif dengan jumlah sirkulasi
enterohepatik.18 Penurunan fungsi ginjal akan memperpanjang waktu paruh
obat sehingga dosis obat mungkin perlu dikurangi. Gangguan hati akan
menghambat metabolisme NSAID sehingga meningkatkan toksisitas obat.6

Tabel 1. Karakteristik Obat-obat NSAID6,18

Waktu
Dosis yang
Obat Paruh Metabolisme
Direkomendasikan
(jam)
NSAID nonselektif
Salisilat
Aspirin 1200-1500 mg 3 0,25 Hidrolisis,
kali sehari konjugasi,
glukoronidasi
Magnesium 500 mg 2-3 kali Tidak ada Tidak ada data
kolin salisilat sehari data
Asam asetat
Diclofenac 50-75 mg 4 kali 1,1 Oksidasi
sehari
Indomethacin 50-70 mg 3 kali 4-5 Oksidasi,
sehari konjugasi
11

Ketorolac 10 mg 4 kali sehari 4-10 Konjugasi


Nabumetone 375 mg 2 kali 26 Oksidasi
sehari
Oxicam
Meloxicam 7,5-15 mg 1 kali 20 Oksidasi
sehari
Piroxicam 20 mg 1 kali sehari 57 Oksidasi
Asam propionat
Ibuprofen 600 mg 4 kali 2 Oksidasi
sehari
Ketoprofen 70 mg 3 kali sehari 1,8 Konjugasi
Oxaprozin 1200-1800 mg 1 58 Oksidasi,
kali sehari konjugasi
NSAID COX-2 selektif
Coxib
Celecoxib 100-200 mg 2 kali 11 Konjugasi
sehari

2.3.3. Farmakodinamik NSAID

NSAID terutama bekerja dengan menghambat jalur COX. Pada jalur


ini, kebanyakan NSAID bekerja secara reversibel dengan mencegah
pertemuan asam arakidonat dengan tempat aktif enzim COX sehingga
biosintesis prostaglandin dapat dihambat.6 Aspirin adalah pengecualian,
karena aspirin bekerja dengan mengasetilasi Ser-530 di COX-1 dan SER-
516 di COX sehingga efeknya ireversibel.8 Beberapa NSAID juga memiliki
efek kerja tambahan, seperti menghambat kemotaksis, mengurangi produksi
interleukin-1, dan mengurangi produksi radikal bebas.18

NSAID penghambat COX-2 selektif (coxib) disintesis hanya


beberapa tahun setelah COX-2 ditemukan. Keuntungan NSAID jenis ini
adalah NSAID ini tidak mengganggu fungsi platelet dan fungsi sistem
pencernaan pada dosis biasa dengan efektivitas yang relatif sama dengan
12

NSAID lain. Perlu diperhatikan bahwa NSAID penghambat COX-2 selektif


juga memiliki efek samping, dimana mereka mampu meningkatkan risiko
gangguan kardiovaskuler pada penggunaan jangka panjang.18 Seringnya
insiden henti jantung menyebabkan rofecoxib dan valdecoxib ditarik dari
pasaran. Saat ini hanya celecoxib yang masih digunakan untuk kepentingan
klinis. Pada kondisi perioperatif, coxib mungkin lebih aman digunakan
daripada NSAID lain karena tidak menyebabkan disfungsi platelet dan
gangguan pencernaan.6

Pada umumnya NSAID menurunkan sensitivitas pembuluh darah


terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi limfokin dari
limfosit T, dan melawan vasodilatasi yang terjadi saat inflamasi. NSAID
bersifat analgesik, antiinflamasi, dan hampir semua menghambat agregasi
platelet. Kebanyakan NSAID juga bersifat mengiritasi lambung,
nefrotoksik (karena penghambatan terhadap prostaglandin yang berperan
dalam autoregulasi aliran darah ginjal), dan hepatotoksik.18

