Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Toksikologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan racun. Toksikologi ditekankan


pada kandungan kimia atau fisik dari substansi racun dan efek fisiologis pada makhluk hidup,
metode kualitatif dan kuantitatif untuk analisis materi biologis dan nonbiologis, dan
perkembangan prosedur untuk mengobati keracunan. Racun dianggap sebagai substansi yang
ketika digunakan dalam jumlah yang cukup akan menyebabkan penyakit atau kematian.
Saat ini, pengetahuan tentang toksikologi diperluas, meliputi evaluasi terhadap risiko
penggunaan di bidang farmasi, pestisida, dan bahan aditif makanan, selain itu pengetahuan
tentang penggunaan racun, paparan polusi lingkungan, efek radiasi, dan perang kimia dan
biologis. Toksikologi forensik lebih ditekankan pada deteksi dan estimasi racun pada jaringan
dan cairan tubuh yang didapatkan pada otopsi atau pada darah, urin, atau cairan lambung
pada korban hidup. Jika hasil analisis toksikologi telah lengkap, ahli toksikologi dapat
menginterpretasikan hasil sebagai efek fisik dan atau psikologis dari racun pada seseorang
yang diambil sampel tubuhnya untuk diperiksa.
Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan, dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu atas dasar tujuan pemeriksaan itu sendiri. Pertama betujuan untuk mencari penyebab
kematian, misalnya karena keracunan sianida, karbonmonoksida, insetisida, dsb. Kedua untuk
mengetahui mengapa suatu peristiwa dapat terjadi, misalnya kasus pembunuhan, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan pesawat udara, pemerkosaan, dsb.

1
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKA

2.1 Definisi Toksikologi


Toksikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan sumber,
karakteristik dan kandungan racun, gejala dan tanda yang disebabkan racun, dosis fatal,
periode fatal,dan penatalaksanaan kasus keracunan. Periode fatal merupakan selang waktu
antara masuknya racun dalam dosis fatal rata-rata sampai menyebabkan kematian pada rata-
rata orang sehat
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang
hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk
hidup dan sistem biologik lainnya.
Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor
“tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan
terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan
istilah toksik atau toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana
efek berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia,
dalam kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi
pada suatu organisme.

2.2 Klasifikasi Toksikologi


Toksikologi sangat luas cakupannya. Ia menangani studi efek toksik “toksisitas” di
berbagai bidang, LU (1995) mengelompokkan ke dalam empat bidang, yaitu:
- Bidang kedokteran untuk tujuan diagnostik, pencegahan, dan terapeutik.
- dalam industri makanan sebagai zat tambahan baik langsung maupun tidak
langsung,
- dalam pertanian sebagai pestisida zat pengatur pertumbuhan, peyerbuk bantuan,
dan zat tambahan pada makanan hewan,
- dalam bidang industri kimia sebagai pelarut, komponen, dan bahan antara bagi
plstik serta banyak jenis bahan kimia lainnya.
LOOMIS (1979) berdasarkan aplikasinya toksikologi dikelompokkan dalam tiga
kelompok besar, yakni: toksikologi lingkungan, toksikologi ekonomi dan toksikologi
forensik.

2
Toksikologi lingkungan lebih memfokuskan telaah racun pada lingkungan, seperti
pencemaran lingkungan, dampak negatif dari akumulasi residu senyawa kimia pada
lingkungan, kesehatan lingkungan kerja.
Toksikologi ekonomi membahas segi manfaat dan nilai ekonomis dari xenobiotika.
Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi ilmu toksikologi untuk kepentingan
peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah analisis racun baik kualitatif maupun
kuantitatif sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan.
Masih dijumpai subdisiplin toksikologi lainnya selain tiga golongan besar diatas,
seperti toksikologi analisis, toksikologi klinik, toksikologi kerja, toksikologi hukum, dan
toksikologi mekanistik.

Gambar 1: Hubungan ilmu dasar dan terapan dengan cabang toksikologi

2.3 Cara Kerja dan Efek Toksik


Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses fisika,
biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses ini umumnya dikelompokkan
ke dalam tiga fase yaitu: fase eksposisi, toksokinetik dan fase toksodinamik.

3
2.3.1 Fase Eksoposisi
Fase eksposisi merupakan kontak suatu organisme dengan xenobiotika, pada
umumnya, kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/farmakologi setelah xenobiotika
terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada dalam bentuk terlarut, terdispersi molekular
dapat terabsorpsi menuju sistem sistemik. Dalam konstek pembahasan efek obat, fase ini
umumnya dikenal dengan fase farmaseutika.
Dalam fase ini terjadi kotak antara xenobiotika dengan organisme atau dengan lain
kata, terjadi paparan xenobiotika pada organisme. Paparan ini dapat terjadi melalui kulit, oral,
saluran pernafasan (inhalasi) atau penyampaian xenobiotika langsung ke dalam tubuh
organisme (injeksi).

a. Eksposisi melalui kulit


Eksposisi (pemejanan) yang palung mudah dan paling lazim terhadap manusia
atau hewan dengan segala xenobiotika, seperti misalnya kosmetik, produk rumah
tangga, obat topikal, cemaran lingkungan, atau cemaran industri di tempat kerja, ialah
pemejanan sengaja atau tidak sengaja pada kulit.

b. Eksposisi melalui jalur inhalasi


Pemejanan xenobiotika yang berada di udara dapat terjadi melalui
penghirupan xenobiotika tersebut. Tokson yang terdapat di udara berada dalam bentuk
gas, uap, butiran cair, dan partikel padat dengan ukuran yang berbeda-beda.
Disamping itu perlu diingat, bahwa saluran pernafasan merupakan sistem yang
komplek, yang secara alami dapat menseleksi partikel berdasarkan ukurannya. Oleh
sebab itu ambilan dan efek toksik dari tokson yang dihirup tidak saja tergantung pada
sifat toksisitasnya tetapi juga pada sifat fisiknya.

c. Eksposisi Melalui Jalur Saluran Cerna


Pemejanan tokson melalui saluran cerna dapat terjadi bersama makanan,
minuman, atau secara sendiri baik sebagai obat maupun zat kimia murni. Pada jalur
ini mungkin tokson terserap dari rongga mulut (sub lingual), dari lambung sampai
usus halus, atau eksposisi tokson dengan sengaja melalui jalur rektal. Kecuali zat yang
bersifat basa atau asam kuat , atau zat yang dapat merangsang mukosa, pada
umumnya tidak akan memberikan efek toksik kalau tidak diserap.
4
Pada umumnya tokson melintasi membran saluran pencernaan menuju sistem
sistemik dengan difusi pasif, yaitu transpor dengan perbedaan konsentrasi sebagai
daya dorongnya. Namun disamping difusi pasif, juga dalam usus, terdapat juga
transpor aktif, seperti tranpor yang tervasilitasi dengan zat pembawa (carrier), atau
pinositosis.

