Dosen Pembimbing :
Rita Yuniarti, Dr., S.E., M.M., Ak., C.A.
Disusun Oleh :
Bella Intan Sarah Soraya 1619103004
Meko Nanda Tejakesuma 1619103012
Dessy Novianti 1619103015
MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS WIDYATAMA
TAHUN 2019
BAB I
2. IDENTIFIKASI AKTIVITAS
Identifikasi aktivitas merupakan bagian penting dari proses Activity Based
Costing. Dalam tahap identifikasi aktivitas ini, aktivitas yang luas dapat dikelompokkan ke
dalam empat kategori aktivitas, yaitu:
a. Aktivitas-aktivitas Berlevel Unit
Aktivitas berlevel unit (unit-level activities) adalah aktivitas yang dikerjakan
setiap kali satu unit produk diproduksi, besar kecilnya aktivitas ini dipengaruhi oleh
jumlah unit produk yang diproduksi. Sebagai contoh tenaga langsung, jam mesin, dan
jam listrik (energi) digunakan setiap saat satu unit produk dihasilkan.
b. Aktivitas-aktivitas Berlevel Batch
Aktivitas-aktivitas berlevel batch adalah aktivitas yang dikerjakan setiap kali
suatu batch produk diproduksi, besar kecilnya aktivitas ini dipengaruhi oleh
jumlah batch produk yang diproduksi. Contoh aktivitas yang termasuk dalam
kelompok ini adalah aktivitas setup, aktivitas penjadwalan produksi, aktivitas
pengelolaan bahan (gerakan bahan dan order pembelian), aktivitas inspeksi.
c. Aktivitas-aktivitas Berlevel Produk
Aktivitas-aktivitas berlevel produk adalah aktivitas yang dikerjakan untuk
mendukung berbagai produk yang diproduksi oleh perusahaan. Aktivitas ini
mengkonsumsi masukan untuk mengembangkan produk atau memungkinkan produk
diproduksi dan dijual. Contoh aktivitas yang termasuk dalam kelompok ini adalah
aktivitas penelitian dan pengembangan produk, perekayasaan proses, spesifikasi
produk, perubahan perekayasaan, dan peningkatan produk.
d. Aktivitas Berlevel Fasilitas
Aktivitas berlevel fasilitas adalah meliputi aktivitas untuk menopang proses
pemanufakturan secara umum yang diperlukan untuk menyediakan fasilitas atau
kapasitas pabrik untuk memproduksi produk namun banyak sedikitnya aktivitas ini
tidak berhubungan dengan volume atau bauran produk yang diproduksi. Contoh
aktivitas ini mencakup misalnya : manajemen pabrik, pemeliharaan bangunan,
keamanan, pertamanan, penerangan pabrik, kebersihan, pajak bumi dan bangunan
(PBB), serta depresiasi pabrik.
3. Pengelompokkan aktivitas berdasarkan process, level dan driver
Berikut ini merupakan tiga tahap pengaplikasian sistem ABC berdasarkan langkah
petama.
Identifikasi biaya sumber daya untuk berbagai macam aktvitas dapat dilakukan
dengan cara membedakan aktivitas berdasar cara aktivitas mengkonsumsi sumber daya.
Dengan cara ini aktivitas dikelompokan menjadi lima level aktivitas sesuai dengan tingkatan
yang dilakukan aktivitas tersebut :
Perusahaan memiliki estimasi berikut dan data aktual untuk tahun mendatang.
Bervariasinya sumber daya yang diperlukan untuk memproduksi suatu produk, maka
perusahaan pun harus dapat menggunakan sumber daya tersebut dengan lebih efektif dan
efisien dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis. Perhitungan biaya produksi yang
dikeluarkan perusahaan untuk menghasilkan suatu produk pun haruslah akurat, sehingga
perusahaan dapat menentukan harga jual yang kompetitif di pasar global ini.
Manajemen sering kali mengabaikan perhitungan biaya produksi secara akurat yang
dapat mengakibatkan perusahaan tersebut tidak mampu bersaing di pasaran. Oleh karena itu,
manajer suatu perusahaan membutuhkan suatu informasi mengenai biaya-biaya yang harus
dikeluarkan untuk memproduksi suatu produk secara akurat. Pembebanan setiap biaya
produksi yang dikeluarkan untuk satu unit produk dengan suatu metoda dapat membantu
manajemen memperoleh informasi mengenai biaya produksi satu unit produk dengan lebih
akurat. Metoda ini didalam akuntansi manajemen dinamakan sebagai metoda Activity
Based Costing (ABC) System.
Metode Activity Based Costing (ABC) System menghitung setiap biaya pada masing-
masing aktivitas dengan dasar alokasi yang berbeda untuk masing-masing aktivitas. Banyak
perusahaan-perusahaan di Indonesia belum mengadopsi metode ini dalam penghitungan
biaya produksi yang dikeluarkan untuk setiap produk. Umumnya metode yang digunakan
oleh perusahaan yang berada di Indonesia adalah pemerataan biaya secara umum untuk
masing-masing produk. Padahal masing-masing produk tersebut kenyataannya tidak
menggunakan sumber daya dalam jumlah yang sama.