Berdasarkan farmakodinamik tersebut, efek samping yang mungkin


muncul dari konsumsi NSAID biasanya berada dalam spektrum berikut:18

a. Sistem saraf pusat: sakit kepala, telinga berdenging, pusing


b. Kardiovaskuler: retensi cairan, hipertensi, edema, infark miokard,
gagal jantung kongestif
c. Pencernaan: nyeri perut, displasia, mual, muntah, ulkus, perdarahan
d. Hematologi: trombositopenia, neutropenia, anemia aplastik
e. Hati: fungsi hati terganggu, gagal hati
f. Kulit: rash, pruritus
g. Ginjal: insufisiensi ginjal, gagal ginjal, hiperkalemia, dan
proteinuria

Jika NSAID nonselektif diberikan bersama agen antiplatelet lain,


akan terjadi efek sinergis yang akan meningkatkan risiko perdarahan bila
tidak diperhitungkan secara matang. Interaksi NSAID dan litium cenderung
signifikan dimana NSAID akan menghambat produksi prostaglandin ginjal
dan mengganggu aliran darah ginjal sehingga menurunkan ekskresi litium.
13

NSAID juga bisa menurunkan ekskresi ginjal digoxin sehingga


meningkatkan toksisitas obat tersebut. NSAID menghambat interaksi obat
antikonvulsan dengan reseptornya.6

2.3.4. Beberapa Contoh NSAID6,18

a. Acetaminophen (Parasetamol)

Beberapa sumber telah mengeluarkan acetaminophen dari golongan


NSAID. Hal ini disebabkan karena acetaminophen efektif sebagai
antipiretik dan analgesik namun hanya memiliki sedikit efek
antiinflamasi. Acetaminophen memiliki efek analgesik sentral
dimana obat ini mampu mengaktivasi jalur serotonergik menurun.
Mekanisme kerjanya belum jelas. Pada hewan, acetaminophen
diketahui menghambat COX-3.6

Acetaminophen memiliki bioavailabilitas yang sangat baik. Obat ini


juga jarang menimbulkan efek samping. Overdosis obat ini biasanya
menyebabkan gangguan fungsi hati. Kombinasi acetaminophen
dengan NSAID lain mampu memberikan efek analgesia lebih baik
ketimbang masing-masing obat digunakan sendiri-sendiri.6

b. Aspirin

Aspirin (asam asetilsalisilat) merupakan turunan dari asam salisilat.


Aspirin sekarang jarang digunakan sebagai antiinflamasi dan lebih
sering digunakan sebagai antiplatelet. Aspirin menghambat COX di
platelet secara irreversibel sehingga lama kerja aspirin sama dengan
lama hidup platelet (8-10 hari). Di jaringan lain, COX yang
dinonaktifkan oleh aspirin akan segera diganti sehingga lama kerja
aspirin di jaringan hanya 6-12 jam. Aspirin menurunkan kejadian
serangan jantung iskemik dan trombosis. Di sisi lain, aspirin dapat
menimbulkan efek samping ulkus lambung dan duodenum.

c. Salisilat tak terasetilasi (Nonacetylated Salicylates)


14

Obat-obat dalam golongan ini mencakup magnesium kolin salisilat,


natrium salisilat, dan salisil salisilat. Semua obat ini efektif sebagai
antiinflamasi, namun efek analgesiknya kurang dibandingkan
aspirin. Karena golongan obat ini tidak menghambat COX secara
kuat dan tidak menghambat agregasi platelet, golongan obat ini
mungkin dipilih pada pasien-pasien yang memerlukan COX seperti
penderita asma, gangguan pembekuan darah, dan bahkan gangguan
ginjal.

d. Celecoxib
Celecoxib memiliki selektivitas terhadap COX-2 10-20 kali lebih
besar dari COX-1. Celecoxib berkaitan dengan insiden ulkus
gastrointestinal yang lebih sedikit dibanding NSAID lain. Celecoxib
bisa menimbulkan erupsi di kulit, mungkin dikarenakan obat ini
merupakan golongan sulfonamide. Risiko kardiovaskuler adalah
salah satu hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat ini.
e. Meloxicam

