Anda di halaman 1dari 4

Gejala Groupthink

 Ilusi akan ketidakrentanan – Sebuah keyakinan keliru yang menganggap bahwa “geng
motor” yang mereka bentuk adalah sebuah kelompok yang hebat yang ditakuti oleh
masyarakat.
 Keyakinan akan moralitas yang tertanam dalam kelompok – Mereka yang tergabung di
dalam “geng motor” menganggap bahwa tindakan criminal adalah sebuah pembenaran,
ketika mereka belum melakukan tindak kejahatan berarti mereka bukan anggota “geng
motor”
 Stereotipe kelompok luar – Mereka menganggap masyarakat atau korban dari aksi
mereka ini adalah kelompok lemah.
 Rasionalisasi Kolektif – Mereka akan memanfaatkan setiap celah korban, selagi mereka
bisa beraksi melakukan tindak kejahatan, mereka akan melakukan itu, tanpa memikirkan
dampak dari aksi tersebut.
 Tekanan untuk mencapai keseragaman – Dia yang tidak setuju dengan aksi kejahatan
akan cenderung diam, karena sudah terlanjur masuk ke dalam kelompok, apabila dia
bersuara menentang aksi yang akan dilakukan kelompoknya, kemungkinan dia akan
mendapat tekanan berupa dikucilkan atau bahkan dikeluarkan dari kelompok.
Antisipasi
 Melakukan control di dalam kelompok, mengembalikan lagi arti sebenarnya dari “geng
motor” itu adalah wadah untuk berkumpul pengendara motor saling sharing mengenai
motor bukan melakukan tindak kejahatan.
 Suarakan keraguan, apabila ada anggota “geng motor” yang merasa bahwa tindakan yang
mereka lakukan itu tidak baik atau berdampak buruk.
 Masyarakat yang merupakan objek tindak kejahatan harus lebih offensive, laporkan
ketika ada sesuatu kecurigaan agar polisi sebagai pihak yang berwenang bisa bertindak
dan memberikan efek jera kepada oknum-oknum “geng motor”

Dramaturgi kampanye #BlackLivesMatter


Akhir akhir ini public digemparkan dengan pemberitaan seorang pria kulit hitam bernama
George Floyd yang meninggal karena tindakan oknum polisi Minneapolis yang menahannya. Hal
ini menimbulkan reaksi keras dari masyarakat yang menentang rasisme. Para influencer media
social juga banyak yang memberikan tanggapan mengenai kasus ini. Ada yang berpartisipasi
secara langsung dengan ikut protes turun ke jalan, ada yang memposting foto hitam di Instagram
dan ada juga yang menyuarakan pendapatnya dengan tagar “BlackLivesMatter” di twitter. Hal
ini diikuti oleh pengikutnya, sehingga kasus dan #BlackLivesMatter trending di mana mana.
Hal ini tentu saja menjadi fenomena di public saat ini dan mari coba kita analisis
dengan teori dramaturgis.
Dalam teori dramaturgis, kehidupan social dilihat sebagai sebuah pertunjukan drama
dalam sebuah pentas, sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh
tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan. Dalam kasus ini, actornya
adalah para influencer media social. Dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan)
dan Back Stage (panggung belakang). Front stagenya adalah ketika influencer ikut menyuarakan
pendapatnya dan dilihat oleh banyak orang. Tiap influencer pasti mempunyai motif tertentu
melakukan hal ini. Bisa saja hal ini mereka lakukan untuk mencari atensi dari pengikut maupun
yang bukan pengikutnya agar nama mereka menjadi lebih besar dan “nilai diri”nya meningkat.
Namun ada juga yang memang benar paham akan kasus ini dan memanfaatkan massa yang
mereka punya untuk sama sama menentang rasisme. Sedangkan backstagenya adalah saat
dimana influencer menyiapkan apa yang ingin mereka sajikan, seperti mencari kebenaran kasus
agar tidak terjadi blunder lalu bagaimana mereka akan menyajikannya ke khalayak, dan lain lain.
Citra yang mereka bangun ini tentu akan mendatangkan dampak bagi diri mereka sendiri,
ada yang setuju, ada yang ikut menyuarakan opininya mengenai kasus ini, ada yang mencela
mungkin karena influencernya tidak cocok beropini demikian dan banyak respon lain dari
khalayak. Seseorang melakukan sesuatu pasti didasari oleh motif dan tujuan tertentu, ketika
tujuan itu berhasil mereka raih maka dapat dikatakan mereka sukses memainkan “peran”nya.

Dalam teori kelompok bungkam, kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah seperti wanita,
kaum miskin, dan orang kulit berwarna, harus belajar untuk bekerja dalam sistem komunikasi
yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan, jadi kelompok dominan di dalam teori
kelompok bungkam inilah yang mendominasi atau memegang kekuasaan. Contoh dalam
keseharian, teori kelompok bungkam ini sering terjadi ketika pemilihan pemimpin, di mana,
sebisa mungkin pemimpin itu adalah seorang pria bukan perempuan. Hal ini dapat terjadi karena
ada asumsi dominasi pria yang menyatakan bahwa pria lebih mendominasi dan memiliki
pengalaman yang lebih ketimbang perempuan. Contoh yang lain adalah prestasi tertinggi
perempuan itu adalah menikah. Meskipun perempuan memiliki gelar yang tinggi, itu tidak akan
bermanfaat dalam kehidupan rumah tangga, karena adanya asumsi bahwa tugas untuk mencari
nafkah adalah tugas seorang pria. Teori ini dalam kesehariannya saya terapkan yakni ketika ada
suatu pekerjaan yang berat dan kasar, maka sebagai seorang pria, sayalah yang harus
mengerjakannya, bukan perempuan. Meskipun si perempuan memiliki kemauan, tidak
sepantasnya seorang perempuan melakukan pekerjaan kasar tersebut.

