Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak terjadinya krisis moneter tahun 1998 perkembangan ekononomi syariah
di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat baik, terbukti dengan mampu
bertahannya system ekonomi syariah pada saat terjadi krisis ekonomi di Indonesia
tahun 1998.
Sudah lama juga umat islam di Indonesia, juga hingga umat islam dunia
menginginkan perekonomian yang berbasis nilai-nilai prinsip syariah untuk dapat
diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat. Keinginan
ini didasari oleh suatu kesadaran untuk menerapkan islam secara utuh dan total
seperti yang di tegaskan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 85.

ۡ‫ثُ َّم أَنتُمۡ ٰهَٓؤُٓاَل ِء ت َۡقتُلُونَ أَنفُ َس ُكمۡ َوتُ ۡخ ِر ُج**ونَ فَ ِر ٗيق* ا ِّمن ُكم ِّمن ِد ٰيَ* ِر ِهمۡ تَ ٰظَهَ*رُونَ َعلَ ۡي ِهم بِ**ٱإۡل ِ ۡث ِم َو ۡٱل ُع* ۡ*د ٰ َو ِن َوإِن يَ* ۡ*أتُو ُكم‬
َ‫ض فَ َما َج* زَ ٓا ُء َمن يَ ۡف َع* ُل ٰ َذلِ**ك‬ ۡ ِ َ‫أُ ٰ َس َر ٰى تُ ٰفَدُوهُمۡ َوهُ َو ُم َح َّر ٌم َعلَ ۡي ُكمۡ إِ ۡخ َرا ُجهُمۡۚ أَفَتُ ۡؤ ِمنُونَ بِبَ ۡعض ۡٱل ِك ٰت‬
ٖ ۚ ‫ب َوتَكفُرُونَ بِبَ ۡع‬ ِ
ٰ
٨٥ َ‫ب َو َما ٱهَّلل ُ بِ َغفِ ٍل َع َّما ت َۡع َملُون‬ ِ ۗ ‫ي فِي ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَ ۖا َويَ ۡو َم ۡٱلقِ ٰيَ َم ِة يُ َر ُّدونَ إِلَ ٰ ٓى أَ َش ِّد ٱل َع َذا‬ٞ ‫ِمن ُكمۡ إِاَّل ِخ ۡز‬
ۡ

“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan


mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu
membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika
mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal
mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada
sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?
Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan
kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu
perbuat”(Q.S Al-Baqarah: 85)[1]
 Ayat tersebut dengan tegas mengingatkan bahwa selama kita menerapkan
islam secara persial, kita akan mengalami keterpurukan duniawi dan kerugian
ukhrawi. Hal ini sangat jelas, sebab selama islam hanya diwujudkan dalam bentuk

1
ritualisme ibadah, diingat pada saat kelahiran bayi, ijab Kabul pernikahan, serta
penguburan mayat, sementara itu di marginalkan dari dunia perbankan, asuransi,
pasar modal, pembiayaan proyek dan transaksi ekspor impor, maka umat islam
telah mengubur islam dalam-dalam dengan tangannya sendiri.[2]
Dengan demikian, baik di Indonesia ataupun belahan dunia lainnya mulai
menggunakan prinsip-prinsip syariah dalam bisnis dan transaksi keuangan
lainnya. salah satu hal yang menarik adalah bahwa lembaga-lembaga keuangan
asing global sperti CitiBank, Bank ANZ, Jardine Flemming, dan ABN-AMRO
ternyata sudah melebarkan sayapnya memasuki industry keuangan syariah.

B. Fokus Pembahasan
1.  Bagaimana Sumber dan Norma Ekonomi Syariah?
2. Bagaimana Implikasi Sumber dan Norma Ekonomi Syariah di Lembaga
keuangan Syariah Bank dan non-Bank?

