Anda di halaman 1dari 10

CHAPTER 14

RHINITIS ALERGI DAN NON-ALERGI

Saurabh B. Shah , MD, FAAOA &

Ivor A. Emanuel , MD, FAAOA

Rhinitis didefinisikan sebagai kondisi peradangan yang mengenai mukosa

hidung. Gejala-gejala rinitis termasuk sumbatan hidung, hiperirritabilitas, dan

hipersekresi. Rhinitis dapat disebabkan oleh berbagai jenis kondisi alergi dan

nonalergik (Tabel 14-1). Insiden rinitis tampaknya meningkat sejak revolusi

industri. Satu dari lima orang Amerika diperkirakan menderita rhinitis.

Rinitis alergi adalah salah satu kondisi kronis yang paling umum di

Amerika Serikat. Sekitar 50 juta orang AS yang memiliki rhinitis, banyak yang

tidak memiliki alergi sebagai penyebab rinitis mereka. Gejala-gejala rinitis non-

alergi termasuk obstruksi hidung, hipersekresi, dan hiperiritabilitas, tidak ada

yang disebabkan oleh alergi.

Anatomi & Fisiologi

Aliran udara melalui hidung lebih efisien dalam pertukaran gas dan

membutuhkan lebih sedikit energi daripada pernapasan mulut. Hidung berperan

sebagai saluran awal menuju jalan napas. Dengan demikian, hidung memiliki

fungsi penting untuk menghangatkan, melembabkan, dan membersihkan udara

yang kita hirup. Siklus hidung terdiri dari modulasi simultan antara simpatik dan

parasimpatik yang berlawanan. Siklus hidung dapat mengubah aliran udara di satu

lubang hidung hingga 80%, sambil mempertahankan aliran udara total.

Dari anterior ke posterior, perbedaan strukutur hidung bekerjasama untuk

mencapai fungsinya. Vestibulum nasal dilapisi oleh vibrissae menyaring partikel


besar yang masuk ke hidung. Vestibulum kemdian berhubungan dengan regio

katup hidung, dimana mukosa hidung menjadi epitel kolumnar pseudostratified

bersilia. Epitel jenis ini melapisi seluruh rongga sinonasal; Kepentingannya adalah

ketika mempertimbangkan kondisi seperti sindrom Kartagener di mana silia yang

imotil menyebabkan krusta kronis akibat stasis lendir. Di bawah mukosa terletak

sel-sel stroma, sel-sel inflamasi, saraf, pembuluh darah, dan kelenjar seromukosa.

Masing-masing bagian ini dapat berperan dalam peradangan hidung.

Hidung dibagi menjadi kiri dan kanan dan dipisahkan oleh septum yang

terdiri dari kartilago. Secara lateral, tiga proyeksi tulang konka superior, media,

dan inferior— di proyeksikan ke dalam rongga hidung. Tulang konka ini dilapisi

oleh mukosa, sehingga meningkatkan luas permukaan hidung dan menutupi

ostium sinus. Duktus nasolakrimalis bermuara ke meatus inferior. Sinus frontal,

maksila, dan ethmoid anterior bermuara ke meatus media. Sinus ethmoid posterior

bermuara ke meatus superior. Akhirnya, ostium sinus sphenoid yang lebih tinggi

dari choana dan bermuara ke konka superior. Peradangan di bagian drainase ini

dapat menyebabkan epifora atau penyakit sinus.

Vaskularisasi hidung termasuk arteri karotis interna dan externa yang

member nutrisi ke hidung. Arteri etmoidalis anterior dan posterior merupakan

cabang dari arteri oftalmikus, cabang dari arteri carotis interna. Arteri karotis

externa menyuplai arteri phenopalatina. Drainase vena hidung terutama melalui

pleksus pterygoid dan oftalmikus.

Karakteristik nasal mucus memiliki kepentingan. Lendir hidung dan sinus

biasanya ada dalam dua lapisan pada permukaan epitel. Lapisan yang lebih dalam,
lebih tipis dan kurang kental dari lapisan luar dan memungkinkan silia untuk

mengalahkan dengan lebih sedikit perlawanan. Lapisan luar memiliki perangkap

partikel inhalasi dan memiliki kepadatan mediator inflamasi dan leukosit yang

lebih besar untuk perlindungan terhadap agen infeksi dan zat asing.

