Anda di halaman 1dari 16

SJ O

Jakarta, 16 April 2015


EKSEPSI PENASIHAT HUKUM TERDAKWA

Untuk dan atas nama Terdakwa :


Nama Terdakwa : Dr. Sujuti Rasyid, S.Ip., M.Si
Tempat lahir : Kendari
Umur/Tanggal Lahir : 49 Tahun/ 17 Januari 1975
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Jl. Ahmad Yani No.2, Raha, Kabupaten
Muna Sulawesi Tenggara
Agama : Islam
Pekerjaan : Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Muna
Pendidikan : S-3

Adalah selaku Terdakwa dalam perkara pidana nomor registrasi perkara :


321/PID.SUS/TPK/2015/PN.JAKPUS

Mihi Lex Esse von Videtu, Quae Justa Non Fuerit


“Sesuatu yang Tidak Adil maka Bukan merupakan Hukum”

Majelis Hakim Yang Kami Muliakan


Penuntut Umum yang Kami Hormati
Serta Pengunjung sidang sekalian

I. PENDAHULUAN
Dengan hormat,
Kami yang berdatangan dibawah ini :
1. Dr. MUHAMMAD ICHLASUL SURYA, S.H., M.H
2. RISMAWATI ISKANDAR, S.H., M.H

Keduanya adalah Advokatdan konsultan Hukum pada kantor SURYA JUSTITIA


LAW OFFICE, beralamat di Jalan Sultan Agung No. 56 Jakarta Pusat, untuk bertindak
baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, bertindak untuk dan atas nama
Terdakwa Dr. Sujuti Rasyid, S.Ip., M.Si berdasarkan Kekuatan Hukum Surat Kuasa
Khusus Tertanggal 19 April 2016. Kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan
yang di berikan Majelis Hakim kepada kami untuk mengajukan Eksepsi/keberatan
terhadap Dakwaan saudara Penuntut Umum, bertindak untuk dan atas nama
kepentingan hukum Terdakwa. Surat Dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara
SJ O
sidang pengadilan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 47 K.Kr/1956 tanggal
23 Maret 1957 menyatakan bahwa yang menjadi dasar pemeriksaan oleh pengadilan
ialah Surat Dakwaan. Dan berdasarkan Pasal 143 (2) KUHAP Surat Dakwaan harus
memenuhi syarat formil dan materil apabila Surat Dakwaan tidak memenuhi syarat
materil, maka Surat Dakwaan yang demikian adalah batal demi hukum.

Merupakan suatu kehormatan bagi kami yang secara bersama-sama dengan


Penuntut Umum dalam menegakan supremasi hukum, mendampingi Terdakwa Dr.
Sujuti Rasyid S.Ip., M.Si. di mana kami dan Penuntut Umum adalah sama-sama
beranjak dari Hukum yang berlaku, namun dalam perkara ini kami berbeda pendapat
dengan penuntut umum yang menyatakan Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dibawah ini :

DAKWAAN
KESATU :
Melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

DAN
KEDUA :
Melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Majelis Hakim yang Mulia


Penuntut Umum yang kami hormati
Serta Pengujung sidang sekalian

Bahwa untuk mengefisiensikan waktu, kami memohon bahwa Surat Dakwaan


dianggap telah dimuat secara lengkap dalam Eksepsi ini. Kita semua sependapat saudara
Penuntut Umum mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana disebutkan dalam pasal 1
SJ O
butir 6 KUHAP, bahwa setiap perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh siapapun tidak boleh
di biarkan dan haruslah di lakukan Penyidikan serta pelaksanaan hukumnya tidak boleh di
tawar-tawar, dalam arti siapapun yang bersalah harus di tuntut dan di hukum setimpal
dengan perbuatannya, kecuali di tentukan lain oleh undang-undang menghukum orang yang
bersalah merupakan tuntutan dari hukum, keadilan dan kebenaran itu sendiri. Sebab jika
tidak dilakukan akan timbul reaksi yang dapat mengoyahkan sendi-sendi dalam penegakkan
supremasi hukum. Tetapi disamping itu, tidak seorangpun boleh memperkosa kaedah-
kaedah hukum, keadilan dan kebenaran untuk maksud-maksud tertentu dengan tujuan
tertentu. Begitu pula dalam perkara ini, kita semua sepakat untuk menegakkan sendi-sendi
hukum dalam upaya kita mengokohkan supremasi hukum yang telah diatur dalam kaedah-
kaedah hukum didalam KUHAP.

