Anda di halaman 1dari 22

PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN

PENERAPAN PRL BERBASIS ZONE AGROEKOTEKNOLOGI DAN


PERTANIAN KONSERVASI PADA SISTEM LEISA

Disusun oleh:
KELOMPOK II
Pranata Halasan Panjaitan 1806541041
Ni Luh Asri Pradnyani 1806541045
Nanda Marpaung 1806541057
Melani Jelita Tarigan 1806541059
Jencristy Gilberd Sitanggang 1806541063
Laras Setyaningrum 1806541067
I Made Wahyu Widia Putra 1806541093

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA
JIMBARAN
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan karunia-Nya Paper Mata Kuliah Pertanian Ramah Lingkunganini dapat
terwujud tepat pada waktunya.Paper ini mengambil judul Penerapan PRL
Berbasis Zone Agroekoteknologi Dan Pertanian Konservasi Pada
SistemLEISA.Kejelasan akan sebuah materi dari suatu mata kuliah menjadi amat
penting untuk dipahami oleh setiap mahasiswa, karena hal itu akan mempengaruhi
hasil yang hendak dicapai dari materi itu sendiri. Perlu dilakukan adanya
praktikum lapang dan di laboratorium sebagai salah satu metode pembelajaran
yang dianggap lebih efektif karena mahasiswa akan langsung menerapkan ilmu
yang didapatkan di lapangan, namun dikarenakan pandemik Covid-19 belum usai
maka praktikum kali ini digantikan dengan paper yang bersumber daribeberapa
studi literatur.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. A.A.N. Supadma, MP.
selaku dosen pembimbing,serta semua pihak yang telah membantu dan membagi
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan paper ini. Kami menyadari
laporan yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun akankami nantikan demi kesempurnaan paper ini.

Jimbaran, 20 Mei 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................... iii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ..................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

• 1.1 Latar Belakang.................................................................... 1


• 1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 2
• 1.3 Tujuan ................................................................................ 2
• 1.4 Manfaat .............................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

• 2.1 Tinjauan Pustaka ............................................................... 3

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

• 3.1 Sistem Pertanian Leisa ........................................................ 4


• 3.2 Penerapan PRL Dalam Sistem LEISA .................................. 5
• 3.3 Penerapan Teknologi LEISA Pada Budidaya Sayuran .......... 7
• 3.4 Kelebihan Dan Kekurangan LEISA ..................................... 11

BAB IV Kesimpulan

• 4.1 Kesimpulan ........................................................................ 14


• 4.2 Saran .................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kombinasi Tanaman Pada Pola Tumpang sari ...................... 8


Gambar 2. Pola Tanam Tumpang Sari................................................... 9

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Usahapertanian pada saat ini telah banyak menggunakan input bahan
sintetik, baik pupuk maupun pestisida. Salah satu alternatif usaha pertanian yang
ramah lingkungan adalah Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA).
LEISA merupakan suatu acuan pertanian untuk mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya lokal dengan kombinasi komponen usaha tani yang sinergistik serta
pemanfaatan input luar sebagai pelengkap untuk meningkatkan efektivitas
sumberdaya dan meminimalkan kerusakan lingkungan.
LEISAadalah pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya
alam dan manusia setempat / lokal, layak secara ekonomis, mantap secara
ekologis, sesuai dengan budaya, adil secara sosial, dan input luar hanya sebagai
pelengkap (Reijntjes et al. 1999).Menurut Salikin (2003), bahwa sistem pertanian
berkelanjutan dapat dilaksanakan menggunakan berbagai model antara lain sistem
Pertanian Organik, Integrated Farming, Pengendalian Hama Terpadu, dan LEISA
(Low External Input Sustainable Agriculture). Sistem pertanian organik
merupakan sistem produksi pertanian yang menjadikan bahan organik sebagai
faktor utama dalam proses produksi usahatani.
LEISA merupakan cara pandang baru dalam pertanian yang tidak lepas
dari prinsip- prinsip yang mendasarinya yang mencakup prinsip ekologi,
sosioekonomi, budaya dan politik. Prinsip ekologi yang menjadi dasar dalam
sistem LEISA yaitu mengamankan kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan
tanaman dengan cara pengelolaan bahan organik, pengoptimuman kesediaan hara,
penyeimbangan arus hara, meminimumkan kehilangan hara dan mengeksploitasi
penggunaan sumber daya genetik secara komplementer dan sinergis (Cao and Min
1995).