Meloxicam adalah senyawa enolcarboxamide yang memiliki


selektivitas terhadap COX-2 lebih besar dari COX-1, tapi tidak
seselektif celecoxib. Dibandingkan NSAID lain selain celecoxib,
meloxicam memiliki lebih sedikit efek samping.

f. Diclofenac

Diclofenac adalah senyawa turunan asam fenilasetat. Preparat


kombinasi diclofenac dan misoprostol mampu menurunkan risiko
perlukaan gastrointestinal tapi mampu menyebabkan diare.
Kombinasi diclofenac dan omeprazole mampu mencegah
perdarahan berulang, namun meningkatkan risiko gangguan ginjal.
Peningkatan serum aminotransferase lebih umum terjadi pada
penggunaan obat ini dibanding NSAID lain.

g. Ibuprofen
15

Ibuprofen adalah turunan asam fenilpropionat. Pada dosis 2400


gram sehari, ibuprofen memiliki efek antiinflamasi setara dengan 4
gram aspirin. Ibuprofen peroral biasanya diberikan dalam dosis <
2400 gram/hari dimana efek analgesiknya tercapai namun efek
antiinflamasinya belum tercapai.

h. Indomethacin

Indomethacin adalah senyawa turunan indol. Indomethacin adalah


penghambat COX nonselektif dan juga mampu menghambat
fosfolipase A dan C, menghambat migrasi neutrofil, dan
menurunkan proliferasi sel T dan sel B. Indomethacin memiliki
indikasi yang sedikit berbeda dibandingkan NSAID lain.
Indomethacin digunakan untuk mempercepat penutupan patent
ductus arteriosus. Indomethacin juga bermanfaat dalam penanganan
inflamasi konjungtiva dan gusi. Efek samping indomethacin kira-
kira sama dengan NSAID lainnya.

i. Ketoprofen

Ketoprofen adalah turunan asam propionat yang mampu


menghambat COX dan lipooksigenase. Meskipun memiliki efek
ganda terhadap prostaglandin dan leukotriene, efektivitas obat ini
tidak lebih baik dari NSAID lainnya. Efek samping umumnya
adalah masalah pencernaan dan gangguan sistem saraf pusat.

j. Ketorolac

Pada ketorolac umumnya yang dicari adalah efek analgesiknya,


bukan efek antiinflamasinya. Umumnya ketorolac diberikan secara
intravena atau intramuscular meski sediaan peroral juga tersedia.
Efek analgesik ketorolac sangat baik sehingga terkadang dapat
digunakan sebagai pengganti morfin dalam mengatasi nyeri ringan-
sedang setelah operasi. Ketika digunakan bersama opioid, ketorolac
mampu mengurangi dosis opioid sebanyak 25-50%.

k. Nabumetone
16

Nabumetone adalah suatu prodrug. Setelah berada dalam tubuh,


nabumetone diubah menjadi senyawa aktif berupa turunan asam
asetat. Nabumetone memiliki waktu paruh > 24 jam sehingga cukup
diberikan sekali sehari. Obat ini juga tampaknya tidak memiliki
sirkulasi enterohepatik. NSAID ini kurang popular karena
diperlukan dalam dosis besar (1500-2000 mg/hari) untuk bisa efektif
sementara harganya mahal. NSAID ini juga menimbulkan
pseudoporphyria dan pasien menjadi sensitif terhadap cahaya.

l. Piroxicam

Piroxicam adalah suatu senyawa oxicam. Selain menghambat COX,


obat ini pada konsentrasi tinggi mampu menghambat migrasi
neutrofil, menurunkan produksi oksigen radikal, dan menghambat
kerja limfosit. Ketika piroxicam diberikan dalam dosis lebih tinggi
dari 20 mg/hari, terjadi peningkatan risiko ulkus peptik dan
perdarahan hingga 9,5 kali dibandingkan NSAID lain.

m. Oxaprozin

Oxaprozin adalah turunan asam propionate. Obat ini memiliki waktu


paruh yang sangat lama dan tidak memiliki sirkulasi enterohepatik.
Obat ini juga bersifat sedikit urikosurik sehingga kemungkinan lebih
bermanfaat pada pasien artritis gout dibandingkan NSAID lain.

