Anda di halaman 1dari 16

12.

  ADAB-ADAB KETIKA MAKAN

Dalam masalah makan perlu diperhatikan adab-adabnya. Makan memiliki adab-adab yang
banyak dan telah dikenal, maka dalam pembahasan ini saya akan meringkaskan adab-adab makan
sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita yang
diiringi dengan keberkahan, yaitu:
1. Adab Sebelum Makan
·         Hendaknya berusaha (memilih untuk) mendapatkan makanan dan minuman yang halal
dan baik serta tidak mengandung unsur-unsur yang haram, berdasarkan firman Allah:
ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكلُوا ِم ْن طَيِّبَا‬
‫ت َما َرزَ ْقنَا ُك ْم‬
                “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu...” [Al-Baqarah/2: 172]
·         Berkumpul Apabila Makan
Dari Wahsyi bin Harb Radhiyallahu anhu, bahwasanya para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya kita makan tapi
tidak kenyang.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mungkin kalian makan dengan
tidak berkumpul?” Mereka berkata: “Ya.” Beliau bersabda:
َ َ‫فَاجْ تَ ِمعُوْ ا َعلَى طَ َعا ِم ُك ْم فَ ْاذ ُكرُوْ ا ا ْس َم هللاَ َعلَ ْي ِه! يُب‬."
ِ ‫ار ْك لَ ُك ْم‬
"‫ ْي ِه‬   ‫ف‬
“Berkumpullah kalian ketika makan dan sebutlah Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala padanya,
maka makanan kalian akan diberkahi.” .  Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya
(IV/138) Kitaabul Ath’imah bab Fii Ijtimaa’ ‘alath Tha’aam, Ibnu Majah dalam Sunannya (II/1093)
Kitaabul Ath’imah bab al-Ijtimaa’ ‘alath Tha’aam, Imam Ahmad dalam Musnadnya (III/501), Ibnu
Hibban dalam Shahihnya (VII/317) Kitaabul Ath’imah, Dzikrul Amri ‘alal Ijtimaa’ ‘alath Tha’aam,
Rajaa-al Barakah fil Ijtimaa’ ‘Alaih
            Hendaknya makan bersama-sama dengan orang lain, baik tamu, keluarga, kerabat, anak-
anak atau pembantu. Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫ار ْك لَ ُك ْم فِ ْي ِه‬
ِ َ‫طعا َ ِم ُك ْم يُب‬
َ ‫اِجْ تَ ِمعُوْ ا َعلَى‬.
                “Berkumpullah kalian dalam menyantap makanan kalian (bersama-sama), (karena) di
dalam makan bersama itu akan memberikan berkah kepada kalian.” [HR. Abu Dawud no. 3764,
hasan. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 664]
Dan di antara yang menunjukkan atas keberkahan dari berkumpul saat makan, adalah apa
yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"َ‫طَ َعا ُم ْا ِإل ْثنَ ْي ِن َكافِي الثَّالَثَةَ َوطَ َعا ُم الثَّالَثَةَ َكافِي ْاألَرْ بَ َعة‬."
‘Makanan dua orang cukup untuk tiga dan makanan untuk tiga orang mencukupi untuk
empat orang.’”
Dalam riwayat lain dari Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu:
"َ‫طَ َعا ُم ْال َوا ِح ِد يَ ْكفِي ْا ِإل ْثنَ ْي ِن َوالطَّ َعا ُم ْا ِإل ْثنَ ْي ِن يَ ْكفِي ْاألَرْ بَ َعةَ َوالطَّ َعا ُم ْاألَرْ بَ َعةَ يَ ْكفِي الثَّ َمانِيَة‬."
“Makanan satu orang mencukupi dua orang, makanan dua orang mencukupi empat orang
dan makanan empat orang mencukupi delapan orang.” Shahih Muslim (III/1630) pada kitab dan bab
yang lalu.
Imam an-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini terdapat sebuah anjuran agar saling berbagi
dalam makanan, sesungguhnya walaupun makanan itu sedikit tetapi akan terasa cukup, dan ada
keberkahan di dalamnya yang diterima oleh seluruh yang hadir.” Syarhun Nawawi li Shahiihi
Muslim (XIV/23).
Ibnu Hajar berkata, “Dari hadits tersebut kita dapat mengambil faedah, bahwasanya
kecukupan itu hadir dari keberkahan berkumpul saat makan dan bahwasanya semakin banyak
anggota yang berkumpul, maka akan semakin bertambah berkahnya.” Fat-hul Baari (IX/535),
dengan sedikit perubahan.
Dengan demikian beberapa ulama berpendapat, bahwa berkumpul saat makan adalah mustahab
(disunnahkan) dan janganlah seseorang makan seorang diri. Ibid, (IX/535).
·         Meniatkan tujuan dalam makan dan minum untuk menguatkan badan, agar dapat
melakukan ibadah, sehingga dengan makan minumnya tersebut ia akan diberikan ganjaran oleh
Allah.
·         Mencuci kedua tangan sebelum makan, jika dalam keadaan kotor atau ketika belum yakin
dengan kebersihan keduanya. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫َكانَ إِ َذا أَ َرا َد أَ ْن يَنَا َم َو هُ َو ُجنُبٌ تَ َوضَّأ َ َوإِ َذا َأ َرا َد أَ ْن يَأْ ُك َل َغ َس َل يَ َد ْي ِه‬
                “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur sedangkan beliau dalam
keadaan junub, maka beliau berwudhu’ terlebih dahulu dan apabila hendak makan, maka beliau
mencuci kedua tangannya terlebih dahulu.” [HR. An-Nasa-i I/50, Ahmad VI/118-119. Lihat
Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 390, shahih]
·      Meletakkan hidangan makanan pada sufrah (alas yang biasa dipakai untuk meletakkan
makanan) yang digelar di atas lantai, tidak diletakkan di atas meja makan, karena hal tersebut lebih
mendekatkan pada sikap tawadhu’. Hal ini sebagaimana hadits dari Anas Radhiyallahu anhu, dia
berkata:
َ ِ‫ َما أَ َك َل َرسُوْ ُل هللا‬.
ٍ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َعلَى ِخ َو‬
‫ان َوالَ فِ ْي ُس ُكرُّ َج ٍة‬
                “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah makan di atas meja makan dan
tidak pula di atas sukurrujah [2].” [HR. Al-Bukhari no. 5415]
·         Hendaknya duduk dengan tawadhu’, yaitu duduk di atas kedua lututnya atau duduk di atas
punggung kedua kaki atau berposisi dengan kaki kanan ditegakkan dan duduk di atas kaki kiri. Hal
ini sebagaimana posisi duduk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didasari dengan sabda
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫الَ آ ُك ُل ُمتَّ ِكئًا إِنَّ َما أَنَا َع ْب ٌد آ ُك ُل َك َما يَأْ ُك ُل ْال َع ْب ُد َوأَجْ لِسُ َك َما يَجْ لِسُ ْال َع ْب ُد‬.
                “Aku tidak pernah makan sambil bersandar, aku hanyalah seorang hamba, aku makan
sebagaimana layaknya seorang hamba dan aku pun duduk sebagaimana layaknya seorang
hamba.” [HR. Al-Bukhari no. 5399]
·         Hendaknya merasa ridha dengan makanan apa saja yang telah terhidangkan dan tidak
mencela-nya. Apabila berselera menyantapnya, jika tidak suka meninggalkannya. Hal ini
sebagaimana hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
ُ‫ط إِ ِن ا ْشتَهَاهُ أَ َكلَهُ َو إِ ْن َك ِرهَهُ ت ََر َكه‬
ُّ َ‫طعاَما ً ق‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫َاب َرسُوْ ُل هللا‬
َ ‫ َما ع‬.
            “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan, apabila beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berselera, (menyukai makanan yang telah dihidangkan) beliau
memakannya, sedangkan kalau tidak suka (tidak berselera), maka beliau meninggalkannya.”
            Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam kitab Syamaa-il Muhammadiyyah hal.
88 no. 127 memberikan pengertian tentang sukurrujah yaitu piring kecil yang biasa dipakai untuk
menempatkan makanan yang sedikit seperti sayuran lalap, selada dan cuka. Ibnu Hajar dalam Fat-
hul Baari (IX/532) berkata: “Guru kami berkata dalam Syarah at-Tirmidzi, “Sukurrujah itu tidak
digunakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya karena kebiasaan
mereka makan bersama-sama dengan menggunakan shahfah yaitu piring besar untuk makan lima
orang atau lebih. Dan alasan yang lainnya adalah karena makan dengan sukurrujah itu menjadikan
mereka merasa tidak kenyang.”-penj.
·         Mendahulukan orang tua ketika makan
‫ص—لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي— ِه‬َ ِ ‫هَّللا‬                  ‫ض ْع أَ ْي ِديَنَا َحتَّى يَ ْبدَأَ َر ُس—و ُل‬
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم طَ َعا ًما لَ ْم ن‬
َ ‫ضرْ نَا َم َع النَّبِ ِّي‬
َ ‫ع َْن ُح َذ ْيفَةَ قَا َل ُكنَّا إِ َذا َح‬
ُ‫ض َع يَ َده‬َ َ‫َو َسلَّ َم فَي‬