Kegagalan dalam penegakkan keadilan (miscarriage of justice) adalah merupakan


persoalan universal dan actual yang difahami oleh hampir semua bangsa dalam
menegakkan system peradilan pidananya (criminal justice system). Seseorang pejabat yang
mempunyai kuasa dan wewenang yang ada padanya untuk memberikan keadilan, ternyata
menggunakan kuasa dan wewenangnya yang ada padanya justru untuk member ketidak
adilan. Demikian parahnya ketidak adilan tersebut, sehingga situasi hukum di Indonesia
digambarkan dalam kondisi DISPERATE, berada pada titik paling rendah (nadir).

Persoalan ini juga merupakan isu penting ditengah upaya memajukan dan
menegakkan hak-hak asasi hak manusia dan demokrasi yang merupakan pilar penting dari
penegakan pemerintahan yang baik (Good Governance). Kegagalan dalam penegakkan
keadilan dalam system peradilan pidana diulas oleh Clive Walker ; dijelaskan suatu
penghukuman yang lahir dari ketidakjujuran atau penipuan atau tidak berdasarkan hukum
dan keadilan bersifat korosif atau klaim legitimasi Negara yang berbasis nilai-nilai system
peradilan pidana yang menghormati hak-hak individu. Dalam konteks ini kegagalan
penegakkan keadilan akan menimbulkan bahaya bagi integritas moral proses hukum pidana.
Lebih jauh lagi hal ini dapat merusak keyakinan masyarakat akan penegakkan hukum;

Bahwa dihadapan majelis Hakim yaitu sebagai “Dominus Litis” yang tidak
berpihak, saat ini ada dua pihak yang berperkara yaitu : Penuntut Umum sebagai
penuntut dan Terdakwa Dr. Sujuti Rasyid, S.Ip., M.Si yang didampingi oleh Penasihat
Hukumnya yang melihat hukum tersebut dari fungsinya yang berbeda, dan selanjutnya
Majelis Hakim memandang kedua belah pihak sama tinggi dan sama rendah, Majelis
hakim memeriksa dan mengadili perkara ini tanpa mempunyai kepentingan pribadi di
dalamnya;
SJ O
Dengan demikian, majelis hakim akan dapat menempatkan dirinya pada posisi yang
netral dan tetap eksis sebagai pengayom keadilan dan kebenaran dalam usaha
terwujudnya kepastian hukum (reachable to legal certainity) seperti yang didambakan
oleh masyarakat secara luas pada waktu ini;

I. Dasar Hukum Mengenai Keberatan

a. Bahwa dasar hukum mengenai keberatan Terdakwa atau Advokatterhadap Surat


Dakwaan penuntut umum diatur dalam Pasal 156 Ayat (1) KUHAP yang pada
pokoknya menyatakan bahwa Terdakwa atau Advokatnya dapat mengajukan
keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau
Dakwaan tidak dapat diterima atau Surat Dakwaan harus dibatalkan;
b. Bahwa oleh karena Terdakwa bermaksud mengajukan keberatan mengenai
pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya, maka yang akan mendapat
pembahasan di sini adalah keberatan mengenai Dakwaan tidak dapat diterima
dan mengenai Surat Dakwaan harus dibatalkan
c. Bahwa yang dimaksud dengan keberatan mengenai Dakwaan tidak dapat
diterima adalah keberatan yang diajukan apabila Surat Dakwaan yang diajukan
mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in
procedure)
d. Bahwa yang dimaksud dengan keberatan mengenai Surat Dakwaan harus
dibatalkan adalah keberatan yang diajukan karena Surat Dakwaan telah dibuat
dengan tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 Ayat (2) Huruf b KUHAP yang
berbunyi:

Penuntut umum membuat Surat Dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani
serta berisi: … b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana
itu dilakukan.

II. EKSEPSI

Mengacu kepada maksud yang terkandung dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP, atas
nama Terdakwa Dr. Sujuti Rasyid, S.Ip., M.Si maka kami sampaikan Keberatan atas
Surat Dakwaan Sdr. Penuntut Umum dengan alasan-alasan yuridis sebagai berikut:

Bahwa pada kesempatan ini, tepat sekali kiranya Majelis Hakim menyoroti kualitas
Dakwaan yang telah disampaikan oleh Sdr. Penuntut Umum, apakah tindakan hukum
yang dilakukan, rumusan delik dan penerapan ketentuan undang-undang yang
dimaksud oleh KUHAP dalam perkara ini apakah sudah tepat dan benar serta apakah
SJ O
telah sesuai dengan norma-norma hukum , fakta dan bukti kejadian yang sebenarnya,
ataukah rumusan delik dalam Dakwaan itu hanya merupakan suatu “imaginer” yang
sengaja dikedepankan sehingga membentuk suatu “konstruksi hukum” yang dapat
menyudutkan Terdakwa pada posisi lemah secara yuridis;

