Anda di halaman 1dari 9

BAB II

DAKWAH ISLAM DI NUSANTARA DAN ASAL-USUL MUHAMMADIYAH

A. Teori Masuknya Islam ke Nusantara


Tentang topik ini penulis akan mengawalinya dengan perdebatan tentang awal
masuknya Islam ke Indonesia. Islam masuk ke Indonesia menurut Hamka pada awal abad
ke-7. Artinya, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriyah, bahkan pada masa
Khulafaur Rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspedisinya ke Nusantara ketika
sahabat Abu Bakar as| S|iddiq, Umar bin Khat}ab, Us}man bin Affan dan Ali bin Abi Thalib
memegang kendali sebagai Amirul Mukminin.
Teori HAMKA ini yang kemudian dikenal dengan teori Arabia. (HAMKA, 1981: 36-
42).Teori ini juga didukung oleh Badri Yatim dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam.
Namun Yatim lebih melihat pada sisi politiknya, dengan artian bahwa perkembangan
masyarakat Islam di Indonesia baru terdapat ketika ”komunitas Islam” berubah menjadi
pusat kekuasaan. (Badri Yatim, 2006: h. 191-193).
Selain itu berdasarkan bukti catatan-catatan resmi dan Jurnal Cina, pada periode
ini Dinasti Tang (Sartono Kartodirjo, 1977: 73) 618 M secara ekplisit menegaskan bahwa
Islam sudah masuk wilayah Timur jauh, yakni Cina dan sekitarnya (G. R. Tibbets, 1957: 39)
pada abad pertama Hijriah melalui lintas laut dari bagian Barat Islam. Cina yang
dimaksudkan pada abad pertama Hijriah tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur
Jauh termasuk Kepulauan Indonesia. (Yaqut al-Hamari, , 1971: 440).
Jurnal Cina juga mengisyaratkan adanya pemukiman Arab di Cina yang
penduduknya diizinkan oleh Kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan beragama. (Dr.
J.C. van Leur, 1995: 440) Pada masa itu orang-orang Islam memilih pemimpin mereka
sendiri yang dinamakan imam (Alnold, T. W., 1935: 331-332) dan sejak masa itu
perdagangan Indonesia mulai lancar dan maju.
Ditambah lagi, laporan Cina yang menegaskan keputusan bangsa Arab mengirim
utusan kepada Kerajaan Ho Long. Kerajaan Arab mengirim utusan ke Kerajaan Ho Long
sekitar tahun 640 M, 666 M, dan 674 M. (Grenvelt, W.P., 1960: 201). Sementara Kerajaan
Ho Long sendiri menurut Alwi Sihab (Sihab, Antara Tasawuf...,2009: 11 ) terletak di Jawa
Timur yang bernama Kerajaan Kalingga yang terkenal dengan kemajuan dan kesejahteraan
rakyat serta keadilan pemerintahannya. Sementara yang mengutus oleh orang-orang Cina

