I. PENDAHULUAN
Dengan hormat,
Kami yang berdatangan dibawah ini :
1. Dr. MUHAMMAD ICHLASUL SURYA, S.H., M.H
2. RISMAWATI ISKANDAR, S.H., M.H
DAKWAAN
KESATU :
Melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
DAN
KEDUA :
Melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Persoalan ini juga merupakan isu penting ditengah upaya memajukan dan
menegakkan hak-hak asasi hak manusia dan demokrasi yang merupakan pilar penting dari
penegakan pemerintahan yang baik (Good Governance). Kegagalan dalam penegakkan
keadilan dalam system peradilan pidana diulas oleh Clive Walker ; dijelaskan suatu
penghukuman yang lahir dari ketidakjujuran atau penipuan atau tidak berdasarkan hukum
dan keadilan bersifat korosif atau klaim legitimasi Negara yang berbasis nilai-nilai system
peradilan pidana yang menghormati hak-hak individu. Dalam konteks ini kegagalan
penegakkan keadilan akan menimbulkan bahaya bagi integritas moral proses hukum pidana.
Lebih jauh lagi hal ini dapat merusak keyakinan masyarakat akan penegakkan hukum;
Bahwa dihadapan majelis Hakim yaitu sebagai “Dominus Litis” yang tidak
berpihak, saat ini ada dua pihak yang berperkara yaitu : Penuntut Umum sebagai
penuntut dan Terdakwa Dr. Sujuti Rasyid, S.Ip., M.Si yang didampingi oleh Penasihat
Hukumnya yang melihat hukum tersebut dari fungsinya yang berbeda, dan selanjutnya
Majelis Hakim memandang kedua belah pihak sama tinggi dan sama rendah, Majelis
hakim memeriksa dan mengadili perkara ini tanpa mempunyai kepentingan pribadi di
dalamnya;
SJ O
Dengan demikian, majelis hakim akan dapat menempatkan dirinya pada posisi yang
netral dan tetap eksis sebagai pengayom keadilan dan kebenaran dalam usaha
terwujudnya kepastian hukum (reachable to legal certainity) seperti yang didambakan
oleh masyarakat secara luas pada waktu ini;
Penuntut umum membuat Surat Dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani
serta berisi: … b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana
itu dilakukan.
II. EKSEPSI
Mengacu kepada maksud yang terkandung dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP, atas
nama Terdakwa Dr. Sujuti Rasyid, S.Ip., M.Si maka kami sampaikan Keberatan atas
Surat Dakwaan Sdr. Penuntut Umum dengan alasan-alasan yuridis sebagai berikut:
Bahwa pada kesempatan ini, tepat sekali kiranya Majelis Hakim menyoroti kualitas
Dakwaan yang telah disampaikan oleh Sdr. Penuntut Umum, apakah tindakan hukum
yang dilakukan, rumusan delik dan penerapan ketentuan undang-undang yang
dimaksud oleh KUHAP dalam perkara ini apakah sudah tepat dan benar serta apakah
SJ O
telah sesuai dengan norma-norma hukum , fakta dan bukti kejadian yang sebenarnya,
ataukah rumusan delik dalam Dakwaan itu hanya merupakan suatu “imaginer” yang
sengaja dikedepankan sehingga membentuk suatu “konstruksi hukum” yang dapat
menyudutkan Terdakwa pada posisi lemah secara yuridis;
Jika ditinjau dari sudut pasal 143 ayat (2) KUHAP yang menuntut bahwa Surat
Dakwaan harus jelas, cermat, dan lengkap memuat semua unsur-unsur tindak pidana
yang didakwakan, maka terlihat bahwa Dakwaan Sdr. Penuntut Umum masih belum
memenuhi persyaratan yang dimaksud oleh Undang-undang tersebut baik dari segi
formil maupun dari segi materilnya. Keterangan tentang apa yang dimaksud tentang
Dakwaan yang jelas, cermat dan lengkap apabila tidak dipenuhi mengakibatkan
batalnya Surat Dakwaan tersebut karena merugikan Terdakwa dalam melakukan
pembelaan;
Memperhatikan bunyi pasal 143 ayat (2) KUHAP terdapat 2 (dua) unsur yang harus
dipenuhi dalam Surat Dakwaan, yaitu :
Selanjutnya Pasal 143 ayat (3) huruf b KUHAP secara tegas menyebutkan bahwa tidak
dipenuhinya syarat-syarat materil ; Surat Dakwaan menjadi batal demi hukum atau
“null and void” yang berarti sejak semula tidak ada tindak pidana seperti yang
dilukiskan dalam Surat Dakwaan itu.