C. Tujuan Pembahasan
1. Penulis maupun pembaca dapat mengetahui tentang Sumber dan Norma
Ekonomi Syariah
2. Penulis maupun pembaca dapat mengetahui bagaimana implikasi Sumber dan
Norma Ekonomi Syariah di Lembaga ekonomi syariah Bank dan non-Bank.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber dan Norma Ekonomi Syariah


a. al- Quran
   Sumber-sumber yang dapat dijadikan sebagai hujah dalam menentukan
hukum menurut Ibn Hazm ada empat, yaitu: al-Quran, al-Hadits, Ijma, dan al-
Dalil.[3] Dalam hal ini Ibn Hazm berkata:
.‫م‬.‫األصول التى ال يعرف ش**يء من الش**ارع اال منه**ا اربع**ة وهي نص الق**رءان ونص كالم رس**ول هللا ص‬
‫الذي انما هو عن هللا مماصح التواتر وإجماع علماء األمة ودليل منها ال يحتمل اال وجها واحدا‬

Artinya: “Dasar-dasar yang dapat diketahui dari al-Syar’i (pembuat Syara) ada


empat: Yaitu nash al-Quran, nash kalam Rasulullah saw., yang sebenarnya
dating dan diterima dari Allah, serta diriwayatkan oleha orang-orang yang
tsiqah (cerdas, adil dan kuat hapalannya) atau oleh orang-orang banyak dan
mencapai batasan mutawatir, Ijma’ ulama umat, dan dalil dari ketiga di atas
yang tidak menerima dari padanya kecuali satu cara saja.” (Ibn Hazm, I, 1980:
71).1
           Al-Quran adalah sumber hukum Islam yang pertama dan paling utama,
serta sumber dari segala sumber hukum.2 Pandangan Al-Quran terhadap harta dan
kegiatan ekonomi dapat di uraikan dalam lima lima hal: Pertama,  pemilik mutlak
terhadap segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini, termasuk harta benda, adalah
Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relative, sebatas untuk
melaksanakan amanah mengelola dan memamfaatkan sesuai dengan ketentuan
Allah. Kedua,  dari segi status harta dalam pandangan islam, ada empat hal : 1)
harta sebagai amanah (titipan) dari Allah. 2) Harta sebagai perhiasan hidup yang
memungkinkan manusia bisa menikmati dengan baik dan tidak berlebihan. 3)
harta sebagai ujian keimanan. 4) harta sebagai bekal ibadah. Ketiga,perolehan

1 Al-Quran dan Terjemah


2 Antonio. Muhammad Syafi’I. Dr. “Islamic Banking ‘Bank Syariah dari Teori ke
Praktik’” (2005 Jakarta-Gema Insani

3
harta dapat dilakukan, antara lain melalui usaha (a’mal) atau mata
pencarian(ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan Allah, secara sungguh-
sungguh dan tidak boleh berputus asa. Keempat, dalam mencari harta, dilarang
menempuh usaha yang haram, seperti melalui cara-cara yang batil dan merugikan
(Al-Baqarah/2: 188), Riba (al-baqarah/2: 273-281), perjudian, berjual beli barang
yang dilarang atau haram (al-Maidah/5 :90-91), mencuri, merampok, Gasab, tipu-
menipu suap-menyuap, curang dalam takaran dan timbangan (AL-Mutaffifin/83:
1-6). Kelima, harta yang diperoleh digunakan dan diinfakkan secara berimbang,
tidak kikir dan tidak pula boros,  diutamakan kerabat, dan ketika berinfak jangan
diikuti dengan cela dan hinaan.3
           Pada hakikatnya dalam simtem ekonomi islam semua berpedoman kepada
Al-Quran, Allah sang pemilik segala yang berada dimuka bumi, manusia hanya
bisa menjalankan apa yang sudah tertera dalam Al-Quran, hanya bersifat relative,
sebatas melaksakan mengelola dan memamfaatkan sesuai dengan ketentuan Allah.
           Dalam surat Al-Baqarah/2 :85 Allah berfirman:
ۡ‫ثُ َّم أَنتُمۡ ٰهَٓؤُٓاَل ِء ت َۡقتُلُونَ أَنفُ َس ُكمۡ َوتُ ۡخ ِر ُج**ونَ فَ ِر ٗيق* ا ِّمن ُكم ِّمن ِد ٰيَ* ِر ِهمۡ تَ ٰظَهَ*رُونَ َعلَ ۡي ِهم بِ**ٱإۡل ِ ۡث ِم َو ۡٱل ُع* ۡ*د ٰ َو ِن َوإِن يَ* ۡ*أتُو ُكم‬
َ‫ض فَ َما َج* زَ ٓا ُء َمن يَ ۡف َع* ُل ٰ َذلِ**ك‬ ۡ ِ َ‫أُ ٰ َس َر ٰى تُ ٰفَدُوهُمۡ َوهُ َو ُم َح َّر ٌم َعلَ ۡي ُكمۡ إِ ۡخ َرا ُجهُمۡۚ أَفَتُ ۡؤ ِمنُونَ بِبَ ۡعض ۡٱل ِك ٰت‬
ٖ ۚ ‫ب َوتَكفُرُونَ بِبَ ۡع‬ ِ
٨٥ َ‫ب َو َما ٱهَّلل ُ بِ ٰ َغفِ ٍل َع َّما ت َۡع َملُون‬
ِ ۗ ‫ي فِي ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَ ۖا َويَ ۡو َم ۡٱلقِ ٰيَ َم ِة يُ َر ُّدونَ إِلَ ٰ ٓى أَ َش ِّد ۡٱل َع َذا‬ٞ ‫ِمن ُكمۡ إِاَّل ِخ ۡز‬
“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan
mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu
membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika
mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal
mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada
sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?
Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan

3 Lajnah Pentathasihan Mushap Al-Quran “Tafsir Al-Quran Tematik,


Pembangunan Ekonomi Umat” (2012, Badan Litbang dan Diklat, Departemen
Agama RI)

4
kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu
perbuat”(Q.S Al-Baqarah: 85)

            Ayat tersebut dengan tegas mengingatkan bahwa selama kita menerapkan
islam secara persial, kita akan mengalami keterpurukan duniawi dan kerugian
ukhrawi. Hal ini sangat jelas, sebab selama islam hanya diwujudkan dalam bentuk
ritualisme ibadah, diingat pada saat kelahiran bayi, ijab Kabul pernikahan, serta
penguburan mayat, sementara itu di marginalkan dari dunia perbankan, asuransi,
pasar modal, pembiayaan proyek dan transaksi ekspor impor, maka umat islam
telah mengubur islam dalam-dalam dengan tangannya sendiri.4
b. Hadits
            Ekonomi islam selain berpedoman kepada Al-Quran, juga berpedoman
pada hadist, sebagaimana Allah berfirman pada surat Al-A’raf ayat 158:
‫وا‬ ُ ۖ ‫*و ي ُۡح ِيۦ َويُ ِم‬
ْ ُ‫يت ٔ‍فَٔ*َا ِمن‬ ٰ
َ *ُ‫ض ٓاَل إِلَ* هَ إِاَّل ه‬ ‫ٱلس* ٰ َم ٰ َو ِ أۡل‬
ِ ۖ ‫ت َوٱ َ ۡر‬ َّ ‫ك‬ُ *‫قُ ۡل ٰيَٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّي َرسُو ُل ٱهَّلل ِ إِلَ ۡي ُكمۡ َج ِميعًا ٱلَّ ِذي لَ ۥهُ ُم ۡل‬
١٥٨ َ‫بِٱهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه ٱلنَّبِ ِّي ٱأۡل ُ ِّم ِّي ٱلَّ ِذي ي ُۡؤ ِمنُ بِٱهَّلل ِ َو َكلِ ٰ َمتِ ِهۦ َوٱتَّبِعُوهُ لَ َعلَّ ُكمۡ ت َۡهتَ ُدون‬
“Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu
semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman
kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia,
supaya kamu mendapat petunjuk" (Q.S Al-A’raf :158)[8]

            Dari ayat diatas, bahwa manusia diperintahkan selain taat kepada allah
juga diperintahkan untuk mentaati Rasulnya. Begitu pula dalam hal ekonomi
manusia wajib berpedoman pada hadist, yang di contohkan Nabi Muhammad
SAW. Abu Zahrah yang mengutip dari Ibn Hazm menerangkan bahwa kalau
ditinjau dari segi bentuknya, sunnah itu terbagi kepada tiga bagian; yaitu Sunnah
Qauliyah (perkataan) taqririyah fi’liyah(perbuatan), dan taqrir.[9] Selanjutnya