1
dikenal dengan sebutan ”Tashih” sebagai nama yang mereka kenal untuk kerajaan Arab.
(Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, h. 73) Jadi, pengenalan dini kaum Muslimin
(Arab) terhadap Kepulauan Indonesia setaraf dengan data yang mereka ketahui mengenai
Cina bahkan lebih luas. Jika demikian halnya, alasan apakah yang menjadi penghalang
untuk menetapkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah. Yaitu,
pada masa pedagang-pedagang Muslim memasuki Cina karena kedatangan orang-orang
Arab membawa Islam ke Cina melalui jalur laut lama.
Pertanyaan tersebut terjawab oleh pendapat Taufik Abdullah yang tidak menyetujui
tentang teori yang mengatakan bahwa datangnya Islam pertama kali ke Indonesia pada
abad ke- 7 M dengan alasan belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia di tempat-tempat
yang disinggahi oleh para pedagang Muslim itu beragama Islam. Adanya koloni itu, diduga
sejauh yang paling bisa dipertanggungjawabkan, ialah para pedagang Arab tersebut, hanya
berdiam untuk menunggu musim yang baik bagi pelayaran. (Taufik Abdullah (Ed), 1991: 34)
Pendukung teori terakhir ini menyatakan bahwa Agama Islam masuk ke Indonesia sekitar
abad ke-13 M berdasar sumber sejarah baik Barat (misal informasi dari Marco Polo)
maupun dari Timur (misal dari Ibnu Batuthah). Snouck Hurgronje menginformasikan bahwa
masuknya Islam ke kepulauan Indonesia dibawa oleh para saudagar Islam atau orang-orang
Islam yang ingin memperoleh tempat tinggal baru, yang berasal dari wilayah barat, tanpa
bantuan dari pemerintah manapun. Yang membantu penyebaran Islam adalah anak-anak
negeri yang sudah masuk Islam terutama dari arah pesisir, dibawa ke daerah pedalaman
atau ke pulau-pulau di sekitar mereka yang terdekat. Bukti bahwa islam sudah masuk ke
Indonesia sekitar abad ke-13 M adalah tulisan pada makam Al-Malikul Kamil, salah seorang
raja Islam di Aceh, bahwa beliau wafat pada hari Ahad tanggal 7 Jumadil Awal tahun 607 H
atau 1210 M (Abu Bakar Aceh: 10).
Islam yang datang ke Indonesia bukan Islam yang dibawa langsung dari Jazirah
Arab, melainkan Islam yang dibawa oleh para pedagang Gujarat, India. G.W.J. Drewes
menyatakan bahwa Islam tiba di Indonesia bukan dari pusatnya di Timur Tengah, akan
tetapi dari India, Islam yang telah dicampur dengan pengalaman agama India, berbaur
dengan mistitisme, klop dengan keadaan masyarakat Jawa yang telah berkepercayaan
Hindu. (H.J. Benda: 30-31)
Mengapa Islam masuk melalui para pedagang Gujarat? Abu Bakar Aceh
menjelaskan beberapa alasan: pertama, bermula dari adanya hubungan dagang antara

2
orang Hindu dan orang Indonesia sebelum Islam, dimana hubungan dagang ini diteruskan
setelah orang Hindu itu masuk Islam. Kedua, Gujarat adalah pelabuhan terpenting, tempat
bertukar saudagar-saudagar Hindu maupun islam ke Indonesia. Ketiga, batu-batu nisan di
kuburan-kuburan terpenting di Indonesia adalah buatan, mempunyai ukiran dan didatangkan
dari Gujarat. Keempat, nama-nama yang terkubur itu adalah raja-raja yang memakai gelar
syah dari bahasa Persia atau India. Kelima, penyesuian adat-istiadat dan kebiasaan antara
Indonesia dan India yang sampai sekarang masih dapat dilihat dalam kehidupan bangsa
kita. Keenam, adanya faham Syiah dan wihdatul wujud dalam ilmu tasawuf di Indonesia.
(Abu Bakar Aceh: 21).
B. Proses Perkembangan Islam di Nusantara
Penulis mengambil pendapat Abd. Gofur dalam tulisannya di jurnal (JURNAL
USHULUDDIN Vol. XVII No. 2, Juli 2011: 168) yang menyimpulkan bahwa Islam masuk ke
Nusantara menurut S.M.N. Al-Attas, Fattimi, Hasyimi dan Hamka pada abad ke-7 dan 8 M.
Islam Berkembang baru dimulai abad ke-13 M. ke sebagian wilayah Nusantara. Sedangkan
Islam menjadi kekuatan politik memasuki abad ke-15 M. setelah tumbangnya Kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konversi massal masyarakat
Nusantara pada Islam yaitu : pertama, Portabilitas sistem keimanan Islam. Sebelum
kedatangan Islam, sistem kepercayaan lokal, yang berpusat pada penyembahan arwah
nenek moyang, tidaklah portable, tidak siap pakai dimana pun, tidak berlaku dalam semua
kondisi.
Kedua, Asosiasi Islam dengan kekayaan. Bisa dipastikan, masyarakat lokal di
wilayah Melayu pertama kali bertemu dan berinteraksi dengan orang Muslim pendatang di
wilayah pesisir atau pelabuhan. Mereka adalah pedagang-pedagang muslim yang kaya
raya. Ketiga, Introduksi kebudayaan literasi yang relatif universal bagi penduduk wilayah ini.
Faktor ini telah sering dikemukakan banyak ahli. Bahkan Al-Attas telah menyimpulkan
bahwa pengenalan kebudayaan literasi ini telah memunculkan semangat rasionalisme dan
intelektualisme, bukan saja di kalangan kerajaan atau Istana, tetapi juga di kalangan rakyat
jelata.
Kemudian ada beberapa hal lain cepatnya Islam diterima di kasawan Asia
Tenggara, teori-teori itu dapat dirumuskan sebagai berikut bahwa ; (a) faktor perdagangan
membawa Islam ke kepulauan Nusantara ini. (b) faktor pedagangpedagang, dan pegawai-