Berikut ini kami kutip apa yang dimaksud dengan “cermat, jelas dan lengkap”
oleh Pedoman pembuatan Surat Dakwaan yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung RI
halaman 12, menyebutkan:
Penuntut Umum harus mampu merumuskan unsur-unsur dari delik yang didakwakan
sekaligus mempadukan dengan uraian perbuatan materil (fakta) yang dilakukan oleh
Terdakwa dalam Surat Dakwaan. Dalam hal ini harus diperhatikan jangan sekali-kali
mempadukan dalam uraian Dakwaan antara delik yang satu dengan delik yang lain
yang unsur-unsurnya berbeda satu sama lain atau uraian Dakwaan yang hanya
menunjuk pada uraian Dakwaan sebelumnya (seperti misalnya menunjuk pada
Dakwaan pertama) sedangkan unsurnya berbeda, sehingga Dakwaan menjadi kabur
atau tidak jelas (obscuur libel) yang diancam dengan pembatalan.
Pengajuan nota keberatan (Eksepsi) berdasarkan ketentuan pasal 156 ayat (1) KUHAP
tersebut, Eksepsi dapat diajukan dalam 4 (empat) hal, yaitu :
1. Eksepsi tentang kewenangan mengadili (Exeption Obevoiged Van de rechter);
2. Eksepsi tentang Dakwaan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan pasal
143 Ayat (2) Huruf b KUHAP;
3. Eksepsi mengenai Surat Dakwaan batal (Exception Van Rechtswege Nietig);
4. Keberatan tentang Alat Perekam Sebagai Barang/Alat Bukti.
Bahwa sehubungan dengan ketentuan yang tersebut dalam pasal 156 ayat (1)
KUHAP diatas maka bersamaan dengan ini disampaikan Eksepsi terhadap Surat
Dakwaan sebagai berikut;
1. Eksepsi Mengenai Kewenangan Mengadili ( Exeption Obevoegheid Van de
Rechter )
- Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili
perkara Terdakwa Dr. Sujuti Rasyid, SI.p., M.Si
Bahwa dalam hukum acara dikenal dua macam kompetensi atau kewenangan
peradilan, yaitu kewenangan absolut dan kompetensi relatif. Kompetensi absolut
SJ O
berhubungan dengan lingkungan peradilan manakah yang berwenang mengadili
suatu persoalan hukum, sedangkan kompetensi relatif menyangkut kewenangan
pengadilan manakah yang berhak mengadili suatu persoalan hukum.
(2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak
diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim
berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan,
maka siding dilanjutkan.
Surat Dakwaan yang mengandung cacat hukum seperti itu jelas melanggar
hak-hak asasi Terdakwa dan sangat merugikan dalam hal pembelaan dirinya. M.
Yahya Harahap, SH. Dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan Penerapan
KUHAP”, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, pada
halaman 122 mengemukakan:
“ Pengertian yang umum diberikan terhadap Eksepsi Dakwaan tidak dapat diterima:
apabila Dakwaan yang diajukan mengandung “cacat formal” atau mengandung
“kekeliruan beracara (error inprocedur). Bisa catat mengenai orang yang didakwa,
keliru, susunan atau bentuk Surat Dakwaan yang diajukan Penutut Umum, salah
atau keliru”.