Metode manajemen biaya yang canggih seperti Activity Based Costing (ABC) banyak
diterapkan pada perusahaan – perusahaan dunia. ABC membantu perusahaan mengurangi
distorsi yang disebabkan oleh sistem penentuan harga pokok tradisional, sehingga dengan
ABC dapat diperoleh biaya produk yang lebih akurat. ABC menyediakan pandangan yang
jelas bagaimana perusahaan membedakan produk, jasa dan aktivitas yang memberikan
kontribusi dalam jangka panjang. Sistem ABC telah dikembangkan dan diimplementasikan
pada banyak perusahaan seperti Hewlett-Packard, General Electric, Merck,
AT&T, dan American Express.
Activity-Based Costing
Activity-Based Costing (ABC) adalah suatu sistem informasi akuntansi yang
mengidentifikasi berbagai aktivitas yang dikerjakan dalam suatu organisasi dan
mengumpulkan biaya dengan dasar dan sifat yang ada dan perluasan dari aktivitasnya. ABC
memfokuskan pada biaya yang melekat pada produk berdasarkan aktivitas untuk
memproduksi, mendistribusikan atau menunjang produk yang bersangkutan.
Sistem ABC timbul sebagai akibat dari kebutuhan manajemen akan informasi akuntansi yang
mampu mencerminkan konsumsi sumber daya dalam berbagai aktivitas untuk menghasilkan
produk secara akurat. Hal ini didorong oleh:
Persaingan global yang tajam yang memaksa perusahaan untuk cost effective
Advanced manufacturing technology yang menyebabkan proporsi biaya overhead
pabrik dalam product cost menjadi lebih tinggi dari primary cost.
Adanya strategi perusahaan yang menerapkan market driven strategy.
Cost Driver
Landasan penting untuk menghitung biaya berdasarkan aktivitas adalah dengan
mengidentifikasi pemicu biaya atau cost driver untuk setiap aktivitas. Pemahaman yang tidak
tepat atas pemicu akan mengakibatkan ketidaktepatan pada pengklasifikasian biaya, sehingga
menimbulkan dampak bagi manajemen dalam mengambil keputusan.
Jika perusahaan memiliki beberapa jenis produk maka biaya overhead yang terjadi
ditimbulkan secara bersamaan oleh seluruh produk. Hal ini menyebabkan jumlah overhead
yang ditimbulkan oleh masingmasing jenis produk harus diidentifikasi melalui cost driver.
Cost driver merupakan faktor yang dapat menerangkan konsumsi biaya-biaya
overhead. Faktor ini menunjukkan suatu penyebab utama tingkat aktifitas yang akan
menyebabkan biaya dalam aktifitas.
Ada dua jenis cost driver, yaitu:
- Cost Driver berdasarkan unit
Cost Driver berdasarkan unit membebankan biaya overhead pada produk melalui
penggunaan tarif overhead tunggal oleh seluruh departemen.
- Cost Driver berdasarkan non unit
Cost Driver berdasarkan non unit merupakan factor-faktor penyebab selain unit yang
menjelaskn konsumsi overhead. Contoh cost driver berdasarkan unit pada perusahaan jasa
adalah luas lantai, jumlah pasien, jumlah kamar yang tersedia. Aktivitas yang ada dalam
perusahaan sangat kompleks dan banyak jumlahnya. Oleh karena itu perlu pertimbangan
yang matang dalam menentukan pemicu biayanya atau cost driver.
Penentuan jumlah cost driver yang dibutuhkan
Penentuan banyaknya cost driver yang dibutuhkan berdasarkan pada keakuratan
laporan product cost yang diinginkan dan kompleksitas komposisi output perusahaan.
Semakin banyak cost driver yang digunakan, laporan biaya produksi semakin akurat. Dengan
kata lain semakin tinggi tingkat keakuratan yang diinginkan, semakin banyak cost
driver yang dibutuhkan.
Pemilihan cost driver yang tepat.
Dalam pemilihan cost driver yang tepat ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan:
Kemudahan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam pemilihan cost
driver (cost of measurement). Cost driver yang membutuhkan biaya pengukuran lebih
rendah akan dipilih.
Korelasi antara konsumsi aktivitas yang diterangkan oleh cost driver terpilih
dengan konsumsi aktivitas sesungguhnya 20 (degree of correlation). Cost driver yang
memiliki korelasi tinggi akan dipilih.
Perilaku yang disebabkan oleh cost driver terpilih (behavior effect). Cost
driver yang menyebabkan perilaku yang diinginkan yang akan dipilih.