3
pegawai yang kawin dengan penduduk lokal (bukan Islam), faktor ini dipandang lebih mudah
terjadinya proses pengislaman di kalangan masyarakat. (c)faktor permusuhan antara orang-
orang Islam saat dijajah dengan Kristen (koloni Barat) yang mempercepat penyebaran
Islam, terutama pada abad ke-15 dan ke-17. (d).faktor politik yang dianggap sebagai motif
dan mudahnya penyebaran Islam. (e).faktor penghargaan nilai ideologi Islam dianggap lebih
rasional bagi pemeluknya. (f) faktor otoktoni, atau keadaan di mana sesuatu itu dianggap
telah ada, sejak purbakala. Faktor otoktoni diwakili oleh tasawuf yang dipandang
mengandung persamaan dengan kepercayaan lama.
Tentang Cepatnya perkembangan Islam di Nusantara dapat dikemukakan disini
penelaahan Sayyid Mohammad Naquib Al-Attas ketika merangkum beberapa teori yang
diajukan oleh sarjana Barat tentang cepatnya Islam diterima di kasawan Asia Tenggara,
teoriteori itu dapat dirumuskan sebagai berikut bahwa ; (a) faktor perdagangan membawa
Islam ke kepulauan Nusantara ini. (b) faktor pedagang-pedagang, dan pegawai-pegawai
yang kawin dengan penduduk lokal (bukan Islam), faktor ini dipandang lebih mudah
terjadinya proses pengislaman di kalangan masyarakat. (c)faktor permusuhan antara orang-
orang Islam saat dijajah dengan Kristen (koloni Barat) yang mempercepat penyebaran
Islam, terutama pada abad ke- 15 dan ke-17. (d).faktor politik yang dianggap sebagai motif
dan mudahnya penyebaran Islam. (e).faktor penghargaan nilai ideologi Islam dianggap lebih
rasional bagi pemeluknya. (f) faktor otoktoni, atau keadaan di mana sesuatu itu dianggap
telah ada, sejak purbakala sebagai kepunyaan atau sifat kebudayaan suatu masyarakat. Di
sini faktor otoktoni diwakili oleh tasawuf yang dipandang banyak mengandung persamaan
dengan kepercayaan lama. Dan faktor inilah yang dianggap memudahkan penerimaan
agama Islam di kalangan masyarakat atau penduduk lokal. Jasa para sufi dalam
mengIslamkan wilayah Melayu cukup besar, hal ini ditandai berkembangnya tarekat-tarekat
di Indonesia pada abad ke-6 dan ke-7. Mukti Ali menegaskan bahwa keberhasilan
pengembangan Islam di Indonesia adalah melalui tarekat dan tasawuf. Sartono Kartodirdjo
menjelaskan bahwa faktor yang turut mendorong proses Islamisasi di Indonesia ialah aliran
sufisme atau mistik yang telah melembaga dalam tarekat-tarekat yang berasal dari Timur
Tengah dan merambah masuk ke Nusantara. Beberapa wali mencampurkan ajaran Islam
dengan mistik, sehingga timbul suatu sinkretisme. Mereka bersedia memakai unsur-unsur
kultur pra-Islam dalam menyebarkan agama Islam. Lewat kesasteraan suluk dengan mudah
diadakan penyesuaian tentang konsep dan gambaran mengenai hidup yang telah berakar

