Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

HUKUM ACARA PERDATA

OLEH:

IKO FEBRY PRATAMA

H1A117377

KELAS:E

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
Ada lima bukti yang dapat diajukan dalam sidang perdata (pasal 164 HIR, 284 RBg dan 1866
BW) :

1) Bukti Tulisan/Bukti Dengan Surat

Bukti tulisan atau bukti dengan surat merupakan bukti yang sangat krusial dalam
pemeriksaan perkara perdata di pengadilan. Hal ini sebagaimana telah diutarakan
sebelumnya bahwa bukti tertulis atau bukti dengan surat sengaja dibuat untuk
kepentingan pembuktian dikemudian hari bilamana terjadi sengketa. Secara garis besar,
bukti tulisan atau bukti dengan surat terdiri atas dua macam, yaitu akta dan tulisan atau
surat-surat lain.

Akta ialah surat atau tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang
suatu peristiwa dan ditanda tangani oleh pembuatnya. Berdasarkan pengertian tersebut,
dapat dipahami bahwa suatu surat dapat dianggap akta jika memiliki cirri sengaja dibuat
dan ditandatangani untuk dipergunakan oleh orang lain untuk keperluan siapa surat itu
dibuat. Pengaturan mengenai akta diatur dalam KUHPerdata Pasal 1867 sampai dengan
Pasal 1880 dan dalam RIB serta ADS.

Ada dua macam akta, yaitu akta autentik dan akta dibawah tangan. Ipertama akta
autentik atau akta resmi yang berdasarkan Pasal 1868 KUHPerrdata adalah Suatu akta
yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang
ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut di tempat mana akta itu dibuat.
Pejabat umum yang dimaksudkan itu ialah notaries, hakim, pegawai pencatatan sipil
(ambtenaar burgerlijke stand), presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, pegawai
pencatat nikah, panitera pengadilan, jurusita, dan sebagainya.

Berdasarkan undang-undang, suatu akta autentik atau akta resmi mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna (volledig bewjs). Artinya, jika suatu pihak mengajukan suatu
akta autentik, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam
akta itu sungguh-sungguh telah terjadi sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan
penambahan pembuktian lagi.

Berdasarkan KUH Perdata, RIB dan RDS, akta autentik dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu akta autentik yang dibuat oleh pejabat (ambtenaar acte atau relaas acte) dan akta
yang dibuat oleh para pihak (partij acte). Akta yang dibuat oleh pejabat merupakan akta
yang dibuat oleh pejabat memang diberi wewenang untuk itu yang mana pejabat tersebut
menetangkan apa yang dilihat, didengar, serta apa yang dilakukan oleh pejabat tersebut.
Dengan demikian, isi akta itu adalah semacam pemberitaan ataupun proses verbal tentang
terjadinya suatu perbuatan. Singkatnya inisiatif pembuatan akta itu datang dari pejabat itu
sendiri ataupun merupakan kewajiban pekerjaannya, bukan dari pihak yang namanya
tercantum dalam akta tersebut. Misalnya Berita Acara Lelang, Berita Acara Rapat oleh
Notaris dan sebagainya.

Kedua adalah akta di bawah tangan, yaitu tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan
perantaraan seorang pejabat umum, yang mana akta itu dibuat dan ditanda tangani sendiri
oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. jika para pihak yang
menandatangani surat perjanjian atau akta itu mengakui atau tidak menyangkal tanda
tangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran hal yang tertulis
dalam surat perjanjian atau akta itu, akta dibawah tangan tersebut memperoleh suatu
kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta autentik atau akta resmi.

2) Bukti saksi

Jenis alat-alat bukti dalam hukum acara perdata diatur Pasal 164 HIR, yakni surat,
saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dari sistematika, alat bukti surat memang
paling kuat. Tetapi tak selamanya alat bukti surat itu menjamin kemenangan perkara jika
terjadi sengketa perdata. Bisa jadi, alat bukti itu tidak mencukupi batas minimal
pembuktian; atau alat bukti yang dimiliki pihak lawan jauh lebih kuat.
 
Itu sebabnya, dalam proses pembuktian pada perkara perdata kehadiran saksi sangat
penting. Pasal 1895 KUH Perdata menyebutkan ‘Pembuktian dengan saksi-saksi
diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-
undang’.Pertanyaannya, siapakah yang dimaksud dengan saksi?Pada dasarnya, saksi
adalah orang yang melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian yang
diperkarakan. Namun Mahkamah Konstitusi sudah memperluas makna saksi, termasuk
pula orang yang mengetahui suatu peristiwa dari orang lain.
Siapapun yang memenuhi kriteria tersebut dapat diajukan menjadi saksi di
pengadilan.Tetapi ada beberapa orang yang dikecualikan. Mereka yang dikecualikan
antara lain diatur dalam Pasal 145 HIR. Pada umumnya anggota keluarga sedarah bisa
ditolak kesaksiannya, dan mereka boleh mengundurkan diri.Namun, mereka tidak dapat
ditolak sebagai saksi jika sengketa yang sedang diadili berkenaan dengan perselisihan
sesama anggota keluarga sedarah atau semenda.Misalnya, dalam perkara warisan.
 