Cacat formal dan kekeliruan Surat Dakwaan Penuntut Umum dalam perkara
ini akan dikemukakan dalam bentuk keberatan dibawah, sehingga Surat Dakwaan
Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvanjelijk verklaard).
Rumusan Dakwaan Tidak Sesuai Ketentuan Pasal 143 Ayat (2) Huruf b
KUHAP; Sehingga Harus Dinyatakan Batal Demi Hukum
Pasal 143 Ayat (2) KUHAP menentukan :
SJ O
Penuntut Umum membuat Surat Dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani
serta berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan Tersangka.
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.
Dengan kata lain Surat Dakwaan harus memenuhi syarat formil dan materiil.
Syarat formil sebagaimana ditentukan dalam huruf a, sedangkan syarat materil
sebagaimana huruf b tersebut diatas. Kemudian lebih Pasal 143 Ayat (3) KUHAP
menyatakan : Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana Ayat
(2) Huruf b di atas batal demi hukum.
“bahwa syarat materiil Surat Dakwaan, adalah adanya perumusan secara lengkap,
jelas dan tepat, mengenai perbutan-perbuatan yang didakwakan terhadap
Terdakwa, sesuai dengan rumusan delik yang mengancam perbuatan-perbuatan itu
dengan hukuman pidana yang dilakukan oleh Terdakwa, keseluruhannya harus
mengisi secara cermat, tepat, dan benar, semua unsur dari semua delik yang
ditentukan undang-undang yang didakwakan kepadanya”
Apabila kita cermati rumusan Dakwaan dalam perkara Terdakwa Dr. Sujuti
Rasyid S.Ip.,M.Si tidak jelas apa tindakan dari Terdakwa yang dapat dinyatakan
sebagai tindak pidana sebagaimana harus dirumuskan sesuai ketentuan pasal 143
ayat (2) huruf b KUHAP, rumusan tindakan Terdakwa dalam Dakwaan hanya
didasarkan pada asumsi-asumsi atau Kemudian ketika kita mencermati Dakwaan
Penuntut Umum, dimana penuntut umum ternyata telah salah dan keliru menuntut
Terdakwa dengan Dakwaan :
SJ O
KESATU :
Melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP.
DAN
KEDUA :
Melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimasna telah diubah
dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Penasihat hukum yakin dalam Dakwaan juga tidak didasari bukti-bukti yang
memadai Karena Dakwaan tersebut diatas tidak dapat menguraikan perbuatan Terdakwa
yang dapat memenuhi unsur Dakwaan dalam aspek materil dan penuntut umum tidak
berhak menentukan kerugian Negara dimana perbuatan Terdakwa sesuai Dakwaan
penuntut umum pada halaman 9 menyebutkan kerugian negara akibat tindakan korupsi
yang dilakukan oleh Dr. Sujuti Rasyid S.Ip.,M.Si adalah senilai Rp. 4.685.000.000
(empat miliar enam ratus delapan puluh lima juta rupiah) melainkan yang berhak
dan berwenang untuk menghitung kerugian negara akibat tindak pidana korupsi
adalah BPK (Badan Pemeriksa keuangan) sesuai Pasal 23 E UUD NRI Tahun 1945
menentukan bahwa "untuk memeriksa dan tanggung jawab tentang keuangan
negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan Negara yang bebas dan
mandiri dan sesuai yang termuat dalam pasal 1 Ayat (3):Undang-Undang nomor .
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara
Pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK,
Pasal 2 Ayat (1) dan (3):
Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan
keuangan Negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara.
BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara.
SJ O
Dan pasal 3 ayat(1):
Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara.