4
dalam kebudayaan pra-Islam. Kalau pada tahap awal proses Islamisasi adalah fenomena
kota dan pesisir pantai, kemudian lewat sufisme dan tarekat penyebaran Islam meliputi
daerah pedesaan dan masyarakat pedalaman. Tarekat-tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiah,
Syatariyah tersebar luas di Sumatera dan Jawa.
C. Corak Islam Nusantara
Islam Nusantara adalah bentuk yang khas karena berbeda dengan corak Islam di
berbagai negara, khususnya negara aslinya yaitu Timur Tengah. Islam Nusantara identik
dengan Islam sinkritis (Islam campuran dengan kepercayaan lain). Beberapa penyebab
mengapa Islam Nusantara sinkritis adalah sebagai berikut: Pertama, ketika Islam masuk ke
Indonesia, masyarakat Indonesia telah menganut kepercayaan seperti Animisme,
Dinamisme, Hindu atau Budha. Ketika mereka masuk Islam, sisa-sisa kepercayaan lama
mereka tidak serta merta ditinggalkan. Sehingga kepercayaan mereka menjadi campuran
antara Islam dengan berbagai kepercayaan lain yaitu (sinkrtisme). Padahal semestinya
Islam tidak menerima hal seperti itu, karena Islam menganut kepercayaan monoteisme
absolute (tauhid murni). Jadi tidak mungkin tauhid dicampur dengan syirik, khurafat,
takhayul atau bid’ah. (Hal ini bisa dihubungkan dengan sebab turunnya surat al-Kafirun;
turunnya surat tersebut adalah karena adanya tawaran dari orang non muslim untuk
mensinkritiskan Islam dengan agama lain, waktu itu para tokoh kafir menawarkan kerjasama
dalam beragama kepada nabi Muhammad; bentuknya adalah satu hari umat Islam diajak
menyembah tuhan orang kafir, dan hari lain gantian orang kafir menyembah tuhannya orang
Islam. Di tengah kebingungan Nabi SAW untuk menjawab ajakan tersebut maka Allah
menurunkan surat al-Kafirun. Surat tersebut isinya berupa periintah untk kaum muslimin
agar menolak ajakan orang kafir untuk bekerjasama dalam menyembah tuhan).
Sebagai ilustrasi, Snouck Horgronje yang telah meneliti kepercayaan orang
Indonesia pra Islam baik Jawa, Sumatera Tengah, Aceh dan lainnya, menyatakan bahwa
orang Jawa percaya adanya benda-benda gaib suatu kepercayaan yang berasal dari
Polinesia dan Hindu, melakukan selamatan untuk arwah nenek moyang dan kekuatan-
kekuatan yang dianggap bisa melindungi desa dan sawah-sawah mereka, ziarah ke makam
sakti para wali suatu tradisi yang berasal dari zaman pra agama, membakar kemenyan di
bawah pohon sakti, membaca doa yang penuh dengan demit, peri, periangan, bidadari
(semuanya nama makhluk halus atau arwah) serta jin, pada hakekatnya mereka adalah
orang yang tidak beragama, demikian tulis Hurgronje (Deliar:20).

5
Untuk menggambarkan bahwa sinkritisme menjadi warna keislaman orang
Indonesia, Mukti Ali melukiskan dengan kalimat demikian: “Buku-buku primbon yang
mengandung mistik Jawa dan buku-buku karangan Ronggowarsito, dimana dia menjelaskan
arti “ngelmu” menunjukkan bagaimana buku-buku primbon itu, mistik yang tradisional bisa
berjalan bersama-sama dengan tauhid, dan bagaimana dalam buku-buku Ronggowarsito itu
Islam bisa berjalan bersama dengan Hinduisme” (Mukti Ali: 6).
Kedua, Islam yang datang ke Indonesia bukan Islam yang dibawa langsung dari
Jazirah Arab, melainkan Islam yang dibawa oleh para pedagang Gujarat, India. G.W.J.
Drewes menyatakan bahwa Islam tiba di Indonesia bukan dari pusatnya di Timur Tengah,
akan tetapi dari India, Islam yang telah dicampur dengan pengalaman agama India, berbaur
dengan mistitisme, klop dengan keadaan masyarakat Jawa yang telah berkepercayaan
Hindu. (H.J. Benda: 30-31)
Mengapa Islam masuk melalui para pedagang Gujarat? Abu Bakar Aceh
menjelaskan beberapa alasan: 1) bermula dari adanya hubungan dagang antara orang
Hindu dan orang Indonesia sebelum Islam, dimana hubungan dagang ini diteruskan setelah
orang Hindu itu masuk Islam. 2) Gujarat adalah pelabuhan terpenting, tempat bertukar
saudagar-saudagar Hindu maupun islam ke Indonesia. 3) Batu-batu nisan di kuburan-
kuburan terpenting di Indonesia adalah buatan, mempunyai ukiran dan didatangkan dari
Gujarat. 4) Nama-nama yang terkubur itu adalah raja-raja yang memakai gelar syah dari
bahasa Persia atau India. 5) Penyesuian adat-istiadat dan kebiasaan antara Indonesia dan
India yang sampai sekarang masih dapat dilihat dalam kehidupan bangsa kita. 6) Adanya
faham Syiah dan wihdatul wujud dalam ilmu tasawuf di Indonesia. (Abu Bakar Aceh: 21).
Ketiga, di antara pemuka agama Islam di Indonesia pada waktu itu bukan
mutakalimun (teolog) dan fuqaha (ahli hukum Islam) yang dihormati, melainkan para ahli
thariqah atau guru suluk. Kita mengenal tokoh-tokoh Islam abad-16 di Sumatera Utara
macam hamzah Pansuri, Syamsuddin Pase, Nuruddin Ar-Raniri, Abdurrauf Sinkel
semuanya adalah tokoh mistik dan ahli tasawuf. Demikian juga tokoh penyebar Islam di
Jawa, Wali Songo, mereka semua adalah tokoh mistik dan ahli tasawuf (Mukti Ali: 3-4). H.J.
Benda menyatakan: “Sesungguhnya sufisme atau mistitisme Islam, bukannya ortodoxi Islam
yang meluaskan pengaruhnya di Jawa dan sebagian Sumatera (H.J. Benda: 30-31)
Mistitisme atau tasawuf yang mereka kembangkan bukan tasawuf yang sehat
sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah dan para sahabat, melainkan tasawuf yang

