Anda di halaman 1dari 3

1.

Manifestasi klinis

Manifestasi utama difteri adalah pada saluran nafas atas dengan disertai gejala sakit
tenggorok, disfagia, limfadenitis, demam yang tidak tinggi, malaise dan sakit kepala. Membran
adheren yang terbentuk pada nasofaring dapat berakibat fatal karena bisa menyebabkan obstruksi
saluran nafas. Efek sistermik berat meliputi miokarditis, neuritis, dan kerusakan ginjal akibat
exotoksin. C.diphtheriae (sering pada strain yang nontoksigenik) dapat menyebabkan difteri
kutaneus pada orang dengan standar hegienis yang buruk (contoh pengguna obat dan alkohol)
untuk cenderung terjadi kolonisasi (dikulit lebih sering terjadi dibandingkan faring).

Gejala difteri itu sendiri dibedakan berdasarkan lokasi infeksi, bila di pernafasan maka
disebut difteri pernafasan/ respiratory yang meliputi area tonsilar, faringeal, dan nasal. Difteri
pernafasan merupakan penyakit pada saluran nafas yang sangat serius, sebelum dikembangkannya
pengobatan medis yang efektif, sekitar setengah dari kasus dengan gejala difteri pernafasan
meninggal. Pada anak-anak yang menderita difteri ini, lokasi utama terdapat pada tenggorokan
bagian atas dan bawah.

Difteri lain (non pernafasan) selain difteri pernafasan adalah difteri hidung, kulit,
vulvovaginal dan anal auditori eksternal. Pada difteri hidung gejala awal biasanya mirip seperti flu
biasa, yang kemudian berkembang membentuk membran dijaringan antara lubang hidung dengan
disertai lendir yang dapat bercampur darah. Toksin yang dihasilkan oleh difteri hidung ini tidak
dengan mudah dapat diserap ke dalam tubuh tapi dapat dengan mudah menyebarkan infeksi kepada
orang lain.

Infeksi kulit C.diphtheriae relatif jarang terjadi di daerah yang secara ekonomi baik, paling
sering dilaporkan pada tuna wisma dan biasanya terjadi di daerah tropis. Difteri kulit biasanya
berupa ruam kulit atau terjadinya ulkus kulit yang kronis (bentuk yang paling umum), biasanya co-
infeksi dengan Staphylococcus dan Streptococcus dan dapat menginfeksi luka yang sudah ada
sebelumnya. Awalnya, infeksi terjadi di daerah yang terbuka, seringkali kecil, trauma dapat
menyebabkan warna kemerahan dan rasa sakit, sampai akhirnya lesi terbuka. Dalam waktu singkat,
luka terbuka berkembang menjadi satu inci atau lebih dan menimbulkan rasa sakit selama beberapa
minggu atau lebih. Dapat ditutupi oleh pseudomembrane abu-abu atau coklat. Setelah membran
lepas, luka menjadi luka terbuka yang berwarna merah dengan rembesan darah. Jaringan sekitarnya
berubah warna dan sering ditemukan adanya cairan. Walaupun infeksi berlangsung lama tetapi
relatif lebih ringan dan dapat dengan mudah diobati.
Infeksi kulit dapat menularkan difteri ke saluran pernapasan pada orang yang mengalami
penurunan imunitas. Orang yang terpapar difteri kulit dapat meningkatkan level imunitas alaminya
terhadap infeksi difteri pernapasan. Toksin pada difteri kulit yang masuk melalui luka ke dalam
jaringan dapat menimbulkan respon imun terhadap difteri, walaupun level toksin biasanya tidak
cukup tinggi untuk menyebabkan kerusakan serius. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa
wabah difteri biasanya terjadi di daerah beriklim sedang, dimana kasus infeksi kulit jarang terjadi
sehingga level imunitas alami yang terbentuk juga rendah, hal ini terutama terjadi pada anak-anak.

Gambaran klinis difteri secara umum terbagi 3 tahap, yaitu:

Pemeriksaan klinis difteri meliputi:

- Pengukuran tanda vital terutama suhu

- Palpasi lymph nodes

- Inspeksi pada dinding faring, tonsil, uvula, antrum nasal untuk melihat membran; luka dan lesi kulit

Penyakit sering menjadi berat pada orang yang tidak diimunisasi, bila telah mendapat
imunisasi lengkap maka dapat menjadi carier asimptomatik atau hanya mengalami gejala sakit
tenggorok yang ringan. Komplikasi yang dapat terjadi adalah miokarditis, neuritis, obstruksi jalan
nafas, dan kematian. Rate kasus kematian pada difteri sekitar 10%.

2. Kriteria OSNA (Jackson)


Stadium I :
 retraksi fosa suprasternal yang ringan
 penderita dalam keadaan tenang
Stadium II :
 retraksi fosa suprasternal lebih dalam + retraksi epigastrium
 penderita mulai tampak gelisah
Stadium III :
 retraksi fosa suprasternal, supra dan infra klavikula, interkostal
 penderita lebih gelisah
Stadium IV :
 seperti stadium III disertai pucat dan tampak cemas.
 Frekuensi pernafasan makin cepat yang kemudian makin melambat dan akhirnya
berhenti

Keterangan :

1. Trakeotomi urgent/cito  stadium III dan IV

2. Kondisi sangat darurat : krikotiroidotomi  trakeotomi

3. Darl regl flslologi pada anak mudah mengalaml sumbatan jalan napas dlbandlngkan dengan
dewasa.

4. Kerangka kartilago pada anak lebih lentur, akan tetapi jaringan ikat penyangga kurang dan
lebih kendor pada anak.  mudah tersumbat bila infeksi/edema

Anda mungkin juga menyukai