Low External Input Sustainable Agriculture lebih menekankan efisiensi


penggunaan faktor produksi yang ada untuk menciptakan pertan ian yang
berkelanjutan. Adapun lima prinsip dari pertanian berkelanjutan yaitu kemantapan

1
secara ekologis, keberlanjutan secara ekonomis, adil, manusiawi, dan luwes
(Reintjes, 1999).

1.2 Rumusan Masalah


• Apa itu sistem pertanian LEISA?
• Bagaimana penerapan pertanian ramah lingkungan dalam sistem LEISA?
• Apa saja kelebihan dan kekurangan sistem LEISA?

1.3 Tujuan
• Untuk mengetahui dan memahami sistem pertanian LEISA
• Untuk mengetahui hasil penerapan pertanian ramah lingkungan dalam
sistem LEISA
• Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan sistem LEISA

1.4 Manfaat
• Kita menjadi tahu dan paham akan sistem pertanian LEISA
• Kita menjadi tahu akan penerapan pertanian ramah lingkungan dalam
sistem LEISA
• Kita menjadi tahu kelebihan dan kekurangan sistem LEISA

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sistem pertanian LEISA adalah pertanian yang telah memperhatikan


lingkungan dalam penggunaan input. Meskipun demikian, sistem pertanian ini
tetap memanfaatkan teknologi modern, termasuk menggunakan benih hibrida
berlabel, melaksanakan konservasi tanah dan air, serta pengolahan tanah yang
berasaskan konservasi (Sutanto, 2006). Sebagian besar input usahatani yang
dimanfaatkan berasal dari lahan, desa, wilayah atau negara sendiri dan
diupayakantindakan yang tepat untuk menjamin dan menjaga keberlanjutan.
Penerapan pertanian LEISA di beberapa daerah telah dilakukan pemerintah
dengan cara mengurangi penggunaan input anorganik seperti urea, TSP dan KCL
serta bahan organik ke areal usahatani. Hasil produksi yang diperolehdapat
melebihi produksi pertanian modern. Pertanian padi ramah lingkungan metode
budidaya padi sehat yang menjadi objek penelitian termasuk dalam konsep
pertanian LEISA.
Beberapa prinsip ekologi mendasar dapat dijadikan sebagai acuan di dalam
proses pengembangan sistim LEISA. Prinsip-prinsip ekologi dasar pada LEISA
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
• Menjamin kondisi tanah yang mendukung bagi pertumbuhan tanaman
(dengan mengelola bahan organik dan kehidupan dalam tanah).
• Mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur
hara (pengikatan nitrogen daur ulang dan pemanfaatan pupuk luar).
• Mengelola iklim mikro, air, dan pengendalian erosi.
• Meminimalkan serangan hama dan penyaki melalui cara yang aman.
• Melengkapi dan memadukan penggunaan sumber daya genetik yang
mencakup penggabungan dalam sistim pertanian terpadu dengan tingkat
keanekaragaman fungsional yang tinggi.
Prinsip-prinsip ekologi dasar tersebut secara umum dapat direalisasikan
dalam bentuk pemberian bahan organik sebagai input pertanian dan p enggunaan
pola tanam tumpang sari. Prinsip pertama hingga keempat dapat diaplikasikan
melalui pemberian bahan organik sebagai sumber pupuk dan pestisida alami.
Prinsip kedua, keempat dan kelima dapat dipenuhi melalui penerapan pola tanam

3
tumpang sari. Jika kedua kegiatan ini bisa dilaksanakan secara bersama-sama
maka dapat diperkirakan bahwa prinsip-prinsip ekologi dasar pada teknologi
LEISA dapat terlaksana dan terpenuhi dengan baik.