            Dari Hudzaifah ia berkata,” Jika kami menghadiri jamuan makan bersama Rasulullah,
tidaklah kami menjulurkan tangan kami ke makanan sampai Rasulullah n memulainya” H.R
Muslim.
2. Adab Ketika Sedang Makan
·         Memulai makan dengan mengucapkan, ‘Bismillaah.’
            Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ِ ‫بِس ِْم هللاِ أَ َّولَهُ َو‬      : ْ‫إِ َذا أَ َك َل أَ َح ُد ُك ْم فَ ْليَ ْذ ُك ِر ا ْس َم هللاِ تَ َعالَى فَإ ِ َذا ن َِس َي أَ ْن يَ ْذ ُك َر ا ْس َم هللاِ فِ ْي أَ َّولِ ِه فَ ْليَقُل‬.
ُ‫آخ َره‬
                “Apabila salah seorang di antara kalian hendak makan, maka ucapkanlah: ‘Bismillaah’,
dan jika ia lupa untuk mengucapkan bismillaah di awal makan, maka hendaklah ia mengucapkan:
‘Bismillaah awwaalahu wa aakhirahu’ (dengan menyebut Nama Allah di awal dan akhirnya).”
Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3767), at-Tirmidzi (no. 1858), Ahmad (VI/143), ad-
Darimi (no. 2026) dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 281). Dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 1965)
            Abu Hafs Umar bin Abi Salamah Radhiyallahu 'anhu menuturkan,
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَا غُاَل ُم‬
َ ِ ‫َت يَ ِدي ت َِطيشُ فِي الصَّحْ فَ ِة فَقَا َل لِي َرسُو ُل هَّللا‬
ْ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو َكان‬
َ ِ ‫ت غُاَل ًما فِي َحجْ ِر َرسُو ِل هَّللا‬
ُ ‫ُك ْن‬
‫ت تِ ْلكَ ِط ْع َمتِي بَ ْع ُد‬ َ ‫َس ِّم هَّللا َ َو ُكلْ بِيَ ِمينِكَ َو ُكلْ ِم َّما يَلِي‬
ْ َ‫ك فَ َما زَ ال‬
                Ketika aku berada dalam bimbingan Rasulullah, pernah suatu kali tanganku bergerak di
atas piring ke segala arah, hingga Rasulullah pun berkata kepadaku,”Wahai anak, sebutlah nama
Allah, makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah dari apa yang dekat denganmu.” Maka
demikianlah cara makanku sejak saat itu.
                Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5376), Muslim (no. 2022), Ibnu Majah (no.
3267), ad-Darimi (II/100) dan Ahmad (IV/26).
Telah disebutkan dalam hadits terdahulu: “Berkumpullah kalian ketika makan dan sebutlah
nama Allah padanya, maka makanan kalian akan diberkahi.” Oleh sebab itu, meninggalkan
tasmiyyah (menyebut Nama Allah) ketika makan akan menghalangi hadirnya keberkahan padanya.
Sehingga syaitan -semoga Allah melindungi kita darinya- ikut makan, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"‫إِ َّن ال َّش ْيطَانَ يَ ْست َِح ٌّل الطَّ َعا َم إِالَّ ي ُْذ َك َر ا ْس َم هللاِ َعلَ ْي ِه‬."
“Sesungguhnya syaitan mendapatkan bagian makanan yang tidak disebutkan Nama Allah
padanya.” [7] Shahih Muslim (III/1597) Kitaabusy Asyribah bab Aadaabith Tha’aami wasy
Syaraabi wa Ahkaamuhuma, hadits tersebut memiliki latar belakangnya
Imam an-Nawawi berkata: “Arti dari mendapatkan yaitu dapat menikmati makanan tersebut
maksudnya bahwa syaitan itu mendapatkan bagian makanan jika seseorang memulainya dengan
tanpa dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, adapun bila belum ada seseorang yang memulai
makan, maka (syaitan) tidak akan dapat memakannya, jika sekelompok orang makan bersama-sama
dan sebagian mereka menyebut Nama Allah sedangkan sebagian lannya tidak, maka syaitan pun
tidak akan dapat memakannya.” ( Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (XIII/189-190).
·         Tidak boleh mencela makanan halal
ُ‫ط إِ ِن ا ْشتَهَاهُ أَ َكلَهُ َوإِ ْن َك ِرهَهُ تَ َر َكه‬
ُّ َ‫ط َعا ًما ق‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫َاب النَّبِ ُّي‬ َ َ‫ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ ق‬
َ ‫ال َما ع‬
                Dari Abi Hurairah, ia berkata,”Nabi tidak pernah mencela makanan sedikitpun. Jika
Beliau suka, Beliau memakannya. Dan bila tidak suka, Beliau meninggalkannya.”  HR Muttafaqun
‘alaihi.
·         Tidak boleh makan dengan bersandar
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَل آ ُك ُل ُمتَّ ِكئًا‬
َ ِ ‫ع َْن أبي ُج َح ْيفَةَ يَقُو ُل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
            Dari Abu Juhaifah, ia berkata, Rasulullah bersabda,”Tidaklah aku makan dengan
bersandar.”  HR Al Bukhari, Al Fath, 9/540.
·         Makan Dari Pinggir-Pinggir Piring
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
"‫"!البَ َر َكةُ تَ ْن ِز ُل فِي َو َس ِط الطَّ َع ِام فَ ُكلُوْ ا ِم ْن َحافِيَتِ ِه َوالَ تَأْ ُكلُوْ ا ِم ْن َو َس ِط ِه‬
ْ
‘Keberkahan tersebut akan turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir-
pinggirnya dan jangan dari tengahnya!”  .
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (IV/260) Kitaabul Ath’imah bab Maa Jaa-a fii Karaahiyatil
Akli min Wasathith Tha’aam, ia berkata: “Hadits ini shahih.” Dengan lafazh darinya.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1090) Kitaabul Ath’imah bab an-Nahyu
‘Anil Akli min Dzirwatits Tsariid, Imam Ahmad dalam Musnadnya (I/270), ad-Darimi dalam
Sunan-nya (II/100) Kitaabul Ath’imah bab an-Nahyu ‘anil Akli Wasathits Tsariid hatta Ya’-kula
Jawaanibahu, Ibnu Hibban dalam Shahihnya (VII/333) Kitaabul Ath’imah, Dziktul Ibtidaa-i fil Akli
min Jawaanibith Tha’aam. Abu Dawud meriwayatkannya dengan lafazh:
"‫إٍ َذا أَ َك َل أَ َح ُد ُك ْم طَ َعا ًما فَالَ يَأْ ُكلْ ِم ْن أَ ْعلَى الصَّحْ فَ ِة َولَ ِك ْن لِيَأْ ُكلْ ِم ْن أَ ْسفَلِهَا فَإ ِ َّن ْالبَ َر َكةَ تَ ْن ِز ُل ِم ْن أَ ْعالَهَا‬."
“Jika salah seorang di antara kalian makan, maka janganlah ia makan dari bagian atas piring, tetapi
makanlah dari bagian paling bawah darinya, karena keberkahan itu turun dari bagian atasnya.”

