Anda di halaman 1dari 12

1.

        Strategi dakwah Rasulullah SAW di Makkah

a.    Masyarakat Makkah Pada Awal Penyebaran Islam

Masyarakat Makkah pada awal kenabian Muhammad SAW dikenal dengan sebutan jahiliyah, yakni
masyarakat yang tidak mengenal Tuhan yang sebenarnya  sebab patung dan batu menjadi sembahan
tuhan mereka dan mereka hidup dalam kegelapan terutama yang berkaitan dengan akhlak dan moral.
Masyarakat Arab waktu itu sudah menyimpang jauh dan ajaran agama Tauhid, yang telah diajarkan oleh
para rasul terdahulu, seperti Nabi Ibrahim A.S. Mereka umumnya beragama watsani atau agama
penyembah berhala. Berhala-berhala yang mereka puja itu mereka letakkan di Ka’bah (Baitullah =
rumah Allah SWT) yang jumlahnya mencapai 300 lebih. Di antara berhala-berhala yang termashyur
bernama: Ma’abi, Hubal, Khuza’ah, Lata, Uzza, dan Manat. Kebiasaan buruk lainnya dalam masyarakat
jahiliyah adalah suburnya tindak kejahatan, perjudian, mabuk-mabukan, pertikaian antar suku, saling
membunuh bahkan mengubur bayi perempuan yang masih hidup menjadi kebiasaan mereka. Tatanan
kehidupan masyarakat tidak berjalan, yang berlaku hanyalah hukum rimba, siapalah yang kuat dia yang
berkuasa dan siapa yang menang dia yang berkuasa. Mereka sudak tidak menjadikan ajaran para nabi
terdahulu sebagai pedoman hidupnya. Selain itu ada pula sebagian masyarakat Arab jahiliyah yang
menyembah malaikat dan bintang yang dilakukan kaum Sabi’in serta menyembah matahari, bulan, dan
jin yang diperbuat oleh sebagian masyarakat di luar kota Mekah.  Dalam situasi inilah Allah SWT
mengutus nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan dakwah ajaran Islam.

                                                                                                                                                                                        

b.    Substansi dan strategi dakwah Rasulullah Saw Periode Makkah

1)   Substansi dakwah Rasulullah SAW

Substansi ajaran Islam periode Makkah, yang  didakwahkan Rasulullah SAW di awal kenabiannya adalah
sebagai berikut :

a)        Keesaan Allah SWT

Islam mengajarkan bahwa pencipta dan pemelihara alam semesta adalah Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa. Allah SWT tempat bergantung segala apa saja dan makhluk-Nya, tidak beranak dan tidak
diperanakkan, serta tidak ada selain Allah SWT, yang menyamai-Nya (baca dan pelajari QS. A1-Ikhlas,
112: 1-4).Umat manusia harus beribadah atau menghambakan diri hanya kepada Allah SWT. Beribadah
atau menyembah kepada selain Allah SWT, termasuk ke dalam perilaku syirik, yang hukumnya haram,
dan merupakan dosa yang paling besar (lihat Q.S An-Nisa’, 4: 48).

b)        Hari Kiamat sebagai hari pembalasan

Islam mengajarkan bahwa mati yang dialami oleh setiap manusia, bukanlah akhir kehidupan, tetapi
merupakan awal dari kehidupan yang panjang, yakni kehidupan di alam kubur dan di alam akhirat.
Manusia yang ketika di dunianya taat beribadah, giat beramal saleh, dan senantiasa berbudi pekerti
yang terpuji, tentu akan memperoleh balasan yang menyenangkan. Di alam kubur akan memperoleh
berbagai kenikmatan dan di alam akhirat akan ditempatkan di surga yang penuh dengan hal-hal yang
memuaskan. Tetapi manusia yang ketika di dunianya durhaka kepada Allah SWT dan banyak berbuat
jahat, tentu setelah matinya akan mendapat siksa kubur dan dicampakkan ke dalam neraka yang penuh
dengan berbagai macam siksaan. (Baca dan pelajari Q.S. Al-Qari’ah, 101: 1-11)