4
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Sistem Pertanian LEISA

Sistem pertanian LEISA adalah pertanian yang telah memperhatikan


lingkungan dalam penggunaan input. Meskipun demikian, sistem pertanian ini
tetap memanfaatkan teknologi modern, termasuk menggunakan benih hibrida
berlabel, melaksanakan konservasi tanah dan air, serta pengolahan tanah yang
berasaskan konservasi (Sutanto, 2006). LEISA atau dikenal dengan penggunaan
input luar rendah merupakan salah satu pilihan untuk melengkapi bentuk – bentuk
lain produksi pertanian.LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture )
adalah pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan
manusiasetempat/lokal, layak secara ekonomis, mantap secara ekologis, sesuai
dengan budaya, adil secara sosial, dan inputluar hanya sebagai pelengkap. Konsep
LEISA merupakan penggabungan dua prinsip yaitu agroekologi serta pengetahuan
dan praktek pertanian masyarakat setempat/tradisional.Metode LEISA tidak
bertujuan memaksimalkan produksi dalam jangka pendek, namun untuk mencapai
tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang. LEISA (Low
External Input and Sustainable Agriculture ) berupaya mempertahankan dan
sedapat mungkin meningkatkan potensi sumber daya alam serta
memanfaatkannya secara optimal. Pada prinsipnya, hasil produksi yang keluar
dari sistem atau dipasarkan harus diimbangi dengan tambahan unsur hara yang
dimasukkan ke dalam sistem tersebut. Dengan metode LEISA (Low External
Input and Sustainable Agriculture), kekhawatiran penurunan produktivitas secara
drastis dapat dihindari. Model LEISA (Low External Input and Sustainable
Agriculture ) masih menjaga toleransi keseimbangan antara pemakaian input
internal dan input eksternal, misalnya penggunaan pupuk organic diimbangi
dengan pupuk TSP, pemakaian pestisida hayati dilakukan bersama-sama dengan
pestisida sintesis, teknologi spesifik lokalitas disandingkan dengan teknologi
canggih, dan sabagainya (Salikin, 2003).

5
Metode LEISA mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut:
1. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal dengan
mengkombinasikan berbagai komponen sistem usaha tani (tanaman,
hewan, tanah, air, iklim dan manusia) sehingga saling melengkapi dan
memberikan efek sinergi yang besar.
2. Pemanfaatan input luar hanya dilakukan bila diperlukan untuk melengkapi
unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumber daya
biologi, fisik dan manusia. Dalam memanfaatkan input luar ditekankan
pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi kerusakan lingkungan.

3.2 Penerapan Pertanian Ramah Lingkungan Dalam Sistem LEISA

Usaha pertanian pada saat ini telah banyak menggunakan input bahan
sintetik, baik pupuk maupun pestisida organik. Salah satu alternatif usaha
pertanian yang ramah lingkungan adalah Low External Input Sustainable
Agriculture (LEISA). LEISA merupakan suatu acuan pertanian untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal dengan kombinasi komponen
usaha tani yang sinergistik serta pemanfaatan input luar sebagai pelengkap untuk
meningkatkan efektivitas sumberdaya dan meminimalkan kerusakan lingkungan
(Asandhi dll., 2005).Untuk meningkatkan produksi pertanian yang berkelanjutan
dan ramah lingkungan perlu dilakukan dengan sistem LEISA.
Berikut ini beberapa usaha yang dapat diterapkan untuk mendukung pertanian
ramah lingkungan berbasis leisa :
• Pemanfaatan Pupuk Cair dan Pupuk Padat dalam menanaman Padi
Penggunaan pupuk organik selain lebih murah juga dapat meningkatkan produksi
pertanian sampai 2700 kg, karena menggunakan pupuk organik dapatmemperbaiki
unsur hara pada tanah sehingga dapat mencapai pertanian berkelanjutan.
Memelihara dan memperbaiki kualitas tanah adalah penting untuk meningkatkan
produktivitas pertanian secara berkelanjutan dan kualitas lingkungan bagi generasi
yang akan datang. Karbon organik tanah merupakan indikator penting dari
kualitas tanah dan keberlanjutan agronomik, karena pengaruhnya terhadap
kualitas fisik, kimia dan biologi tanah. Produksi POP dan POC merupakan produk
olahan limbah ternak sapi, yakni feses dan urin yang kemudian dimasukkan ke