Dan dari ‘Abdullah bin Busr  Radhiyallahu anhu bahwasanya didatangkan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah piring,  lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
َ َ‫ ُكلُوْ ا ِم ْن َج َوانِبِهَا َو َد ُعوْ ا ِذرْ َوتَهَا! يُب‬.
"‫ار ْك فِ ْيهَا‬
“Makanlah dari pinggirannya dan tinggalkanlah (terlebih dahulu) bagian tengahnya(niscaya)
akan diberkahi padanya.” Yaitu yang teratas karena puncak dari setiap sesuatu adalah atasnya. Lihat
an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Aatsaar, Ibnul Atsir (II/159).
·         Disunnahkan untuk bercakap-cakap ketika makan dan memuji makanan meskipun
sedikit.
‫—ل يَأْ ُك— ُل بِ— ِه َويَقُ——و ُل نِ ْع َم اأْل ُ ُد ُم‬
َ —‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َسأ َ َل أَ ْهلَهُ اأْل ُ ُد َم فَقَالُوا َما ِع ْن َدنَا إِاَّل خَ— ٌّل فَ— َدعَا بِ— ِه فَ َج َع‬ َّ ِ‫ع َْن َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
ُّ‫ ْالخَل‬    ‫ْالخَ لُّ نِ ْع َم اأْل ُ ُد ُم‬
            Dari Jabir bin Abdillah, bahwasanya Nabi bertanya kepada keluarganya tentang lauk.
Mereka menjawab,”Kita tidak memiliki lauk, kecuali cuka.” Maka Beliaupun minta untuk
dibawakan. Kemudian Beliau makan dengan cuka tadi dan berkata,”Sebaik-baik lauk adalah cuka,
sebaik-baik lauk adalah cuka.” HR Muslim, 2052.
·         Hendaknya makan dengan menggunakan tiga jari tangan kanan.
            Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫صابِ َع فَِإ َذا فَ َر َغ لَ ِعقَهَا‬ ِ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكانَ يَأْ ُك ُل بِثَال‬
َ َ‫ث أ‬ َ ِ‫إِ َّن َرسُوْ َل هللا‬.
                “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa makan dengan
meng-gunakan tiga jari tangan (kanan) apabila sudah selesai makan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjilatinya.” [HR. Muslim no. 2032 (132), Abu Dawud no. 3848].-penj. Tiga jari yang
dimaksud adalah jari tengah, jari telunjuk dan ibu jari, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-
Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fat-hul Baari IX/577.-penj.
            Wajib makan dengan tangan kanan, berdasarkan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam,
‫اس—تَطَعْتَ َم——ا‬ ْ ‫ال ُكلْ بِيَ ِمينِ——كَ قَ——ا َل اَل أَ ْس—تَ ِطي ُع قَ——ا َل اَل‬ َ ِ ‫ع أَ َّن َر ُجاًل أَ َك َل ِع ْن َد َرسُو ِل هَّللا‬
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِ ِش َمالِ ِه فَق‬ ِ ‫عن َسلَ َمةَ ب ِْن اأْل َ ْك َو‬
َ َ‫َمنَ َعهُ ِإاَّل ْال ِك ْب ُر ق‬
‫ال فَ َما َرفَ َعهَا ِإلَى فِي ِه‬
                Dari Salamah bin Al Akwa’, bahwa pernah seorang laki-laki makan dengan tangan
kirinya di sisi Rasulullah, maka Beliau berkata,”Makanlah dengan tangan kananmu.” Laki-laki itu
menjawab,”Aku tidak bisa.” Beliau pun berkata,”Engkau tidak bisa, tidak ada yang mencegahmu
melakukannya melainkan kesombonganmu.” Akhirnya ia benar-benar tidak bisa mengangkat
tangannya ke mulutnya.
            Ucapan Rasulullah pada hadits di atas ( َ‫اَل ا ْستَطَعْت‬ ) merupakan doa Beliau atas laki-laki tadi,
karena kesombongannya enggan mengukuti sunnah. Bahjatun Nazhirin hal. 239.