Jika ditinjau dari sudut pasal 143 ayat (2) KUHAP yang menuntut bahwa Surat
Dakwaan harus jelas, cermat, dan lengkap memuat semua unsur-unsur tindak pidana
yang didakwakan, maka terlihat bahwa Dakwaan Sdr. Penuntut Umum masih belum
memenuhi persyaratan yang dimaksud oleh Undang-undang tersebut baik dari segi
formil maupun dari segi materilnya. Keterangan tentang apa yang dimaksud tentang
Dakwaan yang jelas, cermat dan lengkap apabila tidak dipenuhi mengakibatkan
batalnya Surat Dakwaan tersebut karena merugikan Terdakwa dalam melakukan
pembelaan;

Memperhatikan bunyi pasal 143 ayat (2) KUHAP terdapat 2 (dua) unsur yang harus
dipenuhi dalam Surat Dakwaan, yaitu :

Syarat Formil (Pasal 143 ayat (2) huruf a)


Maksudnya adalah suatu Surat Dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan
lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan
tempat tindak pidana itu dilakukan.

Selanjutnya Pasal 143 ayat (3) huruf b KUHAP secara tegas menyebutkan bahwa tidak
dipenuhinya syarat-syarat materil ; Surat Dakwaan menjadi batal demi hukum atau
“null and void” yang berarti sejak semula tidak ada tindak pidana seperti yang
dilukiskan dalam Surat Dakwaan itu.

Berikut ini kami kutip apa yang dimaksud dengan “cermat, jelas dan lengkap”
oleh Pedoman pembuatan Surat Dakwaan yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung RI
halaman 12, menyebutkan:

Yang dimaksud dengan cermat adalah ;


Ketelitian Penuntut Umum dalam mempersiapkan Surat Dakwaan yang didasarkan
kepada undang-undang yang berlaku, serta tidak terdapat kekurangan dan atau
kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya Surat Dakwaan atau tidak dapat
dibuktikan, antara lain misalnya :
 Apakah ada pengaduan dalam hal delik aduan ;
 Apakah penerapan hukum/ketentuan pidananya sudah tepat ;
 Apakah Terdakwa dapat dipertanggung jawabkan dalam melakukan tindak
pidana tersebut;
SJ O
 Apakah tindak pidana tersebut belum atau sudah kadaluarsa;
 Apakah tindak pidana yang didakwakan tidak nebis in idem;

Penuntut Umum harus mampu merumuskan unsur-unsur dari delik yang didakwakan
sekaligus mempadukan dengan uraian perbuatan materil (fakta) yang dilakukan oleh
Terdakwa dalam Surat Dakwaan. Dalam hal ini harus diperhatikan jangan sekali-kali
mempadukan dalam uraian Dakwaan antara delik yang satu dengan delik yang lain
yang unsur-unsurnya berbeda satu sama lain atau uraian Dakwaan yang hanya
menunjuk pada uraian Dakwaan sebelumnya (seperti misalnya menunjuk pada
Dakwaan pertama) sedangkan unsurnya berbeda, sehingga Dakwaan menjadi kabur
atau tidak jelas (obscuur libel) yang diancam dengan pembatalan.

Yang dimaksud dengan lengkap adalah :


Uraian Surat Dakwaan harus mencangkup semua unsur-unsur yang ditentukan undang-
undang secara lengkap. Jangan sampai terjadi adanya unsur delik yang tidak
dirumuskan secara lengkap atau tidak diuraikan perbuatan materilnya secara tegas
dalam Dakwaan, sehingga berakibat perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana
menurut undang-undang.

Pengajuan nota keberatan (Eksepsi) berdasarkan ketentuan pasal 156 ayat (1) KUHAP
tersebut, Eksepsi dapat diajukan dalam 4 (empat) hal, yaitu :
1. Eksepsi tentang kewenangan mengadili (Exeption Obevoiged Van de rechter);
2. Eksepsi tentang Dakwaan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan pasal
143 Ayat (2) Huruf b KUHAP;
3. Eksepsi mengenai Surat Dakwaan batal (Exception Van Rechtswege Nietig);
4. Keberatan tentang Alat Perekam Sebagai Barang/Alat Bukti.