M. Yahya Harahap, dalam bukunya Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (cetakan 2016),
berpendapat bahwa menjadi saksi dalam perkara perdata adalah kewajiban hukum tetapi
tidak imperatif dalam segala hal sebagaimana perkara pidana. Yahya merujuk
pandangannya pada Pasal 139-143 HIR atau Pasal 165-170 RBg. Pasal 143 ayat (1) HIR
menyatakan “tidak seorang pun yang dapat dipaksa datang menghadap pengadilan
negeri untuk memberi kesaksian di dalam perkara perdata, jika tempat berdiamnya atau
tempat tinggalnya di luar keresidenan tempat kedudukan pengadilan negeri itu”.
 
Berkaitan dengan keterangan saksi sebagai alat bukti, penting untuk memahami
kalimat unus testis nullus testis: kesaksian seorang saksi tidak dianggap kesaksian.
Pengertian kalimat ini tidak secara harfiah satu orang saksi.Sepuluh orang saksi pun
dihitung satu jika saksi yang memenuhi syarat materiil (Pasal 169 HIR) hanya satu orang.

Masalah krusial dalam proses pembuktian melalui keterangan saksi adalah jika saksi
yang dihadirkan adalah pejabat yang punya kewajiban menyimpan rahasia. Ini disinggung
dalam Pasal 146 HIR: ‘semua orang yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya
yang sah diwajibkan menyimpan rahasia’. Yahya Harahap juga mengakui masalah ini
‘sering menimbulkan ketidakjelasan dalam praktek peradilan’.

3) Persangkaan

Alat bukti persangkaan (presumptie, vermoeden) termasuk yang minim dijelaskan


dalam HIR, sehingga memerlukan penjelasan lebih detail pada pembentukan hukum acara
perdata ke depan. Menurut Pasal 1915 BW (KUH Perdata), persangkaan adalah
kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu
peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.Ada persangkaan
berdasarkan undang-undang dan ada yang tidak berdasarkan undang-undang.Contoh
persangkaan berdasarkan undang-undang adalah setiap anak yang dilahirkan dalam
perkawinan memberikan status bapak bagi si suami dalam keluarga.Artinya, suami
dianggap sebagai bapak dari bayi yang lahir dalam perkawinan tersebut.Persangkaan
hakim memberikan kebebasan kepada hakim untuk mempersangkaan sesuatu asalkan
tetap berdasarkan fakta penting.
 
Persangkaan oleh hakim sangat potensial menimbulkan perdebatan di
lapangan.Apalagi jika dianut pandangan bahwa alat bukti persangkaan hakim mempunyai
kekuatan yang bebas.Kebebasan hakim melakukan persangkaan bukan tanpa syarat. Pasal
1922 BW misalnya mengatur bagaimana cara hakim menarik persangkaan. Pasal ini, plus
Pasal 173 HIR, memberi warning kepada hakim agar berhati-hati menarik persangkaan.
 
Putusan Mahkamah Agung No. 1083/K/Pdt/1984 adalah contoh kasus alat bukti
persangkaan.Dalam kasus ini pihak penggugat mengajukan fakta-fakta yang terdiri dari
pengukuran dan pembayaran retribusi kayu terperkara.Dengan latar belakang tersebut,
pengadilan mengkonstruksikan alat bukti persangkaan untuk membuktikan kebenaran
tentang hubungan kerja pengelola kayu log di areal konsesi tergugat.
 
Dalam kasus itu, penggugat mendalilkan antara penggugat dan tergugat telah terjadi
perjanjian lisan pengolahan kayu log di areal konsesi tergugat sebagai lanjutan dari
perjanjian tertulis sebelumnya.Perjanjian lisan itulah yang harus dibuktikan penggugat
sedangkan bukti konkret dan pasti untuk itu tidak dimilikinya.Untuk itu penggugat
mengajukan fakta berupa berupa pengukuran kayu log, pembayaran retribusi dan
perjanjian tertulis sebelumnya. Melalui fakta yang diketahui itu hakim menarik
kesimpulan tentang adanya persangkaan konkret mendekati kepastian bahwa antara
penggugat dan tergugat telah terjadi perjanjian lisan mengenai kerjasama pengolahan
kayu log di areal konsesi hutan tergugat sebagai lanjutan dari perjanjian tertulis yang
telah disepakati sebelumnya.