·         Menyedikitkan suapan, memperbanyak kunyahan, makan dengan apa yang terdekat


darinya dan tidak memulai makan dari bagian tengah piring, berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pula:
‫البَ َر َكةُ تَ ْن ِز ُل َو َسطَ الطَّ َع ِام فَ ُكلُوْ ا ِم ْن َحافَتَ ْي ِه َوالَ تَأْ ُكلُوْ ا ِم ْن َو َس ِط ِه‬.
ْ
                “Keberkahan itu turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir-piring
dan janganlah memulai dari bagian tengahnya.” Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2031
(129)), Abu Dawud (no. 3772) dan Ibnu Majah (no. 3269). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
rahimahullah dalam Shahiihul Jaami’ (no. 379)
·         Apabila ada sesuatu dari makanan kita terjatuh, maka hendaknya dibersihkan bagian yang
kotornya kemudian memakannya. Berdasarkan hadits:
ِ َ‫ط ما َ َكانَ بِهَا ِم ْن أَ َذى ثُ َّم لِيَأْ ُك ْلهَا َوالَ يَ َد ْعهَا لِل َّش ْيط‬
‫ان‬ ْ ‫ت ِم ْن أَ َح ِد ُك ْم اللُّ ْق َمةُ فَ ْليُ ِم‬
ْ َ‫إِ َذا َسقَط‬.
              “Apabila ada sesuap makanan dari salah seorang di antara kalian terjatuh, maka
hendaklah dia membersihkan bagiannya yang kotor, kemudian memakannya dan jangan
meninggalkannya untuk syaitan.” Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2033 (135)), Abu Dawud
(no. 3845) dan Ahmad (III/301). Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (no. 1404), karya Syaikh
al-Albani.
·         Hendaknya tidak meniup pada makanan yang masih panas dan tidak memakannya hingga
menjadi lebih dingin. Tidak boleh juga, untuk meniup pada minuman yang masih panas, apabila
hendak bernafas maka lakukanlah di luar gelas sebanyak tiga kali sebagaimana hadits Anas bin
Malik.
ً ‫ب ثَالَثا‬
ِ َ‫ َكانَ يَتَنَفَّسُ فِي ال َّشرا‬.
                “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika minum, beliau bernafas (meneguknya)
tiga kali (bernafas di luar gelas).” Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5631), Muslim (no.
2028), at-Tirmidzi (no. 1884), Abu Dawud (no. 3727).
            Begitu juga hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu:

ِ ‫نَهَى ع َِن النَّ ْف‬.