Bahwa sehubungan dengan ketentuan yang tersebut dalam pasal 156 ayat (1)
KUHAP diatas maka bersamaan dengan ini disampaikan Eksepsi terhadap Surat
Dakwaan sebagai berikut;
1. Eksepsi Mengenai Kewenangan Mengadili ( Exeption Obevoegheid Van de
Rechter )
- Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili
perkara Terdakwa Dr. Sujuti Rasyid, SI.p., M.Si

Majelis Hakim yang kami Muliakan,


Sdr. Penuntut umum yang kami hormati,

Bahwa dalam hukum acara dikenal dua macam kompetensi atau kewenangan
peradilan, yaitu kewenangan absolut dan kompetensi relatif. Kompetensi absolut
SJ O
berhubungan dengan lingkungan peradilan manakah yang berwenang mengadili
suatu persoalan hukum, sedangkan kompetensi relatif menyangkut kewenangan
pengadilan manakah yang berhak mengadili suatu persoalan hukum.

Sesuai dengan Pasal 84 Ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa


“Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya Terdakwa bertempat
tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya
berwenang mengadili perkara Terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman
sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan
negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam
daerahnya tindak pidana itu dilakukan”. Berdasarkan pasal tersebut dapat
disimpulkan bahwa untuk menentukan kewenangan relatif bagi Pengadilan Negeri
untuk mengadili suatu perkara pidana adalah dengan mengikuti tempat sebagian
besar saksi bertempat tinggal. Dan mengingat karena pada perkara ini sebagian
besar saksi berkediaman di Kabupaten Muna maka sudah seharusnya yang
berwenang untuk mengadili perkara ini adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Kendari. Selain dari alasan tersebut, alasan finansial dan
alasan perlindungan terhadap hak Terdakwa untuk tetap berkumpul dengan
keluarganya menjadi alasan tambahan untuk menjadi dasar bahwa perkara ini
harus di tangani oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Kendari.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka seharusnya Pengadilan Tindak Pidana


Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili
perkara ini melainkan yang berhak menangani perkara ini adalah Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kendari yang merupakan tempat dimana
sebagian saksi berdiam dan berdomisili di Kendari. Berdasarkan hal tersebut maka
yang seharusnya berwenang mengadili adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Kendari.

2. Keberatan Tentang Dakwaan Tidak Dapat Diterima Karena Bertentangan


Dengan Pasal 143 Ayat (2) Huruf b KUHAP (Niet Ontvankelijk)

Setelah mempelajari Surat Dakwaan Penuntut Umum dalam perkara ini,


kami berpendapat bahwa Dakwaan dimaksud mengandung berbagai cacat hukum,
sehingga seharusnya Majelis Yang Mulia menyatakan tidak dapat diterima (niet
onvankelijk verklaard), sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Ayat (1) Dan Ayat (2)
KUHAP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Dalam hal Terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa
pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau Dakwaan tidak
SJ O
dapat diterima atau Surat Dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi
kesempatan kepada Penuntut Umum menyatakan pendapatnya, hakim
mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil
keputusan;

(2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak
diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim
berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan,
maka siding dilanjutkan.

Walapun KUHAP tidak mengatur secara rinci tentang alasan-alasan


mengapa atau dalam hal-hal apa suatu Dakwaan dinyatakan tidak dapat diterima,
tetapi dalam doktrin dan yurisprudensi dapat ditemui alasan-alasan dimaksud, yang
pada intinya dikaitkan dengan cacat hukum yang terdapat dalam Dakwaan, baik
menyangkut bentuk Surat Dakwaan maupun mengenai isinya yang menimbulkan
kebingungan di pihak Terdakwa tentang perbuatan dan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.

Surat Dakwaan yang mengandung cacat hukum seperti itu jelas melanggar
hak-hak asasi Terdakwa dan sangat merugikan dalam hal pembelaan dirinya. M.
Yahya Harahap, SH. Dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan Penerapan
KUHAP”, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, pada
halaman 122 mengemukakan:
“ Pengertian yang umum diberikan terhadap Eksepsi Dakwaan tidak dapat diterima:
apabila Dakwaan yang diajukan mengandung “cacat formal” atau mengandung
“kekeliruan beracara (error inprocedur). Bisa catat mengenai orang yang didakwa,
keliru, susunan atau bentuk Surat Dakwaan yang diajukan Penutut Umum, salah
atau keliru”.

Majelis Hakim Yang Mulia


Penuntut Umum yang terhormat

Cacat formal dan kekeliruan Surat Dakwaan Penuntut Umum dalam perkara
ini akan dikemukakan dalam bentuk keberatan dibawah, sehingga Surat Dakwaan
Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvanjelijk verklaard).