c)         Kesucian jiwa

Islam menyerukan umat manusia agar senantiasa berusaha menyucikan jiwanya dan melarang keras
mengotorinya. Seseorang dianggap suci jiwanya apabila selama hayat di kandung badan senantiasa
beriman dan bertakwa atau meninggalkan segala perbuatan dosa, dan dianggap mengotori jiwanya
apabila durhaka pada Allah SWT dan banyak berbuat dosa.

Sungguh beruntung orang yang senantiasa memelihara kesucian jiwanya, dan alangkah ruginya orang
yang mengotori jiwanya (baca Q.S. Asy-Syams, 91: 9-10).

َ ‫﴾ َو َق ْد َخ‬٩﴿ ‫﴾ َق ْد أَ ْفلَ َح َمن َز َّكا َها‬


١٠﴿ ‫اب َمن َدسَّا َها‬

Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya”.

 d)        Persaudaraan dan Persatuan

Persaudaraan mempunyai hubungan yang erat dengan persatuan, bahkan persaudaraan landasan bagi
terwujudnya persatuan.Islam mengajarkan bahwa sesama orang beriman adalah bersaudara. Mereka
dituntut untuk saling mencintai dan sayang-menyayangi, di bawah naungan rida Ilahi. Rasulullah SAW
bersabda: “Tidak dianggap beriman seorang Muslim di antara kamu, sehingga ia mencintai saudaranya,
seperti rnencintai dirinya.” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i).

Selain itu sesama umat Islam, hendaknya saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, jangan
sekali-kali tolong-menolong dalam dosa serta permusuhan. Jangan saling menganiaya dan jangan pula
membiarkan saudaranya yang teraniaya tanpa diberikan pertolongan. Sedangkan umat Islam yang
mampu disuruh untuk memberikan pertolongan kepada saudaranya yang du’afa, yakni para fakir miskin
dan anak-anak yatim telantar (baca dan pelajari Q.S. Al-Ma’un, 107: 1-7).

2)   Strategi dakwah Rasulullah SAW.

Tujuan dakwah Rasulullah SAW pada periode Mekah adalah agar masyarakat Arab meninggalkan
kejahiliahannya di bidang agama, moral, dan hukum. Sehingga menjadi umat yang meyakini kebenaran
kerasulan Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam yang disampaikannya, kemudian mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Jika masyarakat Arab telah mengamalkan seluruh ajaran Islam dengan niat
ikhlas karena Allah SWT dan sesuai dengan petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW, tentu mereka akan
memperoleh keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Adapun strategi
dakwah Rasulullah SAW dalam berusaha mencapai tujuan yang luhur tersebut sebagai berikut:
a)        Dakwah secara sembunyi-sembunyi selama 3-4 tahun.

Cara ini ditempuh oleh Rasulullah SAW karena beliau begitu yakin, bahwa masyarakat Arab jahiliah,
masih sangat kuat mempertahankan kepercayaan dan tradisi warisan leluhur mereka. Sehingga mereka
bersedia berperang dan rela mati dalam mempertahankannya. Pada masa dakwah secara sembunyi-
sembunyi ini, Rasulullah SAW menyeru untuk masuk Islam, orang-orang yang berada di lingkungan
rumah tangganya sendiri dan kerabat serta sahabat dekatnya. Mengenai orang-orang yang telah
memenuhi seruan dakwah Rasulullah SAW tersebut adalah : Khadijah binti Khuwailid (istri Rasulullah
SAW, wafat tahun ke-10 dari kenabian), Ali bin Abu Thalib (saudara sepupu Rasulullah SAW yang tinggal
serumah dengannya, waktu masuk Islam ia baru berusia 10 tahun), Zaid bin Haritsah (anak angkat
Rasulullah SAW, wafat tahun 8 H = 625 M), Abu Bakar Ash-Shiddiq (sahabat dekat Rasulullah SAW, yang
hidup dan tahun 573 - 634 M), dan Ummu Aiman (pengasuh Rasulullah SAW pada waktu kecil).