ِ ْ‫خ فِي ال ُّشر‬
‫ب‬
                “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk meniup (dalam gelas) ketika
minum.” Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1887), hasan. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no.
1977), karya Syaikh al-Albani.
            Adapula hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu:
‫س فِي ْا ِإلنا َ ِء أَوْ يُ ْنفَخَ فِ ْي ِه‬
َ َّ‫نَهَى أَ ْن يُتَنَف‬.
                “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menghirup udara di dalam
gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya.” Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1888),
Abu Dawud (no. 3728), Ibnu Majah (no. 3429), (Ahmad I/220, 309). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no.
1977) , karya Syaikh al-Albani.
·         Hendaknya menghindarkan diri dari kenyang yang melampaui batas.
            Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
                “Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah
baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan
tenaga), maka jika tidak mau, maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan,
sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad
(IV/132), Ibnu Majah (no. 3349), al-Hakim (IV/ 121). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1983), karya
Syaikh al-Albani rahimahullah.
·         Hendaknya memulai makan dan minum dalam suatu jamuan makan dengan
mendahulukan (mempersilahkan mengambil makanan terlebih dahulu) orang-orang yang
lebih tua umurnya atau yang lebih memiliki derajat keutamaan. Hal tersebut merupakan bagian
dari adab yang terpuji. Apabila tidak menerapkan adab tersebut, maka berarti mencerminkan sifat
serakah yang tercela.
·         Hendaknya tidak memandang kepada temannya ketika makan, dan tidak terkesan
mengawasinya karena itu akan membuatnya merasa malu dan canggung. Namun sebaiknya
menundukkan pandangan dari orang-orang yang sedang makan di sekitarnya dan tidak melihat ke
arah mereka karena hal itu menyinggung perasaannya atau mengganggunya.
·         Hendaknya tidak melakukan sesuatu yang dalam pandangan manusia dianggap
menjijikkan, tidak pula membersihkan tangannya dalam  piring, dan tidak pula
menundukkan kepalanya hingga dekat dengan piring ketika sedang makan, mengunyah
makanannya agar tidak jatuh dari mulutnya, juga tidak boleh berbicara dengan ungkapan-
ungkapan yang kotor dan menjijikkan karena hal itu dapat mengganggu teman (ketika
sedang makan). Sedangkan mengganggu seorang muslim adalah perbuatan yang haram.
·         Jika makan bersama orang-orang miskin, maka hendaknya mendahulukan orang miskin
tersebut. Jika makan bersama-sama teman-teman, diperbolehkan untuk bercanda, senda gurau,
berbagi kegembiraan, suka cita dalam batas-batas yang diperbolehkan. Jika makan bersama orang
yang mempunyai kedudukan, maka hendaknya ia berlaku santun dan hormat kepada mereka.
·         Keberkahan Pada Saat Menakar Makanan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menakar makanan dan beliau
berjanji, dengannya akan didapatkan keberkahan padanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Terdapat suatu riwayat dalam Shahih al-Bukhari dari al-Miqdam bin Ma’diyakrib [Beliau adalah
Miqdam bin Ma’diyakrib bin ‘Amr bin Yazid al-Kindi, menemani Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan meriwayatkan beberapa hadits-hadits beliau, menetap di Himsh, wafat pada tahun 87 H.
Lihat Asadul Ghaqbah (IV/478), al-Ishaabah (III/434) dan Tahdziibut Tahdziib (X/287).]
Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
"‫ ِك ْيلُوْ ا طَ َعا َم ُك ْم يُبَا َر ْك لَ ُك ْم‬."
“Takarlah makanan kalian, maka kalian akan diberkahi.” Shahih al-Bukhari (III/22)
Kitaabul Buyuu’ bab Maa Yustahabbu minal Kail.
Yang lainnya menambahkan pada akhir hadits: “‫فِ ْي ِه‬ (padanya).”
Menakar hukumnya adalah disunnahkan pada apa yang dikeluarkan seseorang bagi
keluarganya. Makna hadits tersebut adalah keluarkanlah makanan tersebut dengan takaran yang
diketahui yang akan habis pada waktu yang telah ditentukan. Dan padanya terdapat keberkahan
yang Allah berikan pada mud (ukuran dari jenis takaran-pent) masyarakat Madinah, karena do’a
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Fat-hul Baari (IV/346).
Rahasia dalam  takaran tersebut adalah karena dengannya ia dapat mengetahui seberapa
banyak yang ia butuhkan dan yang harus ia siapkan. [28] Adapun hadits ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat dan tidak ada sama
sekali dalam rakku [29] sesuatu [30] yang dapat dimakan oleh seorang manusia, kecuali setengah
gandum yang berada di rakku, maka saya memakannya hingga lama mencukupiku, aku pun
menakarnya, maka gandum itu pun habis.”  Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya
(VII/179) Kitaabur Riqaaq bab Fadhlul Faqr juga oleh Muslim dalam Shahihnya (IV/2282)
Kitaabuz Zuhud war Riqaaq.
Dan hadits-hadits lain yang semisalnya, sesungguhnya telah saya jawab hal tersebut dengan
beberapa jawaban, di antaranya adalah:
Pertama, bahwasanya, maksud dari hadits al-Miqdam adalah, menakar makanan ketika akan
mengeluarkan nafkah darinya dengan syarat ada sisa yang tidak diketahui takarannya, maka
keberkahan adalah lebih banyak terdapat pada hal yang belum diketahui dan samar-samar tersebut
dan menakar apa yang akan dikeluarkan tersebut adalah, agar tidak mengeluarkan lebih dari
kebutuhan atau pun kurang darinya.  Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (XVIII/107), dengan
sedikit perubahan.
Kedua, kemungkinan maksud dari hadits, “Takarlah makanan kalian” adalah, jika kalian
menyimpannya dengan harapan keberkahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan keyakinan
akan dikabulkannya, maka siapa yang menakar setelah itu, maka ia adalah menakar untuk
mengetahui ukurannya, dan hal itu merupakan keragu-raguan pada terkabulnya harapannya, maka
ia dibalas dengan cepat habisnya makanan tersebut. Fat-hul Baari (IV/346).
Ketiga, bahwasanya menakar makanan adalah dibutuhkan hanya pada saat jual beli, maka
keberkahan pun akan ada, dengan cara menakar tersebut, demi merealisasikan perintah agama, dan
hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma mungkin saja bermaksud pada menakar yang hanya untuk
menguji saja, oleh karena itu terjadilah kekurangan, Ibid, IV/346, XI/281. ada juga yang
mengatakan selain dari pendapat ini. [35] Lihat Fat-hul Baari (IV/346, XI/280-281) dan ‘Umdatul
Qaari (XI/247).
Menurut pendapat saya yang paling dekat dengan kebenaran dari jawaban tersebut adalah
yang pertama, karena menakar makanan dan mengetahui takarannya ketika hendak memakainya,
untuk mengambil darinya jumlah yang sesuai dengan kebutuhan adalah menghalangi dari sifat-sifat
berlebih-lebihan dan membuang-buang harta (mubazir), cara ini adalah termasuk cara untuk
memperbanyak makanan, sebagaimana juga dengan menakar makanan akan mencegah dari
penghematan berlebihan yang merugikan. [36] Lihat Dalaa-ilun Nubuwah al-Muhammadiyah fii
Dhau-il Hadits, Istanbuli (hal. 23-24).