RHINITIS NON-ALERGI

Rhinitis non-alergi biasanya muncul dengan rhinorrhea dan sumbatan

hidung yang jelas. Bersin, gatal, dan mata berair biasanya tidak mucnul pada

rhinitis non-alergi. Ada peningkatan insiden rinitis non-alergi pada usia lanjut.

Pasien dengan rhinitis non-alergi harus selalu ditanyakan tentang penggunaan

semprotan hidung yang dijual bebas, trauma sebelumnya, pekerjaan atau paparan

kimia, dan penggunaan obat intranasal sebelumnya. Epistaksis, nyeri, dan gejala

unilateral dapat menjadi pertanda dari neoplasma dan harus diperhatikan.

Tabel 14-1. Jenis rhinitis.


Rhinitis alergi Rhinitis infeksi Rhinitis non-alergi, Jenis lain
non-infeksi
 Seasonal  Virus Eosinophilic  Rhinitis
(musiman)  Rhinosinuitis syndrome granulomatosa
 Perennial bakteri  NARES  Rhinitis
(sepanjang  Polip nasal atrofikan
waktu) Non-eosiniphillic  Rhinitis
syndrome gustatori
 Rhinitis
vasomotor
 Rhinitis
medicamentosa
 Rhinitis
okupasional
 Rhinitis pada
kehamilan
 Hipotiroid
 Obat-obatan
(KB)

Rhinitis Virus

Rhinitis virus merupakan rhinitis yang paling umum terjadi dan sering

berhubungan dengan gejala penyakit virus lainnya, seperti sakit kepala, lemas,

pegal-pegal dan batuk. Drainase hidung pada rinitis virus paling sering jernih atau

putih dan dapat disertai dengan hidung tersumbat dan bersin.

Occupational Rhinitis

Perbedaan jumlah polutan di dalam dan di luar ruangan berpengaruh pada

hidung. Agen ini termasuk debu, ozon, sulfur dioksida, asap rokok, semprotan

tanaman, dan amonia. Agen tersebut menyebabkan hidung kering dan

berkurangnya aliran udara, rhinorrhea dan bersin. Penurunan pergerakan silia

hidung terlihat pada paparan asap rokok kronik dan terhadap paparan partikel

kayu. Kontrol lingkungan sangan penting untuk pasien ini. Membatasi paparan

dengan menghilangkan agen penyebab, menghindari, meningkatkan ventilasi, dan

memggunakan masker pelindung sangat membantu.

Rhinitis Vasomotor

Pasien dengan rhinitis vasomotor menunjukkan gejala sumbatan pada

hidung dan drainage hidung yang jernih. Gejala sering berhubungan dengan

perubahan suhu, pola makan, paparan bau-bauan dan bahan kimia, atau

penggunaan alkohol. Beberapa klinisi berpendapat bahwa abnormalitas dari

regulasi otonom menyebabkan rhinitis vasomotor.


Rhinitis Non-Alergi Dengan Eosinofilia

Penjelasan terbaru mengenai rhinitis Non-alergi dengan eosinofilia (NARES),

merupakan sebuah sindrom yg menunjukkan gejala obstruksi dan kongesti

hidung. Pasien sering mengalami eksaserbasi yang parah. Termasuk

perkembangan sinusitis dan polip. Hasil hapusan hidung juga menunjukkan

peningkatan eosinophil (>25%) dan tidak menunjukkan alergi terhadap alergen

inhalan saat di skin test atau vitro testing. Penyebab NARES secara pasti belum

diketahui.