Sesuai dengan ajaran Islam, bahwa berdakwah bukan hanya kewajiban Rasulullah SAW, tetapi juga
kewajiban para pengikutnya (umat Islam), maka Abu Bakar Ash-Shiddiq, seorang saudagar kaya, yang
dihormati dan disegani banyak orang. Karena budi bahasanya yang halus, ilmu pengetahuannya yang
luas, dan pandai bergaul telah meneladani Rasuliillah SAW, yakni berdakwah secara sembunyi-
sembunyi. 

Usaha dak’wah Abu Bakar Ash-Shiddiq berhasil karena ternyata beberapa orang kawan dekatnya
menyatakan diri masuk Islam, mereka adalah :

(1)   Abdul Amar dari Bani Zuhrah, Abdul Amar berarti hamba milik si Amar. Karena Islam melarang
perbudakan, kemudian nama itu diganti oleh Rasulullah SAW menjadi Abdurrahman bin Auf, yang
artinya hamba Allah SWT Yang Maha Pengasih.

(2)   Abu Ubaidah bin Jarrah dan Bani Hari.

(3)   Utsman bin Affan.

(4)   Zubair bin Awam.

(5)   Sa’ad bin Ahu Waqqas.

(6)   Thalhah bin Ubaidillah.

Orang-orang yang masuk Islam, pada masa dakwah secara sembunyi-sembunyi, yang namanya sudah
disebutkan di atas disebut Assabiqunal Awwalun (pemeluk Islam generasi awal).

b)        Dakwah Secara terang-terangan

Dakwah secara terang-terangan ini dimulai sejak tahun ke-4 dari kenabian, yakni setelah turunnya
wahyu yang berisi perintah Allah SWT agar dakwah itu dilaksanakan secara terang-terangan. Wahyu
tersebut berupa ayat Al-Qur’an Surah 26: 214-216 (coba kamu cari dan pelajari).

Tahap-tahap dakwah Rasulullah SAW secara terang-terangan ini antara lain sebagai berikut :
1)      Mengundang kaum kerabat keturunan dari Bani Hasyim, untuk menghadiri jamuan makan dan
mengajak mereka agar masuk Islam. Tetapi karena cahaya hidayah Allah SWT waktu itu belum menyinari
hati mereka, mereka belum menerima Islam sebagai agama mereka. Namun ada 3 orang kerabat dari
kalangan Bani Hasyim yang sebenarnya sudah masuk Islam, tetapi merahasiakan keislamannya, pada
waktu itu dengan tegas menyatakan keislamannya. Mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Ja’far bin Abu
Thalib, dan Zaid bin Haritsah.

2)      Rasulullah SAW mengumpulkan para penduduk kota Mekah, terutama yang berada dan bertempat
tinggal di sekitar Ka’bah untuk berkumpul Bukit Shafa, yang letaknya tidak jauh dan Ka’bah. Rasulullah
SAW memberi peringatan kepada semua yang hadir agar segera meninggalkan penyembahan terhadap
berhala-berhala dan hanya menyembah atau menghambakan diri kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa, Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Rasulullah SAW juga menegaskan, jika peringatan yang
disampaikannya itu dilaksanakan tentu akan meraih rida Ilahi bahagia di dunia dan di akhirat. Tetapi
apabila peringatan itu diabaikan tentu akan mendapat murka Allah SWT, sengsara di dunia dan di
akhirat.