4. Menghitung Tarif POOL
Cost Pool adalah kelompok biaya yang disebabkan oleh aktivitas yang bersama
dengan satu dasar pembebanan (cost driver). Cost pool digunakan untuk mempermudah
manajemen dalam membebankan biaya-biaya yang timbul. Cost pool berisi aktivitas yang
biayanya memiliki korelasi positif antara cost driver dengan biaya aktivitas. Tiap-
tiap cost pool menampung biaya-biaya dari transaksi-transaksi yang homogen. Semakin
tinggi tingkat kesamaan aktivitas yang dilaksanakan dalam perusahaan, semakin
sedikit cost pool yang dibutuhkan untuk membebankan biaya-biaya tersebut. Sistem biaya
yang menggunakan beberapa cost pool akan lebih menjelaskan hubungan sebab-akibat antara
biaya yang timbul dengan produk yang dihasilkan.
Cost pool berguna untuk menentukan cost pool rate yang merupakan tarif biaya
overhead pabrik per unit cost driver yang dihitung untuk setiap kelompok aktivitas. Tarif
kelompok dihitung dengan rumus total biaya overhead untuk kelompok aktivitas tertentu
dibagi dasar pengukuran aktivitas kelompok tersebut.
Cost driver atau pemicu biaya digunakan untuk membebankan biaya aktivitas kepada
output yang secara struktural berbeda dengan yang digunakan dalam sistem biaya
konvensional. Atau faktor-faktor penyebab yang menjelaskan konsumsi overhead.
Cost driver merupakan dasar yang digunakan untuk membebankan biaya yang
terkumpul pada cost pool kepada produk. Identifikasi cost driver adalah komponen yang
penting dalam pengendalian biaya tak bernilai tambah. Jika kinerja individual dipengaruhi
oleh kemampuannya untuk mengendalikan biaya tak bernilai tambah, maka
pemilihan cost driver dan bagaimana cost driver tersebut digunakan dapat mempengaruhi
perilaku para individu. Jika cost driver biaya untuk biaya setup yang dipilih adalah waktu
setup, maka insentif harus diciptakan bagi pekerja agar mereka dapat mengurangi
waktu setup.
Untuk menghitung biaya produksi atau harga pokok produksi (HPP) per unit barang
atau jasa, ada 2 komponen pokok yang perlu diperhitungkan yaitu:
Waktu (time) yang dimaksudkan di sini adalah bisa jam kerja pegawai atau mesin
produksi.
Perhatikan 3 hal yang termasuk dalam komponen waktu per jam tenaga kerja langsung, yaitu:
Ada 2 cara menghitung biaya bahan baku yang termasuk dalam komponen bahan per jam,
yaitu :
Dari 2 komponen tersebut, maka bisa dilakukan perhitungan biaya produksi per unit waktu,
misalnya per jam sebagai berikut:
Perhatikan contoh perhitungan biaya produksi per unit waktu dan bahan beriktu ini:
PT Sukses Penuh Keberkahan mengelola bisnis jasa peralatan armada truk. Marjin laba
perusahaan turun terus menerus selama beberapa tahun terakhir. Pengelola perusahaan telah
melakukan analisis sederhana bahwa tarif waktu dan bahan yang digunakan untuk
menentukan harga jual sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Perusahaan
menentukan target laba Rp. 2,5 per jam kerja pelayanan reparasi dan menentukan target laba
10% dari faktur bahan yang digunakan. Perusahaan mempertimbangkan untuk
mempertahankan persediaan dalam jumlah besar agar dapat memberi pelayanan reparasi ke
pelanggan dengan cepat. Biaya yang berhubungan dengan pekerjaan reparasi dan dengan
persediaan bahan periode sebelumnya adalah sebagai berikut:
Pertanyaannya adalah berapa besar biaya yang seharusnya dibebankan per jam kerja
pelayanan dan biaya bahan yang harus digunakan?
Berapa besar biaya yang seharusnya dibebankan ke suatu pekerjaan 2,5 jam dan bahan Rp
70?
Perhatikan cara penyelesaian contoh soal akuntansi biaya (cost accounting) – perhitungan
biaya produksi berikut ini:
#1. Biaya Langsung per Jam Kerja :
Dari perhitungan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa biaya pelayanan per jam adalah
sebagai berikut:
Contoh perhitungan biaya per unit
Bila suatu pekerjaan memerlukan pelayanan selama 2,5 jam dengan bahan yang digunakan
sebanyak Rp. 70, maka total biayanya adalah:
= (waktu pelayanan x biaya produksi per unit waktu)+(Biaya bahan+(bahan yang digunakan
x % total biaya bahan))
= (2,5 jam x Rp. 18,50) + (Rp. 70 + (Rp. 70 x 40%))
= Rp. 46,25 + Rp. 98 = Rp. 144,25
Melayani beragam kebutuhan pelanggan sambil menentukan harga item menu yang akan
dicapai tingkat profitabilitas yang memadai di restoran bergaya Tunisia "a` la carte".
Sebagian besar biaya model yang digunakan pada 1980-an dikembangkan jauh lebih awal di
abad ini pada saat tenaga kerja adalah faktor terpenting dalam produksi dan variasi produk
dan jasa terbatas (Douglas, 2005). Misalnya, dalam operasi restoran, operasi tidak
terdistribusi pengeluaran, seperti tenaga kerja dan biaya tetap, mewakili persentase besar dari
a struktur biaya total restoran (Bell, 2002). Biaya tetap ini sebagian besar diabaikan ketika
harga menu ditetapkan (Schmidgall, 1997). Jadi, penggunaan biaya informasi berdasarkan
“model biaya” tradisional mendistorsi fakta ekonomi dan mengarah ke pengambilan
keputusan yang tidak tepat dan tindakan yang tidak efektif (Douglas, 2005). Di restoran
industri, harga ditetapkan dengan membuat persentase biaya variabel, dengan intuisi, atau
oleh metode coba-coba (Raab et al., 2009). Seperti yang sering dilakukan manajer restoran
tidak tahu keuntungan sebenarnya dari berbagai item menu mereka (Raab dan Mayer, 2007;
Raab et al., 2010), manajer tidak lagi mampu menentukan harga berdasarkan menu mereka
menandai biaya produk variabel mereka. Mereka mungkin perlu menggunakan pendekatan
baru di untuk bertahan hidup dan berkembang. Suatu pendekatan yang dapat membantu
restoran untuk menganalisa mereka profitabilitas adalah biaya berdasarkan aktivitas (ABC)
(Raab dan Mayer, 2007). Peneliti merekomendasikan menggunakan ABC untuk mendukung
proses perbaikan (Turney, 1991) dan mengembangkan desain produk yang hemat biaya
(Cooper dan Turney, 1989). ABC juga disarankan sebagai alat yang tepat untuk memandu
dan mengarahkan proses perbaikan (Waeytens dan Bruggeman, 1994). Lebih lanjut,
kemanjuran ABC telah dikaitkan dengan kemampuannya untuk mencerminkan proses
produksi nyata (Turney, 1989); kuantifikasi penggunaan sumber daya (Turney, 1992);
pertimbangan dari saling ketergantungan antara kegiatan (McNair, 1990) dan pengaruhnya
terhadap manajer ' perilaku (Cooper dan Turney, 1989).
Meskipun, sistem ABC paling sering terkait dengan penggunaan oleh perusahaan
manufaktur, mereka dapat diterapkan ke semua jenis organisasi (Rotch, 1990; Tanju dan
Helmi, 1991), termasuk industri restoran (Cooper, 1989; Raab, 2003; Raab dan Mayer, 2007;
Vaughn et al., 2010). Dalam penelitiannya, Cooper (1989) mengusulkan menggunakan model
ABC dan Raab (2003) mengadaptasi model ini untuk restoran dan menunjukkan bahwa itu
adalah cara yang layak untuk mendapatkan wawasan terperinci ke dalam margin keuntungan
operasi dari masing-masing item menu. Dalam hal ini, restoran ABC model diuji di restoran
bergaya prasmanan di Hong Kong (Raab et al., 2004, tetapi Studi mengkonfirmasi bahwa
model restoran ABC (Raab, 2003) juga dapat diterapkan jenis restoran lainnya. Salah satu
masalah dengan penerapan pendekatan penetapan biaya berbasis aktivitas adalah kurangnya
keahlian dalam identifikasi dan analisis kegiatan (Ben Mzoughia dan Bejar-Ghadhab, 2004).
Selanjutnya, Reeve (1996) menegaskan bahwa manajer sering meninggalkan proses
penerapan ABC karena biaya penyebaran ABC tinggi. Roberts dan Silvester (1996)
mengaitkan ditinggalkannya implementasi ABC untuk kompleksitas pengumpulan data.
Boisvert (1998) mengusulkan pendekatan fungsional, ekonomi, dan multidisiplin berdasarkan
manajemen nilai (VM) dan mengadaptasinya untuk implementasi ABC. VM memungkinkan
suatu organisasi untuk mencapai kemajuan terbesar menuju sasaran yang dinyatakan dengan
menggunakan minimum sumber daya (Pedoman Manajemen Nilai, 2001). Studi saat ini
berupaya menentukan apakah penerapan pendekatan ABC digabungkan dengan pendekatan
VM (ABC / VM) dapat membantu menganalisis profitabilitas restoran "a` la carte".
Melihat produk, yang dalam kasus restoran adalah makanan yang ditawarkan, dan
kegiatan restoran seperti melayani pelanggan, membersihkan restoran, dll. Makalah ini
mengusulkan model ABC / VM, yang menggabungkan pendekatan ABC dan VM dan
memungkinkan manajer untuk mengambil nilai terbaik menggunakan kepuasan pelanggan
dan biaya produk. Pertama, gambaran umum konsep ABC dan VM disajikan. Kedua, tiga
fase model ABC / VM dikembangkan. Akhirnya, kertas menyajikan studi kasus restoran
untuk menggambarkan bagaimana model ABC / VM dapat meningkat keputusan bisnis.
BAB III
Tinjauan Literatur
Dalam literatur akuntansi manajemen, terdapat konsensus bahwa semua perusahaan
menghadapi situasi pengambilan keputusan yang heterogen. Informasi akuntansi dihasilkan
dalam konteks akuntansi tertentu untuk mendukung proses pengambilan keputusan
(Hopwood, 1996). Anderson (2005) menganggap manajemen biaya strategis sebagai
pengambilan keputusan yang disengaja yang bertujuan untuk menyelaraskan struktur biaya
perusahaan dengan strategi dan mengevaluasi efisiensi organisasi dalam menyampaikan
strategi. Dia menyatakan bahwa manajemen biaya strategis terdiri dari dua aspek: biaya
struktural manajemen yang berfokus pada pembentukan struktur biaya yang kompetitif dan
bersifat eksekutif manajemen biaya yang berfokus pada pelaksanaan strategi yang hemat
biaya. Namun, kedua bentuk manajemen biaya strategis fokus pada peningkatan kinerja dari
hanya perspektif perusahaan, mengabaikan pentingnya peningkatan nilai co-creation
perusahaan dan pelanggan (Gersch et al., 2010). Anderson (2005) mengklaim itu manajemen
akuntansi penelitian hampir mengabaikan biaya pengelolaan dalam porsi rantai nilai yang
menghubungkan perusahaan dengan pelanggan akhir
Literatur riset akuntansi manajemen juga hanya mencurahkan perhatian terbatas untuk
profitabilitas pelanggan (Foster dan Gupta, 1994; Guilding et al., 2001). Berdasarkan literatur
pemasaran, kami menganggap bahwa peran utama dari profitabilitas pelanggan penilaian
adalah untuk memberikan informasi yang membantu manajer dalam pengambilan keputusan
mereka alih-alih mengurangi masalah divergensi tujuan (Davila dan Wouters, 2006).
Manajer memerlukan informasi tertentu untuk meningkatkan efisiensi manajemen.
Mereka juga butuh jawaban untuk dua pertanyaan yang sangat penting: apa saja sumber
keuntungannya? dan bagaimana kinerja terbaik ditingkatkan (Blagoje dan Ljilja, 1999)?
Manajer tidak dapat membuat keputusan yang andal tanpa informasi biaya lengkap, yang
menekankan kebutuhan untuk menghitung biaya berbasis aktivitas untuk setiap produk.
Noone and Griffin (1997)
mengeksplorasi teknik biaya potensial untuk aplikasi analisis profitabilitas pelanggan
dan mengusulkan penetapan biaya berbasis aktivitas sebagai metode penetapan biaya yang
tepat dan efektif untuk berlaku dalam analisis profitabilitas pelanggan. Pendekatan ABC
memperlakukan pelanggan sebagai objek analisis biaya, sejajar dengan analisis "biaya
kepemilikan" untuk pemasok (Niraj et al., 2001; Narayanan dan Sarkar, 2002; Anderson,
2005). Penekanannya adalah pada mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang perilaku
biaya tidak langsung dan dengan demikian menemukan apa menimbulkan biaya overhead,
mengubah seiring waktu langkah-langkah rantai nilai. ABC literatur mendefinisikan suatu
kegiatan sebagai tugas diskrit yang dilakukan organisasi menjadikan atau mengirimkan
produk atau layanan dan pendorong biaya sebagai faktor yang menyebabkan atau mendorong
biaya suatu kegiatan (Ittner, 1999). Dengan demikian, sistem ABC dirancang dan diterapkan
pada premis bahwa produk mengkonsumsi aktivitas, aktivitas mengkonsumsi sumber daya,
dan sumber daya menghabiskan biaya (Sprow, 1992)
Namun, implementasi penetapan biaya berbasis aktivitas sering disertai oleh banyak
masalah (Sartorius dan Eitzen, 2007; Cohen et al., 2005). Cohen et al. (2005) pertimbangkan
itu, dalam memilih, merancang, dan memelihara model ABC yang optimal (Ploughman,
2005), ketidakpedulian manajemen puncak dan / atau resistensi dari karyawan dan
manajemen dan sifat kompleks ABC adalah di antara kesulitan utama saat menerapkan ABC
Penetapan biaya berdasarkan aktivitas ditambah dengan manajemen nilai adalah
upaya untuk menghadapinya masalah-masalah ini. Ini dapat membantu menentukan produk
atau layanan mana yang menguntungkan, pelanggan mana yang paling berharga, apakah
proses itu nilai tambah atau tidak, dan di mana upaya perbaikan harus dilakukan. Manajemen
nilai dikandung selama 1940-an ketika, karena sumber daya yang tersedia lebih sedikit untuk
upaya non-perang, General Electric merancang konsep di mana menurunkan input biaya
melalui kreatif berpikir menghasilkan produk dengan fungsi yang sama (Male et al., 2007).
Hari ini, VM berkaitan dengan peningkatan manfaat dan penurunan biaya, dan didefinisikan
sebagai struktur terbuka resmi yang berfokus pada menghilangkan penyebab biaya yang tidak
perlu, dengan demikian memberikan solusi terbaik, serta berpotensi mengungkap masalah
yang tidak terduga (Koga, 2000). Model manajemen nilai (VM) adalah terstruktur, proses
sistematis, dan analitis yang berupaya untuk mencapai semua fungsi yang diperlukan di total
biaya terendah konsisten dengan tingkat kualitas dan kinerja yang diperlukan (Nilai Pedoman
Manajemen, 2001). VM bertujuan untuk memaksimalkan kinerja keseluruhan suatu
organisasi (EN 1325-1, 1996). Ini juga dianggap sebagai cara yang efektif bagi perusahaan
mengelola layanan mereka. VM didasarkan pada prinsip-prinsip dasar: manajemen oleh
tujuan (konsep fungsi), menemukan solusi optimal, perampingan seleksi melalui indikator,
perpaduan keterampilan dengan kerja tim, komunikasi silang, dan pengembangan orang dan
kelompok. VM juga peduli dengan peningkatan dan mempertahankan keseimbangan yang
diinginkan antara kebutuhan para pemangku kepentingan dan sumber daya yang dibutuhkan
untuk memuaskan mereka. Penilaian nilai pemangku kepentingan bervariasi dan VM
merekonsiliasi prioritas yang berbeda untuk memberikan nilai terbaik bagi semua pemangku
kepentingan. Manajemen nilai membutuhkan pemikiran inovatif dan praktik terbaik di semua
tingkatan organisasi (Knox, 2002), kompetensi inti yang berharga (Walter dan Jones, 2001),
misi, strategi, dan sistem (Dummond, 2000, dan budaya perusahaan yang mendukung yang
berfokus pada kebutuhan pelanggan yang diungkapkan dan laten (Mittal dan Sheth, 2001;
Narver et al., 2004; Paulin et al., 2006; Weinstein dan Pohlman, 1998; Walter dan Jones,
2001). Bahkan, VM memungkinkan tujuan organisasi untuk dicapai. Analisis fungsional
(Norma franc¸aise: NF X 50-100, 1996; EN 1325-1, 1996) dan sistem analisis fungsi teknik
(FAST) (Bejar, 2003a, b) merupakan inti dari pendekatan VM. Fungsional analisis
memungkinkan identifikasi atribut yang diharapkan oleh pelanggan (Miles, 1989; Moriceau,
2000; Norma franc¸aise NF X 50-100) serta kinerja organisasi atribut-atribut ini. Ini adalah
klarifikasi semantik dalam konteks layanan definisi setiap layanan. "Teknik Sistem Analisis
Fungsi" juga merupakan analisis penting alat. Ini digunakan untuk memperjelas hubungan
antara fungsi yang diharapkan oleh pelanggan dan kegiatan dan tugas yang dikembangkan
oleh organisasi yang dilayaninya (Bejar, 2003a, b). Saya t menjelaskan item atau sistem yang
sedang dipelajari dan memungkinkan tim untuk memikirkan fungsi yang dilakukan item atau
sistem. FAST juga dapat menjelajahi jalan inovatif untuk menjalankan fungsi. Mengenai
metodologi penetapan Biaya Berbasis Aktivitas, itu mengarah ke memfasilitasi identifikasi
pendorong biaya dan mengidentifikasi fungsi biaya tinggi sehingga untuk mengeksplorasi
perbaikan (Kenney, 2001). Diagram FAST juga memungkinkan manajer untuk fokus pada
fungsi-fungsi penting untuk memenuhi persyaratan produk dan mengidentifikasi tinggi fungsi
biaya untuk mengeksplorasi peningkatan. Ini juga dapat digunakan untuk mengembangkan
kriteria secara berurutan untuk mempertahankan tingkat kualitas layanan yang tinggi dan
meningkatkan layanan. Kriteria ini memungkinkan seseorang untuk mengukur kepuasan
pelanggan. Penelitian menggunakan analisis fungsional internal dan eksternal dan FAST
diagram untuk mengidentifikasi aktivitas restoran untuk menentukan biaya produk
Kerangka konseptual
Model untuk menerapkan pendekatan ABC di restoran menggunakan VM, yang
menggabungkan keuntungan dan kepuasan pelanggan. Model yang dikembangkan, terdiri
dari tiga fase penting: (1) fungsi dan aktivitas perusahaan; (2) evaluasi biaya; dan (3) analisis
dan peningkatan.
Metodology
Dalam penelitian ini, studi kasus digunakan untuk menunjukkan apakah
menggunakan VM, bersama-sama dengan ABC untuk analisis menu, memberikan wawasan
baru tentang keuntungan dan nilai menu yang sebenarnya. Menurut Yin (2003), studi kasus
mendukung teori dan cocok untuk memeriksa pertanyaan "bagaimana" dan "mengapa" (Yin,
2003). Studi kasus ini dilakukan di restoran Tunisia "a` la carte", " Pasar Ikan ”, yang
memiliki sepuluh karyawan. Tingkat hunian restoran ini adalah 60 persen. Untuk menghitung
biaya menu per item
Gambar 2.
(1) informasi dasar tentang pelanggan - yaitu nama, kebangsaan, pekerjaan, usia; dan
(2) elemen berkenaan dengan kriteria yang berbeda yang diidentifikasi. Kuesioner dibagikan
pada bulan September 2009. Mereka dibagikan kepada 100 pelanggan yang mengunjungi
restoran dan mengonsumsi produk-produk tersebut. Sebanyak 67 kuesioner menjawab
diterima. Kepuasan pelanggan diukur menggunakan skala lima poin, mulai dari 1 ("tidak
puas") hingga 5 ("sangat puas"). Kami kemudian menghitung persentase kepuasan pelanggan.
Hasil studi kasus :
Pada bagian ini, kami menjelaskan hasil penelitian yang dilakukan dalam ruang lingkup
penelitian ini.
Tabel I menyediakan 11 produk atau objek biaya yang diidentifikasi (Dari P1 hingga
P11). Melihat pengalaman keseluruhan pelanggan mulai dari reservasi hingga check out,
analisis fungsional memberikan delapan fungsi layanan kepada manajemen:
Tabel II memberikan gambaran umum dari kegiatan yang terlibat dalam produk,
salade de chevrettes aux fenouils, menunjukkan sumber daya yang digunakan, tarif biaya
gabungan, dan biaya untuk setiap kegiatan. Kami melakukan hal yang sama untuk sepuluh
item lainnya pada menu untuk menganalisis laba dan nilai rata-rata menu. Untuk membantu
manajer membuat keputusan tentang perubahan potensial dan untuk mengarahkan dan
memprioritaskan proyek perbaikan, kami membuat diagram berikut (Wa / Ca) (Gambar 3).
Biaya kegiatan dapat diperhitungkan sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan dan
sebagai upaya memotivasi untuk mengurangi atau menghilangkan kegiatan yang tidak
bernilai tambah. Analisis ini memungkinkan manajer untuk dengan mudah mengidentifikasi
kegiatan mahal yang akan membantu manajer dalam mengidentifikasi tindakan yang perlu
diambil untuk mengurangi
Biaya melayani pelanggan (Dalci, 2010). Dari sudut pandang organisasi restoran
(Wa / Ca), tiga kegiatan, yaitu kegiatan produksi (A2), kegiatan dukungan produksi (A3), dan
kegiatan restoran (A8), mengonsumsi sekitar 80 persen dari sumber daya yang dialokasikan.
Kegiatan yang berkaitan dengan produksi adalah yang paling mahal, mewakili 39 persen dari
total biaya produk. Diagram Pareto menggambarkan bagaimana konsumsi energi secara
keseluruhan (listrik, gas, dan air) berjumlah sekitar 80 persen dari sumber daya yang
dialokasikan untuk layanan restoran (Gambar 4). Aset terpenting dari organisasi restoran
adalah berinvestasi pada karyawan
Kinerja sebagai strategi utama untuk sukses. Di restoran ini, grup manajemen, yang
terdiri dari orang-orang dari berbagai disiplin ilmu, melihat hasil berbeda yang disajikan di
atas dan berfokus pada yang berikut:
Tabel 1
Menu item
Tabel II.
Detail ABC produk salade de chevrettes aux fenouils (biaya 13 piring salades de
chevrettes aux fenouils)
Catatan: Semua biaya yang ditunjukkan adalah untuk bulan September 2009 di TD (Tunisia
Dinar); Item Biaya ABC dari salade de chevrettes aux fenouils - Detail perhitungan: Berat:
data: ditentukan oleh sudut pandang manajemen dan tujuan awal perusahaan; Sumber daya
yang digunakan: data; Tarif kumpulan biaya: data; Total biaya ¼ sumber daya yang
digunakan (kuantitas) * biaya pool pool; % dari biaya aktivitas ¼ biaya aktivitas / (jumlah
dari biaya aktivitas)
Table III
ABC/VM menu
Catatan: Biaya item ABC, harga barang, laba operasi, dan laba total dalam TD; Rincian
perhitungan: Konsumsi rata-rata: data; Biaya item ABC: data; Harga barang: data; Laba
Operasi ¼ harga barang-barang biaya ABC; Total laba ¼ laba operasi * rata-rata konsumsi;
Kepuasan pelanggan ¼ data
Gambar 3.
atribut seperti hiburan, kualitas layanan, dan akhirnya mengubah persepsi pelanggan tentang
harga.
Manajemen Nilai dan Hasil Penentuan Biaya berdasarkan Aktivitas: biaya produk dan
analisis kepuasan pelanggan
Tabel III menampilkan biaya ABC dari berbagai produk yang diusulkan pada menu.
Persentase konsumsi setiap item dalam menu dihitung oleh manajer restoran selama periode
penelitian ini (jumlah yang dikonsumsi setiap produk / total konsumsi jumlah semua produk),
yang secara total harus sama dengan 100 persen. Laba operasi dihitung dengan mengurangi
biaya ABC setiap item dari harga item. Total laba dari setiap item menu dihitung dengan
mengalikan laba operasi dengan rata-rata konsumsi. Sebagai hasil dari informasi ini, biaya
operasi dan total laba untuk setiap produk ditetapkan. Jika kami mempertimbangkan semua
item menu selama periode penelitian, kami menyimpulkan bahwa restoran kehilangan 1,01
TD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua item menampilkan laba operasi positif
kecuali untuk lima item menu: salade de seiches aux olives, sarden grille´es, plat me´rou,
royal crevettes plat, dan penyelam plat poissons. Selanjutnya, laba operasi rata-rata 0,01 TD
dihitung dengan membagi total laba operasi dengan jumlah item pada menu (20,13 TD / 11).
Angka rata-rata ini kemudian dapat dibandingkan dengan laba operasi setiap item,
yang memungkinkan setiap item diklasifikasi dengan rata-rata. Atas dasar ini, tiga item (plat
me'rou, royal crevette plat, dan penyelam poats plat), yang mewakili hidangan utama,
menunjukkan profitabilitas negatif terbesar dan paling banyak dikonsumsi oleh pelanggan.
Hanya menggunakan hasil ABC, manajer bisa membuat kesalahan jika mereka
memutuskan untuk mengurangi biaya atau menaikkan harga tanpa mempertimbangkan sudut
pandang pelanggan. Untuk meningkatkan pengambilan keputusan dan untuk menghindari
risiko ini, kami menyarankan agar manajer harus mempertimbangkan, secara simultan, sudut
pandang pelanggan dan profitabilitas. Untuk ini tujuan, kami mengembangkan alat visual
(diagram CS / P: Gambar 2) menyajikan kedua sudut pandang ini. Bekerja sama dengan
manajer restoran, kami menetapkan 80 persen sebagai target untuk kepuasan pelanggan.
Untuk profitabilitas, para manajer menetapkan nol sebagai batas ekstrim. Kedua batas ini
membagi diagram menjadi empat zona yang terkait dengan tiga jenis keputusan (1 - Tolak
Ukur, 2 - Perbaikan dan / atau Inovasi, dan 3 - Inovasi).
Zona Inovasi berisi produk yang tidak memuaskan pelanggan dan tidak
menguntungkan. Manajer harus menerapkan cara-cara inovatif untuk mengurangi biaya
produksi dan meningkatkan kepuasan pelanggan. Mereka harus memahami apa yang
mendorong pilihan para tamu. Pendekatan inovasi terbuka dapat bermanfaat untuk
memastikan peningkatan berkelanjutan. Dalam kasus kami, tindakan inovatif harus
diterapkan mengenai tiga produk (sarden grille´e, plat poisson me´rou, dan royalti plat
crevette) pada menu.
Dua zona diagram CS / P menyangkut peningkatan dan atau keputusan inovatif: zona
pertama berisi produk yang ditandai dengan profitabilitas rendah dan kepuasan pelanggan
yang tinggi. Zona kedua menyusun kembali produk-produk yang memiliki profitabilitas
tinggi dan kepuasan pelanggan yang rendah. Dalam penelitian kami ditemukan bahwa empat
item, (salade de seiche aux zaitun, penyelam plat poiss, poˆ ele de calamar aux legume, dan
salade de calamar aux tomate), harus ditingkatkan.
Produk-produknya, salade de seiche aux zaitun dan penyelam plat poisson, harganya
mahal tapi dihargai oleh pelanggan. Jadi manajer harus menganalisis struktur biaya dan
menemukan cara untuk mengurangi biaya. Benchmarking yang diterapkan memberi
alternatif, yang bisa diadopsi.
Kesimpulan
Dalam penelitian ini, kami menunjukkan bahwa sistem penetapan biaya berbasis
aktivitas yang digabungkan dengan manajemen nilai berhasil diadaptasi ke restoran “a` la
carte” di Tunisia. Model yang diusulkan memungkinkan kami untuk menentukan biaya dan
menganalisis kepuasan pelanggan dari setiap item pada menu yang diusulkan. Proses ini
menghasilkan penetapan biaya berbagai aktivitas yang terlibat dalam semua item menu.
Penelitian ini mampu menghitung pendapatan yang dihasilkan oleh berbagai produk yang
diusulkan dan memberikan nilai produk untuk item menu dengan menghitung margin laba
operasi dan kepuasan pelanggan dengan produk yang berbeda. Studi ini mengkonfirmasi
kesimpulan Raab dan Mayer (2007) bahwa penggunaan ABC adalah pendekatan yang layak
untuk penetapan biaya produk di restoran.
Di antara keterbatasan penelitian ini adalah sifatnya yang eksploratif, jumlah sampel
yang digunakan (hanya satu restoran di Tunisia), periode penerapan model ABC / VM (hanya
satu bulan), jumlah kuesioner yang didistribusikan, dan jumlah respons (hanya 67
tanggapan). Manajemen juga harus menghitung biaya ABC untuk bulan-bulan lain untuk
menentukan semua alasan untuk keseluruhan margin laba negatif. Selain itu, manajemen
harus melakukan analisis sensitivitas harga untuk mempelajari tentang pola elastisitas harga
menu (Raab dan Mayer, 2007). Namun demikian, terlepas dari keterbatasan ini, penelitian
menunjukkan bahwa ABC / VM dapat mengembangkan produk hemat biaya dan
mengarahkan manajer ke peningkatan dengan mengukur nilai. Telah disarankan sebagai alat
yang tepat untuk memandu dan mengarahkan proses pengambilan keputusan.