2.3.5. Memilih NSAID

Semua NSAID memiliki efektivitas yang mirip. Oleh sebab itu,


NSAID biasanya dibedakan berdasarkan efek samping dan harga. Sebagai
contoh, efek samping sistem pencernaan dan ginjal membuat penggunaan
ketorolac terbatas. Penelitian juga menunjukkan bahwa indomethacin dan
tolmetin memiliki efek samping terberat sementara salsate, aspirin, dan
ibuprofen memiliki efek samping yang paling ringan (penghambat COX-2
selektif tidak disertakan dalam penelitian ini). Diclofenac dan sulindac
sering mengakibatkan abnormalitas tes faal hati. Untuk pasien dengan
masalah ginjal, salisilat tak terasetilasi mungkin yang paling aman. Untuk
17

pasien dengan risiko perdarahan yang tinggi, celecoxib mungkin yang


paling baik meski ada risiko gangguan kardiovaskuler dan harga lebih
mahal. Dapat disimpulkan bahwa pemilihan NSAID memerlukan
keseimbangan antara efektivitas, harga, keamanan, dan berbagai faktor
personal (seperti interaksi obat, penyakit, kepatuhan, dan jaminan asuransi).
Tidak mungkin ada satu NSAID yang terbaik untuk semua orang, tetapi
mungkin ada satu atau beberapa pilihan NSAID yang cocok untuk satu
orang.
BAB III
SIMPULAN

Semenjak ditemukan pada abad ke-20, COX telah mengubah dunia


kedokteran. Ditemukannya COX membuka pintu terhadap pengetahuan mengenai
berbagai mekanisme homeostasis dan patofisiologi. Seiring dengan semakin
majunya ilmu biologi molekuler, jalur pembentukan prostanoid semakin banyak
ditelusuri. Kini kita mengetahui bahwa COX ada dua isoenzim, masing-masing
memiliki fungsi dalam tubuh. Mereka dapat bekerja sendiri-sendiri atau bersama-
sama. Kerja mereka adalah di jalur arakidonat yang meliputi perubahan asam
arakidonat menjadi PGH2. Setelah PGH2 terbentuk, proses ini dilanjutkan oleh
enzim-enzim sintase lain untuk membentuk prostanoid yang memiliki fungsi
masing-masing di jaringan.

Berbekal ilmu biokimia dan ilmu farmakologi, ditemukanlah obat-obatan


yang mampu menghambat kemampuan COX untuk kepentingan manusia. NSAID
telah menjadi salah satu obat yang paling banyak diresepkan di seluruh dunia.
Masing-masing NSAID memiliki keunikan tersendiri sehingga perlu pemahaman
untuk dapat mengaplikasikannya secara benar dalam kehidupan sehari-hari sebagai
penyedia layanan kesehatan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Herschman, H.R. 1998. Recent progress in the cellular and molecular biology
of prostaglandin synthesis. Trends in Cardiovascular Medicine. 8:145–150.
2. Bergström, S. 1982. The prostaglandins: from the laboratory to the clinic. In
Les prix nobel: Nobel prizes, presentations, biographies and lectures. Edited
by The Nobel Foundation. Almqvist & Wiksell. Stockholm, Sweden. 129–
148.
3. Jones, D.A., Carlton, D.P., McIntyre, T.M., Zimmerman, G.A., dan Prescott,
S.M. 1993. Molecular cloning of human prostaglandin endoperoxide synthase
type II and demonstration of expression in response to cytokines. Journal of
Biology and Chemistry. 268:9049–9054.
4. Serhan, C.N. dan Oliw, E. 2001. Unorthodox routes to prostanoid formation:
new twists in cyclooxygenase-initiated pathways. Dalam Perspective Series:
Prostaglandins and Their Precursors. The Journal of Clinical Investigation.
107(12):1481-1489.
5. Patrono, C., Patrignani, P., dan Rodríguez, L.A.G. 2001. Cyclooxygenase-
selective inhibition of prostanoid formation: transducing
biochemicalcselectivity into clinical read-outs. The Journal of Clinical
Investigation. 1-5.
6. Flood, P., Rathmell, J.P., dan Shafer, S. 2015. Stoelting's Pharmacology &
Physiology in Anesthetic Practice. Edisi kelima. Philadelphia: Wolters
Kluwer Health.
7. Rouzer, C.A. dan Marnett, L.J. 2009. Cyclooxygenases: structural and
functional insights. Journal of Lipid Research. 50:S29-S34.
8. Williams, C.S., Mann, M., dan DuBois, R.N. 1999. The role of
cyclooxygenases in inflammation, cancer, and development. Oncogene. 18:
7908–7916.
9. Smith, W. L., D. L. DeWitt, dan R. M. Garavito. 2000. Cyclooxygenases:
structural, cellular, and molecular biology. Annual Reviews of Biochemistry.
69: 145–182.

