Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENDAHULUAN

TB PARU

A. Konsep Dasar Medik

1. Defenisi Tuberculosis Paru

Menurut Tabrani (2010) Tuberkulosis paru adalah penyakit yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang

dapat hidup terutama di paru atau di berbagai korban tubuh yang lainnya

yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini juga

mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membran selnya sehingga

menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan pertumbuhan

dari kumannya berlangsung dengan lambat. Bakteri ini tidak tahan

terhadap ultraviolet, karena itu penularannya terutama terjadi pada malam

hari.

Menurut Alsagaff & Abdul Mukty (2010) Tuberkulosis paru adalah

suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mikobakterium

Tuberkulosis. Tuberculosis paru merupakan salah satu penyakit saluran

pernapasan bagian bawah. Di Indonesia, penyakit ini merupakan penyakit

infeksi terpenting setelah eradikasi penyakit malaria. Sebagian besar basil

Mikobakterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui

airborne infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai

focus primer dari Ghon. Pada stadium permulaan, setelah pembentukan

focus primer, akan terjadi beberapa kemungkinan yaitu penyebaran

bronkogen, limfogen, dan hematogen. Keadaan ini hanya berlangsung

8
beberapa saat. Penyebaran akan berhenti bila jumlah kuman yang masuk

dan telah terbentuk daya tahan tubuh yang spesifik terhadap basil

tuberculosis. Tetapi bila jumlah basil tuberculosis yang masuk ke dalam

saluran pernapasan cukup banyak, maka akan terjadi tuberculosis milier

atau tuberculosis meningitis.

Menurut Kementerian Kesehatan RI tahun 2015, TB adalah penyakit

infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar

kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh

lainnya. Penyakit ini menyebar dan ditularkan melalui udara ketika orang

yang terinfeksi TB paru batuk, bersin, berbicara atau meludah. Selain

Malaria dan AIDS, Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular

yang masih menjadi masalah sangat serius di masyarakat. TB merupakan

salah satu jenis penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, dan

menjadi salah satu prioritas dalam program pencegahan dan

pemberantasan penyakit menular (Wibowo, 2014).

Tuberculosis Paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang

paru-paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma (tumor

kecil) dan menimbulkan nekrosi jaringan (kematian jaringan). Penyakit ini

bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain yang

disebabkan oleh kuman (Manurung dkk,2015).

Berdasarkan pengertian di atas penulis menarik kesimpulan bahwa

tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil

9
mikrobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran

pernafasan bagian bawah.

2. Etiologi Tuberculosis Paru

Menurut Wim de Jong et al 2005 (dikutip dalam Nurarif & Hardhi

Kusuma, 2015). Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium

tuberculosis. Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan

pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Ada dua macam

mikobakteria tuberculosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe

bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberculosis usus.

Basil tipe human bias berada di bercak ludah (droplet) di udara yang

berasal dari penderita TBC terbuka dan orang yang rentan terinfeksi TBC

ini bila menghirup bercak ini. Perjalanan TBC setelah infeksi melalui

udara.

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya

(Kemenkes, 2011). Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus

yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula

Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari

langsung,tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap

dan lembab.Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama

selama beberapa tahun (Kemenkes RI, 2014).

10
3. Manifestasi Klinis Tuberculosis Paru

Berdasarkan Depkes (2000) dalam Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis, gejala umum TB Paru adalah batuk lebih

dari 4 minggu dengan atau tanpa sputum, malaise, gejala flu, demam

ringan, nyeri dada, batuk darah. Pada stadium awal penyakit TB Paru tidak

menunjukan tanda dan gejala yang spesifik. Namun seiring dengan

perjalanan penyakit akan menambah kerusakan jaringan paru, sehingga

dapat meningkatkan produksi sputum yang ditunjukkan dengan seringnya

penderita batuk sebagai bentuk kompensasi pengeluaran dahak. Selain itu,

penderita dapat merasa letih, lemah, dan di tandai dengan berkeringat pada

malam hari tanpa melakukan aktivitas dan mengalami penurunan berat

badan yang berarti. (Manurung dkk, 2015).

Manifestasi klinis lain dari penyakit Tuberculosis Paru antara lain

sebagai berikut :

a. Sistemik : malaise, anoreksia, berat badan menurun, dan keluar

keringat malam.

b. Akut : demam tinggi, seperti flu dan menggigil.

c. Milier : demam akut, sesak napas, dan sianosis (kulit kuning).

d. Respiratorik : batuk lama lebih dari dua minggu, sputum yang mukoid

atau mukopurulen, nyeri dada, batuk darah, dan gejala lain. Bila ada

tanda-tanda penyebaran ke organ lain, seperti pleura, akan terjadi nyeri

pleura, sesak napas ataupun gejala meningeal (nyeri kepala, kaku

kuduk, dan lain sebagainya) (Ardiansyah, 2012).

11
4. Patofisiologi Tuberculosis Paru

Port Desentri kuman Mycobacterium tuberculosis adalah saluran

pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan

infeksi terjadi melalui udara, (air bone), yaitu melalui inhalasi droplet

yang mengandung kuman – kuman basil tuberkel yang terinfeksi.