2.3.2 Fase Toksikinetik


Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah xenobiotika
berada dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap untuk diabsorpsi
menuju aliran darah atau pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut akan bersama aliran
darah atau limfe didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik (reseptor). Pada
saat yang bersamaan sebagian molekul xenobitika akan termetabolisme, atau tereksresi
bersama urin melalui ginjal, melalui empedu menuju saluran cerna, atau sistem eksresi
lainnya. Proses biologik yang terjadi pada fase toksokinetik umumnya dikelompokkan ke
dalam proses invasi dan evesi. Proses invasi terdiri dari absorpsi, transpor, dan distribusi,
sedangkkan evesi juga dikenal dengan eleminasi.

2.3.3 Fase Toksodinamik


Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja
toksik) dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek
toksik/farmakologik. Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan interaksi yang bolak-
balik (reversibel). Hal ini mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila
xenobiotika tereliminasi dari tempat kerjanya (reseptor).
Efek irrevesibel diantaranya dapat mengakibatkan kerusakan sistem biologi, seperti:
kerusakan saraf, dan kerusakan sel hati (serosis hati), atau juga pertumbuhan sel yang tidak
normal, seperti karsinoma, mutasi gen. Umumnya efek irreversibel ”nirpulih” akan menetap
atau justru bertambah parah setelah pejanan tokson dihentikan.

5
Gambar 2. Deretan rantai proses pada fase kerja toksik dalam organisme secara
biologik dikelompokkan menjadi: fase eksposisi, toksokinetik ”farmakokinetik”, dan
fase toksodinamik ”farmakodinamik”.

2.4 Prinsip Dasar dalam Investigasi Toksikologi


Dalam menentukan jenis zat toksik yangmenyebabkan keracunan, seringkali menjadi
rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadidalam tubuh manusia. Jarang sekali
suatu bahankimia bertahan dalam bentuk asalnya didalam tubuh.Bahan kimia, ketika
memasuki tubuh akanmengalami proses ADME, yaitu absorpsi, distribusi,metabolisme dan
ekskresi. Misalnya, setelahmemasuki tubuh, heroin dengan segeratermetabolisme menjadi
senyawa lain dan akhirnyamenjadi morfin, menjadikan investigasi yang lebihdetil perlu
dilakukan, letakjejak injeksi zat pada kulit dan kemurnian zattersebut untuk mengkonfirmasi
hasil diagnosa. Zattoksik juga kemungkinan dapat mengalamipengenceran dengan adanya
proses penyebaran keseluruh tubuh sehingga sulit untuk terdeteksi.
Walaupun zat racun yang masuk dalam ukuran gramatau miligram, sampel yang
diinvestigasi dapatmengandung zat racun atau biomarkernya dalamukuran mikrogram atau
nanogram, bahkan hinggapikogram.

6
Bapak Toksikologi Modern, Paracelsus (1493-1541) menyatakan bahwa "semua zat
adalah racun; tidakada yang bukan racun. Dosis yang tepat membedakan suatu racun
dengan obat". Toksikan(zat toksik) adalah bahan apapun yang dapatmemberikan efek yang
berlawanan (merugikan).Racun merupakan istilah untuk toksikan yang dalamjumlah sedikit
(dosis rendah) dapat menyebabkankematian atau penyakit (efek merugikan) yang secaratiba-
tiba. Zat toksik dapat berada dalam bentuk fisik(seperti radiasi), kimiawi (seperti arsen,
sianida)maupun biologis (bisa ular). Juga terdapat dalamberagam wujud (cair, padat, gas).
Beberapa zattoksik mudah diidentifikasi dari gejala yangditimbulkannya, dan banyak zat
toksik cenderungmenyamarkan diri.
Sulit untuk mengkategorisasi suatu bahan kimiasebagai aman atau beracun. Tidak
mudah untukmembedakan apakah suatu zat beracun atau tidak.Prinsip kunci dalam
toksikologi ialah hubungan dosis-respon /Efek. Kontak zat toksik
(paparan)terhadaporganisme/tubuh dapat melalui jalur tertelan (ingesti),terhirup (inhalasi)
atau terabsorpsi melalui kulit. Zattoksik umumnya memasuki organisme/tubuh dalamdosis
tunggal dan besar (akut), atau dosis rendahnamun terakumulasi hingga jangka waktu
tertentu(kronis).
Tabel 2.1 Contoh zat-zat toksik dan gejalanya.
Zat Toksik Gejala
Asam (nitrat, hidroklorat, Luka bakar pada kulit, mulut,
sulfat) hidung, membranmukosa
Kulit muka dan leher menghitam
Anilin (gelap)
Arsen Diare parah
Atropin Pelebaran pupil mata
Basa (kalium, hidroksida) Luka bakar pada kulit, mulut,
hidung, membranmukosa
Asam karbolat (atau fenol Bau desinfektan
lainnya) Karbon monoksida Kulit berwarna merah terang
Sianida Kematian cepat, kulit memerah
Keracunan makanan Muntah, nyeri perut
Senyawa logam Diare, muntah, nyeri perut
Nikotin Kejang
Asam oksalat Bau bawang putih
Natrium fluorida Kejang

7
Striknin Kejang, muka dan leher menghitam
(gelap)

2.5 Kriteria Diagnosis Kasus Keracunan


Kriteria diagnosis kasus keracunan adalah sebagai berikut:
1. Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan racun (secara
injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau mukosa).
Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya sebagai kriteria
diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri – keluarga korban tentunya tidak akan
memberikan keterangan yang benar, bahkan malah cenderung untuk
menyembunyikannya, karena kejadian tersebut merupakan aib bagi pihak keluarga
korban.
2. Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat yang diduga.
Adanya tanda/gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang bersifat darurat
dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus tanpa disertai dengan data-data
klinis tentang kemungkinan kematian karena kematian sehingga harus dipikirkan
terutama pada kasus yang mati mendadak, non traumatik yang sebelumnya dalam
keadaan sehat.
3. Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa makanan / obat / zat
yang masuk ke dalam tubuh korban.
Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang digunakan korban
itu adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum dapat dibuktikan secara analisa kimia,
kemungkinan-kemungkinan seperti tertukar atau disembunyikannya barang bukti, atau si
korban menelan semua racun – kriteria ini tentunya tidak dapat dipakai.
4. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara makroskopik atau
mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang diakibatkan oleh racun yang
bersangkutan.
Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus keracunan, selain
untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga penting untuk
menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab kematian. Otopsi menjadi lebih
penting pada kasus yang telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana pada kasus-
kasus seperti ini kita tidak akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang dapat
ditemukan adalah kelainan-kelainan pada organ yang bersangkutan.