Menanggapi dakwah Rasulullah SAW tersebut di antara yang hadir ada kelompok yang menolak disertai
teriakan dan ejekan, ada kelompok yang diam saja lalu pulang. Bahkan Abu Lahab, bukan hanya
mengejek tetapi berteriak-teriak bahwa Muhammad orang gila, seraya ia berkata “Celakalah engkau
Muhammad, untuk inikah engkau mengumpulkan kami?” Sebagai balasan terhadap kutukan Abu Lahab
itu turunlah ayat Al- Qur’an yang berisi kutukan Allah SWT terhadap Abu Lahab, yakni Surat Al-Lahab,
111: 1-5 (coba kamu cari dan pelajari ayat Al-Qur’an tersebut).

Pada periode dakwah secara terang-terangan ini juga telah menyatakan diri masuk Islam dua orang kuat
dari kalangan kaum kafir Quraisy, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi SAW) dan Umar bin
Khattab. Hamzah bin Abdul Muthalib masuk Islam pada tahun ke-6 dari kenabian sedangkan Umar bin
Khattab (581-644 M), tidak lama setelah sebagian kaum Muslimin berhijrah ke Habasyah atau Ethiopia
pada tahun 615 M.

3)      Rasulullah SAW menyampaikan seruan dakwahnya kepada para penduduk di luar kota Mekah.
Sejarah mencatat bahwa penduduk di luar kota Mekah yang masuk Islam antara lain :

(a) Abu Zar Al-Giffari, seorang tokoh dan kaum Giffar, yang bertempat tinggal di sebelah barat laut
Mekah atau tidak jauh dari laut Merah, menyatakan diri di hadapan Rasulullah SAW masuk Islam.
Keislamannya itu kemudian diikuti oleh kaumnya.

(b) Tufail bin Amr Ad-Dausi, seorang penyair terpandang dari kaum Daus yang bertempat tinggal di
wilayah barat kota Mekah, menyatakan diri masuk Islam di hadapan Rasulullah SAW. Keislamannya itu
diikuti oleh bapak, istri, keluarganya, serta kaumnya.

(c) Dakwah Rasulullah SAW terhadap penduduk Yatsrib (Madinah), yang datang ke Mekah untuk
berziarah nampak berhasil. Berkat cahaya hidayah Allah SWT, para penduduk Yatsrib, secara
bergelombang telah masuk Islam di hadapan Rasulullah SAW. Gelombang pertama tahun 620 M, telah
masuk Islam dari suku Aus dan Khazraj sebanyak 6 orang. Gelombang kedua tahun 621 M, sebanyak 13
orang dan pada gelombang ketiga tahun berikutnya lebih banyak lagi.

Pada gelombang ketiga ini telah datang ke Mekah untuk berziarah dan menemui Rasulullah SAW, umat
Islam penduduk Yatsrib yang jumlahnya mencapai 73 orang di antaranya 2 orang wanita. Waktu itu ikut
pula berziarah ke Mekah, orang-orang Yatsrib yang belum masuk Islam. Di antaranya Abu Jabir Abdullah
bin Amr, pimpinan kaum Salamah, yang kemudian menyatakan diri masuk Islam di hadapan Rasulullah
SAW.

Pertemuan umat Islam Yatsrib dengan Rasulullah SAW pada gelombang ketiga ini, terjadi pada tahun ke-
13 dari kenabian dan menghasilkan Bai’atul Aqabah. Isi Bai’atul Aqabah  tersebut merupakan
pernyataan umat Islam Yatsrib bahwa mereka akan melindungi dan membela Rasulullah SAW.
Walaupun untuk itu mereka harus mengorbankan tenaga, harta, bahkan jiwa. Selain itu, mereka
memohon kepada Rasulullah SAW dan para pengikutnya agar berhijrah ke Yatsrib.

Setelah terjadinya peristiwa Bai’atul Aqabah itu, kemudian Rasulullah SAW menyuruh para sahabatnya
yakni orang-orang Islam yang bertempat tinggal di Mekah, untuk segera berhijrah ke Yatsrib. Para
sahabat Nabi SAW melaksanakan suruhan Rasulullah SAW tersebut. Mereka berhijrah ke Yatsrib secara
diam-diam dan sedikit demi sedikit, sehingga dalam waktu dua bulan sebanyak 150 orang umat Islam
penduduk Mekah telah berhijrah ke Yatsrib.