3. Adab Setelah Makan


·         Hendaknya mengakhiri makan dengan pujian kepada Allah, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫ط َع َمنِي هَ— َذا الطَّ َع—ا َم‬ ْ َ‫الَّ ِذي أ‬       ِ ‫ط َعا ًم—ا ثُ َّم قَ—ا َل ْال َح ْم— ُد هَّلِل‬
َ ‫—ال َم ْن أَ َك— َل‬ َ ِ ‫س ع َْن أَبِي ِه أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَيْ— ِه َو َس—لَّ َم ق‬ ٍ َ‫ع َْن ُم َعا ِذ ْب ِن أَن‬
‫َو َر َزقَنِي ِه ِم ْن َغي ِْر َحوْ ٍل ِمنِّي َواَل قُ َّو ٍة ُغفِ َر لَهُ َما تَقَ َّد َم ِم ْن َذ ْنبِ ِ—ه َو َما تَأ َ َّخ َر‬
       Dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,”Barangsiapa makan kemudian ia berdoa,’Segala puji bagi Allah Yang telah memberi
makanan ini kepadaku dan memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku,’ niscaya diampuni
dosanya yang telah lalu dan yang akan datang
·         Menghentikan makan dan minum sebelum sampai kenyang, hal ini semata-mata meneladani
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menghindarkan diri dari kekenyangan yang menyebabkan
sakit perut yang akut dan kerakusan dalam hal makan yang dapat menghilangkan kecerdasan.
·         Hendaknya menjilati jari-jemarinya sebelum dicuci tangannya, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫ط َعاما ً فَالَ يَ ْم َسحْ يَ َدهُ َحتَّى يَ ْل َعقَهَا أَوْ ي ُْل ِعقَهَا‬
َ ‫إِ َذا أَ َك َل أَ َح ُد ُك ْم‬.
                “Apabila salah seorang di antara kalian telah selesai makan, maka janganlah ia
mengusap tangannya hingga ia menjilatinya atau minta dijilatkan (kepada isterinya, anaknya).”
Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5456) dan Muslim (no. 2031 (129)
·         Menjilat Jari-Jari Setelah Makan, Menjilat Piring Dan Memakan Makanan Yang Terjatuh
Dalam Shahih Muslim dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bila makan suatu makanan beliau menjilat jari-jarinya yang tiga, beliau bersabda:
ِ َ‫ط َع ْنهَا ْاألَ َذى َو ْليَأْ ُك ْلهَا َوالَ يَ َد ْعهَا لِل َّش ْيط‬
"‫ان‬ ْ ‫ت لُ ْق َمةُ أَ َح ِد ُك ْم فَ ْليُ ِم‬
ْ َ‫"!إِ َذا َسقَط‬
“Apabila makanan salah seorang dari kalian jatuh, maka bersihkanlah kotoran darinya, kotoran
lalu makanlah dan janganlah membiarkannya untuk dimakan oleh syaitan!”
Dan beliau memerintahkan kami untuk membersihkan piring (dengan menghabiskan sisa-
sisa makanan yang ada), beliau bersabda:
"ُ‫فَإِنَّ ُك ْم الَ تَ ْدرُوْ نَ فِ ْي أَيِّ طَ َعا ِم ُك ُم ْالبَ َر َكة‬."
“Karena kalian tidak mengetahui di bagian makanan kalian yang manakah keberkahan itu
berada.” Shahih Muslim (III/1607) Kitaabul Asyribah bab Istihbaabu La’qil Ashaabi’a wal Qash’ah
wa Aklil Luqmatis Saaqithah ba’da Mas-hi ma Yushiibuha min Adzaa wa Karaahiyati Mas-hil
Yadd qabla La’qiha.
Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"ُ‫صابَ َعهُ فَإِنَّهُ الَ يَ ْد ِري فِي أَيَّتِ ِه َّن ْالبَ َر َكة‬
َ َ‫إِ َذا أَ َك َل أَ َح ُد ُك ْم فَ ْليَ ْل َع ْق أ‬."
“Apabila seseorang diantara kalian makan maka jilatlah jari-jarinya karena ia tidak
mengetahui di bagian jari yang manakah keberkahan itu berada.” Shahih Muslim (III/1607) pada
kitab dan bab yang sama.
Dan dalam riwayat lain dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu:
َ َ‫ق أ‬
"ُ‫صابِ َعه‬ َ ‫"!والَ يَ ْم َسحْ يَ َدهُ بِ ْال ِم ْن ِدي ِْل َحتَّى يَ ْل َع‬
َ
“Dan janganlah ia memersihkan tangannya dengan lap, hingga ia menjilat jari-jemarinya.” 
Shahih Muslim (III/1606) pada kitab dan bab yang sama.
Juga hadits-hadits lain yang semisalnya.
Hadits-hadits tersebut mengandung beberapa jenis Sunnah dalam makan yaitu, di antaranya
anjuran menjilat jari tangan untuk menjaga keberkahan makanan dan sekaligus membersihkannya,
juga anjuran menjilat piring dan makan makanan yang terjatuh setelah membersihkannya dari
kotoran yang ada. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (III/203-204), dengan sedikit perubahan.
Imam an-Nawawi berkata, saat menjelaskan maksud dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
"ُ‫ط َعا ِم ُك ُم ْالبَ َر َكة‬
َ ِّ‫الَ تَ ْدرُوْ نَ فِي أَي‬."
“Kalian tidak mengetahui di bagian makanan kalian yang manakah keberkahan itu berada.”
Beliau (Imam an-Nawawi) berkata, “Artinya adalah -wallaahu a’lam- bahwasanya makanan
yang disediakan oleh seseorang itu terdapat keberkahan di dalamnya, namun ia tidak mengetahui
ada di bagian manakah dari makanannya keberkahan tersebut, apakah pada apa yang telah
dimakannya atau ada pada yan tersisa di tangannya atau ada pada sisa-sisa makanan di atas piring
atau pada makanan yang jatuh, maka seyogyanya semua kemungkinan tersebut harus dijaga dan
diperhatikan agar mendapatkan keberkahan makanan, dan inti dari keberkahan adalah bertambah,
tetapnya suatu kebaikan dan menikmatinya, maksudnya adalah -wallaahu a’lam- apa yang ia
dapatkan dari makanan tersebut (untuk menghilangkan lapar), terhindar dari penyakit dan
menguatkan tubuh untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta hal lainnya.
Maka, perhatikanlah bahwa adab-adab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut
mengandung anjuran untuk memperoleh keberkahan makanan dan mendapatkannya, seperti juga
padanya terdapat penjagaan terhadap makanan agar tidak hilang percuma, yang membantu pada
penghematan harta dan pemakaiannya tanpa mubazir.

·         Hendaknya menjilati tangannya kemudian mengusapnya atau mencuci tangannya. Dan


mencuci tangan itu lebih utama dan lebih baik.