Rumusan Dakwaan Tidak Sesuai Ketentuan Pasal 143 Ayat (2) Huruf b
KUHAP; Sehingga Harus Dinyatakan Batal Demi Hukum
Pasal 143 Ayat (2) KUHAP menentukan :
SJ O
Penuntut Umum membuat Surat Dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani
serta berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan Tersangka.
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.

Dengan kata lain Surat Dakwaan harus memenuhi syarat formil dan materiil.
Syarat formil sebagaimana ditentukan dalam huruf a, sedangkan syarat materil
sebagaimana huruf b tersebut diatas. Kemudian lebih Pasal 143 Ayat (3) KUHAP
menyatakan : Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana Ayat
(2) Huruf b di atas batal demi hukum.

Adapun mengenai syarat materiil tersebut Mahkamah Agung Republik


Indonesia telah mempedomani Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia, No 492/K/KR/1981, Tanggal 8 Januari 1983 yang menetapkan:

“bahwa syarat materiil Surat Dakwaan, adalah adanya perumusan secara lengkap,
jelas dan tepat, mengenai perbutan-perbuatan yang didakwakan terhadap
Terdakwa, sesuai dengan rumusan delik yang mengancam perbuatan-perbuatan itu
dengan hukuman pidana yang dilakukan oleh Terdakwa, keseluruhannya harus
mengisi secara cermat, tepat, dan benar, semua unsur dari semua delik yang
ditentukan undang-undang yang didakwakan kepadanya”

Berdasarkan ketentuan KUHAP dan Yurisprudensi tersebut diatas, maka


diperoleh konklusi bahwa in casu yang harus diuraikan secara cermat, jelas dan
lengkap oleh saudara Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan a quo adalah :
- Rumusan dan unsur-unsur delik atau tindak pidana yang didakwakan, dan;
- Rumusan perbuatan-perbuatan material mengenai perbuatan yang dilakukan
oleh Terdakwa yang keseluruhannya dapat mengisi secara cermat dan benar
semua unsur dari delik yang ditentukan dalam pasal undang-undang yang
didakwakan kepada Terdakwa tersebut.

Apabila kita cermati rumusan Dakwaan dalam perkara Terdakwa Dr. Sujuti
Rasyid S.Ip.,M.Si tidak jelas apa tindakan dari Terdakwa yang dapat dinyatakan
sebagai tindak pidana sebagaimana harus dirumuskan sesuai ketentuan pasal 143
ayat (2) huruf b KUHAP, rumusan tindakan Terdakwa dalam Dakwaan hanya
didasarkan pada asumsi-asumsi atau Kemudian ketika kita mencermati Dakwaan
Penuntut Umum, dimana penuntut umum ternyata telah salah dan keliru menuntut
Terdakwa dengan Dakwaan :
SJ O
KESATU :
Melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP.
DAN
KEDUA :
Melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimasna telah diubah
dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Penasihat hukum yakin dalam Dakwaan juga tidak didasari bukti-bukti yang
memadai Karena Dakwaan tersebut diatas tidak dapat menguraikan perbuatan Terdakwa
yang dapat memenuhi unsur Dakwaan dalam aspek materil dan penuntut umum tidak
berhak menentukan kerugian Negara dimana perbuatan Terdakwa sesuai Dakwaan
penuntut umum pada halaman 9 menyebutkan kerugian negara akibat tindakan korupsi
yang dilakukan oleh Dr. Sujuti Rasyid S.Ip.,M.Si adalah senilai Rp. 4.685.000.000
(empat miliar enam ratus delapan puluh lima juta rupiah) melainkan yang berhak
dan berwenang untuk menghitung kerugian negara akibat tindak pidana korupsi
adalah BPK (Badan Pemeriksa keuangan) sesuai Pasal 23 E UUD NRI Tahun 1945
menentukan bahwa "untuk memeriksa dan tanggung jawab tentang keuangan
negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan Negara yang bebas dan
mandiri dan sesuai yang termuat dalam pasal 1 Ayat (3):Undang-Undang nomor .
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara
 Pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK,
Pasal 2 Ayat (1) dan (3):
 Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan
keuangan Negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara.
 BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara.
SJ O
Dan pasal 3 ayat(1):
 Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara.

Bahwa juga Dakwaan penuntut umum tidak memenuhi syarat materil


berdasarkan pasal 143 ayat (2) KUHAP sebagaimana tertuang dalam Dakwaan di
halaman 5 tidak secara jelas menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan yang dimana dalam Dakwaan bahwa pada tanggal 21 juli 2014, tepatnya
pada pukul 10.00 WITA, atau pada suatu waktu pada bulan Juli tahun 2014
bertempat di ruangan rapat Dinas Kehutanan Kabupaten Muna Dr. Sujuti
Rasyid,S.Ip., M.Si, mengadakan rapat kembali bersama beberapa staf pada rapat
sebelumnya untuk membahas kegundahan yang dialaminya terkait dana reboisasi
yang diporoleh oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Muna dari Kementerian
Lingkungan Hidup senilai Rp. 3.000.000.000 (tiga miliyar rupiah) digunakan untuk
kepentingan apa.