4) Pengakuaan

Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR meletakkan pengakuan pada urutan
keempat mengenai alat bukti. Pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti berdasarkan
Pasal 1923 BW dan Pasal 174 HIR ialah (i) pernyataan atau keterangan yang disampaikan
salah satu pihak kepada pihak lain dalam pemeriksaan suatu perkara; (ii) pernyataan atau
keterangan tersebut diucapkan di muka hakim atau dalam persidangan; atau (iii)
keterangan itu bersifat pengakuan (confession) bahwa apa yang dilakukan pihak lawan
benar untuk sebagian atau seluruhnya.Jika salah satu pihak sudah mengakui fakta
tertentu, menurut Yahya Harahap dalam bukunya, hakim tidak lagi dapat dibenarkan
untuk memberi pendapat tentang masalah atau objek pengakuan.‘Hakim tidak boleh lagi
menyelidiki kebenaran pengakuan itu’.Pengakuan bisa dilakukan secara lisan atau secara
tertulis. Pengakuan yang disampaikan para pihak langsung di depan hakim akan sangat
kuat. Tetapi pengakuan lewat kuasa hukum juga dibenarkan. Pasal 174 HIR
menyebutkan: ‘Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim cukup menjadi bukti yang
memberatkan orang yang mengaku itu, baik yang diucapkan sendiri maupun dengan
bantuan orang lain yang khusus dikuasakanuntuk itu’.
 
Pengakuan yang tulus dari salah satu pihak berperkara mengenai objek yang
disengketakan tak semudah membalik telapak tangan. Made Sutrisna, Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan menyatakan pengakuan memang merupakan salah satu alat bukti
penting dalam proses persidangan. Tetapi dalam kenyataannya sulit sekali orang
mengakui apa yang didalilkan oleh para lawannya sebab mereka akan mencoba
mempertahankan argumen dalil dari masing-masing pihak. “Pengakuan juga salah satu
bukti utama tapi dalam persidangan jarang sekali terjadi.Kalaupun pengakuan, pengakuan
sebagian. Punya utang Rp1 juta dia ngaku Rp100 ribu,” kata Made

5) Sumpah

Meskipun berada pada urutan terakhir alat bukti perkara perdata, sumpah menjadi
salah satu alat bukti yang sering menimbulkan pro kontra di masyarakat.Apalagi jika
dihubungkan dengan sumpah pocong.Ada pengacara yang mengajak lawannya
melakukan sumpah pocong untuk membuktikan suatu hal mengenai objek yang
disengketakan.
 
Istilah sumpah pocong sebenarnya tak dikenal dalam HIR dan BW.Tetapi sifat dan
hakikat sumpah pocong bisa dihubungkan dengan sumpah pemutus atau sumpah penentu
(decisoir eed). Salah satu pihak meminta pihak lain mengucapkan sumpah untuk
menggantungkan pemutusan perkara di antara mereka. Jika salah satu pihak bersedia
mengucapkan sumpah pemutus, maka dengan sendirinya mengakhiri proses pemeriksaan
perkara. Sumpah itu diikuti dengan pengambilan dan menjatuhkan putusan berdasarkan
ikrar sumpah yang diucapkan.
Menerapkan sumpah pemutus tidak mudah bagi para pihak dan hakim yang mengadili
perkara. Putusan Mahkamah Agung No. 575K/Sip/1973 menyatakan permohonan
sumpah decisoir hanya dapat dikabulkan jika dalam suatu perkara sama sekali tidak
terdapat bukti-bukti lain. Dalam penyusunan Hukum Acara Perdata nasional mendatang,
sumpah pemutus ini perlu mendapat perhatian.
 
Selain sumpah pemutus, dikenal pula sumpah tambahan (suppletoire eed) dan sumpah
penaksir (aestimatoire eed).Sumpah tambahan adalah sumpah yang diperintahkan hakim
kepada salah satu pihak untuk mengasngkat sumpah agar dengan sumpah itu perkaranya
bisa diputus atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan (Pasal 1940 BW).Dalam
sumpah pemutus, yang meminta angkat sumpah adalah pihak yang berperkara; sedangkan
dalam sumpah tambahan, hakimlah yang memerintahkan salah satu pihak. Sumpah
penaksir adalah sumpah yang diucapkan untuk menetapkan jumlah ganti rugi atau harga
barang yang akan dikabulkan. Jika penggugat tidak bisa menyampaikan berapa nilai
kerugian riil atau berapa harga barang sebenarnya, dan tergugat pun tak mau
membuktikan, maka besarnya nilai ganti rugi atau harga barang bisa ditentukan lewat
sumpah penaksir.
Persoalan yang mungkin muncul adalah praktek pengadilan yang selalu mengharuskan
penggugat membuat rincian detail kerugian. Tuntutan ganti rugi materiil yang tak bisa
dirinci dengan benar dan dapat dibuktikan lewat alat bukti surat seringkali ditolak hakim.
 
Apapun jenis alat bukti yang sudah diatur dalam HIR/RBg dan BW, penyusunan Hukum
Acara Perdata nasional ke depan tak mungkin mengabaikan pembahasan tentang
perkembangan alat-alat bukti di lapangan, termasuk yang disebut tegas dalam perundang-
undangan maupun yang sudah pernah diputuskan hakim.

Anda mungkin juga menyukai