Rhinitis Medikamentosa

Pasien dengan rhinitis medika mentosa sering menunjukkan gejala dengan

obstruksi hidung yang memburuk lebih dari beberapa tahun. Mereka biasanya

menggunakan obat nasal spray terlalu lama. Butuh waktu lama bagi pasien dalam

meningkatkan dosis spray yang dapat menimbulkan takifilaksis. Spray yang

digunakan dalam jangka waktu panjang menyebabkan rebound dari rhinitis pada

pasien obstruksi nasal yang reda akibat efek dari agent topikal yang

berkurang/hilang.

Rhinitis Pada Kehamilan

Kejadian lain paling umum dari rhinitis non-alergi diantaranya rhinitis pada

kehamilan. Konsentrasi estrogen sistemik meningkat selama kehamilan.

Peningkatan estrogen menyebabkan peningkatan asam hialuronat di jaringan

hidung yang menghasilkan edema dan kongesti pada hidung. Terlebih

peningkatan kelenjar mukus dan penurunan silia selama kehamilan, keduanya


menyebabkan tingginya kongesti hidung dan berkurangnya mucus clearence.

Rhinitis semakin parah saat trimester 2 dan 3.

VASCULITIS, AUTOIMUN DAN PENYAKIT GRANULOMA

Pemeriksaan fisik pasien rhinitis harus meliputi pemeriksaan kepala dan

leher. Pemeriksaan bagian luar hidung, harus dievaluasi riwayat trauma

sebelumnya karena dapat menjadi indikasi adanya deviasi septum. Di bagian

dalam, evaluasi bagian septum nasi. Tanda inflamasi kronik, vasculitis, dan

perforasi septum dapat menjadi indikasi berbagai masalah sistemik mulai dari

wegener granulomatosis hingga penyalahgunaan kokain. Ukuran dan karakter

konka juga perlu diperhatikan, seperti adanya rinorhea. Terlebih dokter harus

melakukan pemeriksaan pada pasien dengan polip nasal, atau massa intranasal.

Pemeriksaan hidung untuk bagian yang lebih dalam dapat dilakukan setelah

pemberian anestesi topikal dengan menggunakan endoskopi hidung rigid maupun

fleksibel. Endoskopi rigid dengan ukuran 4.0 mm bisa digunakan untuk pasien

dewasa, sedangkan ukuran 2.7 mm untuk pasien anak-anak.

Pemeriksaan ini memberikan gambaran dari meatus media, reses spenoethmoidal,

dan regio nasofaring yang tidak dapat dilihat melalui rhinoskopi anterior. Selain

itu, sitologi hidung dapat membantu untuk menentukan kedua jenis sel dan adanya

motilitas siliaris.

Sanico A, Togias A. Noninfectious, nonallergic rhinitis (NINAR): considerations on


possible mechanisms. Am J Rhinol 1998;12:65 [PMID: 9513662].
Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Ann Allergy Asthma
Immunol 2001;86:494 [PMID: 11379801]. (Detailed review of the various causes of
nonallergic rhinitis.)

TERAPI RHINITIS NON-ALERGI


A. Terapi Non-Bedah

1. Menghindari iritan

Terapi rhinitis non-alergi termasuk menghindari agen pencetus

seperti bahan kimia, asap rokok, parfum, dan bau-bau yang lain. Sebagai

tambahan, untuk pasien dengan paparan di tempat kerja, masker dapat

berguna untuk membatasi bahan iritan

2. Irigasi salin

Irigasi salin merupakan terapi tambahan yang penting untuk

membantu.mencegah stasis nasal dan menurunkan pembentukan krusta.

Penggunaan salin tidak hanya meningkatkan efikasi obat-obatan topikal

intranasal tapi juga meningkatkan fungsi silia.

3. Steroid topical

Steroid topikal intranasal bekerja di mukosa nasal untuk

mengurangi inflamasi, menekan reaksi sel mast, dan menurunkan

intraseluler edema. Meskipun digunakan untuk rhinitis alergi, namun

beberapa pasien non-alergi respon terhadap pemberian steroid.

4. Adrenergik agent

Terapi lainnya untuk rhinitis non-alergi adalah adrenergik agent.

Ada 2 golongan obat adrenergik, yaitu (1) phenylamine, contohnya

efedrin, pseudoefedrin, penylephrine, dan phenilpropanolamine.