4 Sholihin. Ahmad Ifham “Buku Pintar Ekonomi Syariah” (2010, Jakarta,


Gramedia Pustaka Utama)

5
Abu Zahrah menegaskan bahwa Ibn Hazm juga mengakui adanya pembagian
tersebut; tetapi menurutnya, yang menunjukan wajib dari yang tiga itu hanya
sunnah qauliyah saja. Sedangkan yang lainnya tidak bias menunjukkan wajib.
Perbuatan nabi hukunya itu uswah (tauladan yang baik untuk diikuti),
sedangkantaqrir Nabi hukumnya adalah mubah (Abu Zahrah, t.t: 299).
Bagaimana nabi menjalankan roda perekonomian pada masanya.
)‫عن ابي هريرة رض عن النبي ص م قا ل ال يخترقن اثنا ن اال عن تراض (رواه ابوداود والتر مذى‬
Artinya:

Dari Abi Hurairah r.a dari Nabi saw. bersabda: “janganlah dua orang yang jual
beli berpisah, sebelum saling meridhai” (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi).[10]

            Dalam hadist di atas nabi mengajarkan kita bagaimana dalam transaksi
jual beli yang antara kedua belah pihak harus saling meridhoi, maka unsur
antarodin dalam jual beli menjadi salah satu syarat syahnya akad jual beli.
            Dalam hadist lain, riwayat Ahmad:
ِّ ‫ِدرْ هَ ُم ِربَا يَا ً ُكلُهُ ال َّر ُج ُل َوه َُو يَ ْعلَ ُم أ َش ُّد ِم ْن ِس‬
)‫ت َو ثَالَثِ ْينَ ِز ْينَةً (رواه احمد‬
Artinya:

“Satu dirham uang riba yang dimakan seseorang, sedangkan orang tersebut
mengetahuinya, dosa perbuatan tersebut lebih berat daripada dosa enam puluh
kali zina (HR. Ahmad)[11]

Didalam ekonomi syariah jelas bahwa dalam sistemnya sangat menolak


dan bahkan mengharamkan yang namanya riba bahkan hukuman bagi mereka
yang dalam menjalankan roda perekonomiannya melakukan praktek riba lebih
berat dari pada dosa enam puluh kali zina. Dan allah pun berfirman dalam surat
Al- Baqarah Ayat 275:
ۚ ‫ٱلَّ ِذينَ يَ ۡأ ُكلُونَ ٱل ِّربَ ٰو ْا اَل يَقُو ُمونَ إِاَّل َكما يَقُو ُم ٱلَّ ِذي يَتَ َخبَّطُهُ ٱل َّش ۡي ٰطَنُ ِمنَ ۡٱلم‬
َ *ِ‫سِّ ٰ َذل‬
‫ك بِ**أَنَّهُمۡ قَ**الُ ٓو ْا إِنَّ َم**ا ۡٱلبَ ۡي* ُع ِم ۡث* ُل‬ َ َ
‫*ة ِّمن َّربِِّۦه فَ**ٱنتَهَ ٰى فَلَ ۥهُ َم**ا َس*لَفَ َوأَمۡ* ُر ٓۥهُ إِلَى ٱهَّلل ۖ ِ َو َم ۡن َع**ا َد‬ٞ *َ‫ٱل ِّربَ ٰو ۗ ْا َوأَ َح َّل ٱهَّلل ُ ۡٱلبَ ۡي َع َو َح َّر َم ٱل ِّربَ ٰو ۚ ْا فَ َمن َجٓا َء ۥهُ َم ۡو ِعظ‬
ٓ
٢٧٥ َ‫ار هُمۡ فِيهَا ٰ َخلِ ُدون‬ ِ ۖ َّ‫ص ٰ َحبُ ٱلن‬ ۡ َ‫ك أ‬َ ِ‫فَأُوْ ٰلَئ‬
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit

6
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (Q.S
Al-Baqarah: 275)5
c. Ushul Fiqh[13]
Selain berpedoman kepada Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW.
Kita juga wajib memahami ekonomi syariah bedasarkan kaidah-kaidah fiqih,
tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami ushul fiqih dan muqhasid
syariah. Semua ulama sepakat bahwa ushul fiqih menduduki posisi yang sangat
penting dalam ilmu-ilmu syariah. Imam Asy-Syatibi (w.790 H), dalam Al-
Muwafaqat, mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqih merupakan sesuatu
yang dharuri (sangat penting dan mutlak diperlukan), karena melalui ilmu inilah
dapat diketahui kandungan dan maksud setiap dalil syara’ (Alquran dan hadits)
sekaligus bagaimana menerapkan dalil-dalil syariah itu di lapangan. Menurut Al-
Amidy dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, orang yang tidak menguasai ilmu
ushul fiqih, maka diragukan ilmunya, karena tidak ada cara untuk mengetahui
hukum Allah (syariah) kecuali dengan ilmu ushul fiqih.”
Ushul fiqih adalah ibu (induk) dari semua ilmu syariah, karena itu ushul
fiqih adalah induk dari ilmu ekonomi syariah. Keputusan-keputusan fiqih
muamalah keuangan dan seluruh ketentuan ekonomi Islam di bidang makro dan
mikro pastilah menggunakan metodologi ilmu ushul fiqih. Apabila fikih
muamalah dan semua peraturan hukum Islam adalah produk ijtihad, maka ushul
fiqih adalah metodologi berijtihad untuk menghasilkan produk-produk fiqih,
fatwa dan segala bentuk regulasi, karena itulah, regulator, pembuat peraturan dan
Undang-Undang seharusnya memahami dengan baik ilmu ushul fiqih, karena

5 Al-Quran Surat Al-Baqarah, Ayat 85

7
ushul fiqih adalah metodologi ijtihad untuk menghasilkan produk fiqih muamalah,
fatwa, regulasi dan Undang-Undang.6
d. Maqashid Syariah[15]
Maqashid syariah adalah jantung dalam ilmu ushul fiqih, karena itu
maqashid syariah menduduki posisi yang sangat penting dalam merumuskan
ekonomi syariah, Maqashid syariah tidak saja diperlukan untuk merumuskan
kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal; public finance), tetapi juga
untuk menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-
teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid syariah juga sangat diperlukan dalam
membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah.[16]
Maqasid Syariah menjelaskan, hikmah-hikmah di sebalik hukum-hukum
seperti memperkasa perpaduan masyarakat adalah satu dari pada hikmah di
sebalik membayar zakat, berbuat baik kepada jiran, dan mengucapkan salam
kepada manusia. Hikmah disebalik penetapan hokum juga adalah takqa. Ini
menjadi suatu sebab kefardhuan salat, zakat dan puasa.[17]
Muqasid Adalah himpunan tujuan-tujuan ketuhanan dan konsep-konsep
moral yang mendasari undang-undang islam, seperti keadilan, kemuliaan insan,
kebebasan memilih, kemurahan hati, kesucian, serta kemudahan kepada manusia
dan masyarakat yang saling bekerjasama.[18]
e. Ijma[19]
Menurut Prof. Dr. H. I. Nurol Aen, MA. Salah satu guru besar Ushul Fiqh
di Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung, menurut bahasa Ijma
adalah Kesepakatan, menurut Etimologi Ijma adalah kesepakatan para mujtahid
setelah wafatnya rasul atas suatu peristiwa/masalah yang tidak ada dalam Al-
Quran dan Al-Hadis.
Ijma terbagi kepada 4 Bagian:
1.  Ijma Qot’I ialah kesepakatan yang telah disepakati oleh keseluruhan
ulama.

6 Arifin. Zaenal, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Alfabeta, 2002,

8
2.      Ijma Donni ialah Ijma yang disepakati oleh sebagian ulama dan
sebagian lagi tidak sepakat.
3.      Ijma Sukuti ialah Ijma yang disepakati oleh sebagian ulama dan ulama
yang sebagian lagi diam.
4.      Ijma Soriih ialah Ijma yang disepakati oleh seluruh ulama mujtahid
secara jelas.
Dalam hal ekonomi Ijma juga menjadi dasar ketetapan hokum-hukum
ekonomi syariah. Banyak hasil para ulama berijtihad/menyepakati hal-hal yang
dilarang ataupun di perbolehkan dalam hal bermua’malah. Seperti dalam akad
wadia’ah (simpanan), dalam al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu dari kitab al-
Mugnhni wa syarh kabir li Ibni Qudhamah dan Mubsuth li Imam Sarakhsy. Yang
dikutip oleh Dr. Azzuhaily.[20] Pada dasarnya penerimaan simpanan adalah yad
al-amanah (tangan amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan
atau kerusakan yang terjadi pada asset titipan selama hal ini bukan akibat dari
kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan
(karena factor-faktor diluar batas kemampuan). Hal ini telah dijelaskan oleh
Rasulullah dalam suatu Hadis.
“Jaminan pertanggung jawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak
menyalah gunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap
titipan tersebut.”[21]
f. Qiyas[22]
Menurut Prof. Dr. H. I. Nurol Aen, MA. Salah satu guru besar Ushul Fiqh
di Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung, Qiyas menurut bahasa
adalah membandingkan, sedangkan menurut Etimologi adalah menyamakan suatu
peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan yang ada ketentuan
hukumnya dalam Al-Quran dan hadis. Karena keduanya memiliki ilat[23] yang
sama.
        Qiyas memiliki 4 unsur yang harus di penuhi:
1.     Al-Quran dan Al-Hadis
2.     Peristiwa hokum yang tidak ada ketentuanya dalam Al-Quran dan Hadis.
3.     Sifat yang nyata dan tertentu serta sesuai dengan hokum.

9
4.     Hokum yang ada ketentuanya dalam Al-Quran dan Hadis.
Dalam hal ekonomi pun Qiyas sudah pasti dijadikan landasan hokum,
sebagaimana pendapat Imam Syafi’I mengenai qiyas ini: “setiap peristiwa pasti
ada kepastian hokum dan umat islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi, jika
tidak ada ketentuan hukunnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah,
yaitu dengan ijtihad, melalui Qiyas.”
g. Fatwa[24] dan Undang-Undang[25]
Dengan itu, barulah kita mulai memahami ekonomi syariah bedasarkan
fatwa-fatwa ulama juga bedasarkan undang-undang menyangkut ekonomi syariah
di Indonesia. Maka itu muncullah fatwa-fatwa ulama MUI mengenai lembaga
keuangan syariah di Indonesia diantaranya: fatwa MUI no 21 mengenai pedoman
umum asuransi syariah, fatwa MUI no 32 mengenai obligasi syariah, fatwa MUI
no 04 mengenai murabahah, dan banyak lagi fatwa-fatwa yang Majelis ulama
Indonesia keluarkan mengenai lembaga keuangan syariah.
Begitu pula, dengan munculnya undang-undang Negara republic Indonesia
mengenai lembaga keuangan syariah yaitu undang-undang no 21 tahun 2008
tentang perbankan syariah.
B. Sumber dan Norma Ekonomi Syariah di Lembaga Keuangan Bank dan
Non-Bank
Secara filosofis bank syariah adalah yang aktivitasnya meninggalkan
masalah riba. Dengan demikian, penghindaran bunga yang di anggap riba
merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dunia islam dewasa ini. Suatu hal
yang sangat mengembirakan bahwa belakangan ini para ekonom muslim telah
mencurahkan perhatian besar, guna menemukan cara untuk menggantikan system
bunga dalam transaksi perbankan dan keuangan yang lebih sesuai dengan etika
islam. Upaya ini dilakukan dalam upaya untuk membangun model teori ekonomi
yang bebas bunga dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi, alokasi dan
distribusi pendapatan.[26]
Oleh karena itulah, maka mekanisme perbankan bebas bunga – yang biasa
disebut bank syariah – didirikan perbankan didirikan bedasarkan pada alas an
filosofis maupun praktik. Secara filosofis, karena dilarangnya pengambilan riba

10
dalam transaksi keuangan maupun non-keuangan.[27] Secara praktis karena
system perbankan berbasis bunga atau konvensional mengandung beberapa
kelemahan, sebagai berikut:
(1)   Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan atau kewajaran bisnis.
(2)   Tidak fleksibelnya system transaksi berbasis bunga menyebabkan
kebangkrutan.
(3)   Komitment bank untuk menjaga keamanan uang deposan berikut bunganya
membuat bank cemas untuk mengembalikan pokok dan bunganya.
(4)   System transaksi berbasis bunga menghalangi munculnya inovasi oleh usaha
kecil.
(5)   Dalam system bunga, bank tidak akan tertarik kedalam kemitraan usaha
kecuali bila adanya jaminan kepastian pengembalian modal dan pendapatan bunga
mereka.[28]
Pada dasarnya setiap perbankan syariah memiliki prinsip-prinsip dasar
perbankan syariah diantaranya: Pertama, Prinsip titipan atau simpanan
(depository/al-Wadi’ah) yang berlandaskan pada (Q.S An-Nissa : 58), dan (Q.S
Al-Baqarah: 283),  Kedua,  Prinsip bagi hasil (profit sharing) a) Al-
Musyarakah yang berlandaskan (Q.S an-Nissa: 12), b) Al-Mudharabah yang
berlandaskan (Q.S al- Muzzamil: 20 dan Q.S al-Jumuah: 10), c) Al-
Muzara’ah yang berlandaskan pada hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar
bahwa Rasullullah SAW. Pernah memberikan tanah khaibar kepada penduduknya
(waktu itu mereka masih yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil
buah-buahan dan tanaman., d) Al-Musaqah yang berlandaskan pada hadist riwayat
Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW. Pernah memberikan tanah dan
tanaman kurma di Khaibar kepada yahudi khaibar untuk di pelihara dengan
mempergunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan, mereka
memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.7

7 Dr. Muhammad Syafi’I Antonio “Islamic Banking ‘Bank Syariah dari Teori ke
Praktik’” (2011 Jakarta-Gema Insani) Viii

11
Dengan demikian, setiap pelaku ekonomi syariah di lembaga keuangan
syariah khususnya pada dunia perbankan syariah menerapkan prinsip-prinsip
syariah pada produk-produk unggulan mereka, yang di dasarkan pada sumber-
sumber yang di tetapkan oleh Allah yaitu dari Al-Quran dan hadist Nabi
Muhammada SAW. Baik dalam penerapan pada produk pembiayaan juga pada
produk simpanan.
Sedangkan penerapan dalam konteks Non-Bank seperti halnya pada
perusahaan asuransi yang saat ini mulai banyak bermunculan yang menggunakan
prinsip-prinsip syariah dalam menjalankan system kerja mereka. Sebenarnya
konsep asuransi islam bukanlah hal baru, karena sudah ada sejak zaman
Rasulullah SAW. Yang disebut denganAqilah. Aqilah adalah berasal dari
kata asabah yang menunjukan hubungan ayah dengan pembunuh; wali terpidana
membunuh; saling memikul beban atau tanggung jawab untuk keluarganya;
seorang yang membayar denda atau ganti rugi yang diberikan oleh pelaku
pembunuhan kepada pewaris yang terbunuh.[30] Bahkan menurut Thomas Patrick
dalam bukunya Dictionery Of Islam, hal ini sudah menjadi kebiasaan suku arab
sejak jaman dulu bahwa, jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh oleh
anggota suku lain, pewaris korban akan di bayar sejumlah uang
darah (diyat) sebagai konpensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Saudara
pembunuh tersebut yang di sebut dengan Aqilah. Oleh karena itu ide pokok
dari Aqilah adalah suku arab zaman dulu harus siap melakukan kontribusi
financial atas nama pembunuh untuk membayar pewaris korban. Kesiapan untuk
membayar kontribusi keuangan sama dengan premi praktek asuransi, sementara
komponensasi yang dibayar berdasarkan Al-Aqilah mungkin sama dengan nilai
pertanggungan dalam praktik asuransi sekarang, karena hal itu merupakan bentuk
perlindungan Financial untuk pewaris terhadap kematian yang tidak diharapkan
oleh sang korban.
MM Billah dalam desertasi doktornya mengatakan bahwa piagam
(konstitusi) madinah, konstitusi pertama di dunia yang dipersiapkan langsung oleh
nabi Muhammad SAW. Setelah hijrah ke madinah, dalam beberapa pasalnya
memuat ketentuan tentang asuransi social dalam system Aqilah. Dalam pasal 3

12
konstitusi Madinah; Rasulullah SAW. Membuat ketentuan mengenai
penyelamatan jiwa para tawanan, yang menyatakan jika tawanan yang tertahan
oleh musuh karena perang harus membayar tebusan kepada musuh untuk
membebaskan yang di tawan. Konstitusi tersebut merupakan bentuk lain dari
asuransi social: “imigran di antara qurais harus bertanggung jawab untuk
membebaskan tawanan dengan cara membayar mereka tebusan supaya kolaborasi
yang saling menguntungkan di antara orang-orang yang percaya sejalan dengan
prinsip kebaikan dan keadilan.”
 Pada dasarnya, lembaga keuangan syariah baik dalam bentuk Bank
ataupun Non-Bank mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah untuk
memperoleh kebijakan di dunia juga diakhirat. Oleh karena itu, setiap kegiatan
lembaga keuangan yang dikhawatirkan menyimpang dari tuntunan agama, harus
dihindari:[31]
a.    Menjauhkan diri dari unsur riba, caranya:
1.  Menghindari penggunaan system yang menetapkan dimuka secara
pasti keberhasilan suatu usaha. (Q.S Luqman: 34)
2.  Menghindari penggunaan system presentasi untuk pembebanan biaya
terhadap utang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang
mengandung unsur melipatgandakan secara otomatis utang/simpanan
tersebut hanya karena berjalannya waktu. (Q.S Ali Imron: 130)
3.  Menghindari penggunaan system perdagangan/ penyewaan barang
ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh
kelebihan baik kuantitas maupun kualitas (HR. Muslim Bab Riba No
1551 s/d 1567)
4.  Menghindari penggunaan system yang menetapkan dimuka tambahan
atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara
sukarela. (HR. Muslim, Bab Riba No. 1569 s/d 1572)
b.      Menerapkan System Bagi Hasil dan Perdagangan dengan mengacu
pada Al-quran surat Al-Baqarah Ayat 275 dan An-Nissa ayat 29, maka setiap
transaksi kelembagaan syariah harus dilandasi atas dasar system bagi hasil
dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara

13
uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan muamalah berlaku prinsip ada
barang /jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi
barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya
penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi.[32]

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Denagan ini, pemakalah menyimpulkan bahwa sumber dan norma
ekonomi syariah berlandaskan kepada dalil-dalil Al-Quran, Hadist, Ijma, Qiyas,
Fatwa dan Undang-undang. system ekonomi syariah jelas semua sesuai dengan
tuntunan dari Allah SWT dan juga dari pengalaman perjalanan ekonomi pada
masa Nabi Muhammad SAW.
Dan pada dasarnya, lembaga keuangan syariah baik dalam bentuk Bank
ataupun Non-Bank mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah untuk
memperoleh kebijakan di dunia juga diakhirat. Oleh karena itu, setiap kegiatan
lembaga keuangan yang dikhawatirkan menyimpang dari tuntunan agama, harus
dihindari:[33]

14
Daftar Pustaka
Al-Quran dan Terjemah
Antonio. Muhammad Syafi’I. Dr. “Islamic Banking ‘Bank Syariah dari Teori ke
Praktik’” (2005 Jakarta-Gema Insani)
Lajnah Pentathasihan Mushap Al-Quran “Tafsir Al-Quran Tematik,
Pembangunan Ekonomi Umat” (2012, Badan Litbang dan Diklat, Departemen
Agama RI)
Sholihin. Ahmad Ifham “Buku Pintar Ekonomi Syariah” (2010, Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama)
Arifin. Zaenal, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Alfabeta, 2002,
Al-Quran Surat Al-Baqarah, Ayat 85
Dr. Muhammad Syafi’I Antonio “Islamic Banking ‘Bank Syariah dari Teori ke
Praktik’” (2011 Jakarta-Gema Insani) Viii

15

Anda mungkin juga menyukai