a) Teori Agenda Setting – Saat ini banyak sekali pemberitaan mengenai kasus covid-19 di
media media, baik itu disiarkan melalui televisi ataupun dari media social. Hal ini
membuat masyarakat menerima informasi tersebut sebagai gambaran dari realitas yang
terjadi sesungguhnya meski sebenarnya mereka tidak mengalami langsung. Informasi ini
membuat masyarakat menyadari akan urgensi dari bahaya virus tersebut dan lebih peka
akan indikasi yang mengarah pada kasus itu. Buktinya masyarakat banyak yang lebih
peduli dengan kebersihan lingkungannya agar terhindar dari virus tersebut. Hal ini tentu
tidak terlepas dari informasi yang media beritakan secara terus menerus mengenai gejala
dan bagaimana mengantisipasinya. Namun ketika masyarakat menilai bahwa media
terlalu berlebihan memberitakan covid-19 ini, maka masyarakat memiliki kebebasan
untuk memilih apa yang ingin mereka terima ataupun tidak.
b) Teori Uses and Gratification – Teori ini mengatakan bahwa individu lebih aktif dalam
mencari apa yang diinginkan dalam media sehingga tercapai kepuasan yang mereka
inginkan. Uses and Gratifications menunjukan bahwa yang menjadi permasalahan utama
bukanlah bagaimana media mengubah sikap dan perilaku khalayak, tetapi bagaimana
media memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak. Hubungan dengan pemberitaan
covid-19 adalah kita bisa melihat bahwa hampir seluruh media itu memberitakan tentang
covid-19, mulai dari awal kemunculannya di China hingga saat ini wabah ini menyerang
Indonesia. Pemberitaan ini menjadi konsumsi masyarakat dimasa karantina, namun
dalam teori ini individu itu lebih aktif mencari informasi demi kepuasan individu itu
sendiri. Apalagi di era teknologi saat ini, di mana kita lebih gampang untuk mengakses
internet guna mendapatkan berita, sehingga kita bebas menyesuaikan media mana yang
kita pilih dan kebutuhan akan informasi seperti apa yang kita butuhkan.
c) Teori Spiral of Science - Teori ini mengungkapkan kelompok minoritas cenderung akan
diam atau tidak berani mengemukakan pendapatnya karena takut terisolasi. Mereka akan
mengikuti pendapat kelompok mayoritas. Sehingga kaum minoritas tenggelam dalam
kebungkamannya terhadap kaum mayoritas. Dalam pemberitaan covid-19, dari awal
kemunculannya banyak memunculkan teori konspirasi. Ada kelompok yang percaya
bahwa wabah ini adalah wabah yang sengaja dibuat untuk memusnahkan setengah
populasi dunia, ada yang mengatakan bahwa covid-19 ini bukan virus yang berbahaya
namun karena media terlalu membesar-besarkannya, semua orang jadi ketakutan
sehingga memunculkan banyak perdebatan mengenai kebenaran akan kasus ini. Contoh
lain adalah ketika new normal akan diberlakukan, ada yang setuju dan tidak, ada yang
menganggap bahwa jika new normal diberlakukan maka kemungkinan akan memakan
lebih banyak korban, namun ada yang setuju karena banyak yang menderita dari segi
ekonomi karena pandemic ini maka dengan diberlakukan new normal, usaha mereka bisa
kembali pulih. Sebenarnya, teori spiral keheningan telah terjadi di sini, ketika media
memberitakan covid-19, media pasti memilih opini mana yang paling mayoritas lalu
mengangkatnya ke public dan menjadi pandangan umum. Lalu bagaimana dengan opini
dari kaum minoritas? Tentu mereka memilih untuk diam, karena cenderung takut
terisolasi. Pandangan yang berbeda menjadi semakin bungkam dan kelompok minoritas
semakin tidak bersedia mengutarakan pendapatnya sehingga terbentuklah spiral
keheningan.

a) Teori Negosiasi Wajah – Dalam teori negosiasi wajah, wajah mengacu pada gambar diri
seseorang di hadapan orang lain. Wajah merupakan gambaran yang diinginkan seseorang
sebagai jati dirinya dalam sebuah situasi sosial. Dalam teori ini dikenal dengan yang
namanya facework atau mimik wajah. Contohnya etnis batak yang memiliki facework
seperti orang yang sedang marah walaupun sebenarnya ia sedang tidak marah namun
itulah pembawannya sebagai orang batak. Maka dari itu muncullah multifaced, di mana
wajah bermakna berbeda pada orang yang berbeda, bergantung pada budaya dan identitas
individu sendiri. Lalu, bagaimana saya menerapkan teori ini ketika berhadapan dengan
orang yang berbeda budaya? Contohnya kita akan cenderung menjaga image(face
concern) kita dengan lawan bicara yang berbeda budaya agar tidak menyinggung
perasaan lawan bicara.
b) Teori Akomodasi Komunikasi – Akomodasi adalah sebuah kemampuan untuk
menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang ketika merespons
komunikasi atau perilaku orang lain. Substansi dari teori akomodasi sebenarnya adalah
adaptasi, yaitu mengenai bagaimana seseorang menyesuaikan komunikasi mereka dengan
orang lain. Lalu, bagaimana saya menerapkan teori ini ketika berhadapan dengan orang
yang berbeda budaya? Contohnya saya sebagai orang batak yang dikenal dengan
pembawaannya yang keras maka ketika bertemu dengan orang sunda yang pembawannya
ramah, saya cenderung menyesuaikan cara berkomunikasi saya agar terjadi interaksi
komunikasi yang diinginkan.

Anda mungkin juga menyukai