Sehingga Penuntut Umum nampak ragu dalam merumuskan secara jelas dan
tegas apa tindakan Terdakwa yang dapat memenuhi unsur tindak pidana yang
didakwakan, sehingga Dakwaan Penuntut Umum menurut Pendapat Penasihat
hukum adalah kabur atau obscuur sehingga harus dinilai sebagai Dakwaan yang
tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap menguraikan tindak pidana, dengan
kata lain tidak memenuhi syarat materil sehingga berdasarkan pasal 143 ayat (3)
maka Dakwaan batal demi hukum
Bahwa ketentuan Pasal 140 Ayat (1) KUHAP dengan tegas telah menentukan
bahwa dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil Penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat Surat Dakwaan; Bahwa
ketentuan ini mengisyaratkan bahwa penuntut umum baru boleh membuat Surat
Dakwaan apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil Penyidikan dapat
dilakukan penuntutan dan ini berarti apabila dari hasil Penyidikan tidak dapat
dilakukan penuntutan, ia belum atau tidak boleh membuat Surat Dakwaan;
Bahwa oleh karena Surat Dakwaan itu dibuat berdasarkan disusun berdasarkan
kesimpulan dari hasil Penyidikan, maka dengan sendirinya apabila hasil Penyidikan
itu mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in
procedure), maka Surat Dakwaan itu pun menjadi cacat formal atau mengandung
kekeliruan beracara (error in procedure);
Bahwa oleh karena itu untuk mengukur sejauh mana hak-hak asasi Tersangka
telah dirugikan oleh Penyidik dalam Penyidikan atau untuk mengukur sejauh mana
Surat Dakwaan Penuntut Umum telah mengalami cacat formal atau kekeliruan
beracara (error in procedure), maka hal itu tergantung selain pada sejauh mana
penuntut umum dalam membuat Surat Dakwaannya, juga pada sejauh mana
Penyidik dalam melakukan Penyidikan telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang
telah digariskan dalam KUHAP; Bahwa oleh karena semua atau sebagian besar
hasil Penyidikan Penyidik telah tertuang dalam Berkas Perkara yang dibuat oleh
penyidi Komisi Pemverantasan Korupsi penyusunan KEBERATAN ini selain Surat
Dakwaan Penuntut Umum, Berkas Perkara yang dibuat oleh Penyidik itu juga akan
menjadi bahan analisis yang sangat penting dalam KEBERATAN ini; oleh karena
keterbatasan waktu yang tersedia, maka dalam penyusunan KEBERATAN ini
Terdakwa atau Advokatnya tidak dapat menganalisis seluruh bagian dari Berkas
Perkara yang dibuat oleh Penyidik tersebut yang tebalnya tidak kurang dari tujuh
sentimeter, dan karena itu Terdakwa atau Advokatnya hanya akan mengemukakan
beberapa cacat formal atau kekeliruan beracara (error in procedure) seperti
diuraikan di Bawah ini; akan tetapi Terdakwa atau Advokatnya yakin bahwa oleh
karena cacat formal atau kekeliruan beracara (error in procedure) yang terjadi baik
dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum maupun selama dalam tahap Penyidikan itu
cukup mengganggu fondamen penegakan hukum, khususnya bagi penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia yang telah diamanatkan oleh pembentuk undang-
undang melalui KUHAP, maka sangatlah diharapkan Majelis Hakim mau memberi
tempat yang selayaknya bagi KEBERATAN yang Terdakwa atau Advokatnya
ajukan berdasarkan alasan sebagai berikut:
Bahwa ketentuan ini tidak lain dimaksudkan untuk melindungi hak-hak asasi
manusia seorang Tersangka atau Terdakwa yang dipersangkakan atau didakwa
melakukan suatu tindak pidana, oleh karena seandainya orang itu benar telah
melakukan perbuatan seperti yang dipersangkakan atau didakwakan, perbuatan itu
belum tentu merupakan suatu tindak pidana, dan seandainya perbuatan itu
merupakan suatu tindak pidana, belum tentu ia bersalah melakukan tindak pidana
itu karena berbagai keadaan yang dibenarkan oleh hukum;
Bahwa oleh karena itu peran seorang Advokat dalam mendampingi Tersangka
yang sedang didengar keterangannya oleh Penyidik menjadi sangat penting dalam
mengawal amanat undang-undang dalam menegakkan dasar utama negara
hukum, dengan pendampingan Advokat diharapkan dapat dijaga misalnya:
a. agar keterangan Tersangka diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau
dalam bentuk apa pun sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan Pasal 117
Ayat (1) KUHAP yang berbunyi: Keterangan Tersangka … kepada Penyidik
diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apa pun.