8
5. Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di dalam tubuh /
jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.
Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa
pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak memiliki arti
dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan dengan pemeriksaan toksikologis ini,
kita tidak boleh terpaku pada dosis letal sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kerja racun. Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan secara
sistematik, diagnosa kematian karena racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya
berdasar pada ditemukannya racun dalam lambung korban.

Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada kasus-kasus
keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima merupakan kriteria yang
terpenting dan tidak boleh dilupakan.

2.6 Analisis Toksikologi


Analisis toksikologi merupakan pemeriksaan laboratorium yang berfungsi untuk:
1. Analisa tentang adanya racun.
2. Analisa tentang adanya logam berat yang berbahaya.
3. Analisa tentang adanya asam sianida, fosfor dan arsen.
4. Analisa tentang adanya pestisida baik golongan organochlorin maupun
organophospat.
5. Analisa tentang adanya obat-obatan misalnya: transquilizer, barbiturate, narkotika,
ganja, dan lain sebagainya.

Analitikal toksikologi meliputi isolasi, deteksi, dan penentuan jumlah zat yang bukan
merupakan komponen normal dalam material biologis yang didapatkan dalam otopsi. Guna
toksikologi adalah menolong menentukan sebab kematian.
Kadang-kadang material didapatkan dari pasien yang masih hidup, misalnya darah,
rambut, potongan kuku atau jaringan hasil biopsi. Hasil toksikologi disini membantu dalam
menentukan kasus-kasus yang diduga keracunan.Pada pengiriman material untuk analitikal
toksikologi, diharapkan dokter mengirimkan material sebanyak mungkin, dengan demikian
akan memudahkan pemeriksaan dan hasilnya akan lebih sempurna. Jaringan tubuh masing-
masing memiliki afinitas yang berbeda terhadap racun-racun tertentu, misalnya:

9
 Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan racun-racun organis,
baik yang mudah menguap maupun yang tidak mudah menguap.
 Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat organik non volatile,
misalnya obat sulfa, barbiturate, salisilat dan morfin.
 Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik untuk pemeriksaan
keracunan logam yang bersifat kronis.

Untuk racun yang efeknya sistemik, harus dapat ditemukan dalam darah atau organ
parenkim ataupun urin. Bila hanya ditemukan dalam lambung saja maka belum cukup untuk
menentukan keracunan zat tersebut. Penemuan racun-racun yang efeknya sistemik dalam
lambung hanyalah merupakan penuntun bagi seorang analis toksikologi untuk memeriksa
darah, organ, dan urin ke arah racun yang dijumpai dalam lambung tadi. Untuk racun-racun
yang efeknya lokal, maka penentuan dalam lambung sudah cukup untuk dapat dibuat
diagnosa.
Secara umum tugas analisis toksikologi forensik (klinik) dalam melakukan analisis
dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu: 1)penyiapan sampel “sample preparation”,
2) analisis meliputi uji penapisan “screening test” atau dikenaljuga dengan “general unknown
test” dan ujikonfirmasi yang meliputi uji identifikasi dankuantifikasi, 3) langkah terakhir
adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan analisis. Berbeda dengan kimia
analisis lainnya (seperti: analisis senyawa obat dan makanan, analisis kimia klinis) pada
analisis toksikologi forensik pada umumnya analit (racun) yang menjadi target analisis,tidak
diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis. Tidak sering hal ini menjadi hambatan
dalam penyelenggaraan analisis toksikologi forensik, karena seperti diketahui saat ini
terdapat ribuan atau bahkan jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi target analisis.
Untuk mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali dari informasi
penyebab kasus forensik (keracunan,kematian tidak wajar akibat keracunan, tindak kekerasan
dibawah pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan pemeriksaan di tempat
kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi penyidik.
Sangat sering dalam analisis toksikologi forensiktidak diketemukan senyawa induk,
melainkan metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis toksikologi forensik, senyawa
metabolit juga merupakan target analisis. Sampel dari toksikologi forensik pada umumnya
adalah spesimen biologi seperti: cairan biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau
organ tubuh. Preparasi sampel adalah salah satu factor penentu keberhasilan analisis

10
toksikologi forensic disamping kehadalan penguasaan metode analisis instrumentasi. Berbeda
dengan analisis kimia lainnya,hasil indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan merupakan
tujuan akhir dari analisis toksikologi forensik. Seorang toksikolog forensik dituntut harus
mampu menerjemahkan apakah analit (toksikan) yang diketemukan dengan kadar tertentu
dapat dikatakan sebagai penyebab keracunan (pada kasus kematian).
2.7 Jenis-Jenis Keracunan

2.7.1 Keracunan Karbon Monoksida (CO)


Karbon monoksida (CO) adalah racun yang tertua dalam sejarah manusia. Sejak
dikenal cara membuat api, manusia senantiasa terancam oleh asap yang mengandung CO.
Gas CO adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak meransang selaput lendir,
sedikit lebih ringan dari udara sehingga mudah menyebar.

Tabel 2. 2Gejala yang ditimbulkan akibat keracunan CO.

Saturasi COHb Gejala


10 % Tidak ada
10% - 20% Rasa berat pada kening, mungkin sakit kepala ringan
20% - 30% Sakit kepala, berdenyut pada pelipis
30% - 40% Sakit kepala keras, lemah, pusing,penglihatan buram, mual dan
muntah, kolaps
40% - 50% Sama dengan gejala di atas tetapi dengan kemungkinan besar
kolaps atau sinkop. Pernapasan dan nadi cepat, ataksia.
50% - 60% Sinkop, pernapasan dan nadi bertambah cepat, koma dengan
kejang intermitten, pernapasan Cheyne Stoke
60% - 70% Koma dengan kejang, depresi jantung dan pernapasan, mungkin
meninggal
70% - 80% Nadi lemah, pernapasan lambat, gagal napas dan meninggal.

Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan CO


Diagnosis keracunan CO pada korban hidup biasanya berdasarkan anamnesis adanya
kontak dan di temukannya gejala keracunan CO.-Pada korban yang mati tidak lama setelah
keracunan CO, ditemukan lebam mayat berwarna merah terang (cherry pink colour) yang
tampak jelas bila kadar COHb mencapai 30% atau lebih. Warna lebam mayat seperti itu juga
dapat ditemukan pada mayat yang di dinginkan, pada korban keracunan sianida dan pada
orang yang mati akibat infeksi oleh jasad renik yang mampu membentuk nitrit, sehingga
dalam darahnya terbentuk nitroksi hemoglobin. Meskipun demikian masih dapat di bedakan

11
dengan pemeriksaan sederhana.