(2) imidazoline, contohnya xylometazoline, oxymetazoline, dan

naphazoline. Phenilamine merupakan obat oral. Sedangkan imidazoline

merupakan obat topikal. Cara kerja phenilamine adalah untuk

menurunkan kapitansi mukosa pembuluh darah oleh reseptor alfa


adrenergik, dan menyebabkan efek dekongestan. Phenilamine dapat

menyebabkan efek samping terkait dosis, seperti tremulousness, gelisah,

takikardi, hipertensi dan retensi urin. Obat ini kontraindikasi bagi pasien

hipertensi, penyakit koroner yang parah, pada pasien dengan terapi

monoamine inhibitor. Topikal omodazoline, menurunkan aliran darah di

hidung denga ln mempengaruhi reseptor adrenergik alfa 1 dan alfa 2 .

Potensi vasokontriksi dapat menyebabkan rebound kongesti sejak

pemberian obat dihentikan (rhinitis medikamentosa) jika digunakan

lebih dari 5 hari. Oleh karena itu, pasien harus berhati-hati ketika

menggunakan spray hidung untuk jangka panjang (rhinitis medika

mentosa)

5. Obat tambahan

Terapi kolinergik seperti ipatropium bromide dapat digunakan

secara topikal untuk memblok input parasimpatis dan menurunkan gejala

rinorrhea. Ipatoprium bromide tersedian dalam formula 0.03% untuk

rhinitis non-infeksi dan konsentrasi 0.06% untuk rhinitis virus.

Antikolinergik agent dapat dikombinasikan dengan steroid intranasal.

Kombinasi obat tersebut harus dihindarkan dari pasien glaukoma sudut

sempit, hipertrofi prostat, dan obstruksi uretra.

Terapi terbaru yang sudah dicoba untuk rhinitis vasomotor

menggunakan spray antihistamin intranasal. Contohnya azelastine spray

(Astepro 0.15%) dan olopatadine (patanase) adalah baru. Satu kali

perhari antihistamin intranasal mungkin memperingan rhinitis

vasomotor.
Beberapa obat lain seperti kromolin sodium, aman digunakan

berulang. Spray intranasal ini menstabilkan sel mast. Obat ini harus

diberikan sebelum terjadi degranulasi sel mast agar efektif dan memiliki

waktu paruh yang relatif singkat, sehingga pemberian obat harus lebih

sering. Akhirnya, beberapa klinisi menggunakan leukotrien inhibitor

sebagai terapi tambahan pada terapi rhinitis non-alergi. Begitupun studi

lebih lanjut menjamin efikasi obat ini.

B. Terapi Bedah

1. Prosedur Pembedahan Septum

Terapi bedah untuk rhinitis non-alergi berfokus pada perbaikan struktur

abnormal yang mungkin berkontribusi pada gejala pasien. Deviasi

septum merupakan defek paling umum terjadi dan berkontribusi

terjadinya obstruksi nasal. Perforasi septum dapat menyebabkan

pembentukan krusta atau epistaksis. Pembedahan untuk koreksi perforasi

septum termasuk mereposisi septum, pemasangan flap untuk menutup

perforasi, dan dibutuhkan cangkok jaringan bila perforasi berukuran

lebih besar.

2. Operasi konka

Pembedahan konka inferior juga sering digunakan untuk terapi rhinitis

non-alergi. Jenis dan tingkat operasi pada konka inferior terus menjadi

sumber perdebatan. Berbagai teknik untuk bedah turbinate ada dan

termasuk kauterisasi, ablasi frekuensi radio, reseksi submukosa,

pengurangan submukosa melalui microdebrider, dan reseksi turbinate

parsial atau lengkap. Secara umum, kecenderungan saat ini adalah untuk
mempertahankan sebanyak mungkin mukosa konka untuk

memungkinkan melanjutkan fungsi fisiologis normal.

Tomooka LT, Murphy C, Davidson TM. Clinical study and literature review of nasal
irrigation. Laryngoscope 2000;110:1189 [PMID: 10892694].

Anda mungkin juga menyukai