Basil tuberkel yang mencapai Alveolus dan diinhalasi biasanya

terdiri atas satu sampai tiga gumpalan. Basil yang lebih besar cenderung

bertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus, sehingga tidak

menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, kuman akan

mulai mengakibatkan peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak

memfagosit bakteri di tempat ini, namun tidak membunuh organisme

tersebut.

Sesudah hari pertama, maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli

yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia

akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga

tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat berjalan terus dan bakteri

terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar

melalui getah bening menuju getah bening regional. Makrofag yang

mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu,

sehingga membentuk sel tuberkel epitoloit yang dikelilingi oleh foist.

Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20 jam (Ardiansyah, 2012).

12
5. Penularan Tuberculosis Paru

Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif. Pada waktu

batuk dan bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat

bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat

terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan.

Setelah kuman TBC masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan,

kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya

(Kemenkes RI, 2014).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya

kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil

pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil

pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut

dianggap tidak menular (Kemenkes RI, 2014).

6. Resiko Penularan Tuberculosis Paru

Resiko tertular tergantung dari tingkat pejanan dengan percikan

dahak. Penderita TB Paru dengan BTA positif memberikan risiko

penularan lebih besar dari penderita BTA negatif. Faktor yang

memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi TB Paru adalah daya tahan

tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi

buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi

TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem

daya tahan tubuh sesuler (celluler immunity), sehingga jika terjadi infeksi

13
penyerta (oportunistic), seperti Tuberkulosis, maka yang bersangkutan

akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Jika

jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB Paru

akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan

meningkat pula (Kemenkes RI, 2010).

7. Penemuan Pasien TB dan Diagnosis TB

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan terduga pasien,

diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien (Kemenkes,

2014). Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan

sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan

adanya tenaga kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan

terhadap gejala dan keluhan tersebut.

Penemuan pasien TB merupakan langkah pertama dalam

tatalaksana pasien TB (Kemenkes RI, 2014). Penemuan dan penyembuhan

pasien TB menular secara bermakna akan dapat menurunkan angka

kesakitan dan kematian akibat TB serta sekaligus merupakan kegiatan

pencegahan penularan TB. Penemuan secara aktif dapat dilakukan

terhadap:

a. Kelompok khusus yang rentan terhadap atau beresiko tinggi sakit TB

seperti pada pasien HIV, Diabetes melitus, dan malnutrisi.

b. Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang beresiko

tinggi terjadinya penularan TB, seperti: lapas/rutan, tempat

pengungsian, daerah kumuh, tempat kerja, asrama, dan panti jompo.

14
c. Anak di bawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB.

d. Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat.

Diagnosis pasti TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak.

Pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6

minggu) dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara

mikroskopis langsung nilainya identik dengan pemeriksaan dahak seara

kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis merupakan

pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah, dan hampir semua

unit laboratorium dapat melaksanakan. Pemeriksaan dahak secara

mikroskopis bersifat spesifik dan cukup sensitif. Tujuan pemeriksaan

dahak yaitu : menegakkan diagnosis dan menentukan klasifikasi atau tipe,

menilai kemajuan pengobatan, dan menentukan tingkat penularan

(Kemenkes RI, 2014).

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan

mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari

kunjungan yang beurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

1) S (Sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang

berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah

pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

2) P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada

petugas di Fasyankes.

15
3) S (Sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi. Pengambilan 3 spesimen dahak masih

diutamakan dibanding dengan 2 spesimen dahak mengingat masih

belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan mutu eksternal

pemeriksaan laboratorium (Kemenkes, 2011).

Diagnosis TB paru dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA

pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan

dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA

hasilnya positif.

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih

lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.

1) Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis

sebagai penderita TB BTA positif.

2) Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak

diulang.

Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotic

spektrum luas (misalnya Kotrimoksasol atau Amoksilin) selama 1-2

minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan

TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS.

1) Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif

2) Kalau hasil SPS negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk

mendukung diagnosis TB.

16
a) Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita

TB BTA negatif rontgen positif.

b) Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan

TB. UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat

dirujuk untuk foto rontgen dada (Kemenkes RI, 2014).

8. Riwayat Terjadi Tuberculosis Paru

a. Infeksi Primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan

kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga

dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus

berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi

dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan cara

pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam

paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di

sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu

antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah

sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya

perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan

setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk

dan besarnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan

perkembangan kuman TBC. Meskipun demikian, ada beberapa kuman

akan menetap sebagai kuman dormant atau tidur. Jika daya tahan

tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya

17
dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita

TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi

sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

b. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TBC)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan

atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh

menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas

dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan

terjadinya efusi pleura (Kemenkes RI, 2014).

9. Tipe Penderita Tuberkulosis

a. Kasus Baru

Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT

atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kasus yang sebelumnya diobati terbagi atas 5 (lima) yaitu :

1) Kambuh (Relaps)

Kambuh (relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif

(apusan atau kultur).

2) Pengobatan setelah putus berobat (Default)

Pengobatan setelah putus berobat (default) adalah pasien

yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan

BTA positif.