Pada mayat yang didinginkan dan pada keracunan CN, penampang ototnya berwarna
biasa, tidak merah terang. Juga pada mayat yang di dinginkan warna merah terang lebam
mayatnyatidak merata selalu masih ditemukan daerah yang keunguan (livid). Sedangkan
padakeracunan CO, jaringan otot, visera dan darah juga berwarna merah terang. Selanjutnya
tidakditemukan tanda khas lain. Kadang-kadang dapat ditemukan tanda asfiksia dan
hiperemiavisera. Pada otak besar dapat ditemukan petekiae di substansia alba bila korban
dapatbertahan hidup lebih dari ½ jam.
Pada analisa toksikologik darah akan di temukan adanya COHb pada korban
keracunanCO yang tertunda kematiannya sampai 72 jam maka seluruh CO telak di eksresi
dan darahtidak mengandung COHb lagi, sehingga ditemukan lebam mayat berwarna livid
seperti biasademikian juga jaringan otot, visera dan darah. Kelainan yang dapat di temukan
adalahkelainan akibat hipoksemia dan komplikasi yang timbul selama penderita di rawat.
Otak, pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus dapat di
temukanpetekiae. Kelainan ini tidak patognomonik untuk keracunan CO, karena setiap
keadaanhipoksia otak yang cukup lama dapat menimbulkan petekiae.

Pemeriksaan mikroskopik pada otak memberi gambaran:


- Pembuluh-pembuluh halus yang mengandung trombihialin
- Nikrosis halus dengan di tengahnya terdapat pembuluh darah yang mengandung
trombihialin dengan pendarahan di sekitarnya, lazimnya di sebut ring hemorrage
- Nikrosis halus yang di kelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang
mengandungtrombi
- Ball hemorrgae yang terjadi karena dinding arterior menjadi nekrotik akibat
hipoksiadan memecah.
Pada miokardium di temukan perdarahan dan nekrosis, paling sering di muskulus
papilaris ventrikal kiri. Pada penampang memanjangnya, tampak bagian ujung muskulus
papilaris berbercak-bercak perdarahan atau bergaris-garis seperti kipas berjalan dari tempat
insersiotendinosa ke dalam otak.
Ditemukan eritema dan vesikal / bula pada kulit dada, perut, luka, atau anggota gerak
badan, baik di tempat yang tertekan maupun yang tidak tertekan. Kelainan tersebut
disebabkan oleh hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit. Pneunomonia hipostatik paru
mudah terjadi karena gangguan peredaran darah. Dapatterjadi trombosis arteri pulmonalis.
12
2.7.2 Keracunan Alkohol
Alkohol banyak terdapat dalam berbagai minuman dan sering menimbulkan
keracunan.Keracunan alkohol menyebabkan penurunan daya reaksi atau kecepatan,
kemampuan untukmenduga jarak dan ketrampilan mengemudi sehingga cenderung
menimbulkan kecelakaanlalu-lintas di jalan, pabrik dan sebagainya. Penurunan kemampuan
untuk mengontrol diri danhilangnya kapasitas untuk berfikir kritis mungkin menimbulkan
tindakan yang melanggarhukum seperti perkosaan, penganiayaan, dan kejahatan lain ataupun
tindakan bunuh diri.
Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan Alkohol
Pada orang hidup, bau alkohol yang keluar dari udara pernapasan merupakan
petunjukawal. Petunjuk ini harus dibuktikan dengan pemeriksaan kadar alkohol darah, baik
melaluipemeriksaan udara pernapasan atau urin, maupun langsung dari darah vena.
Kelainan yang ditemukan pada korban mati tidak khas, Mungkin ditemukan gejala-
gejalayang sesuai dengan asfiksia. Seluruh organ menunjukkan tanda perbendungan, darah
lebihencer, berwarna merah gelap. Mukosa lambung menunjukkan tanda perbendungan,
kemerahan dan tanda inflamasi tapi kadangkadang tidak ada kelainan.

Organ-organ termasuk otak dan darah berbau alkohol. Pada pemeriksaan


histopatologikdapat dijumpai edema dan pelebaran pembuluh darah otak dan selaput otak,
degenerasibengkak keruh pada bagian parenkim organ dan inflamasi mukosa saluran cerna.-
Pada kasus keracunan kronik yang, meninggal, jantung dapat memperlihatkan
fibrosisinterstisial, hipertrofi serabut otot jantung, sel-sel radang kronik pada beberapa
tempat,gambaran seran lintang otot jatunng menghilang, hialinisasi, edema dan vakuolisasi
serabutotot jantung. Schneider melaporkan miopati alhokolik akut dengan miohemoglobinuri
yangdisebabkan oleh nekrosis tubuli ginjal dan kerusakan miokardium.

2.7.3 Keracunan Narkotika


Kematian akibat narkotika lebih sering karena kecelakaan. Pada pemeriksaan kasus
yang meninggal akibat narkotika, perlu diperhatikan akan adanya bekas suntikan yang baru
dan lama. Pada para pemakai narkotika dengan suntikan dapat diteukan pembesaran kelenjar

13
limfe regional. Kadangkala ditemukan tatto pada tempat yang tidak lazim, misalnya pada
lipat siku, yang dimaksudkan menutupi bakas suntikan.
Kematian akibat narkotika paling sering melalui terjadinya depresi napas. Pada
pemeriksaan jenazah akan ditemukan kelainan pada paru berupa pembendungan hebat dan
edema paru hebat, narcotic lung atau gambaran pneumonia lobaris. Pembendungan
ditemukan pula pada organ-organ tubuh lainnya.
Pemeriksaan toksikologi dilakukan terhadap darah dan urin. Selain itu, pemeriksaan
toksikologi juga dilakukan pada cairan empedu serta tempat masuknya narkotika tersebut
(jaringan sekitar suntikan pada pemakai narkotika suntikan, nasal swab pada mereka yang
melakukan sniffing, isi lambung pada mereka yang menelan narkotika).