6
mesin digester, limbah padat dari mesin digester akan ditambahkan promi dan
sekam bakar untuk menghasilkan POP yang dapat siap digunakan sebanyak 3700
kg pupuk sedangkan POC membutuhkan penyaringan selama 3 atau 4 kali
kemudian disimpan dalam gentong yang berisi promi dan diputar menggunakan
turbin selama 21 hari untuk kemudian siap digunakan dapat menghasil 2400 liter.
• Pemanfaatan Jerami untuk Pakan Ternak Sapi
Adanya anggapan petani selama ini terhadap jerami sebagai limbah padi yang
mengganggu dalam pengolahan tanah dan penanaman padi sehingga jerami
seringkali dibiarkan membusuk dan harus disingkirkan dari petakan sawah dengan
cara yang praktis yaitu membakar. Dengan adanya kegiatan pengolahan limbah
sehingga dapat mengubah limbah menjadi pakan yang akan membantu
mengefesienkan biaya pada pengembangan sapi.Pakan ternak yang baik harus
mengandung 6-8% protein dari berat sapi, jerami yang belum diolah memiliki 2 -
3% kandungan protein sehingga perlu ditingkatkan dengan cara meng-
fermentasikan menggunakan bakteri tripoderma, jamur aspergillus niger dan
chrysosporium, urea, garam, molasses, untuk mencapai 6-8% protein tersebut.
Proses fermentasi pakan ternak yakni dengan menumpuk jerami disusun sampai
setinggi 20 cm kemudian menyiram cairan fermentasi kemudian menutupnya
dengan terbal, setelah itu ditumpuk kembali, maksimal 3-5 tumpukan keatas.
• Pemanfaatan Biogas untuk kebutuhan Sehari-hari
Limbah peternakan seperti feses, urin beserta sisa pakan ternak sapi merupakan
salah satu sumber bahan yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas.
Biogas merupakan renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif
untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan
gas alam. Hasil biogas dari rata 3 – 5 ekor sapi tersebut setara dengan gas elpiji 3
kg/minggu. Dengandemikian keluarga peternak yang sebelumnya menggunakan
gas elpiji untuk memasak bisa menghemat penggunaan gas elpiji 3 kg/minggu.
Pemanfaatan biogas di Indonesia sebagai energi alternatif sangat memungkinkan
untuk diterapkan di masyarakat, apalagi sekarang ini harga elpiji yang makin
mahal dan kadang-kadang langka keberadaannya.

7
3.3 Penerapan Teknologi LEISA pada Budidaya Sayuran Dataran Tinggi
di Indonesia

Pada sistem tumpang sari, sebagian besar petani telah terbiasa


menggunakan penutup tanah mulsa plastik perak. Alasan penggunaannya ialah
karena berdasarkan pengalaman, penggunaan mulsa plastik memberikan beberapa
keuntungan, seperti:
(a) mengurangi pertumbuhan gulma,
(b) menghindarkan tanaman dari genangan air,
(c) memperlambat pemadatan tanah—karena tanah di bawah mulsa tetap gembur
dan memiliki aerasi yang baik—serta memungkinkan pengurangan pencucian
pupuk.

Pada umumnya, petani menggunakan mulsa selama tiga musim tanam


(hampir setahun) berdasarkan pertimbangan efisiensi dan pemanfaatan usia pakai
(Adiyoga et al., 2004). Penggunaan mulsa plastik dapat digantikan dengan
penanaman tanaman kacang-kacangan. Berdasarkan hasil penelitian Roslianni et
al. (2010), penanaman kubis dengan tanaman kacang-kacangan sebagai penutup
tanah mempunyai residu hara (C organik dan P tersedia tanah), populasi mikroba
tanah, serta pertumbuhan dan hasil kubis yang lebih baik daripada penggunaan
mulsa plastik. Perlakuan tanaman kacang buncis sebagai penutup tanah
menghasilkan bobot kubis per petak tertinggi dengan peningkatan hasil sebesar
51.88% dari perlakuan mulsa plastik hitam sebagai kontrol, disusul oleh tanaman
kacang tanah dan kacang merah dengan peningkatan hasil masing-masing sebesar
38.06% dan 19.59%.