18
3) Gagal (Failure)

Gagal (failure) adalah pasien Basil Tahan Asam positif

dengan hasil pemeriksaan masih tetap positif atau kembali menjadi

positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih dan pasien Basil Tahan

Asam negatif, rontgen positif yang menjadi Basil Tahan Asam

positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

4) Pindahan (Transfer In)

Pindahan (transfer in) adalah pasien yang dipindahkan dari

sarana pelayanan kesehatan yang memiliki register TB lain untuk

melanjutkan pengobatannya.

5) Kasus Lainnya

Kasus lainnya adalah semua kasus yang tidak memenuhi

ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu

pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai

pengobatan ulangan. TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru,

dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi

kasus kronik (Kemenkes, 2011).

10. Pencegahan Tuberkulosis

Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB

penting untuk mencegah tersebarnya kuman TB. Semua fasilitas kesehatan

perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan berlangsungnya

deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang

dicurigai atau dipastikan menderita TB. PPI TB pada situasi/kondisi

19
khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada rutan/lapas, rumah

penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat pengungsi,

asrama, dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus

dilakukan dan kontak sekamar. Upaya tersebut berupa pengendalian

infeksi dengan 4 pilar, yaitu:

a. Pengendalian Manajerial

Pihak manajerial adalah pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan,

kepala dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota dan atau atasan

dari institusi terkait. Komitmen, kepemimpinan dan dukungan

manajemen yang efektif berupa penguatan dari upaya manajerial bagi

program PPI TB yang meliputi:

1) Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB.

2) Membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) mengenai alur

pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans.

3) Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif

4) Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta

pemeliharaannya sesuai PPI TB.

5) Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB

(tenaga, anggaran, sarana dan prasarana) yang dibutuhkan.

6) Monitoring dan evaluasi.

7) Melakukan kajian di unit terkait penularan TB.

8) Melaksanakan promosi pelibatan masyarakat dan organisasi

masyarakat terkait PPI TB.

20
b. Pengendalian administrative

Pengendalian administratif adalah upaya yang dilakukan untuk

mencegah/mengurangi pajanan kuman TB kepada petugas kesehatan,

pasien, pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan,

mendiseminasikan dan memantau pelaksanaan standar prosedur dan

alur pelayanan. Upaya ini mencakup:

1) Strategi TEMPO (TEMukan pasien secepatnya, Pisahkan secara

aman, Obati secara tepat).

2) Penyuluhan pasien mengenai etika batuk.

3) Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta

pembuangan dahak yang benar.

4) Pemasangan poster, spanduk dan bahan untuk Komunikasi,

Informasi dan Edukasi (KIE).

5) Skrining bagi petugas yang merawat pasien TB.

Pengendalian administratif lebih mengutamakan strategi

TEMPO yaitu penjaringan, diagnosis dan pengobatan TB dengan cepat

dan tepat sehingga dapat mengurangi penularan TB secara efektif.

Penerapannya mudah dan tidak membutuhkan biaya besar, dan ideal

untuk diterapkan. Dengan menggunakan strategi TEMPO akan

mengurangi risiko penularan kasus TB dan TB resisten obat yang

belum terindentifiasi.

21
c. Pengendalian lingkungan

Pengendalian lingkungan adalah upaya peningkatan dan

pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi

untuk mencegah penyebaran dan mengurangi atau menurunkan kadar

percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan

menyalurkan percik renik ke arah tertentu (directional airflow) dan

atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai germisida.

d. Pengendalian dengan alat pelindung diri

Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas

kesehatan di tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan

risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat dihilangkan

dengan upaya administratif dan lingkungan. Petugas kesehatan

menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah.

Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika

berada bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka

TB tidak perlu menggunakan respirator tetapi cukup menggunakan

masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet

(Kemenkes, 2014).

11. Pengobatan TB Paru

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan penderita

dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup penderita, mencegah

kematian oleh karena TB dan dampak buruk selanjutnya, mencegah

kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya

22
resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) (Kemenkes RI,

2014). Mikrobakteri merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda

dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali

timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat. Umumnya antibiotika

bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah.

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase

awal/intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat

yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia/PDPI,2011). Pengobatan TB

merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran

lebih lanjut dari kuman TB. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah

komponen terpenting dalam pengobatan TB Paru.

Berdasarkan Kemenkes (2014) dalam Pedoman Nasional

Pengendalian Tuberkulosis, pengobatan yang adekuat harus memenuhi

prinsip:

a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat yang

mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya

terjadinya resistensi.

1) Diberikan dalam dosis yang tepat.

2) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO

(Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.

23
3) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi

dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah

kekambuhan.

b. Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai

berikut:

1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,

dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).

Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT: Directly Observed Treatment) oleh

seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan

lanjutan.