Sedangkan Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., dan Ali bin Abu Thalib masih tetap tinggal
di Mekah, menunggu perintah dari Allah SWT untuk berhijrah. Setelah datang perintah dari Allah SWT,
kemudian Rasulullah SAW berhijrah bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., meninggalkan kota Mekah
tempat kelahirannya menuju Yatsrib. Peristiwa hijrah Rasulullah SAW ini terjadi pada awal bulan Rabiul
Awal tahun pertama hijrh (622 M). Sedangkan Ali bin Abu Thalib, tidak ikut berhijrah bersama Rasulullah
SAW, karena beliau disuruh Rasulullah SAW untuk mengembalikan barang-barang orang lain yang
dititipkan kepadanya. Setelah perintah Rasulullah SAW itu dilaksanakan, kemudian Ali bin Abu Thalib
menvusul Rasulullah SAW berhijrah ke Yatsrib.

C. Reaksi Kaum Kafir Quraisy terhadap Dakwah Rasulullah SAW

1. Kesombongan dan keangkuhan


2. Panatisme buta terhadap leluhur
3. Eksistensi dan persaingan kekuasaan

D. Bentuk Penolakan Kaum Kafir Quraisy Terhadap Ajaran Rasulullah dan Para Pengikutnya
1. Diceritakan kala itu Ukbah Bin Abi Muit melihat Rasulullah bertawaf, dia berusaha menghalangi
Rasulullah.
2. Paman beliau yang bernama Abu Lahab dan istrinya tiada tara kejinya. Mereka tidak berhenti
melemparkan barang-barang kotor kepada beliau.
3. kaum Quraisy memutuskan untuk memboikot kaum muslimin dalam segala bentuk hubungan
perkawinan dan perdagangan dengan Bani Hasyim.
E. Perjanjian Aqobah
Sejarah Singkat Perjanjian Aqabah
Pada daerah tugas tablighnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi untuk menemui enam orang
dari golongan Ansar yang datang guna menunaikan ibadah haji dan membacakan sebagian dari Al-Quran
untuk mereka.

Sebelum bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka telah mendengar ciri-ciri kenabian
dari orang ahli Kitab dan telah yakin akan kenabian beliau lalu kemudian mereka memeluk islam.

Namun pada waktu itu mereka tidak memiliki tanggung jawab terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , mereka mengatakan jika situasi Yatsrib membaik, tahun depan mereka akan datang lagi kepada
Nabi.

Sekembalinya mereka ke Yastrib, isu tentang islam mulai beredar dan bertambahlah jumlah orang –
orang yang tertarik dengan islam.

Pada tahun – tahun berikutnya duabelas orang jamaah haji dari kota Yastrib bertemu dengan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melakukan bai’at kepada Nabi. Perjanjian ini lalu dinamakan “Perjanjian
‘Aqabah Pertama.”
Dalam perjanjian ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menentukan beberapa poin yang harus
disepakati, yaitu:

 Janganlah kalian menyekutukan Allah


 Janganlah kalian mencuri
 Janganlah kalian mendekati zina
 Janganlah kalian membunuh anak-anak kandung kalian
 Janganlah kalian mencemarkan dan menfitnah
 Janganlah kalian melanggar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada perbuatan baik
Kelanjutan perjanjian ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika kalian setia terhadap janji maka imbalan kalian adalah surga, dan jika tidak maka urusan kalian
(kembali) kepada Allah, jika berkehendak Ia menghukum dan jika menghendaki Allah mengampuni.”
Setelah itu Nabi mengutus sahabatnya yang bernama Mus’ab bin Umair sebagai muballigh bagi Islam di
Yatsrib.