b. agar dapat dipastikan bahwa Penyidik mencatat keterangan Tersangka
dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan
oleh Tersangka sendiri, bukan kata yang dikehendaki oleh Penyidik atau
yang sesuai dengan keterangan saksi pelapor, sesuai dengan ketentuan
Pasal 117 Ayat (2) KUHAP yang berbunyi: Dalam hal Tersangka memberi
keterangan … Penyidik mencatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai
dengan kata yang dipergunakan oleh Tersangka sendiri.
Bahwa senada dengan pendapat tersebut, Lilik Mulyadi dalam bukunya “Tindak
Pidana Korupsi (Tinjauan Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan serta Upaya
Hukumnya menurut halaman 63 – halaman 64 juga telah menegaskan:
Dalam praktek peradilan khususnya untuk perkara Tindak Pidana Korupsi maka
ketentuan Pasal 56 KUHAP sifatnya imperative dalam artian bahwa Tersangka
pelaku Tindak Pidana Korupsi dengan tegas harus didampingi penasihat hukum
pada semua tingkat pemeriksaan … Ketentuan ini dimaksudkan sebagai
implementasi dijunjung tingginya hak asasi manusia/Terdakwa sebagaimana dasar
dikeluarkannya KUHAP, sehingga tidak diharapkan adanya kesewenang-wenangan
dalam pemeriksaan Tersangka/Terdakwa.
Bahwa dari Berkas Perkara dapat diketahui bahwa Terdakwa yang pada waktu
itu sebagai Tersangka selama pada tahap Penyidikan telah menjalani pemeriksaan
sebagai Tersangka di hadapan Penyidik pada tanggal 16 April 2015.
Dari BAP terlihat bahwa yang utama digunakan sebagai alat bukti adalah alat
perekam berikut transkripsinya. Menurut hukum pembuktian sesuai Pasal 184
KUHAP, mendasarkan pada sesuatu yang tidak pasti karena sifatnya biasa berubah
SJ O
atau diubah adalah tidak layak menjadi alat atau materi pembuktian dalam perkara
pidana. Sebab dalam hukum pembuktian ada adagium, dalam keragu-raguan lebih
baik melepas sepuluh orang jahat daripada menghukum seorang yang tidak
bersalah. Dengan demikian Surat Dakwaan yang didasarkan pada keterangan-
keterangan yang validitasnya diragukan kiranya tidak layak diterima sebagai
landasan dalam persidangan ini. Oleh karena itu, Surat Dakwaan yang data-
datanya diambil oleh sumber yang validitasnya diragukan hendaknya
dikesampingkan. Dengan kata lain, Surat Dakwaan seperti ini harus digolongkan
sebagai Surat Dakwaan yang “tidak cermat dan jelas”.
III. PERMOHONAN
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, Penasihat Hukum Terdakwa
memohon agar yang Mulia Majelis Hakim berkenan untuk memutus :
Atau Kami memohon kepada Majelis Hakim yang Mulia untuk dapat
memeriksa, mempertimbangkan, dan mengadili perkara ini menurut fakta hukum
dan keyakinan Mejelis Hakim, sehingga akan diperoleh suatu kebenaran materiil
dan keadilan yang seadil-adilnya bagi Terdakwa.