Pengobatan TB menurut Kemenkes (2014) dalam Pedoman

Nasional Pengendalian Tuberkulosis, harus selalu meliputi tahap intensif

(awal) dan tahap lanjutan dengan maksud:

a. Tahap Intensif (Awal)

Pada tahap intensif (awal) penderita diberikan pengobat setiap

hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya

resistensi obat. Pada umumnya bila pengobatan tahap intensif tersebut

diberikan secara tepat dan teratur, biasanya daya penularan penderita

24
sangat menurun dalam kurun waktu 2 minggu. Pengobatan pada tahap

intensif semua pasien baru harus diberikan selama 2 bulan, sehingga

sebagian besar penderita TB Paru BTA(+) menjadi BTA(-) dalam 2

bulan.

b. Tahap Lanjutan

Pengobatan pada tahap lanjutan merupakan tahap penting untuk

membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada di dalam tubuh khususnya

kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Pada

tahap ini, penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam

jangka waktu yang lebih lama.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan dalam pengobatan

TB adalah sebagai berikut:

a. Isoniazid (H): dikenal dengan INH, dapat membunuh 90% populasi

kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Sangat efektif

terhadap kuman yang sedang berkembang.

b. Rimfapisin (R): bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-

dormant (persister).

c. Parazinamid (Z): bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang

berada dalam sel dengan suasana asam.

d. Streptomisin (S): bersifat bakterisid.

e. Etambutol (E): bersifat bakteriostatik.

25
Jenis obat tambahan lainnya adalah:

a. Kanamisin

b. Kuinolon

c. Devirat rifamoisin

d. Obat lainnya masih dalam penelitian; makrolide, amoksilin + asam

klavulanat.

Paduan obat yang digunakan di Indonesia sesuai dengan

rekomendasi WHO yang digunakan oleh Kemenkes (2014) dalam Program

Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah:

a. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampicine (R),

Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E) obat-obat tersebut diberikan

setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan

tahap lanjutan yang terdiri Isoniazid (H) dan Rifampicine (R),

diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).

Paduan OAT ini diberikan kepada:

1) Penderita baru TB Paru BTA(+)

2) Penderita TB Paru BTA(-) dan Rontgen(+) sakit berat

3) Penderita TB Ekstra Paru berat

b. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan

dengan Isoniazid (H), Rifampicine (R), Pirazinamid (Z), dan

Ethambutol (E), dan suntikan Streptomisin (S) setiap hari di UPK.

26
Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampicine (R),

Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E), setiap hari. Setelah itu

diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan Isoniazid (H),

Rifampicine (R), dan Ethambutol (E), yang diberikan 3 kali dalam

seminggu. Perlu diperhatikan, suntikan Streptomisin (S) diberikan

setelah penderita selesai menelan obat.

Paduan OAT ini diberikan kepada:

1) Penderita kambuh (relaps)

2) Penderita gagal (failure)

3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)

c. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampicine (R),

Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E) diberikan setiap hari selama 2

bulan (2HRZ). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari

Isoniazid (H), Rifampicine (R), diberikan selama 4 bulan diberikan 3

kali seminggu (4H3R3).

Paduan OAT ini diberikan kepada:

1) Penderita baru BTA(-) dan Rontgen(+) sakit ringan

2) Penderita Ekstra Paru ringan, yaitu TB Kelenjar Limfe, TB Kulit,

TB Tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal

d. OAT Sisipan : HRZE

Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori 1

atau kategori 2, hasil pemeriksaan sputum masih BTA(+), maka

27
diberikan obat sisipan Isoniazid (H), Rifampicine (R), Pirazinamid

(Z), dan Ethambutol (E) (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. Dalam

kegiatan pengobatan TB, harus selalu dilakukan pemantauan.

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan dilaksanakan dengan

pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis (Kemenkes RI, 2014).

B. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian

Data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan dengan TB

paru (Irman Somantri,2009).

a. Data Pasien

Penyakit TB paru dapat menyerang manusia mulai dari usia anak

sampai dewasa dengan perbandingan yang hampir sama antara laki-

laki dan perempuan. Penyakit ini biasanya banyak ditemukan pada

pasien yang tinggal didaerah dengan tingkat kepadatan tinggi sehingga

masuknya cahaya matahari kedalam rumah sangat minim. TB paru

pada anak dapat terjadi pada usia berapapun, namun usia paling umum

adalah antara 1-4 tahun. Anak-anak lebih sering mengalami TB diluar

paru-paru (extrapulmonary) disbanding TB paru dengan perbandingan

3:1. TB diluar paru-paru adalah TB berat yang terutama ditemukan

pada usia<3 tahun. Angka kejadia (pravelensi) TB paru pada usia 5-12

tahun cukup rendah, kemudian meningkat setelah usia remaja dimana

TB paru menyerupai kasus pada pasien dewasa (sering disertai

lubang/kavitas pada paru-paru).

28
b. Riwayat Kesehatan

Keluhan yang sering muncul antara lain:

1) Demam: subfebris, febris (40-41oC) hilang timbul.

2) Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus batuk ini terjadi

untuk membuang/mengeluarkan produksi radang yang dimulai dari

batuk kering sampai dengan atuk purulent (menghasilkan sputum).

3) Sesak nafas: bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai

setengah paru-paru.

4) Keringat malam.

5) Nyeri dada: jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi

radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

6) Malaise: ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun, berat

badan menurun, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam.

7) Sianosis, sesak nafas, kolaps: merupakan gejala atelektasis. Bagian

dada pasien tidak bergerak pada saat bernafas dan jantung

terdorong ke sisi yang sakit. Pada foto toraks, pada sisi yang sakit

nampak bayangan hitam dan diagfragma menonjol keatas.

8) Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal, karena biasanya

penyakit ini muncul bukan karena sebagai penyakit keturunan

tetapi merupakan penyakit infeksi menular.

c. Riwayat Kesehatan Dahulu

1) Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh

2) Pernah berobat tetapi tidak sembuh

29
3) Pernah berobat tetapi tidak teratur

4) Riwayat kontak dengan penderita TB paru

5) Daya tahan tubuh yang menurun

6) Riwayat vaksinasi yang tidak teratur

7) Riwayat putus OAT.

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Biasanya pada keluarga pasien ditemukan ada yang menderita TB

paru.Biasanya ada keluarga yang menderita penyakit keturunan seperti

Hipertensi, Diabetes Melitus, jantung dan lainnya.

e. Riwayat Pengobatan Sebelumnya

1) Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan

sakitnya

2) Jenis, warna, dan dosis obat yang diminum.

3) Berapa lama pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan

penyakitnya

4) Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir.

f. Riwayat Sosial Ekonomi

1) Riwayat pekerjaan. Jenis pekerjaan, waktu, dan tempat bekerja,

jumlah penghasilan.

2) Aspek psikososial. Merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikasi

dengan bebas, menarik diri, biasanya pada keluarga yang kurang

mampu, masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk

sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak, masalah

30
tentang masa depan/pekerjaan pasien, tidak bersemangat dan putus

harapan.

g. Faktor Pendukung:

1) Riwayat lingkungan.

2) Pola hidup: nutrisi, kebiasaan merokok, minum alkohol, pola

istirahat dan tidur, kebersihan diri.

3) Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien dan keluarga tentang

penyakit, pencegahan, pengobatan dan perawatannya.

h. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum: biasanya KU sedang atau buruk

2) TD : Normal ( kadang rendah karena kurang istirahat)

3) Nadi : Pada umumnya nadi pasien meningkat

4) Pernafasan : biasanya nafas pasien meningkat (normal : 16- 24x/i)

5) Suhu : Biasanya kenaikan suhu ringan pada malam hari. Suhu

mungkin tinggi atau tidak teratur. Seiring kali tidak ada demam

6) Pemeriksaaan Head To Too

a) Kepala

Inspeksi : Biasanya wajah tampak pucat, wajah tampak

meringis, konjungtiva anemis, skelra tidak ikterik, hidung tidak

sianosis, mukosa bibir kering, biasanya adanya pergeseran

trakea.

31
b) Thoraks

 Inpeksi : Kadang terlihat retraksi interkosta dan tarikan

dinding dada, biasanya pasien kesulitan saat inspirasi

 Palpasi : Fremitus paru yang terinfeksi biasanya lemah

 Perkusi : Biasanya saat diperkusi terdapat suara pekak

 Auskultasi : Biasanya terdapat bronki

c) Abdomen

 Inspeksi : biasanya tampak simetris

 Palpasi : biasanya tidak ada pembesaran hepar

 Perkusi : biasanya terdapat suara tympani

 Auskultasi : biasanya bising usus pasien tidak terdengar

d) Ekremitas atas

Biasanya CRT>3 detik, akral teraba dingin, tampak pucat, tidak

ada edema

e) Ekremitas bawah

Biasanya CRT>3 detik, akral teraba dingin, tampak pucat, tidak

ada edema

i. Pemeriksaan Diagnostik

1) Kultur sputum: Mikobakterium TB positif pada tahap akhir

penyakit.

2) Tes Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15

mm terjadi 48-72 jam).

32
3) Foto torak: Infiltnasi lesi awal pada area paru atas; pada tahap dini

tampak gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak

jelas; pada kavitas bayangan, berupa cincin; pada klasifikasi

tampak bayangan bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.

4) Bronchografi: untuk melihat kerusakan bronkus atatu kerusakan

paru karena TB paru.

5) Darah: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).

6) Spirometri: penurunan fungsi paru dengan kapasitas vital menurun.

7) Pola Kebiasaan Sehari-hari

a) Pola aktivitas dan istirahat

 Subyektif: rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul.

Sesak (nafas pendek), sulit tidur, demam, menggigil,

berkeringat pada malam hari.

 Obyektif: Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable,

sesak (tahap, lanjut; infiltrasi radang sampai setengah paru),

demam subfebris (40-41oC) hilang timbul.

b) Pola Nutrisi

 Subyektif: anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan

berat badan.

 Obyektif: turgor kulit jelek, kulit kering/berisik, kehilangan

lemak subkutan.

33
c) Respirasi

 Subyektif: batuk produktif/non produktif sesak nafas, sakit

dada.

 Obyektif: mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum

hijau/purulent, mukoid kuning atau bercak darah,

pembengkakan kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi

basah, kasar didaerah apeks paru, takipneu (penyakit luas

atau fibrosis parenkim paru dan pleural), sesak nafas,

pengembangan pernafasan tidak simetris (effusi pleura),

perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural),

deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).

d) Rasa nyaman/nyeri

 Subyektif: nyeri dada meningkat karena batuk berulang.

 Obyektif: berhati-hati pada area yang sakit, prilaku

distraksi, gelisah, nyeri bisa timbul bila infiltrasi radang

sampai ke pleura sehingga timbul pleuritis.

e) Integritas Ego

 Subyektif: faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan

tak berdaya/tak ada harapan.

 Obyektif: menyangkal (selama tahap dini), ansietas,

ketakutan, mudah tersinggung.

34
2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan pada dasarnya adalah mendiagnosa respon

pasien terhadap stressor, )bias berupa kejadian tertentu, penyakit,atau

injuri). Stressor yang ada bias menyebabkan banyak respon yang

menyebabkan yang bias dikarakteristikkan sebagai respon adaptif atau

respon maladaptif. Respon maladaptif pada akhirnya akan memunculkan

masalah kesehatan (Nurjannah 2010). Berdasarkan pengkajian data

keperawatan yang sering terjadi berdasarkan teori,maka diagnose

keperawatan yang mungkin muncul pada klien Tuberculosis Paru adalah :

a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mokus

dalam jumlah berlebihan, eksudat dalam jalan alveoli, sekresi

bertahan/sisa sekresi

b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi,

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane

alveolar-kapiler

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan untuk mencerna makanan

e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan mual muntah

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering terbangun akibat

batuk

g. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum

35
h. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan,

infeksi/kontaminan interpersonal, ancaman pada konsep diri.

3. Rencana keperawatan

Rencana keperawatan yang dapat diterapkan pada pasien dengan

TB paru adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1
Rencana Keperawatan
Diagnosa
NOC NIC
Keperawatan
Ketidakefektifan Setelah dilakukan Manajemen Jalan Nafas

Bersihan jalan tindakan Memfasilitasi kepatenan

napas berhubungan keperawatan jalan napas

dengan mukus selama 3x24 jam, Pengisapan Jalan Napas

dalam jumlah klien Mengeluarkan secret dari

berlebihan, eksudat menunjukkan jalan napas dengan

dalam jalan alveoli, bersihan jalan memasukkan sebuah kateter

sekresi napas yang efektif pengisap kedalam jalan

bertahan/sisa dengan napas oral dan/atau trakea

sekresi kriteria hasil : Aktivitas keperawatan

Definisi : 1. Menunjukkan 1. kaji keefektifan

Ketidakmampuan status pemberian oksigen dan

membersihkan pernapasan:kepa terapi lain

sekret tenan jalan 2. auskultasi bagian dada

atau obstruksi dari napas yang 3. atur posisi

saluran nafas guna dibuktikan oleh pasien yang

36
mempertahankan indikator : memungkinkan untuk

jalan nafas yang a) Frekuensi pengembangan

bersih dan irama maksimal rongga dada

Batasan pernapasan 4. Informasikan kepada

karakteristik b) Kedalaman pasien sebelum memulai

Subjektif : inspirasi prosedur

1. Dispnea c) Kemampuan 5. Kolaborasi pemberian

Objektif : untuk terapi aerosol,

1. suara napas membersihk nebulizer ultrasonic

tambahan an sekresi

(mis.,rale,crackl d) Mempunyai

e,ronchi dan jalan napas

mengi) yang paten

e) mempunyai

2. perubahan pada fungsi paru

irama dan dalam batas

frekuensi normal

pernapasan

3. sianosis

4. kesulitan untuk

berbicarapenuru

nan suara napas

5. sputum

37
berlebihan

6. batuk tidak

efektif atau

tidak ada

7. ortopnea

8. Gelisah

9. Mata terbelalak

(Buku : Diagnosis

Keperawatan,NAN

DA NIC

NOC, Edisi 10)

Hal 24 – 27

Ketidakefektifan Setelah dilakukan Manajemen Jalan Nafas

pola tindakan Memfasilitasi kepatenan

nafas berhubungan keperawatan jalan napas

dengan selama 3x24 jam Pemantauan Tanda-tanda

hiperventilasi diharapkan pola Vital

Definisi : inspirasi pernapasan Mengumpulkan dan

dan efektif,dengan menganalisis data

/atau ekspirasi yang criteria hasil : kardiovaskuler,pernapasan,d

tidak member 1. Menunjukkan an suhu tubuh pasienuntuk

ventilasi yang status menentukan danmencegah

38
adekuat. pernapasan: komplikasi

Batasan a) Ventilasi Aktivitas Keperawatan

karakteristik tidak 1. Kaji pola pernapasan

Subjektif : terganggu pasien

1. Dispnea b) Kedalaman 2. Auskultasi suara napas

Objektif : inspirasi dan 3. Beri posisi nyaman

1. Perubahan kemudahan 4. Ajarkan teknik batuk

ekskursi dada bernapas efektif

2. Mengambil c) Ekspansi 5. Kolaborasi pemberian

posisi tiga titik dada obat sesuai indikasi

tumpu simetris

3. Bradipnea 2. Klien tidak

4. Penurunan batuk

tekanan 3. Klien tidak

inspirasi sesak napas

-ekspirasi

5. Penurunan

ventilasi

Semenit

(Buku : Diagnosis

Keperawatan,NAN

DA NIC

NOC, Edisi 10)