2.7.4 Keracunan Insektisida


Kasus kematian akibat insektisida seringkali merupakan kematian akibat bunuh diri
menggunakan bahan pembunuhan serangga golongan karbamat yang digunakan luas
dimasyarakat. Selain itu keracunan juga disebabkan oleh faktor ketidaksengajaan pada proses
penyemprotan. Pembunuhan dengan racun jenis ini jarang terjadi. (anonim, chadna)
Insektisida yang sering digunakan, antara lain:
1. golongan fosfat organik : malation, paration, paraxon, diazinon
2. golongan karbamat : carbaryl, baygon
3. golongan hidrokarbon yang diklorkan : DDT, lindane
Berdasarkan cara kerjanya, golongan organofosfat dan karbamat dikategorikan ke
dalam antikolinesterase. Pada golongan organofosfat inhibisinya bersifat irreversibel,
sedangkan golongan karbamat bersifat reversibel. Inhibisi mengakibatan terjadinya
akumulasi asetilkoloin, rangsangan pada saraf kolinergik diperpanjang. Kematian terjadi
karena gagal napas dan henti jantung. Gejala klinis berupa gangguan penglihatan, sukar
bernapas, saluran pencernaan hiperaktif. Tanda dan gejala lain yang sering terjadi antara lain
sakit kepala, kelemahan otot, hiperhidrosis, lakrimasi, salivasi, miosis, sekresi saluran napas,
sianosis, papil edem, konvulsi, koma, dan hilangnya kontrol terhadap sfingter.
Pemeriksaan luar terhadap jenazah dimulai dengan melakukan penciuman pada
lubang hidung dam mulut jenazah. Pada kasus keracunan insektisida akan tercium bau bahan
pelarut yang digunakan sebagai pelarut insektisida tersebut. Kadang-kadang ditemukan luka
bakar kimiawi berupa bercak berwarna coklat agak mencekung di kulit sekitar mulut dan
tempat yang terkena insektisida. Pemeriksaan lebih lanjut akan ditemuakan lebam jenazah

14
berwarna biru gelap, ujung jari dan kuku berwarna kebiru-biruan.

Pada pemeriksaan dalam ditemukan tanda pembendungan pada alat dalam. Di dalam
lambung ditemukan cairan yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan cairan lambung dan
lapisan larutan insektisida. Mukosa lambung dan usus bagian atas tampak hiperemis dan
mengalami perdarahan submukosa. Juga dapat tercium bau pelarut insektisida. Limpa, otak
dan paru tampak edem dan kongesti. Kerusakan jaringan hati biasanya merupakan penyebab
kematian pada keracunan kronis.

2.7.5 Keracunan Makanan


Keracunan makanan adalah istilah yang diberikan kepada infeksi dengan bakteri,
parasit, virus, atau racun dari kuman yang mempengaruhi manusia melalui terkontaminasi
makanan atau air. Organisme kausatif yang paling umum adalah Staphylococcus atau
Escherechia coli.
Keracunan makanan ini bisa diakibatkan karena adanya bentuk kerusakan bahan
pangan oleh mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme pada bahan pangan ataupun
makanan dapat menyebabkan berbagai perubahan fisik dan kimiawi. Apabila perubahan
tersebut tidak diinginkan atau tidak dapat diterima konsumen maka bahan pangan tersebut
dinyatakan telah rusak. Bentuk kerusakan bahan pangan ataupun makanan oleh karena
mikroorganisme adalah sebagai berikut:
1. Berjamur, disebabkan oleh kapang aerobik, banyak tumbuh pada permukaan bahan
2. Pembusukan (rots), bahan menjadi lunak dan berair
3. Berlendir, pertumbuhan bakteri di permukaan yang basah akan dapat menyebabkan
flavor dan bau yang menyimpang serta pembusukan bahan pangan dengan pembentukan
lendir.
4. Perubahan warna, beberapa mikroorganisme menghasilkan koloni-koloni yang berwarna
atau mempunyai pigmen yang memberi warna pada bahan yang tercemar
5. Berlendir kental seperti tali
6. Kerusakan fermentative
7. Pembusukan bahan berprotein
Makanan yang pada dasarnya telah mengandung zat berbahaya, tetapi tetap
dikonsumsi manusia karena ketidaktahuan mereka dapat dibagi menjadi 3 golongan :
a) Secara alami makanan itu memang telah mengandung zat kimia beracun, misalnya,
singkong yang mengandung HCN, ikan dan kerang yang mengandung unsur toksik
15
tertentu (logam berat, misalnya Hg dan Cd) yang dapat melumpuhkan sistem saraf dan
napas.
b) Makanan dijadikan sebagai media perkembangbiakan sehingga dapat menghasilkan
toksin yang berbahaya bagi manusia, misalnya dalam kasus keracunan makanan akibat
bakteri (bacterial food poisoning).
c) Makanan sebagai perantara. Jika suatu makanan yang terkontaminasi dikonsumsi
manusia, di dalam tubuh manusia agent penyakit pada makanan itu memerlukan masa
inkubasi untuk berkembang biak dan setelah beberapa hari dapat mengakibatkan
munculnya gejala penyakit. Contoh penyakitnya antara lain typhoid abdominalis dan
disentri basiler

Macam-Macam Keracunan Makanan


a. Keracunan Makanan Secara Kimiawi

Keracunan makanan secara kimiawi disebabkan terdapatnya bahan kimia


beracun dalam makanan. Keracunan tersebut dapat berasal dari bahan kimia pertanian,
yang sengaja dipergunakan untuk kegiatan produksi. Penggunaan pembasmi rumput
dan insektisida sangat penting untuk memperoleh hasil yang baik, tetapi beberapa dari
senyawa ini dapat membahayakan jika digunakan tidak sesuai dengan aturan karena
dapat bersifat toksis jika dikonsumsi dalam dosis yang tinggi. Sedangkan pada jumlah
yang kecil biasanya tidak menimbulkan pengaruh bahaya di dalam tubuh. Bahan kimia
pembasmi rumput dan insektisida harus diuji terlebih dahulu sebelum dipasarkan dan
petani harus diberi instruksi yang rinci tentang cara-cara penggunaannya yang baik.
Keracunan juga dapat disebabkan oleh bahan-bahan yang berasal dari logam tertentu
(misalnya timah, merkuri, dan kadmium) di dalam tubuh. Kadar kadmium dan merkuri
yang tinggi telah ditemukan pada ikan yang ditangkap dari perairan yang mengalami
cemaran bahan buangan industri. Keracunan timah dapat timbul oleh air minum yang
melewati pipa yang terbuat dari timah hitam.

b. Keracunan Makanan Secara Biologis

Keracunan makanan secara biologik karena memakan tumbuhan yang


mengandung substansi yang terdapat secara alami dan bersifat membahayakan. Ada
beberapa spesies jamur beracun, seperti Amanda phalloides dan Amanda virosa, yang
dapat menyebabkan sakit dan juga dapat menyebabkan kematian. "Deadly nightshade
16
" adalah sejenis tanaman semak yang tumbuh di selurula Eropa dan Asia. Semua
bagian tanaman tersebut mengandung obat "Belladonna", yang kadang-kadang
digunakan dalam pengobatan untuk penyembuhan asma, penyakit paru-paru, dan
penyakit jantung. Tetapi obat tersebut juga dapat menyebabkan kematian, jika dosisnya
terlalu tinggi, kematian juga dapat terjadi pada anak-anak yang keracunan akibat
memakan buah dari tanaman tersebut. Jenis-jenis kentang yang merupakan anggota
keluarga "nightshade", salah satunya adalah kentang hijau yang mengandung bahan
yang disebut solanin, yang menyebabkan sakit bahkan kematian bila dimakan dalam
jumlah yang banyak.

Asam oksalat dalam bentuk kalium oksalat, terdapat di dalam getah tanaman
seperti bayam. Senyawa tersebut juga terdapat dalam tubuh manusia dalam jumlah
yang sangat kecil. Tetapi jika dalam jumlah yang banyak senyawa tersebut dapat
berbahaya, dan mengkonsumsi bayam dalam jumlah yang banyak juga dapat
membahayakan tubuh manusia.

c. Keracunan Makanan Karena Mikroorganisme

Pada dasarnya mikroorganisme dapat membantu kehidupan makhluk hidup yang


lain, tetapi mikroorganisme juga dapat membahayakan karena beberapa dari jenis
mikroorganisme tersebut dapat menyebabkan sakit yang cukup serius pada makhluk
hidup yang lain ( Gaman dan Sherrington, 2000 : 255 ).

Keracunan makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme ini, disebabkan oleh :

1. Orang yang menangani atau mengolah makanan

Staphyloccocus aureus, Salmonella spp., Clostridium botulinum dan Clostridium perfringens


semua dapat dibawa oleh orang yang terlibat dalam penyiapan makanan.

2. Lingkungan atau area dan peralatan

Spora Clostridium perfringens dan Bacillus cereus dapat dijumpai pada debu di ruangan
tempat menyimpan bahan makanan. Juga, semua bakteri penyebab keracunan makan dapat
menyebar dengan kontaminasi silang.

17
3. Bahan makanan

Bahan makanan sendiri juga mengandung bakteri penyebab keracunan pada saat dibawa ke
dapur, atau bakteri dapat masuk ke bahan makanan karena kegagalan pengolahan selama
persiapan.

Macam Bakteri Penyebab Kontaminasi Makanan


Pengertian makanan menurut beberapa sumber, diantaranya Permenkes, adalah
barang yang digunakan sebagai makanan atau minuman manusia, termasuk permen karet dan
sejenisnya akan tetapi bukan obat.
Makanan dapat menimbulkan penyakit (foodborne diseases) apabila terkontaminasi
oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang sering ditemukan dalam makanan diantaranya
adalah bakteri. Bakteri dapat merusak makanan dengan berbagai cara dan hal itu tidak selalu
dapat diketahui atau dikenal dari wujudnya oleh pandangan mata, baunya atau rasanya.
Sayangnya, beberapa bakteri yang menempati posisi penting dalam dunia kesehatan dapat
mempertinggi tingkat bahaya yang ditimbulkan olehnya kepada manusia melalui makanan
yang dihinggapinya tanpa merubah warna atau rasanya. Bakteri ini tidak merubah
penampilan makanan yang ada, tetapi ternyata telah membuat makanan tidak sehat untuk
dimakan oleh manusia (Saksono, 1986).
Makanan yang terkontaminasi dapat menimbulkan gejala penyakit baik infeksi
maupun keracunan. Kontaminasi makanan adalah terdapatnya bahan atau organisme
berbahaya dalam makanan secara tidak sengaja. Bahan atau organisme berbahaya tersebut
disebut kontaminan. Terdapatnya kontaminan dalam makanan dapat berlangsung melalui 2
(dua) cara yaitu kontaminasi langsung dan kontaminasi silang. Kontaminasi langsung adalah
kontaminasi yang terjadi pada bahan makanan mentah, baik tanaman maupun hewan yang
diperoleh dari tempat hidup atau asal bahan makanan tersebut. Sedangkan kontaminasi silang
adalah kontaminasi pada bahan makanan mentah maupun makanan masak melalui perantara.
Bahan kontaminan dapat berada dalam makanan melalui berbagai pembawa antara lain
serangga, tikus, peralatan ataupun manusia yang menangani makanan tersebut yang biasanya
merupakan perantara utama (Purnawijayanti,2001).
Makanan mulai dari awal proses pengolahan sampai siap dihidangkan dapat
memungkinkan terjadinya pencemaran oleh mikrobia (Trihendrokesowo, 1989). Pencemaran
mikrobia di dalam makanan dapat berasal dari lingkungan, bahan-bahan mentah, air, alat-alat
yang digunakan dan manusia yang ada hubungannya dengan proses pembuatan sampai siap

18
disantap. Jenis mikrobia yang sering menjadi pencemar bagi makanan salah satunya adalah
bakteri. Bakteri yang mengkontaminasi makanan dapat berasal dari tempat/bangunan,
peralatan, orang dan bahan makanan.
Bakteri terdapat dimana-mana misalnya dalam air, tanah, udara, tanaman, hewan dan
manusia. Di dalam pengolahan makanan, bakteri dapat berasal dari pekerja, bahan mentah,
lingkungan, binatang dan fomite (benda-benda mati). Sumber-sumber ini dapat menyebarkan
bakteri yang mungkin menyebabkan pembusukan makanan atau tersebarnya suatu penyakit.
Bakteri yang tinggal dalam usus dapat pindah ke dalam makanan jika penjamah makanan
tidak mencuci tangan dengan benar setelah menggunakan kamar kecil. Mencuci tangan yang
benar sangat penting setelah menggunakan toilet, tidak hanya setelah buang air besar, karena
bakteri patogen juga dapat diperoleh dari pengguna toilet sebelumnya melalui pegangan
pintu, keran dan handuk pengering.
Makanan masak merupakan campuran bahan yang lunak dan sangat disukai oleh
bakteri. Bahaya terbesar dalam makanan masak adalah adanya bakteri patogen dalam
makanan akibat terkontaminasinya makanan sewaktu dalam proses pengolahan atau
kontaminasi silang melalui wadah maupun penjamah makanan, kemudian dibiarkan dingin
pada suhu ruang. Kondisi yang optimum bagi bakteri patogen dalam makanan siap saji akan
mengakibatkan bakteri tumbuh berlipat ganda dalam jangka waktu antara 1-2 jam. Depkes RI
(1999) menyebutkan bakteri akan tumbuh dan berkembang dalam makanan dengan suasana
yang cocok untuk pertumbuhan bakteri diantaranya adalah suasana makanan yang banyak
protein dan banyak air, pH normal (6,8-7,5) serta suhu optimim 10 °C-60 °C (Jenie, 1998).
Bakteri yang menyebabkan gejala sakit atau keracunan disebut bakteri patogen.
Gejala penyakit disebabkan oleh patogen timbul karena bakteri tersebut masuk ke dalam
tubuh melalui makanan dan dapat berkembang biak di dalam saluran pencernaan dan
menimbulkan gejala sakit perut, diare, muntah, mual dan gejala lain. Bakteri patogen
semacam ini misalnya Escherichia coli, Salmonella typhi dan Shigella dysentriae.
Bakteri patogen di dalam makanan juga dapat menyebabkan keracunan makanan. Hal
ini disebabkan oleh tertelannya racun (toksin) yang diproduksi oleh bakteri selama tumbuh
dalam makanan. Gejala keracunan makanan oleh bakteri dapat berupa sakit perut, diare,
mual, muntah atau kelumpuhan. Bakteri yang tergolong ke dalam bakteri penyebab
keracunan misalnya Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Bacillus cereus yang
memproduksi racun yang menyerang saluran pencernaan (Badan POM, 2002).

Staphylococcus
19
Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif, berbentuk bulat bergerombol seperti
anggur dan tidak membentuk spora sehingga sangat mudah diinaktifkan dengan perlakuan panas.
S. aureus merupakan bakteri yang umum terdapat pada manusia dan bersifat patogen yang dapat
menyebabkan keracunan pangan. Keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini tergolong dalam
kasus intoksikasi, yaitu tertelannya enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus pada pangan.
Menurut Pelczar dan Chan (2005), gejala umum keracunan enterotoksin stafilokoki berupa mual,
pusing, muntah dan diare. Enterotoksin stafilokoki dapat menyebabkan keracunan pada dosis
yang sangat rendah, yaitu 0.1-1 μg/kg (ICSMF, 1996). Gejala keracunan dapat terlihat 30 menit
hingga 8 jam setelah mengonsumsi makanan yang mengandung toksin tersebut (Blackburn dan
Mc Clure, 2002).
Sudah sejak lama, S. aureus menjadi salah satu agen terpenting penyebab terjadinya food-
borne disease di masyarakat. Penyebab utama masuknya S. aureus ke dalam rantai pangan, yang
kemudian menyebabkan keracunan adalah karena rendahnya tingkat sanitasi pekerja. Selain itu,
faktor lingkungan juga berpengaruh pada tingkat kontaminasi. Menurut Ray (2001), pangan yang
disiapkan di bawah kondisi dan lingkungan yang kurang baik berimplikasi dengan tingginya
kejadian food-borne disease. Hal ini terutama terjadi pada negara berkembang, seperti Indonesia
dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada negara maju.

Manifestasi Klinis Keracunan Makanan

a. Perut Kram

Menurut Ilmuan dari University of Maryland Medical Center gejala perut kram ini dapat
dirasakan setelah mengkonsumsi makanan kurang lebih dalam waktu 12-72 jam.Jika efek
dari racun tersebut tidak terlalu bahaya biasanya gejala ini akan hilang sendiri dalam waktu 4-
7 hari. Namun jika parah lebih baik langsung dibawa ke medis supaya mendapat perawatan
lebih lanjut.

b. Muntah dan Diare

Muntah dan diare merupakan usaha tubuh untuk mengeluarkan racun dari dalam tubuh.
Biasanya saat diare akan diiringi keluarnya lendir dan darah bersamaan dengan keluarnya
kotoran. Diare dan muntah yang berlebihan dapat membuang nutrisi sehingga tubuh menjadi
lemas dan juga dehidrasi

20
c. Dehidrasi

Dehidrasi disebabkan kekurangan cairan tubuh dan elektrolit. Dehidrasi adalah gejala
lanjutan dari muntah dan diare. Apabila terlalu parah perlu diberikan cairan pengganti
langsung seperti infus.

Adapun gejala-gejala lainnya yang dapat ditimbulkan oleh keracunan makanan antara lain :

 Demam

 Sesak nafas

 Koma

 Sakit otot

 Merasa sangat lemah dan lelah tanpa alasan yang jelas

 Sakit kepala parah

Penatalaksanaan Keracunan Makanan

Dalam penatalaksanaan keracunan makanan, ada baiknya kita mengetahui


beberapa hal , antara lain :

a. Pendekatan Keracunan
 Perkirakan jenis makanan
 Perkirakan jumlah makanan
 Tentukan waktu mulai makan dengan keluhan yang terjadi
b. Tipe kejadian
 Tidak disengaja
 Disengaja
c. Pengumpulan Bahan
 Muntahan
 Bahan makanan

21
Selain itu perlu juga untuk mengetahui gambaran klinis dari pasien meliputi :
a. Kesadaran
 Komposmentis
 Apatis
 Somnolen
 Soporus
 Koma
b. Vital Sign
 Tekanan darah
 Nadi
 Suhu
 Pernapasan
 Urine

Penatalaksanaannya meliputi :
a. Korban Sadar
 Tentukan derajat dehidrasi pasien.
 Berikan rehidrasi sesuai dengan derajat dehidrasi pasien.
 Berikan obat golongan absorben guna menyerap racun yanga ada
didalam usus , jangan menghentikan diarenya kecuali jika pasien dalam
keadaan dehidrasi parah.
 Jangan berikan antiemtik sebab muntah merupakan mekanisme
pengeluaran benda asing yang ada ditubuh. Berikan hanya jika pasien
dehidrasi parah.
 Tidak diperkenankan melakukan rangsang muntah jika pasien berada
dalam kondisi tidak sadar atau karena keracunan zat korotf.
 Pantau selalu kondisi pasien hingga pasien membaik.

b. Korban Tidak Sadar


 Pasien ditidurkan.
 Longgarkan pakaian.
 Miringkan pasien jika pasien muntah.

22
 Awasi keadaan nadi, pernafasan , dan suhu.
 Identifikasi bau mulut yang khas sesuai bahan beracun.

2.8 Pemeriksaan Forensik Kasus Keracunan terhadap Koban yang Sudah Meninggal
Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan keracunan pada korban
yang sudah meninggal antara lain:

1. Pemeriksaan post mortem


a. Pemeriksaan luar
Pada pemeriksaan luar untuk kasus keracunan, kemungkinan didapatkan:
- Racun jenis tertentu mengeluarkan bau aroma yang khas, misalnya asam
hidrosianida, asam karbonat, kloroform, alkohol, dll. Untuk menjaga keutuhan
jenazah tidak boleh menggunakan cairan desinfektan yang mempunyai bau
(aroma). 3
- Pada permukaan tubuh jenazah mungkin ditemukan bercak-bercak yang berasal
dari muntahan, feses dan kadang-kadang jenis racun itu sendiri. 3
- Perubahan warna kulit, misalnya menjadi kuning pada keracunan fosfor dan
keracunan akut akibat unsur tembaga sulfat. 3
- Keadaan pupil mata dan jari tangan yang lemas atau mengepal. 3
- Pemeriksaan lubang pada tubuh jenazah untuk melihat adanya tanda-tanda bekas
zat korosif atau benda asing. 3
- Livor mortis yang khas, merah terang, cherry red atau merah coklat (bila
racunnya menyebabkan perubahan warna darah sehingga warna lebam jenazah
mengalami perubahan. 2
b. Pemeriksaan dalam
Pada umumnya tanda-tanda keracunan tampak pada traktus gastrointestinal,
terutama jika keracunan akibat zat korosif atau iritan. Perubahan yang terjadi adalah: 3
- Hiperemia
Warna kemerahan pada membran mukosa paling jelas terlihat pada bagian
kardiak lambung dan pada bagian kurvatura mayor. Warnanya adalah merah gelap
dan hiperemia ini bentuknya bisa merata atau bercak, misalnya pada keracunan