·         Memungut makanan yang jatuh ketika saat makan, sebagai bagian dari kesungguhannya
dalam menerapkan adab makan dan hal itu termasuk cerminan rasa syukurnya atas limpahan nikmat
yang ada.
·         Membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di sela-sela giginya, dan berkumur untuk
membersihkan mulutnya, karena dengan mulutnya itulah ia berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla
dan berbicara dengan teman-temannya.
·         Hendaknya memuji Allah Azza wa Jalla setelah selesai makan dan minum. Dan apabila
meminum susu, maka ucapkanlah do’a setelah meminumnya, yaitu:
ِ َ‫اَللّهُ َّم ب‬.
ُ‫ار ْك لَنَا فِ ْي َما َر َز ْقتَنَا َو ِز ْدنَا ِم ْنه‬
                “Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada kami pada apa-apa yang telah Engkau
rizkikan kepada kami dan tambahkanlah (rizki) kepada kami darinya.” Hasan: Diriwayatkan oleh
Abu Dawud (no. 3730), at-Tirmidzi (no. 3451) dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no.
286-287). Dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Shahiih Jami’ush
Shaghiir (no. 381). Lafazh ini terdapat dalam kitab Ihyaa’ ‘Uluumiddiin (II/6
            Jika berbuka puasa di rumah seseorang, hendaklah dia berdo’a:-editor
ُ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َمالَئِ َكة‬ َ ‫اَ ْفطَ َر ِع ْن َد ُك ُم الصَّائِ ُموْ نَ َوأَ َك َل طَ َعا َم ُك ُم ْاألَ ْب َرا ُر َو‬.
ْ َّ‫صل‬
                “Telah berbuka di rumahmu orang-orang yang berpuasa, telah makan makananmu
orang-orang baik dan semoga para Malaikat bershalawat (berdo’a) untukmu.” Shahih:
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3854) dan Ibnu Majah (no. 1747). Dishahihkan oleh al-Albani
dalam Shahiih Abi Dawud (II/703).
[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan
Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

ADAB MINUM
            Jauh sebelum manusia menemukan beragam minuman multivitamin penjaga stamina tubuh,
berabad silam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan teladan sempurna perihal
minum. Dalam paparan hadits dijelaskan, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menyukai
minuman yang dingin dan manis. Aisyah Radhiyallahu anha menuturkan.
ِ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْالح ُْل َو ْالب‬
‫ار َد‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِ ‫َكانَ أَ َحبُّ ال َّش َرا‬
ِ ‫ب إِلَى َرس‬
Minuman yang paling disukai Rasulullah ialah yang dingin dan manis.
            Penuturan Aisyah di atas memiliki beberapa ihtimal (kemungkinan). Bisa jadi, yang
dimaksud ialah air yang dicampur madu, rendaman kismis ataupun kurma, sebagaimana tercantum
dalam riwayat Muslim berikut.
َ ‫الس—قَا ِء فَيَ ْش— َربُهُ يَوْ َم— هُ َو ْالغَ— َد َوبَعْ— َد ْالغَ— ِد فَ—إ ِ َذا َك—انَ َم َس—ا ُء‬
ِّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يُ ْنبَ ُذ لَهُ ال َّزبِيبُ فِي‬
َ ِ ‫س قَا َل َكانَ َرسُو ُل هَّللا‬
ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعبَّا‬
ُ‫ض َل َش ْي ٌء أَهَ َراقَه‬
َ َ‫الثَّالِثَ ِة َش ِربَهُ َو َسقَاهُ فَإ ِ ْن ف‬
            Dari Ibnu Abbas Radhiyalahu 'anhu, ia berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah dibuatkan rendaman kismis dalam satu bejana, kemudian beliau minum rendaman tersebut
pada hari itu, juga esok harinya dan keesokannya harinya. Pada sore hari ketiga beliau memberi
minuman tersebut kepada yang lain, jika masih ada yang tersisa , beliaupun menuangnya.”
            Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan dalam kitab Zaaduul Ma’ad, jika dua sifat
dingin dan manis terhimpun dalam satu minuman, akan memberikan manfaat yang sangat besar
bagi tubuh, membantu proses pencernaan dan penyaluran saripati makanan dengan sempurna,
mencairkan dahak, mencuci dan membasmi bibit penyakit di lambung, menetralisir sisa-sisa
makanan , serta menstabilkan kehangatan lambung. Di samping itu juga sangat bermanfaat bagi
hati, ginjal dan kandung kemih.
            Lebih jauh lagi beliau menjelaskan, air dingin yang telah dienapkan memiliki kelembaban
yang mampu menetralisir panas tubuh, sekaligus menjaga kelembabannya, serta mengganti
sebagian zat yang telah terurai dari tubuh. Karena itulah Rasulullah amat menggemarinya,
sebagaimana tercantum dalam riwayat Bukhari,
ُ‫احبٌ لَ —ه‬ِ —‫ص‬ َ ُ‫ار َو َم َعه‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ار َر ُج ٍل ِمنَ اأْل َ ْن‬ ِ ‫ص‬َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َد َخ َل َعلَى َرج ٍُل ِمنَ اأْل َ ْن‬
َ ‫ي‬ َّ ِ‫ضي هَّللا ُ َع ْنهُ َما أَ َّن النَّب‬
ِ ‫ع َْن َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِدهَّللا ِ— َر‬
‫ك َما ٌء بَاتَ هَ ِذ ِه اللَّ ْيلَةَ فِي َشنَّ ٍة َوإِاَّل َك َر ْعنَا‬َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ ْن َكانَ ِع ْن َد‬
َ          ‫فَقَا َل لَهُ النَّبِ ُّي‬
                               Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam masuk ke rumah salah seorang laki-laki Anshar bersama seorang sahabatnya,
seraya berkata kepadanya,”Adakah engkau mempunyai air yang telah diinapkan dalam bejana
kulit? Jika tidak kami akan minum langsung dari mulut kami.”
                        Selain memberitahukan jenis minuman yang bermanfaat bagi tubuh kita, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberitahukan dan melarang kita mengkonsumsi semua jenis
minuman yang memabukkan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.
‫ًكلُّ ُم ْس ِك ٍر خَ ْم ٌر َو ُكلُّ خَ ْم ٍر َح َرا ٌم‬
                Semua yang memabukkan itu adalah khamr. Dan semua khamr hukum haram [HR.
Muslim no. 5185]
            Walaupun menurut sebagian orang khamr itu bermanfaat, akan tetapi bahaya yang
diakibatkan jauh lebih besar.
            Itulah diantara petunjuk-petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya.
Memerintahkan mereka untuk mengkonsumsi yang jelas halalnya dan bermanfaat serta melarang
selain itu.
            Disamping memberitahukan jenis minuman, Rasulullah juga memberikan tuntunan tentang
adab-adab minum serta hal lain yang berkaitan dengan minum. Diantaranya:
·      Minum dengan terlebih dahulu membaca Bismillah. Hal ini berdasarkan hadits yang
memerintahkan membaca bismillah sebelum makan. Sebagaimana tasmiyah (membaca bismillah)
di sunnahkan sebelum makan, maka demikian juga hal sebelum minum. (Syarah Shahih Muslim juz
13 hal. 189) Syaitan akan menjauhi makanan dan minuman yang dibacakan bismillah sebelum di
konsumsi.
·         Minum dengan tangan kanan dan tidak menggunakan tangan kiri. Rasulullah n bersabda.