Lalu pada tahun berikutnya datang tujuh puluh laki-laki dan dua perempuan penduduk Yatsrib yang
berbaiat kepada Nabi dan membuat janji bahwa mereka akan membela Nabi. Perjanjian ini lalu dikenal
sebagai perjanjian ‘Aqabah Kedua dan dimana setelah ini orang-orang Muslim dari Mekah mulai hijrah
ke Madinah.

Perjanjian Aqabah 1
Pada tahun yang telah dijanjikan, yaitu pada tahun 12 kenabian, ada dua belas orang dari Madinah yang
telah memeluk Islam, sebagian dari mereka adalah orang-orang yang pernah berjumpa dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menerima dakwahnya lalu beriman kepada beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam pada tahun sebelumnya. Mereka datang ke Makkah dalam rangka menunaikan ibadah
haji. Mereka pun bertemu dengan Rasulullah dan membaiat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam al-Bukhâri [5], Muslim [6], an-Nasâ`i [7], Ahmad [8], Ibnu Ishâq [9], Ibnu Sa’ad [10], dan lain-lain
meriwayatkan dari hadits ‘Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu ‘anhu, ia merupakan salah seorang yang
menunaikan haji kala itu. Mereka meriwayatkan bunyi bai’ah tersebut, yaitu perkataan ‘Ubâdah:
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka:

“Kemarilah, hendaklah kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan apapun,
kalian tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak akan berbuat dusta yang
mereka ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak durhaka kepadaku dalam perkara yang ma’ruf.
Barang siapa yang menepati bai’at (janji) ini, maka ia akan mendapatkan pahala dari Allah Azza wa Jalla.
Barang siapa yang melanggar salah satunya, lalu dihukum di dunia, maka hukuman itu menjadi kaffarah
(penghapus dosa) baginya. Barang siapa yang melanggar salah satunya, lalu Allah Azza wa Jalla menutupi
kesalahannya tersebut, maka urusannya dengan Allah, jika Allah Azza wa Jalla berkehendak, maka Allah
bisa menghukumnya; jika Allah Azza wa Jalla berkehendak, maka Allah Azza wa Jalla bisa memaafkanya”.

Para penduduk Madinah ini lalu berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bai’ah (baiat)
inilah yang kemudian dikenal dengan nama bai’atul-‘aqabatil-ûlâ (baiat ‘Aqabah yang pertama).

Perjanjian Aqabah 2
Bai’at ‘Aqabah II dilakukan pada tahun 622 M atau tahun 13 kenabian (setahun setelah perjanjian
Aqabah 1. Ini merupakan perjanjian antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap 73 orang
pria dan 2 orang wanita dari kota Yatsrib pada waktu tengah malam.

Wanita itu adalah Nusaibah bintu Ka’ab dan Asma’ bintu ‘Amr bin ‘Adiy. Perjanjian Aqabah 2 ini terjadi
pada tahun 13 kenabian. Mush’ab bin ‘Umair lalu kembali ikut bersama dengan para penduduk Yatsrib
yang sudah berislam sebelumnya.

Mereka menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di ‘Aqabah pada suatu malam. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dengan pamannya Al ‘Abbas bin ‘Abdil Muthallib. Ketika itu Al
‘Abbas masih musyrik, hanya saja ia ingin memastikan keamanan bagi keponakannya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang-orang Yatsrib itu.

Ketika itu Al ‘Abbas adalah orang pertama yang berbicara lalu kemudian dilanjutkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membacakan beberapa ayat Al Qur’an dan menyerukan tentang Islam.