Sehingga Penuntut Umum nampak ragu dalam merumuskan secara jelas dan
tegas apa tindakan Terdakwa yang dapat memenuhi unsur tindak pidana yang
didakwakan, sehingga Dakwaan Penuntut Umum menurut Pendapat Penasihat
hukum adalah kabur atau obscuur sehingga harus dinilai sebagai Dakwaan yang
tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap menguraikan tindak pidana, dengan
kata lain tidak memenuhi syarat materil sehingga berdasarkan pasal 143 ayat (3)
maka Dakwaan batal demi hukum

3. Keberatan Mengenai Hak Asasi dan Prosesual

Bahwa ketentuan Pasal 140 Ayat (1) KUHAP dengan tegas telah menentukan
bahwa dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil Penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat Surat Dakwaan; Bahwa
ketentuan ini mengisyaratkan bahwa penuntut umum baru boleh membuat Surat
Dakwaan apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil Penyidikan dapat
dilakukan penuntutan dan ini berarti apabila dari hasil Penyidikan tidak dapat
dilakukan penuntutan, ia belum atau tidak boleh membuat Surat Dakwaan;

Bahwa ketentuan ini pun mengisyaratkan bahwa hasil Penyidikan yang


dilakukan oleh Penyidik merupakan dasar dalam pembuatan Surat Dakwaan, sesuai
dengan pendapat yang dikemukakan oleh H.M.A. KUFFAL dalam bukunya
SJ O
“Penerapan KUHAP dalam Praktek Hukum” (Penerbitan Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang, 2003, halaman 221) yang menyatakan: Surat Dakwaan adalah
sebuah akte yang dibuat oleh penuntut umum berisi perumusan tindak pidana yang
didakwakan kepada Terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil Penyidikan.

Bahwa oleh karena Surat Dakwaan itu dibuat berdasarkan disusun berdasarkan
kesimpulan dari hasil Penyidikan, maka dengan sendirinya apabila hasil Penyidikan
itu mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in
procedure), maka Surat Dakwaan itu pun menjadi cacat formal atau mengandung
kekeliruan beracara (error in procedure);

Bahwa oleh karena itu untuk mengukur sejauh mana hak-hak asasi Tersangka
telah dirugikan oleh Penyidik dalam Penyidikan atau untuk mengukur sejauh mana
Surat Dakwaan Penuntut Umum telah mengalami cacat formal atau kekeliruan
beracara (error in procedure), maka hal itu tergantung selain pada sejauh mana
penuntut umum dalam membuat Surat Dakwaannya, juga pada sejauh mana
Penyidik dalam melakukan Penyidikan telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang
telah digariskan dalam KUHAP; Bahwa oleh karena semua atau sebagian besar
hasil Penyidikan Penyidik telah tertuang dalam Berkas Perkara yang dibuat oleh
penyidi Komisi Pemverantasan Korupsi penyusunan KEBERATAN ini selain Surat
Dakwaan Penuntut Umum, Berkas Perkara yang dibuat oleh Penyidik itu juga akan
menjadi bahan analisis yang sangat penting dalam KEBERATAN ini; oleh karena
keterbatasan waktu yang tersedia, maka dalam penyusunan KEBERATAN ini
Terdakwa atau Advokatnya tidak dapat menganalisis seluruh bagian dari Berkas
Perkara yang dibuat oleh Penyidik tersebut yang tebalnya tidak kurang dari tujuh
sentimeter, dan karena itu Terdakwa atau Advokatnya hanya akan mengemukakan
beberapa cacat formal atau kekeliruan beracara (error in procedure) seperti
diuraikan di Bawah ini; akan tetapi Terdakwa atau Advokatnya yakin bahwa oleh
karena cacat formal atau kekeliruan beracara (error in procedure) yang terjadi baik
dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum maupun selama dalam tahap Penyidikan itu
cukup mengganggu fondamen penegakan hukum, khususnya bagi penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia yang telah diamanatkan oleh pembentuk undang-
undang melalui KUHAP, maka sangatlah diharapkan Majelis Hakim mau memberi
tempat yang selayaknya bagi KEBERATAN yang Terdakwa atau Advokatnya
ajukan berdasarkan alasan sebagai berikut:

Penyidik melakukan pemeriksaan terhadap Tersangka tanpa didampingi


Advokat, tanpa menunjuk Advokat bagi Tersangka, dan tanpa menjelaskan kepada
Tersangka bahwa dalam perkara itu ia wajib didampingi oleh Advokat, sehingga
ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP telah dilanggar
SJ O
Bahwa ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP telah menyatakan:
Dalam hal Tersangka atau Terdakwa disangka atau didakwa melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas
tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana
lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang
bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

Bahwa ketentuan ini tidak lain dimaksudkan untuk melindungi hak-hak asasi
manusia seorang Tersangka atau Terdakwa yang dipersangkakan atau didakwa
melakukan suatu tindak pidana, oleh karena seandainya orang itu benar telah
melakukan perbuatan seperti yang dipersangkakan atau didakwakan, perbuatan itu
belum tentu merupakan suatu tindak pidana, dan seandainya perbuatan itu
merupakan suatu tindak pidana, belum tentu ia bersalah melakukan tindak pidana
itu karena berbagai keadaan yang dibenarkan oleh hukum;

Bahwa oleh karena itu peran seorang Advokat dalam mendampingi Tersangka
yang sedang didengar keterangannya oleh Penyidik menjadi sangat penting dalam
mengawal amanat undang-undang dalam menegakkan dasar utama negara
hukum, dengan pendampingan Advokat diharapkan dapat dijaga misalnya:
a. agar keterangan Tersangka diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau
dalam bentuk apa pun sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan Pasal 117
Ayat (1) KUHAP yang berbunyi: Keterangan Tersangka … kepada Penyidik
diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apa pun.
b. agar dapat dipastikan bahwa Penyidik mencatat keterangan Tersangka
dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan
oleh Tersangka sendiri, bukan kata yang dikehendaki oleh Penyidik atau
yang sesuai dengan keterangan saksi pelapor, sesuai dengan ketentuan
Pasal 117 Ayat (2) KUHAP yang berbunyi: Dalam hal Tersangka memberi
keterangan … Penyidik mencatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai
dengan kata yang dipergunakan oleh Tersangka sendiri.

Bahwa peran pendampingan seorang Advokat bagi Tersangka dalam


pemeriksaan Penyidik sangat inhaerent dengan perlindungan hak-hak asasi
manusia khususnya bagi mereka yang tengah menjadi pesakitan di hadapan
Penyidik atau penuntut umum, oleh karena seperti dikatakan oleh BAMBANG
POERNOMO dalam bukunya “Pandangan terhadap Azas-azas Umum Hukum
Acara Pidana” (Liberty, Yogyakarta, 1982, halaman 4):
SJ O
Pada hakikatnya pekerjaan seseorang untuk menduga dan menyangka orang
lain melakukan perbuatan pidana yang berupa kejahatan atau pelanggaran, dapat
menjurus sebagai perbuatan yang bersifat barbar karena di satu pihak akan giat
mempertahankan tuduhannya dan di lain pihak dengan gigih melakukan pembelaan
yang didorong oleh harga diri dan kebebasan pribadi setiap orang.

Bahwa senada dengan pendapat tersebut, Lilik Mulyadi dalam bukunya “Tindak
Pidana Korupsi (Tinjauan Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan serta Upaya
Hukumnya menurut halaman 63 – halaman 64 juga telah menegaskan:

Dalam praktek peradilan khususnya untuk perkara Tindak Pidana Korupsi maka
ketentuan Pasal 56 KUHAP sifatnya imperative dalam artian bahwa Tersangka
pelaku Tindak Pidana Korupsi dengan tegas harus didampingi penasihat hukum
pada semua tingkat pemeriksaan … Ketentuan ini dimaksudkan sebagai
implementasi dijunjung tingginya hak asasi manusia/Terdakwa sebagaimana dasar
dikeluarkannya KUHAP, sehingga tidak diharapkan adanya kesewenang-wenangan
dalam pemeriksaan Tersangka/Terdakwa.