19
20

10. Rouzer, C. A., dan L. J. Marnett. 2003. Mechanism of free radical


oxygenation of polyunsaturated fatty acids by cyclooxygenases. Chemistry
Reviews. 103: 2239–2304.
11. Garavito, R. M., M. G. Malkowski, dan D. L. DeWitt. 2002. The structures of
prostaglandin endoperoxide H synthases-1 and -2. Prostaglandins and Other
Lipid Mediators. 68–69: 129–152.
12. Kulmacz, R. J., W. A. van der Donk, dan A. L. Tsai. 2003. Comparison of the
properties of prostaglandin H synthase-1 and -2. Progress of Lipid
Researches. 42: 377–404.
13. Schneider, C., Pratt, D.A., Porter, N.A., dan Brash, A.R. 2007. Control of
oxygenation in lipoxygenase and cyclooxygenase catalysis. Chemistry and
Biology. 14(5): 473–488.
14. Jones, D.A., Carlton, D.P., McIntyre, T.M., Zimmerman, G.A., dan Prescott,
S.M. 1993. Molecular cloning of human prostaglandin endoperoxide synthase
type II and demonstration of expression in response to cytokines. Journal of
Biology and Chemistry. 268:9049–9054.
15. Smith, W.L. dan Langenbach, R. 2001. Why there are two cyclooxygenase
isozymes. Dalam Perspective Series: Prostaglandins and Precursors. The
Journal of Clinical Investigation. 107(12):1491-1495.
16. Caughey, G.E., Cleland, L.G., Penglis, P.S., Gamble, J.R., dan James, M.J.
2001. Roles of Cyclooxygenase (COX)-1 and COX-2 in Prostanoid
Production by Human Endothelial Cells: Selective Up-Regulation of
Prostacyclin Synthesis by COX-2. The Journal of Immunology. 167:2831-
2838.
17. Sutherland, M. 2002. Role of Phospholipid Hydroperoxide Glutathione
Peroxidase in Hepoxilin A3 Biosynthesis in Human Platelets and Biological
Actions of Hepoxilin A3 on Human Neutrophils. Berlin: Freien Universitat.
18. Katzung, B.G., Masters, S.B., dan Trevor, A.J. 2012. Basic & Clinical
Pharmacology. Edisi ke-12. New York: McGraw Hill Medical.
19. Majed, B.H. dan Khalil, R.A. 2012. Molecular Mechanisms Regulating the
Vascular Prostacyclin Pathways and Their Adaptation during Pregnancy and
in the Newborn. Pharmacological Reviews. 64:540–582.
21

20. Smith, W.L., Urade, Y., dan Jakobsson, P-J. 2011. Enzymes of the
Cyclooxygenase Pathways of Prostanoid Biosynthesis. Chemistry Reviews.
111(10): 5821–5865.
21. Vane, J.R. 1971. Inhibition of Prostaglandin Synthesis as a Mechanism of
Action for Aspirin-like Drugs. Nature New Biology. 231:232–235.

Anda mungkin juga menyukai