Penggunaan mulsa organik seperti jerami dan sisa tanaman bisa


meningkatkan produksi tanaman dan mengurangi erosi. Sesuai dengan penelitian,
Sumarni et al. (2006) menunjukkan bahwa penggunaan mulsa organik seperti
jerami dan sisa-sisa tanaman diketahui dapat meningkatkan jumlah buah cabai
sebesar 6.8% dan 4.0% serta dapat menekan tingkat erosi tanah sebesar 34.82%.

8
Kombinasi jenis tanaman yang sering dilakukan petani pada pola tanam
tumpang sari cukup beragam. Sebagai contoh pada sentra produksi sayuran
dataran tinggi di Pangalengan, Jawa Barat, kombinasi yang paling sering dipilih
secara berurutan adalah (a) cabai + petsai (sawi), (b) tomat + petsai, (c) cabai +
siampo, (d) kubis + petsai, dan (e) cabai + kentang + petsai. Pola tanam yang
umumnya digunakan petani adalah relay cropping (tumpang gilir), di mana
tanaman kedua dan seterusnya ditanam setelah tanaman utama. T anaman kedua
dan seterusnya ditanam berkisar 7-30 hari setelah penanaman tanaman utama.
Pola tanam tumpang sari yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kombinasi Tanaman pada Pola Tanam Tumpang Sari

Keterangan: C = Cabai (JT = 85 x 60 cm), S = Siampo (JT = 85 x 60 cm), T =


Tomat (JT = 60 x 60 cm) dan K = Kentang (JT = 42.5 x 60 cm) |
Sumber: Adiyoga et.al, 2004

Secara umum, pemilihan jenis sayuran yang dikombinasikan dan pola


tanam yang digunakan telah sejalan dengan prinsip dasar polikultur yang
mengisyaratkan maksimisasi sirnegisme dan minimisasi kompetisi antar tanaman.
Petani memilih tanaman kombinasi yang cenderung berumur lebih pendek dan
memiliki kanopi lebih sempit dibandingkan dengan tanaman utama
(Adiyoga et.al, 2004). Contoh kombinasi tanaman yang memiliki kanopi yang
lebih sempit dari tanaman utama dapat dilihat pada Gambar 2.

9
Gambar 2. Pola Tanam Tumpang Sari

Cabai dan Bawang Merah

Cabai dan Kubis

Pola tanam polikultur akan menguntungkan jika populasi tanaman


optimal. Populasi optimal dari sistem pertanaman polikultur akan lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi total optimal sistem pertanaman monokultur.
Berdasarkan hasil penelitian Adiyoga et. al (2004), di daerah sentra sayuran
dataran tinggi di Pangalengan, rata-rata populasi tanaman yang digunakan petani
dalam pola tanam tumpang sari cabai dan petsai pada lahan yang sama adalah
25.515 tanaman dan 26.265 tanaman. Apabila ditanam secara monokultur rata -
rata populasi tanaman cabai dan petsai adalah 27.750 tanaman dan 36.115
tanaman. Jika ditotal maka populasi tanaman cabai dan petsai yang ditanam secara
tumpang sari pada lahan yang sama adalah 51.776 tanaman. Populasi ini lebih
tinggi dari pada populasi tanaman cabai dan petsai yang ditanam secara
monokultur.