‫ب فَ ْليَ ْش َربْ بِيَ ِم ْينِ ِ—ه فَإ ِ َّن ال َّش ْيطَانَ يَأْ ُك ُل بِ ِش َمالِ ِه َويَ ْش َربُ بِ ِش َمالِ ِه‬
َ ‫إِ َذا أَ َك َل أَ َح ُد ُك ْم فَ ْليَأْ ُكلْ بِيَ ِم ْينِ ِ—ه َوإِ َذا َش ِر‬
                Apabila salah seorang diantara kalian makan, maka hendaklah dia makan dengan
tangan kanannya dan apabila salah seorang diantara kalian minum maka hendaklah dia minum
dengan tangan kanannya, karena syaitan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan
kirinya. [HR. Muslim no. 5233]
‫الَ يَأْ ُكلَ َّن أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم بِ ِش َمالِ ِه َوالَيَ ْش َربَ َّن بِهَا فَإ ِ َّن ال َّش ْيطَانَ يَأْ ُك ُل بِ ِش َمالِ ِه َويَ ْش َربُ بِهَا‬
                Janganlah sekali-kali salah seseorang diantara kalian makan dengan tangan kirinya dan
jangan pula minum dengannya. Karena syaitan makan dengan minum dengan tangan kirinya. [HR.
Muslim no. 5236]
·      Minum dengan duduk, dan beliau melarang dengan tegas minum dalam keadaan berdiri.
                        Dari Abu Hurairah ia berkata Rasullah bersabda,
ْ‫اَل يَ ْش َربَ َّن أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم قَائِ ًما فَ َم ْن ن َِس َي فَ ْليَ ْستَقِئ‬
                Janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian minum dengan berdiri, jika lupa
hendaklah ia memuntahkannya.
            Adapun riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah pernah minum dengan berdiri
juga merupakan riwayat yang shahih. Namun begitu semua riwayat tersebut merupakan perbuatan
Rasulullah. Sedangkan perkataan beliau lebih didahulukan daripada perbuatan beliau. Kerena
perbuatan beliau terkadang menjelaskan, bahwa hal itu merupakan kekhususan bagi beliau. Wallahu
a’lam.[4]
            Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan makna larangan minum dalam keadaan
berdiri berkata, “Bahwa larangan yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut dibawa pengertiannya
kepada hukum makruh tanzih” [Syarah Shahih Muslim juz 13 hal. 192]
            Berdasarkan adab-adab diatas, kita bisa mengambil satu faidah yaitu bathilnya kebiasaan
yang disuguhkan musuh Islam berupa makan dan minum sambil berdiri, dengan menggunakan
tangan kiri.
·         Tidak bernafas di dalam gelas, dan dianjurkan untuk bernafas tiga kali ketika minum.
‫س فِي اإْل ِ نَا ِء أَوْ يُ ْنفَخَ فِي ِه‬
َ َّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَهَى أَ ْن يُتَنَف‬ َّ ِ‫س أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬ ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعبَّا‬
·         Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi melarang bernafas dalam bejana ataupun meniupnya.”
َ ِ ‫س أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكانَ يَتَنَفَّسُ فِي اإْل ِ نَا ِء ثَاَل ثًا‬ ٍ َ‫ع َْن أَن‬
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bernafas tiga kali ketika minum.
·         Tidak minum langsung dari mulut teko.
‫ب ِم ْن فَ ِم ْالقِرْ بَ ِة أَ ِو ال ِّسقَا ِء عن‬ َ ِ ‫أَبُو هُ َر ْي َرةَ نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬
ِ ْ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َع ِن ال ُّشر‬
            Dari Abu Hurairah ia berkata,”Rasulullah melarang minum lansung dari mulut teko ataupun
qirbah (wadah minum dari kulit).” [7]
·         Tidak minum dengan menggunakan bejana dari emas ataupun perak, karena adanya
larangan Rasulullah tentang hal tersebut.
ْ َ‫ض ٍة فَإِنَّ َما ي َُجرْ ِج ُر فِي ب‬
‫طنِ ِه نَارًا ِم ْن َجهَنَّ َم‬ َّ ِ‫ب أَوْ ف‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن َش ِر‬
ٍ َ‫ب فِي إِنَا ٍء ِم ْن َذه‬ ْ َ‫ع َْن أُ ِّم َسلَ َمةَ قَال‬
َ ِ ‫ت قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
            Dari Umu Salamah Radhiyallahu 'anha , ia berkata, Rasulullah bersabda,”Orang yang
minum menggunakan wadah emas atau perak, sesungguhnya ia ibarat menelan api neraka ke dalam
perutnya.” [8
·         Menutup bejana air pada malam hari, tidak membiarkannya terbuka.
ِ —‫َطوا اإْل ِ نَا َء َوأَوْ ُكوا ال ِّسقَا َء فَإ ِ َّن فِي ال َّسنَ ِة لَ ْيلَةً يَ ْن‬
‫—ز ُل فِيهَ——ا َوبَ——ا ٌء‬ ُّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل غ‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫ع َْن َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ قَا َل َس ِمع‬
َ ‫ْت َرس‬
‫ْس َعلَ ْي ِه ِو َكا ٌء إِاَّل نَ َز َل فِي ِه ِم ْن َذلِكَ ْال َوبَا ِء‬ َ ‫ْس َعلَ ْي ِه ِغطَا ٌء أَوْ ِسقَا ٍء لَي‬َ ‫اَل يَ ُمرُّ بِإِنَا ٍء لَي‬

                Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, aku mendengar Rasululah bersabda,” Tutuplah
bejana-bejana dan wadah air. Karena dalam satu tahun ada satu malam, ketika itu turun wabah,
tidaklah ia melewati bejana-bejana yang tak tertutup, ataupun wadah air yang tidak diikat
melainkan akan turun padanya bibit penyakit.”

Anda mungkin juga menyukai