23
arsen hiperemia adalah merah merata.
Perubahan warna juga bisa muncul karena berbagai unsur lainnya seperti sari
buah. Asam nitrat menyebabkan warna kuning pada usus. Hiperemia harus
dibedakan dengan kongesti vena secara menyeluruh yang terjadi pda kematian
akibat asfiksia. Gambaran yang membedakan dengan hiperemia yang disebabkan
oleh penyakit adalah pada hiperemia karena penyakit sifatnya merata dan terdapat
pada seluruh permukaan serta tidak berupa bercak, selain itu gambaran membran
mukosa lebih banyak terkena pada kasus keracunan.
- Perlunakan
Keadaan ini terjadi pada keracunan korosif, lebih sering terlihat pada kardiak
lambung, kurvatura mayor, mulut, tenggorokan dan esofagus. Jika disebabkan
karena penyakit, gambaran ini hanya tampak pada lambung. Juga harus
dibedakan dengan perlunakan post mortem yang terdapat pada bagian yang lebih
rendah dan mengenai seluruh lapisan dinding lambung. Pada bagian yang
mengalami perlunakan tidak ada tanda-tanda inflamasi.
- Ulserasi
Paling sering ditemukan ditemukan pada kurvatura mayor lambung dan harus
dibedakan dengan tukak peptik yang paling sering terdapat di kurvatura minor
lambung dan ditandai dengan adanya hiperemia di sekitar tukak tersebut.
- Perforasi
Sangat jarang terjadi, kecuali pada kasus keracunan asam sulfat. Perforasi juga
bisa terjadi akibat tukak kronis, tetapi bentuk perforasi pada kasus ini biasannya
lonjong atau bulat, pinggirnya melekuk ke arah luar dan lambung menunjukkan
tanda-tanda perlekatan dengan jaringan sekitar.

2. Pemeriksaan kimia/toksikologi pada organ tubuh bagian dalam


Ditemukannya jenis racun pada darah, feses, urin atau dalam organ tubuh
merupakan bukti yang memastikan bahwa telah terjadi keracunan. Racun bisa ditemukan
dalam lambung, usus halus, dan kadang-kadang pada hati, limpa dan ginjal. Organ tubuh
dan bahan yang diperiksa antara lain: 3
- Urin dan feses
- Darah
- Lambung dan isinya
- Bagian dari usus halus (duodenum dan jejunum)
24
- Hati
- Setengah bagian dari masing-masing ginjal
- Otak dan korda spinalis, terutama pada keracunan striknin
- Uterus dan organ-organ yang berkaitan dengan uterus, jika ada kecurigaan abortus
kriminalis
- Paru-paru terutama pada keracunan kloroform
- Tulang, rambut, gigi dan kuku
- Organ tubuh lainnya yang dicurigai mengandung racun.
3. Pengumpulan bukti-bukti dari sekitar tempat kejadian

2.9 Cara Pengiriman Bahan Pemeriksaan Forensik


Untuk melakukan pengiriman bahan pemeriksaan forensik, harus memenuhi kriteria:
1. Satu tempat hanya berisi satu contoh bahan pemeriksaan
2. Contoh bahan pengawet harus disertakan untuk kontrol
3. Tiap tempat yang telah terisi disegel dan diberi label
4. Hasil autopsi harus dilampirkan secara singkat
5. Adanya surat permintaan dari penyidik
Jika jenazah akan diawetkan, maka pengambilan contoh bahan harus dilakukan
sebelumpengawetan. Pada pengambilan contoh bahan dari korban hidup, alkohol tidak dapat
dipakaisebagai disinfektan lokal saat pengambilan darah. Sebagai gantinya dapat digunakan
sublimat1% atau merkuri klorida.

25
BAB III
KESIMPULAN

Toksikologi adalah studi mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat
terhadap organisme/ mahluk hidup. Dalam toksikologi, dipelajari mengenai gejala,
mekanisme, caradetoksifikasi serta deteksi keracunan pada sistimbiologis makhluk hidup.
Toksikologi sangat bermanfaat untuk memprediksi atau mengkaji akiba tyang berkaitan
dengan bahaya toksik dari suatu zat terhadap manusia dan lingkungannya.
Toksikologi forensik, adalah penerapan toksikologi untuk membantu investigasi
medikolegal dalam kasus kematian, keracunan maupun penggunaan obat-obatan. Dalam hal
ini, toksikologi mencakup pula disiplin ilmu lain seperti kimia analitik, farmakologi, biokimia
dan kimia kedokteran.
Toksikologi forensik merupakan ilmu terapan yang dalam praktisnya sangat didukung
oleh berbagai bidang ilmu dasar lainnya, seperti kimia analisis, biokimia, kimia
instrumentasi, farmakologi toksikologi, farmakokinetik, dan biotransformasi.

26
DAFTAR PUSTAKA

 Adiwisastra, A.,1985, Keracunan, Sumber, Bahaya serta Penanggulangannya,.


Angkasa, Bandung.
 Andarwendah, Sumardi, 1982, Keracunan Arsen, Program Pendidikan Pasca Sarjana
Hyperkes, FK-UGM.
 Bell, S. Forensic Chemistry. Pearson Education Inc., 2006
 Budiawan. Peran Toksikologi Forensik dalam Mengungkap Kasus Keracunan dan
Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2008;
1(1):35-39
 Casarett, L.J. and Doull, J. Toxicology, theBasic Science of Poisons. McGraw-
HillCompanies, Inc., New York, 1991
 Hadikusumo, Nawawi, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik, IKF III, FK Uiversitas Gajah
Mada.
 Idries, A.M., dkk, 1985, Ilmu Kedokteran Kehakiman, PT. Gunung Agung, Jakarta.
 Simpson, Keith, 1979, Forensic Medicine, eight edition, The English Language Book
Society and Edward Arnold (Publishers) LTD.
 Thienes, Clinton H., 1972, Clinical Toxicology, Heurg kimpton Publishers,
London, Great Britain.
 Wirasuta, M. G, Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan
Analisis,Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):47-55

27

Anda mungkin juga menyukai