10
Pengembangan sistem tumpang sari pada tanaman sayuran pada dasarnya
mengombinasikan antara tanaman yang menguntungkan. Selain itu, tercipta iklim
mikro yang lebih baik, ditinjau dari perkembangan hama, penyakit dan gulma,
dibandingkan dengan sistem monokultur. Hasil penelitian dengan perlakuan pola
tanam tumpang sari, 75% selada : 25 % tomat dan 50% selada : 50 % tomat pada
6 MST (minggu setelah tanam) mampu menekan bobot kering gulma total
dibandingkan dengan monokultur. Hal ini disebabkan karena pencapaian penutup
tanah yang sempurna pada pola tanam tumpang sari dapat mengurangi intensitas
cahaya yang sampai ke tanah dan menekan pertumbuhan gulma (Pujisiswanto,
2011).
Penggunaan pola tanam tumpang sari diketahui dapat mengurangi input
pupuk anorganik dan menekan populasi hama dan insiden serangan penyakit pada
tanaman sayuran. Hasil penelitian Setiawati et al. (2011) menunjukkan bahwa
penggunaan pupuk berdasarkan serapan unsur hara (N 168 kg/ha + PO2O5 146.5
kg/ha + K2O 145 kg/ha) dan tumpang sari antara tomat dan kubis dapat menekan
populasi B. tabaci (kutu kebul) dan intensitas serangan penyakit virus kuning.
Sebaliknya, penggunaan pupuk yang tinggi sesuai dosis yang digunakan petani (N
210 kg/ha + PO2O5 183.125 kg/ha + K2O 181.25 kg/ha) dan tomat yang ditanam
secara monokultur meningkatkan insiden gejala dan intensitas serangan penyakit
virus kuning.
Penelitian lainnya yang dilakukan Soetiarso et al. (2010) pada tumpang
sari dua varietas cabai merah, yaitu Tanjung-2 maupun Hot Chili juga
menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penanaman monokultur.
Tumpang sari antara varietas Tanjung-2 dengan kubis mampu menekan total
populasi trips sebesar 62.5% dibandingkan dengan tanaman cabai yang ditanam
secara monokultur. Tumpang sari antara kedua varietas cabai merah dengan kubis
mampu menekan populasi B. tabaci (kutu kebul), M. persicae (kutu daun),
serangan lalat buah, serta menekan tingkat kerusakan akibat antraknos, masing -
masing sebesar 7.13% dan 18.75% dibandingkan dengan penanaman monokultur.

11
3.4 Kelebihan dan Kelemahan LEISA ( Low External Input Sustainable
Agriculture)

Penerapan sistem LEISA memiliki kelebihan sebagai berikut.

Pertama, mampu mengurangi input pupuk buatan dengan memanfaatkan


bahan-bahan organik, alami, dan hayati (mikroorganisme berguna) yang dapat
melestarikan kesuburan lahan, sehingga dapat meningkatkan kuantitas dan
kualitas hasil, dan selanjutnya dapat meningkatkan pendapatan petani (Sumarni,
2014).

Kedua, sistem LEISA tidak meninggalkan limbah ( zero waste), semua


termanfaatkan dalam siklus produksi. Dalam PERLABEK, tanaman menghasilkan
biomasa jerami padi yang bisa digunakan oleh tanaman itu sendiri sehingga
pemupukan dapat dikurangi sebesar 31.2%, pembuatan pakan itik sebesar 10.4%
dan ikan 71,5% (Mustikarini, 2010).

Ketiga, sistem LEISA merupakan solusi tepat bagi pengembangan lahan


kritis (seperti lahan pasca penambangan) yang tidak subur menjadi lahan yang
sangat produktif dengan konsep agroekosistem sehingga mampu menambah
pendapatan masyarakat. Misalnya, pada lahan pasca penambangan dapat
dikembalikan kesuburannya dengan penambahan amelioran seperti biosolid
(pupuk kandang, kompos, limbah hasil pertanian dan serbuk gergaji) (Mustikarini,
2010).

Keempat, pada sistem produksi pangan, khususnya padi, persepsi


ekosentris diwujudkan dalam bentuk SRI (System of Rice Intensification) atau
LEISA ( Low External Inputs Sustainable Agriculture) oleh pengaruh paham
ekosentrisme, sedangkan penganut antroposentrisme menggunakan teknologi
Revolusi Hijau atau HICF ( High Inputs Commercial Farming ). Paham ekosentris
berfokus pada pelestarian sumber daya alam; teknologi tradisional yang
diterapkan oleh nenek moyang dulu, seperti penanaman varietas lokal dengan
pemupukan organik dan penggunaan biopestisida sebagai cara untuk

12
mengendalikan hama/penyakit tanaman, adalah metode yang dianjurkan.
Sedangkan, paham antroposentris berfokus pada kebutuhan manusia akan
pangan, papan, sandang yang harus dipenuhi dengan teknologi maju tanpa
perhatian terhadap kelestarian sumberdaya alam. Pada praktiknya, konsep eko -
antro (perpaduan persepsi ekosentris dan antroposentri) lebih baik untuk
diterapkan (Fagi, 2013).

Kelima, input yang rendah menekankan pada efisiensi input dan


peningkatan karakter ekologi sistem pertanian untuk menunjang keberla njutan
produksi pertanian sehingga dapat terjadi keseimbangan orientasi antara ekonomi
dan kelestarian lingkungan (Karyanto, 2010). Di samping itu, pemanfaatan
sumberdaya yang ada (internal input) perlu dilakukan dengan seoptimal mungkin,
sehingga dapat meningkatkan efisiensi pula. Misalnya, pada usaha peternakan
sumberdaya yang perlu dioptimalkan penggunaannya, yaitu: sumberdaya alam
seperti bahan baku pakan lokal dan bibit ternak lokal. Salah satunya pemanfaatan
jerami padi sebagai pakan ternak dengan peningkatan nutrisinya melalui
fermentasi (Diwyanto, 2002).

Keenam, sistem LEISA dapat memberikan pendapatan berkala yang


mampu membantu masyarakat memenuhi kebutuhan hidup secara kontinyu.
LEISA dengan program PERLABEK (padi-ikan-itik) yang dirancang sebagai
suatu agroekosistem mampu menghemat pemasukan faktor produksi (Mustikarini,
2010).

Ketujuh, Menjamin Kondisi Tanah yang Mendukung Pertumbuhan


Tanaman. Proses-proses fisik, kimiawi, dan biologis di dalam tanah sangat
dipengaruhi oleh iklim kehidupan tanaman dan hewan serta aktivitas manusia.
Petani harus menyadari bagaimana proses-proses ini dipengaruhi dan bisa
dimanipulasi guna membudidayakan tanaman yang sehat dan produktif . Mereka
harus menciptakan dan/atau mempertahankan kondisi-kondisi tanah sebagai
berikut: (1) ketersediaan air, udara, dan unsur hara tepat waktu dalam jumlah
seimbang dan mencukupi; (2) struktur tanah yang meningkatkan pertumbuhan
akar, pertukaran unsur-unsur gas, ketersediaan air, dan kapasitas penyimpanan;
(3)suhu tanah yang meningkatkan kehidupan tanah dan pertumbuhan tanaman; (4)

13
tidak adanya unsur-unsur toksik. Suatu aturan pokok adalah bahwa dalam kondisi
yang memadai sepersepuluh kandungan bahan organik dalam tanah terdiri dari
hewan tanah. Jadi, lapisan setebal 10 cm pada suatu tanah seluas 1 ha dengan
kandungan bahan organik sebesar 1% kira-kira mengandung 1.500 kg fauna
tanah. Ini sama dengan berat 3-4 ekor sapi.

Tidak hanya itu, penerapan konsep LEISA juga menghasilkan beberapa


keuntungan seperti :

• Merupakan usaha pertanian yang terpadu


• Merupakan usaha pertanian yang berbasis lokal sehingga tahan terhadap
krisis
• Usaha pertanian yang dapat menghasilkan produk organik yang
mempunyai harga lebih baik
• Usaha pertanian yang mempunyai diversivikasi berbagai produk sehingga
dapat mengurangi resiko kegagalan usaha

Dalam penerapan LEISA juga masih terdapat kelemahan-kelemahan sebagai


berikut.

Pertama, penerapan LEISA pada awal kegiatan akan memerlukan modal


besar karena merupakan gabungan dari kegiatan pertanian, perternakan dan
perikanan. Untuk memulai penerapan LEISA harus dipilih faktor produksi yang
bernilai tinggi, berkesinambungan memberikan pendapatan secara ekonomis dan
tidak memerlukan modal besar diawalnya. Di sisi lain, kemampuan permodalan
masyarakat masih rendah, sehingga penerapan LEISA terhambat.

Kedua, tingkat keyakinan masyarakat masih rendah terhadap keuntungan


yang diadapatkan. Hal ini dikarenakan tidak adanya bimbingan dan dukungan
secara terus-menerus pada masyarakat, sehingga mereka akan mudah merasa
gagal dan segera meninggalkan usaha yang sebenarnya menguntungkan
(Mustikarini, 2010).