6
memandang hidup berat sebelah, yaitu hanya mementingkan akhirat. Mereka mengajarkan
zuhud untuk menjauhi dunia. Mereka mempraktekkan hadits secara salah yang menyatakan
“Dunia itu penjara bagi orang-orang mu’min dan surga bagi orang-orang kafir”. Sementara
surat al-Qashah ayat 77 yang mengajarkan untuk tidak melalaikan dunia tidak dilirik.
Dalam masalah fiqih, kaum muslim Indonesia mengaku bermazhab Syafi’I. namun
buku-buku karangan imam syafi’I tidak dijadikan pegangan pokok di madrasah-madrasah
atau pondok-pondok pesantren. Para kyai mencukupkan dengan buku-buku yang dikarang
oleh para pengikut Syafi’I. Sebagai missal kitab “Nihayah” karangan Ar-Ramli dan “Tuhfah”
karangan Ibnu Hajar Al-Haitamy merupakan dua kitab yang dijadikan andalan di lembaga-
lembaga pendidikan Islam tradisional Indonesia.
Muslim Indonesia yang mengaku berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah ternyata
juga mempraktekkan ajaran Syiah. Misalnya mandi pada hari Rabo Habeh, Arba’a akhir
bulan Safar, terdapat di hampir seluruh pelosok Indonesia (di Jawa dikenal dengan nama
rebo Wekasan). Di Jawa biasa dikenal acara Suran (dari kata ‘Asyura), yaitu perayaan hari
ke 10 dari bulan Muharram (orang Jawa menyebut bulan Syura), suatu perayaan untuk
memperingati haru gugurnya Husein putra Ali bin Abi Thalib yang dibunuh oleh Yazid bin
Mu’awiyah di padang Karbala pada tanggal 10 Muharram (‘Asyura), dengan membuat nasi
kenduri yang di dalamnya berisi jenang berwarna merah dan putih dan disebut jenang
Kasan-Kusen (Hasan dan Husein). Di Jambi dan Pariaman, Sumatera Barat setiap tanggal
10 Muharram ada arak-arakan yang amat meriah dengan mengarak Tabut dan Tabuik,
symbol kepala Husein yang dipenggal oleh para pengikut Yazid bin Muawiyah.
Uraian di atas jelas menggambarkan bahwa kondisi Islam Indonesia sejak semula
memang tidak menggambarkan Islam yang murni sebagaimana diajarkan Rasulullah (lihat
penggambaran Islam oleh Allah dalam surat al-Hajj ayat 78, agama yang sederhana,
rasional, dan mudah dilaksanakan). Sebaliknya Islam Indonesia penuh dengan berbagai
tambahan yang aneh-aneh baik dalam masalah aqidah maupun ibadah. Berbagai
peninggalan faham animism, dinamisme, Hindu dan Budha telah tercampur dengan Islam.
Mereka rajin melaksanakan Shalat, puasa, haji, namun bersamaan dengan itu mereka juga
tetap rajin pasang sesaji pada tempat-tempat tertenut yang dianggap angker, masih
memelihara benda-benda yang dianggap keramat seperti keris, cincin dsb, mengadakan
acara peringatan orang yang meninggal baik hari ketiga, ketujuh, keempat puluh dst,
dengan mengirimkan pahala bacaan dan dzikir yang mereka lakukan.