39
Hal 60 – 63
Gangguan Setelah dilakukan Aktivitas Keperawatan

pertukaran tindakan 1. Kaji suara paru,frekuensi

gas berhubungan keperawatan napas,kedalaman dan

dengan selama 3x24 jam, usaha napas

ketidakseimbangan diharapakan 2. Observasi terhadap

perfusi-ventilasi gangguan sianosis,terutama

Definisi : pertukaran gas membrane mukosa hidup

Kelebihan atau akan berkurang 3. Auskultasi suara napas

deficit dengan 4. Ajarkan kepada pasien

oksigenasi dan/atau kriteria hasil : teknik bernapas dan

eliminasi 1. Status relaksasi

karbondioksida pernapasan: 5. Kolaborasi pemberian

pada membrane pertukaran gas obat sesuai indikasi

kapiler-alveolar tidak akan

Batasan terganggu

karakteristik 2. Mempunyai

Subjektif: fungsi paru

1. Dispnea dalam batas

2. Sakit kepala normal

pada saat 3. Memiliki

bangun tidur ekspansi paru

3. Gangguan yang simetris

penglihatan

40
Objektif:

1. Gas darah arteri

Abnormal

2. Gelisah

3. Hiperkapnia

4. Hipoksemia

5. Hipoksia

6. PH arteri

Abnormal

7. Frekuensi,

irama dan

kedalaman

pernafasan

abnormal

(Buku : Diagnosis

Keperawatan,NAN

DA NIC

NOC, Edisi 10)

Hal 185 – 188

Resiko Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi

Ketidakseimbangan tindakan Membantu atau

nutrisi kurang dari keperawatan menyediakan asupan

kebutuhan tubuh selama 3x24 makanan dan cairan diet

41
berhubungan jam,diharapkan seimbang

dengan nutrisi klien Pemantauan Nutrisi

ketidakmampuan terpenuhi dengan Mengumpulkan dan

untuk mencerna criteria hasil : menganalisis data pasien

makanan 1. Selera Makan: untuk mencegah dan

Defenisi :asupan keinginan untuk meminimalkan kurang gizi

nutrisi tidak makan ketika Aktivitas Lain

mencukupi untuk dalam keadaan 1. Kaji pola makan klien

memenuhi sakit atau 2. Anjurkan klien makan

kebutuhan sedang sedikit tapi sering

metabolic menjalani 3. Berikan klien makan

Batasan pengobatan dalam kondisi hangat.

karakteristik 2. Status Nutrisi : 4. Identifikasi pencetus

Subjektif Tingkat mual dan muntah

1. Kram abdomen ketersediaan zat 5. Berikan informasi yang

2. Nyeri abdomen gizi untuk tepat tentang kebutuhan

3. Menolak memenuhi nutrisi dan bagaimana

makan kebutuhan menanganinya

4. Melaporkan metabolic

kurangnya 3. Status

makanan Nutrisi:Asupan

5. Merasa cepat zat gizi :asupan

kenyang setelah zat gizi untuk

42
mengonsumsi memenuhi

makanan kebutuhan

Objektif metabolic

1. Diare 4. Mempertahanka

2. Kekurangan n berat badan

makanan 5. Porsi makan

3. Kurangnya yang dihabiskan

minat terhadap 1 porsi

makanan

4. Membrane

mukosa pucat

5. Menolak untuk

makan

(Buku : Diagnosis

Keperawatan,NAN

DA NIC

NOC, Edisi 10)

Hal 282 – 287


Resiko kekurangan Setelah dilakukan Manajemen Cairan

volume cairan tindakan Meningkatkan

berhubungan mual keoerawatan keseimbangan cairan dan

muntah. selama 3 x 24 jam pencegahan komplikasi

Defeniisi : resiko diharapkan cairan akibat kadar cairan yang

penurunan, klien terpenuhi abnormal atau di luar

43
peningkatan, atau dengan criteria harapan

perpindahan secara hasil : Pemantauan Cairan

cepat cairan 1. Keseimbangan Mengumpulkan dan

intravascular, cairan : menganalisis data pasien

interstitial, dan keseimbangan untuk mengatur

intraseluler satu ke air dalam keseimbangan cairan

yang lain yang kompartemmen Aktivitas Keperawatan

dapat inntraseldan 1. Monitor status nutrisi

memperburuk ekstrasel tubuh. 2. Pertahadankan catatan

kesehatan. 2. Hidrasi jumlah intake dan output yang

Faktor Resiko : air dalam akurat

1. Abstruksi Usus kompartemen 3. Berikan cairan oral

2. Pankreatitis intrasel dan 4. Kolaborasi pemberian

3. Cedera ekstrasel tubuh cairan IV

traumatis yang adekuat.

(Buku : Diagnosis 3. Keseimbangan

Keperawatan,NAN cairan.

DA NIC 4. Hidrasi

NOC, Edisi 10)

Hal 183 – 184

Gangguan pola Setelah dilakukan Peningkatan Tidur

tidur berhubungan tindakan Memfasilitasi siklus tidur-

dengan sering keperawatan bangun yang teratur

44
terbangun akibat selama 3x24 jam Aktivitas keperawatan

batuk diharapkan 1. Kaji adanya pola tidur

Defenisi : gangguan pola klien

gangguan kualitas tidur teratasi 2. ciptakan lingkungan

dan kuantitas dengan criteria yang nyaman

waktu tidur akibat hasil : 3. bantu pasien

faktor eksternal 1. Menunjukkan mengidentifikasi

(Buku : Diagnosis tidur,yang kemungkinan penyebab

Keperawatan,NAN dibuktikan oleh yang mendasari kurang

DA NIC indicator tidur

NOC, Edisi 10) berikut: 4. Jelaskan pentingnya

Hal 404-405 a. Perasaan tidur yang cukup selama

segar setelah sakit

tidur

b. pola dan

kualitas

tidur

c. Terjaga pada

waktu yang

tepat
Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan Terapi Aktivitas

berhubungan tindakan Memberi anjuran tentang

dengan kelemahan keperawatan dan bantuan dalam aktivitas

umum selama 3x24 fisik,kognitif,social,dan

45
Defenisi : jam,diharapkan spiritual yang spesifik untuk

ketidakcukupan toleransi aktivitas meningkatkan

energi fisiologi terhadap klien rentang,frekuensi,atau durasi

atau psikologis dengan criteria aktivitas individu

untuk melanjutkan hasil : Aktivitas Keperawatan

atau menyelesaikan 1. Toleransi 1. Kaji tingkat

aktivitas sehari-hari Aktivitas : kemampuan pasien

yang ingin atau respons fisiologi 2. Bantu pasien untuk

harus dilakukan terhadap mengubah posisi secara

Batasan gerakan yang berkala

karakteristik menghabiskan 3. Bantu pasien untuk

Subjektif: energi dalam mengidentifikasi pilihan

Ketidaknyamanan aktivitas sehari- aktivitas

atau dispnea saat hari 4. Ajarkan kepada pasien

beraktivitas 2. Istirahat : dan keluarga tentang

Melaporkan kuantitas dan pengaturan aktivitas dan

keletihan atau pola teknik manajemen waktu

kelemahan secara pengurangan untuk mencegah

verbal aktivitas kelelahan

Objektif peremajaan

Frekuensi jantug mental dan fisik

atau tekanan darah 3. Bisa melakukan

tidak normal secara aktivitas secara

46
respons terhadap mandiri

aktivitas

Perubahan EKG

yang menunjukkan

aritmia atau

iskemia

(Buku : Diagnosis

Keperawatan,NAN

DA NIC

NOC, Edisi 10)

Hal 15 –18

Ansietas Setelah dilakukan Penurunan Ansietas

berhubungan tindakan Meminimalkan

dengan perubahan keprawatan kekhawatiran,ketakutan,pras

dalam status selama 3x24 angka,atau perasaan tidak

kesehatan, jam,diharapkan tenang yang berhubungan

infeksi/kontaminan ansietas teratasi dengan sumber bahaya yang

interpersonal, dengan kriteria diantisipasi dan tidak jelas

ancaman pada hasil: Peningkatan koping

konsep diri. 1. Tingkat Membantu pasien untuk

Defenisi : Ansietas: beradaptasi dengan persepsi

Perasaan tidak keparahan stressor,perubahan, atau

nyaman atau manifestasu ancaman yang menghambat

47
kekhawatiran yang kekhawatiran,ke pemenuhan tuntutan dan

samar disertai tegangan,atau peran hidup

respons otonom perasaan tidak Aktivitas keperawatan

,perasaan takut tenang yang 1. Kaji tingkat ansietas

yang disebabkan muncul dari pasien

oleh antisipasi sumber yang 2. Beri dorongan kepada

terhadap tidak dapat pasien untuk

bahaya.perasaan ini diidentifikasi mengungkapkan

merupakan isyarat 2. Ansietas perasaannya

kewaspadaan yang berkurang 3. Beri dorongan spiritual

memperingatkan kepada pasien

bahaya yang akan 4. Dampingi pasien selama

terjadi dan prosedur dilakukan

memampukan 5. Jelaskan semua prosedur

individu yang dilakukan terhadap

melakukan pasien

tindakan untuk

menghadapi

ancaman

Batasan

karakterisitik

Perilaku

1. Penurunan

48
produktivitas

2. Gelisah ,resah

3. Insomnia

Afektif

1. Gelisah

2. Kesedihan yang

medalam

3. Ketakutan

Parasimpatis

1. Keletihan

2. Mual

3. Keletihan

Simpatis

1. Diare

2. Mulut kering

3. Kesulitan

bernapas

Kognitif

1. Kesulitan untuk

berkonsentrasi

2. Gangguan

perhatian

3. Melamun

49
(Buku : Diagnosis
Keperawatan,NAN
DA NIC
NOC, Edisi 10)
Hal 29– 33

50

Anda mungkin juga menyukai