Bahwa oleh karena sedemikian seriusnya ketentuan sejenis “Miranda Rule”


dalam KUHAP yang mewajibkan Penyidik, penuntut umum atau hakim untuk
menunjuk penasihat hukum bagi mereka untuk tindak pidana yang ancamannya
disebutkan dalam Pasal 56 Ayat (1) KUHAP, maka atas adanya pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut maka sangat jelas tealah melanggar has asasi
Terdakwa atau Tersangka Dalam pemeriksaan ia dalam keadaan sehat jasmani dan
rohani, dan ketika ia akan dimintai keterangannya ia tidak menggunakan Penasihat
Hukum atau Pengacara, akan tetapi meskipun ia tidak didampingi oleh Penasihat
hukumnya bersedia untuk dimintai keterangan dan akan memberikan keterangan
dengan sebenar-benarnya. Menilik keterangan sebagaimana tertera dalam Berita
Acara Pemeriksaan tersebut, jelaslah pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada
waktu itu sebagai Tersangka dalam tahap Penyidikan telah dilakukan oleh Penyidik
secara bertentangan dengan ketentuan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP sebagaimana
tindak pidana yang dipersangkakan kepada Terdakwa yang pada waktu itu sebagai
Tersangka adalah tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana
menurut ketentuan Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. dan. Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun
SJ O
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Ancaman pidana menurut ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 31/1999


tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang No. 20/2001 tentang
Perubahan Undang-undang No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi adalah
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan
paling lama 20 tahun dan seterusnya, oleh karena ancaman pidana atas tindak
pidana yang dipersangkakan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai
Tersangka adalah lebih dari lima belas tahun dan lagi pula Terdakwa yang pada
waktu itu sebagai Tersangka tidak mempunyai Advokat sendiri, maka jelas Penyidik
yang melakukan pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai
Tersangka seharusnya menunjuk Advokat bagi Terdakwa yang pada waktu itu
sebagai Tersangka;

Bahwa dari Berkas Perkara dapat diketahui bahwa Terdakwa yang pada waktu
itu sebagai Tersangka selama pada tahap Penyidikan telah menjalani pemeriksaan
sebagai Tersangka di hadapan Penyidik pada tanggal 16 April 2015.

Bahwa oleh karena Terdakwa telah menjalani pemeriksaan pada tanggal


tersebut di atas, maka akan ditinjau Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat pada
saat pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu berstatus sebagai
Tersangka;

a. Berita Acara Pemeriksaan tanggal 27 April 2015

Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat pada tanggal 27


April 2015 ternyata pemeriksaan terhadap Terdakwa yang pada waktu itu sebagai
Tersangka sama sekali tidak didampingi oleh seorang Advokat, dan juga dari sekian
banyak pertanyaan yang diajukan seperti tertulis dalam Berita Acara itu ternyata
Penyidik sama sekali tidak menunjuk seorang Advoka tuntuk mendampingi
Terdakwa yang pada waktu itu sebagai Tersangka dalam pemeriksaan tersebut.

4. Keberatan tentang Alat Perekam Sebagai Barang/Alat Bukti

Dari BAP terlihat bahwa yang utama digunakan sebagai alat bukti adalah alat
perekam berikut transkripsinya. Menurut hukum pembuktian sesuai Pasal 184
KUHAP, mendasarkan pada sesuatu yang tidak pasti karena sifatnya biasa berubah
SJ O
atau diubah adalah tidak layak menjadi alat atau materi pembuktian dalam perkara
pidana. Sebab dalam hukum pembuktian ada adagium, dalam keragu-raguan lebih
baik melepas sepuluh orang jahat daripada menghukum seorang yang tidak
bersalah. Dengan demikian Surat Dakwaan yang didasarkan pada keterangan-
keterangan yang validitasnya diragukan kiranya tidak layak diterima sebagai
landasan dalam persidangan ini. Oleh karena itu, Surat Dakwaan yang data-
datanya diambil oleh sumber yang validitasnya diragukan hendaknya
dikesampingkan. Dengan kata lain, Surat Dakwaan seperti ini harus digolongkan
sebagai Surat Dakwaan yang “tidak cermat dan jelas”.

III. PERMOHONAN
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, Penasihat Hukum Terdakwa
memohon agar yang Mulia Majelis Hakim berkenan untuk memutus :

- Menerima dan mengabulkan Eksepsi Penasihat Hukum Terdakwa;


- Menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili
- Menyatakan Dakwaan batal demi hukum
- Atau setidak tidaknya batal demi hukum
- Membebaskan Terdakwa dari segala Dakwaan
- Memulihkan nama baik Terdakwa dalam keadaan semula

Atau Kami memohon kepada Majelis Hakim yang Mulia untuk dapat
memeriksa, mempertimbangkan, dan mengadili perkara ini menurut fakta hukum
dan keyakinan Mejelis Hakim, sehingga akan diperoleh suatu kebenaran materiil
dan keadilan yang seadil-adilnya bagi Terdakwa.

Penasihat Hukum I Terdakwa,

DR. MUHAMMAD ICHLASUL SURYA , SH., MH

Penasihat Hukum II Terdakwa,

RISMAWATI ISKANDAR, S.H., M.H

Anda mungkin juga menyukai