7
Kedaimaian umat Islam Indonesia dalam melaksanakan ajaran agama dan
dakwahnya selama kurang lebih tiga abad, di sekitar abad 16 dikejutkan oleh datangnya
penjajah Barat, khususnya Belanda yang menjajah Indonesia dengan membawa misi
berupa tiga G; yaitu Gold (emas, motif ekonomi), Glory (kejayaan, motif politik), Gospel (injil,
motif kristenisasi). Motif ketiga ini menjadi motif utama; mereka datang ke negara-negara
jajahan dengan dalih mission scare atau misi suci, yaitu menyelamatkan domba-domba
yang tersesat (maksudnya mengkristenkan orang yang beragama lain, agar mereka tidak
tersesat, karena bagi mereka agama selain Kristen adalah salah).
D. Kedatangan Penjajah Barat ke Nusantara
Orang Barat (Kristen) memiliki gambaran yang sangat negatif tentang Islam. Hal
ini antara lain dilukiskan oleh Lothrop Stoddard bahwa di mata mereka umat Islam itu umat
yang masih biadab dan terbelakang. Karena itu mereka akan selalu mengusahakan agar
umat islam tidak bisa lagi mengembangkan agamanya karena takut kalau mereka masuk
islam akan ikut menjadi biadab dan terbelakang. Dalam hukum internasional umat Islam
diperlakukan berbeda dari umat Kristiani, Negara-negara Barat selalu membela serangan
dan hinaan yang dialamatkan kepada umat Islam. Semua aspirasi umat Islam diejek dan
dijatuhkan; apa yang oleh orang Eropa di negerinya disebut sebagai nasionalisme dan
patriotism, di kalangan umat Islam disebutnya sebagai fanatisme. Apa yang di Barat
disebutnya sebagai harga diri, kehormatan, dan kemuliaan bangsa, di negeri muslim
disebutnya sebagai chauvinisme. Apa yang di barat disebutnya sebagai sentiment
kebangsaan, di kalangan muslim dipandangnya sebagai penyakit benci kepada orang asing.
(L. Stoddart: 62)
Penjajah Barat yang berkeinginan untuk melanggengkan kekuasaannya di
Indonesia berfikir untuk membuat perasaan senang rakyat Indonesia kepada pemerintah
penjajah (Belanda). Langkah pertama berkaitan dengan kebudayaan, yaitu bagaimana
membuat rakyat Bumi Putera mencintai kebudayaan Barat yang ditawarkan Belanda, tanpa
mengenyampingkan budaya sendiri. Inilah yang disebut ‘assosiasi’. Kedua, bagaimana
mengubah agama penduduk Bumi Putera menjadi Kristen. Kalau penduduk Bumi Putera
sudah melaksanakan dua hal di atas, yaitu berkebudayaan Barat dan beragama Kristen,
otomatis mereka akan menyatu dengan penjajah Belanda. (Deliar Noer: 26-27).
Menghadapi kehadiran penjajah Belanda yang demikian, umat Islamlah yang
paling terusik rasa keagamaan dan nasionalismenya. Baik kaum muslimin yang merupakan

8
komunitas pesantren maupun di luar itu bangkit menentang penjajah. Kaum santri segera
memasang strategi, di samping mengajarkan pelajaran keislaman sebagaimana biasa juga
ditambah dengan menanamkan fanatisme Islam di kalangan santri. Sedangkan kalangan di
luar pesantren menanamkan kesadaran politik bagi umat Islam akan pentingnya usaha
melepaskan diri dari penjajahan. Muncullah pergerakan bersenjata melawan penjajah
seperti perang Paderi (1821-1837), perang Aceh (1873-1904), dan perang Jawa/Diponegoro
(1825-1830). Pada masa-masa selanjutnya rakyat Indonesia tanpa membeda-bedakan asal
usul mereka secara bersama-sama bangkit melawan penjajah hingga diperolehnya
kemerdekaan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai