PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKA
2
Toksikologi lingkungan lebih memfokuskan telaah racun pada lingkungan, seperti
pencemaran lingkungan, dampak negatif dari akumulasi residu senyawa kimia pada
lingkungan, kesehatan lingkungan kerja.
Toksikologi ekonomi membahas segi manfaat dan nilai ekonomis dari xenobiotika.
Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi ilmu toksikologi untuk kepentingan
peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah analisis racun baik kualitatif maupun
kuantitatif sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan.
Masih dijumpai subdisiplin toksikologi lainnya selain tiga golongan besar diatas,
seperti toksikologi analisis, toksikologi klinik, toksikologi kerja, toksikologi hukum, dan
toksikologi mekanistik.
3
2.3.1 Fase Eksoposisi
Fase eksposisi merupakan kontak suatu organisme dengan xenobiotika, pada
umumnya, kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/farmakologi setelah xenobiotika
terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada dalam bentuk terlarut, terdispersi molekular
dapat terabsorpsi menuju sistem sistemik. Dalam konstek pembahasan efek obat, fase ini
umumnya dikenal dengan fase farmaseutika.
Dalam fase ini terjadi kotak antara xenobiotika dengan organisme atau dengan lain
kata, terjadi paparan xenobiotika pada organisme. Paparan ini dapat terjadi melalui kulit, oral,
saluran pernafasan (inhalasi) atau penyampaian xenobiotika langsung ke dalam tubuh
organisme (injeksi).
5
Gambar 2. Deretan rantai proses pada fase kerja toksik dalam organisme secara
biologik dikelompokkan menjadi: fase eksposisi, toksokinetik ”farmakokinetik”, dan
fase toksodinamik ”farmakodinamik”.
6
Bapak Toksikologi Modern, Paracelsus (1493-1541) menyatakan bahwa "semua zat
adalah racun; tidakada yang bukan racun. Dosis yang tepat membedakan suatu racun
dengan obat". Toksikan(zat toksik) adalah bahan apapun yang dapatmemberikan efek yang
berlawanan (merugikan).Racun merupakan istilah untuk toksikan yang dalamjumlah sedikit
(dosis rendah) dapat menyebabkankematian atau penyakit (efek merugikan) yang secaratiba-
tiba. Zat toksik dapat berada dalam bentuk fisik(seperti radiasi), kimiawi (seperti arsen,
sianida)maupun biologis (bisa ular). Juga terdapat dalamberagam wujud (cair, padat, gas).
Beberapa zattoksik mudah diidentifikasi dari gejala yangditimbulkannya, dan banyak zat
toksik cenderungmenyamarkan diri.
Sulit untuk mengkategorisasi suatu bahan kimiasebagai aman atau beracun. Tidak
mudah untukmembedakan apakah suatu zat beracun atau tidak.Prinsip kunci dalam
toksikologi ialah hubungan dosis-respon /Efek. Kontak zat toksik
(paparan)terhadaporganisme/tubuh dapat melalui jalur tertelan (ingesti),terhirup (inhalasi)
atau terabsorpsi melalui kulit. Zattoksik umumnya memasuki organisme/tubuh dalamdosis
tunggal dan besar (akut), atau dosis rendahnamun terakumulasi hingga jangka waktu
tertentu(kronis).
Tabel 2.1 Contoh zat-zat toksik dan gejalanya.
Zat Toksik Gejala
Asam (nitrat, hidroklorat, Luka bakar pada kulit, mulut,
sulfat) hidung, membranmukosa
Kulit muka dan leher menghitam
Anilin (gelap)
Arsen Diare parah
Atropin Pelebaran pupil mata
Basa (kalium, hidroksida) Luka bakar pada kulit, mulut,
hidung, membranmukosa
Asam karbolat (atau fenol Bau desinfektan
lainnya) Karbon monoksida Kulit berwarna merah terang
Sianida Kematian cepat, kulit memerah
Keracunan makanan Muntah, nyeri perut
Senyawa logam Diare, muntah, nyeri perut
Nikotin Kejang
Asam oksalat Bau bawang putih
Natrium fluorida Kejang
7
Striknin Kejang, muka dan leher menghitam
(gelap)
8
5. Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di dalam tubuh /
jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.
Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa
pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak memiliki arti
dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan dengan pemeriksaan toksikologis ini,
kita tidak boleh terpaku pada dosis letal sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kerja racun. Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan secara
sistematik, diagnosa kematian karena racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya
berdasar pada ditemukannya racun dalam lambung korban.
Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada kasus-kasus
keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima merupakan kriteria yang
terpenting dan tidak boleh dilupakan.
Analitikal toksikologi meliputi isolasi, deteksi, dan penentuan jumlah zat yang bukan
merupakan komponen normal dalam material biologis yang didapatkan dalam otopsi. Guna
toksikologi adalah menolong menentukan sebab kematian.
Kadang-kadang material didapatkan dari pasien yang masih hidup, misalnya darah,
rambut, potongan kuku atau jaringan hasil biopsi. Hasil toksikologi disini membantu dalam
menentukan kasus-kasus yang diduga keracunan.Pada pengiriman material untuk analitikal
toksikologi, diharapkan dokter mengirimkan material sebanyak mungkin, dengan demikian
akan memudahkan pemeriksaan dan hasilnya akan lebih sempurna. Jaringan tubuh masing-
masing memiliki afinitas yang berbeda terhadap racun-racun tertentu, misalnya:
9
Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan racun-racun organis,
baik yang mudah menguap maupun yang tidak mudah menguap.
Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat organik non volatile,
misalnya obat sulfa, barbiturate, salisilat dan morfin.
Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik untuk pemeriksaan
keracunan logam yang bersifat kronis.
Untuk racun yang efeknya sistemik, harus dapat ditemukan dalam darah atau organ
parenkim ataupun urin. Bila hanya ditemukan dalam lambung saja maka belum cukup untuk
menentukan keracunan zat tersebut. Penemuan racun-racun yang efeknya sistemik dalam
lambung hanyalah merupakan penuntun bagi seorang analis toksikologi untuk memeriksa
darah, organ, dan urin ke arah racun yang dijumpai dalam lambung tadi. Untuk racun-racun
yang efeknya lokal, maka penentuan dalam lambung sudah cukup untuk dapat dibuat
diagnosa.
Secara umum tugas analisis toksikologi forensik (klinik) dalam melakukan analisis
dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu: 1)penyiapan sampel “sample preparation”,
2) analisis meliputi uji penapisan “screening test” atau dikenaljuga dengan “general unknown
test” dan ujikonfirmasi yang meliputi uji identifikasi dankuantifikasi, 3) langkah terakhir
adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan analisis. Berbeda dengan kimia
analisis lainnya (seperti: analisis senyawa obat dan makanan, analisis kimia klinis) pada
analisis toksikologi forensik pada umumnya analit (racun) yang menjadi target analisis,tidak
diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis. Tidak sering hal ini menjadi hambatan
dalam penyelenggaraan analisis toksikologi forensik, karena seperti diketahui saat ini
terdapat ribuan atau bahkan jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi target analisis.
Untuk mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali dari informasi
penyebab kasus forensik (keracunan,kematian tidak wajar akibat keracunan, tindak kekerasan
dibawah pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan pemeriksaan di tempat
kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi penyidik.
Sangat sering dalam analisis toksikologi forensiktidak diketemukan senyawa induk,
melainkan metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis toksikologi forensik, senyawa
metabolit juga merupakan target analisis. Sampel dari toksikologi forensik pada umumnya
adalah spesimen biologi seperti: cairan biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau
organ tubuh. Preparasi sampel adalah salah satu factor penentu keberhasilan analisis
10
toksikologi forensic disamping kehadalan penguasaan metode analisis instrumentasi. Berbeda
dengan analisis kimia lainnya,hasil indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan merupakan
tujuan akhir dari analisis toksikologi forensik. Seorang toksikolog forensik dituntut harus
mampu menerjemahkan apakah analit (toksikan) yang diketemukan dengan kadar tertentu
dapat dikatakan sebagai penyebab keracunan (pada kasus kematian).
2.7 Jenis-Jenis Keracunan
11
dengan pemeriksaan sederhana.
Pada mayat yang didinginkan dan pada keracunan CN, penampang ototnya berwarna
biasa, tidak merah terang. Juga pada mayat yang di dinginkan warna merah terang lebam
mayatnyatidak merata selalu masih ditemukan daerah yang keunguan (livid). Sedangkan
padakeracunan CO, jaringan otot, visera dan darah juga berwarna merah terang. Selanjutnya
tidakditemukan tanda khas lain. Kadang-kadang dapat ditemukan tanda asfiksia dan
hiperemiavisera. Pada otak besar dapat ditemukan petekiae di substansia alba bila korban
dapatbertahan hidup lebih dari ½ jam.
Pada analisa toksikologik darah akan di temukan adanya COHb pada korban
keracunanCO yang tertunda kematiannya sampai 72 jam maka seluruh CO telak di eksresi
dan darahtidak mengandung COHb lagi, sehingga ditemukan lebam mayat berwarna livid
seperti biasademikian juga jaringan otot, visera dan darah. Kelainan yang dapat di temukan
adalahkelainan akibat hipoksemia dan komplikasi yang timbul selama penderita di rawat.
Otak, pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus dapat di
temukanpetekiae. Kelainan ini tidak patognomonik untuk keracunan CO, karena setiap
keadaanhipoksia otak yang cukup lama dapat menimbulkan petekiae.
13
limfe regional. Kadangkala ditemukan tatto pada tempat yang tidak lazim, misalnya pada
lipat siku, yang dimaksudkan menutupi bakas suntikan.
Kematian akibat narkotika paling sering melalui terjadinya depresi napas. Pada
pemeriksaan jenazah akan ditemukan kelainan pada paru berupa pembendungan hebat dan
edema paru hebat, narcotic lung atau gambaran pneumonia lobaris. Pembendungan
ditemukan pula pada organ-organ tubuh lainnya.
Pemeriksaan toksikologi dilakukan terhadap darah dan urin. Selain itu, pemeriksaan
toksikologi juga dilakukan pada cairan empedu serta tempat masuknya narkotika tersebut
(jaringan sekitar suntikan pada pemakai narkotika suntikan, nasal swab pada mereka yang
melakukan sniffing, isi lambung pada mereka yang menelan narkotika).
14
berwarna biru gelap, ujung jari dan kuku berwarna kebiru-biruan.
Pada pemeriksaan dalam ditemukan tanda pembendungan pada alat dalam. Di dalam
lambung ditemukan cairan yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan cairan lambung dan
lapisan larutan insektisida. Mukosa lambung dan usus bagian atas tampak hiperemis dan
mengalami perdarahan submukosa. Juga dapat tercium bau pelarut insektisida. Limpa, otak
dan paru tampak edem dan kongesti. Kerusakan jaringan hati biasanya merupakan penyebab
kematian pada keracunan kronis.
Asam oksalat dalam bentuk kalium oksalat, terdapat di dalam getah tanaman
seperti bayam. Senyawa tersebut juga terdapat dalam tubuh manusia dalam jumlah
yang sangat kecil. Tetapi jika dalam jumlah yang banyak senyawa tersebut dapat
berbahaya, dan mengkonsumsi bayam dalam jumlah yang banyak juga dapat
membahayakan tubuh manusia.
Spora Clostridium perfringens dan Bacillus cereus dapat dijumpai pada debu di ruangan
tempat menyimpan bahan makanan. Juga, semua bakteri penyebab keracunan makan dapat
menyebar dengan kontaminasi silang.
17
3. Bahan makanan
Bahan makanan sendiri juga mengandung bakteri penyebab keracunan pada saat dibawa ke
dapur, atau bakteri dapat masuk ke bahan makanan karena kegagalan pengolahan selama
persiapan.
18
disantap. Jenis mikrobia yang sering menjadi pencemar bagi makanan salah satunya adalah
bakteri. Bakteri yang mengkontaminasi makanan dapat berasal dari tempat/bangunan,
peralatan, orang dan bahan makanan.
Bakteri terdapat dimana-mana misalnya dalam air, tanah, udara, tanaman, hewan dan
manusia. Di dalam pengolahan makanan, bakteri dapat berasal dari pekerja, bahan mentah,
lingkungan, binatang dan fomite (benda-benda mati). Sumber-sumber ini dapat menyebarkan
bakteri yang mungkin menyebabkan pembusukan makanan atau tersebarnya suatu penyakit.
Bakteri yang tinggal dalam usus dapat pindah ke dalam makanan jika penjamah makanan
tidak mencuci tangan dengan benar setelah menggunakan kamar kecil. Mencuci tangan yang
benar sangat penting setelah menggunakan toilet, tidak hanya setelah buang air besar, karena
bakteri patogen juga dapat diperoleh dari pengguna toilet sebelumnya melalui pegangan
pintu, keran dan handuk pengering.
Makanan masak merupakan campuran bahan yang lunak dan sangat disukai oleh
bakteri. Bahaya terbesar dalam makanan masak adalah adanya bakteri patogen dalam
makanan akibat terkontaminasinya makanan sewaktu dalam proses pengolahan atau
kontaminasi silang melalui wadah maupun penjamah makanan, kemudian dibiarkan dingin
pada suhu ruang. Kondisi yang optimum bagi bakteri patogen dalam makanan siap saji akan
mengakibatkan bakteri tumbuh berlipat ganda dalam jangka waktu antara 1-2 jam. Depkes RI
(1999) menyebutkan bakteri akan tumbuh dan berkembang dalam makanan dengan suasana
yang cocok untuk pertumbuhan bakteri diantaranya adalah suasana makanan yang banyak
protein dan banyak air, pH normal (6,8-7,5) serta suhu optimim 10 °C-60 °C (Jenie, 1998).
Bakteri yang menyebabkan gejala sakit atau keracunan disebut bakteri patogen.
Gejala penyakit disebabkan oleh patogen timbul karena bakteri tersebut masuk ke dalam
tubuh melalui makanan dan dapat berkembang biak di dalam saluran pencernaan dan
menimbulkan gejala sakit perut, diare, muntah, mual dan gejala lain. Bakteri patogen
semacam ini misalnya Escherichia coli, Salmonella typhi dan Shigella dysentriae.
Bakteri patogen di dalam makanan juga dapat menyebabkan keracunan makanan. Hal
ini disebabkan oleh tertelannya racun (toksin) yang diproduksi oleh bakteri selama tumbuh
dalam makanan. Gejala keracunan makanan oleh bakteri dapat berupa sakit perut, diare,
mual, muntah atau kelumpuhan. Bakteri yang tergolong ke dalam bakteri penyebab
keracunan misalnya Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Bacillus cereus yang
memproduksi racun yang menyerang saluran pencernaan (Badan POM, 2002).
Staphylococcus
19
Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif, berbentuk bulat bergerombol seperti
anggur dan tidak membentuk spora sehingga sangat mudah diinaktifkan dengan perlakuan panas.
S. aureus merupakan bakteri yang umum terdapat pada manusia dan bersifat patogen yang dapat
menyebabkan keracunan pangan. Keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini tergolong dalam
kasus intoksikasi, yaitu tertelannya enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus pada pangan.
Menurut Pelczar dan Chan (2005), gejala umum keracunan enterotoksin stafilokoki berupa mual,
pusing, muntah dan diare. Enterotoksin stafilokoki dapat menyebabkan keracunan pada dosis
yang sangat rendah, yaitu 0.1-1 μg/kg (ICSMF, 1996). Gejala keracunan dapat terlihat 30 menit
hingga 8 jam setelah mengonsumsi makanan yang mengandung toksin tersebut (Blackburn dan
Mc Clure, 2002).
Sudah sejak lama, S. aureus menjadi salah satu agen terpenting penyebab terjadinya food-
borne disease di masyarakat. Penyebab utama masuknya S. aureus ke dalam rantai pangan, yang
kemudian menyebabkan keracunan adalah karena rendahnya tingkat sanitasi pekerja. Selain itu,
faktor lingkungan juga berpengaruh pada tingkat kontaminasi. Menurut Ray (2001), pangan yang
disiapkan di bawah kondisi dan lingkungan yang kurang baik berimplikasi dengan tingginya
kejadian food-borne disease. Hal ini terutama terjadi pada negara berkembang, seperti Indonesia
dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada negara maju.
a. Perut Kram
Menurut Ilmuan dari University of Maryland Medical Center gejala perut kram ini dapat
dirasakan setelah mengkonsumsi makanan kurang lebih dalam waktu 12-72 jam.Jika efek
dari racun tersebut tidak terlalu bahaya biasanya gejala ini akan hilang sendiri dalam waktu 4-
7 hari. Namun jika parah lebih baik langsung dibawa ke medis supaya mendapat perawatan
lebih lanjut.
Muntah dan diare merupakan usaha tubuh untuk mengeluarkan racun dari dalam tubuh.
Biasanya saat diare akan diiringi keluarnya lendir dan darah bersamaan dengan keluarnya
kotoran. Diare dan muntah yang berlebihan dapat membuang nutrisi sehingga tubuh menjadi
lemas dan juga dehidrasi
20
c. Dehidrasi
Dehidrasi disebabkan kekurangan cairan tubuh dan elektrolit. Dehidrasi adalah gejala
lanjutan dari muntah dan diare. Apabila terlalu parah perlu diberikan cairan pengganti
langsung seperti infus.
Adapun gejala-gejala lainnya yang dapat ditimbulkan oleh keracunan makanan antara lain :
Demam
Sesak nafas
Koma
Sakit otot
a. Pendekatan Keracunan
Perkirakan jenis makanan
Perkirakan jumlah makanan
Tentukan waktu mulai makan dengan keluhan yang terjadi
b. Tipe kejadian
Tidak disengaja
Disengaja
c. Pengumpulan Bahan
Muntahan
Bahan makanan
21
Selain itu perlu juga untuk mengetahui gambaran klinis dari pasien meliputi :
a. Kesadaran
Komposmentis
Apatis
Somnolen
Soporus
Koma
b. Vital Sign
Tekanan darah
Nadi
Suhu
Pernapasan
Urine
Penatalaksanaannya meliputi :
a. Korban Sadar
Tentukan derajat dehidrasi pasien.
Berikan rehidrasi sesuai dengan derajat dehidrasi pasien.
Berikan obat golongan absorben guna menyerap racun yanga ada
didalam usus , jangan menghentikan diarenya kecuali jika pasien dalam
keadaan dehidrasi parah.
Jangan berikan antiemtik sebab muntah merupakan mekanisme
pengeluaran benda asing yang ada ditubuh. Berikan hanya jika pasien
dehidrasi parah.
Tidak diperkenankan melakukan rangsang muntah jika pasien berada
dalam kondisi tidak sadar atau karena keracunan zat korotf.
Pantau selalu kondisi pasien hingga pasien membaik.
22
Awasi keadaan nadi, pernafasan , dan suhu.
Identifikasi bau mulut yang khas sesuai bahan beracun.
2.8 Pemeriksaan Forensik Kasus Keracunan terhadap Koban yang Sudah Meninggal
Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan keracunan pada korban
yang sudah meninggal antara lain:
23
arsen hiperemia adalah merah merata.
Perubahan warna juga bisa muncul karena berbagai unsur lainnya seperti sari
buah. Asam nitrat menyebabkan warna kuning pada usus. Hiperemia harus
dibedakan dengan kongesti vena secara menyeluruh yang terjadi pda kematian
akibat asfiksia. Gambaran yang membedakan dengan hiperemia yang disebabkan
oleh penyakit adalah pada hiperemia karena penyakit sifatnya merata dan terdapat
pada seluruh permukaan serta tidak berupa bercak, selain itu gambaran membran
mukosa lebih banyak terkena pada kasus keracunan.
- Perlunakan
Keadaan ini terjadi pada keracunan korosif, lebih sering terlihat pada kardiak
lambung, kurvatura mayor, mulut, tenggorokan dan esofagus. Jika disebabkan
karena penyakit, gambaran ini hanya tampak pada lambung. Juga harus
dibedakan dengan perlunakan post mortem yang terdapat pada bagian yang lebih
rendah dan mengenai seluruh lapisan dinding lambung. Pada bagian yang
mengalami perlunakan tidak ada tanda-tanda inflamasi.
- Ulserasi
Paling sering ditemukan ditemukan pada kurvatura mayor lambung dan harus
dibedakan dengan tukak peptik yang paling sering terdapat di kurvatura minor
lambung dan ditandai dengan adanya hiperemia di sekitar tukak tersebut.
- Perforasi
Sangat jarang terjadi, kecuali pada kasus keracunan asam sulfat. Perforasi juga
bisa terjadi akibat tukak kronis, tetapi bentuk perforasi pada kasus ini biasannya
lonjong atau bulat, pinggirnya melekuk ke arah luar dan lambung menunjukkan
tanda-tanda perlekatan dengan jaringan sekitar.
25
BAB III
KESIMPULAN
Toksikologi adalah studi mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat
terhadap organisme/ mahluk hidup. Dalam toksikologi, dipelajari mengenai gejala,
mekanisme, caradetoksifikasi serta deteksi keracunan pada sistimbiologis makhluk hidup.
Toksikologi sangat bermanfaat untuk memprediksi atau mengkaji akiba tyang berkaitan
dengan bahaya toksik dari suatu zat terhadap manusia dan lingkungannya.
Toksikologi forensik, adalah penerapan toksikologi untuk membantu investigasi
medikolegal dalam kasus kematian, keracunan maupun penggunaan obat-obatan. Dalam hal
ini, toksikologi mencakup pula disiplin ilmu lain seperti kimia analitik, farmakologi, biokimia
dan kimia kedokteran.
Toksikologi forensik merupakan ilmu terapan yang dalam praktisnya sangat didukung
oleh berbagai bidang ilmu dasar lainnya, seperti kimia analisis, biokimia, kimia
instrumentasi, farmakologi toksikologi, farmakokinetik, dan biotransformasi.
26
DAFTAR PUSTAKA
27