14
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan

Degradasi dan keterbatasan lahan merupakan permasalahan pada lahan


pertanian dataran tinggi. Dari beberapa hasil penelitian, diketahui bahwa
penerapan teknologi LEISA merupakan salah satu praktik konservasi lahan yang
dapat diterapkan untuk mengatasi masalah degradasi dan keterbatasan lahan di
area dataran tinggi. LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture ) itu
sendiri merupakan pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya
alam dan manusiasetempat/lokal, layak secara ekonomis, mantap secara ekologis,
sesuai dengan budaya, adil secara sosial, dan inputluar hanya sebagai pelengkap.
Konsep LEISA merupakan penggabungan dua prinsip yaitu agroekologi serta
pengetahuan dan praktek pertanian masyarakat setempat/tradisional. Metode

15
LEISA tidak bertujuan memaksimalkan produksi dalam jangka pendek, namun
untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang.

Untuk mendukung usaha pertanian ini pun dapat di lakukan dengan


beberapa cara seperti Pemanfaatan Pupuk Cair dan Pupuk Padat dalam
menanaman Padi, Pemanfaatan Biogas untuk kebutuhan Sehari-hari, Pemanfaatan
Jerami untuk Pakan Ternak Sapi dan lain sebagainya. Dengan begitu usaha tani ini
akan memberikan keuntungan yang besar pada penerapannya walau pada awal
kegiatannya memerlukan modal yang cukup besar. Namun tidak hanya
pendapatan yang tinggi saja, penerapan usaha tani ini juga mampu mengurangi
input pupuk buatan, tidak meninggalkan limbah, mampu mengembangk an lahan
kritis, menghasilkan produk yang organik dan sehat, menjaga kelestarian
lingkungan dan masih banyak keuntungan lainnya. Tapi usaha tani ini masih
belum maksimal diterapkan karena kurangnya informasi yang akurat dan baik
sehingga masih banyak petani dan masyarakat yang ragu akan usaha tani ini.

4.2 Saran
Melakukan penyuluhan yang lebih lanjut terhadap usaha tani ini baik
dengan konsep dan prinsipnya hingga peluang untung dan pendapatan yang tinggi
dari penerapannya merupakan hal yang sebaiknya lebih diperhatikan dan
dilakukan secara baik dan jelas. Begitu pula dengan dukungan yang lebih baik
oleh pemerintah terhadap petani sehingga tidak banyak petani yang beralih dari
peluang yang sebenarnya memiliki keuntungan yang besar dari usaha tani ini.
Begitu pula dalam rangka meningkatkan pendapatan pertanian, kesuburan
lahan jangka panjang dan berkelanjutan, maupun memanfaatkan limbah
peternakan ( 3R = Reduce, Reuse and Recycle) dan pertanian yang ramah
lingkungan, sebaiknya sistem pertanian LEISA dan pertanian organik segera
diaplikasikan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Leisapertanian.com. (2018, 06 Maret) Leisa Pertanian. Diakses pada 20 Mei 2020,


dari http://leisapertanian.com/

Thesiwati, A. S. (2018). PERANAN KOMPOS SEBAGAI BAHAN ORGANIK


YANG RAMAH LINGKUNGAN. Jurnal Pengabdian kepada
Masyarakat DEWANTARA, 1(1 Septembe), 27-33. Diakses pada 25 Mei
2020, dari http://ojs.unitas-pdg.ac.id/index.php/jpmd/article/view/324

Ramadhani, R., Sanjaya, V. W., & Rahmawati, W. S. (2019). Efisiensi Biaya


Pada Sistem Pertanian Berbasis Zero Waste di Kabupaten
Soppeng. Journal of Applied Accounting and Taxation, 4(2), 160- 164.
Diakses pada 25 Mei 2020, dari
https://jurnal.polibatam.ac.id/index.php/JAAT/article/view/1657

17
Febjislami, Shalati. (August 16, 2017 ). Penerapan Teknologi LEISA pada
Pertanian Sayuran Berkelanjutan di Dataran Tinggi. Diakses pada 27 Mei
2020, dari https://sayurankita.com/2017/08/16/penerapan-teknologi-leisa-
pada-pertanian-sayuran-berkelanjutan-di-dataran-tinggi/

Dea. (October 29, 2017). Kelebihan dan Kelemahan LEISA.docx. Diakses pada
27 Mei 2020, dari
https://www.scribd.com/document/362897316/Kelebihan-dan-Kelemahan-
LEISA-docx

18

Anda mungkin juga menyukai