Isi Bai’at Aqabah ke 2:

“Kalian berbai’at kepadaku untuk selalu mau mendengar dan taat dalam keadaan giat (senang) atau
malas (berat), selalu memberikan nafkah dalam keadaan susah atau senang, selalu memerintahkan yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, selalu di jalan Allah dan jangan terpengaruh dengan celaan
orang yang mencela, jika aku sudah datang ke (tempat) kalian agar kalian menolongku, melindungiku
dari hal-hal yang kalian hindarkan dari diri, istri dan anak-anak kalian. Dan kalian akan mendapatkan
surga”. (Lafazh ini merupakan riwayat Imam Ahmad).
F. Peristiwa Hijrah Kaum Muslimin

1. Hijrah Ke Abi Sinia

Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi, sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan
semacamnya. Waktu itu Muhammad menyarankan supaya mereka terpencar-pencar. Ketika mereka
bertanya kepadanya kemana mereka akan pergi, mereka diberi nasehat supaya pergi ke Abisinia yang
rakyatnya menganut agama Kristen. "Tempat itu diperintah seorang raja dan tak ada orang yang
dianiaya disitu. Itu bumi jujur; sampai nanti Allah membukakan jalan buat kita semua."

Sebagian kaum Muslimin ketika itu lalu berangkat ke Abisinia guna menghindari fitnah dan tetap
berlindung kepada Tuhan dengan mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan melakukan dua
kali hijrah. Yang pertama terdiri dari sebelas orang pria dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi
mereka keluar dari Mekah mencari perlindungan. Kemudian mereka mendapat tempat yang baik di
bawah Najasyi5.

Bilamana kemudian tersiar berita bahwa kaum Muslimin di Mekah sudah selamat dari gangguan
Quraisy, merekapun lalu kembali pulang, seperti yang akan diceritakan nanti. Tetapi setelah ternyata
kemudian mereka mengalami kekerasan lagi dari Quraisy melebihi yang sudah-sudah, kembali lagi
mereka ke Abisinia. Sekali ini terdiri dari delapan puluh orang pria tanpa kaum isteri dan anak-anak.
Mereka tinggal di Abisinia sampai sesudah hijrah Nabi ke Yathrib.
Hijrah ke Abisinia ini adalah hijrah pertama dalam Islam6.

Sudah pada tempatnya bagi setiap penulis sejarah Muhammad akan bertanya: Adakah tujuan hijrah
yang dilakukan kaum Muslimin atas saran dan anjurannya itu karena akan melarikan diri dari orang-
orang kafir Mekah beserta gangguan yang mereka lakukan, ataukah karena suatu tujuan politik Islam,
yang di balik itu dimaksudkan oleh Muhammad dengan tujuan yang lebih luhur? Sudah pada tempatnya
pula apabila penulis sejarah Muhammad itu akan bertanya tentang hal ini, setelah terbukti dari sejarah
Nabi berbangsa Arab ini dalam seluruh fase kehidupannya, bahwa dia seorang politikus yang
berpandangan jauh, seorang pembawa risalah dan moral jiwa yang begitu luhur, sublim dan agung yang
tak ada taranya. Dan yang menjadi alasan dalam hal ini ialah apa yang disebutkan dalam sejarah, bahwa
penduduk Mekah tidak suka hati ada kaum Muslimin yang pergi ke Abisinia. Bahkan mereka kemudian
mengutus dua orang menemui Najasyi. Mereka membawa hadiah-hadiah berharga guna meyakinkan
raja supaya dapat mengembalikan kaum Muslimin itu ke tanah air mereka. Pada waktu itu penduduk
Abisinia dan penguasanya adalah orang-orang Nasrani. Dari segi agama orang-orang Quraisy tidak kuatir
bahwa mereka akan ikut Muhammad.

Selama di Abisinia itu kaum Muslimin merasa aman dan tenteram. Ketika kemudian disampaikan kepada
mereka, bahwa permusuhan pihak Quraisy sudah berangsur reda, mereka lalu kembali ke Mekah untuk
pertama kalinya - dan Muhammadpun masih di Mekah.
Akan tetapi, setelah kemudian ternyata, bahwa penduduk Mekah masih juga mengganggunya dan
mengganggu sahabat-sahabatnya, merekapun kembali lagi ke Abisinia. Mereka terdiri dari delapan
puluh orang tanpa wanita dan anak-anak.

2. Hijrah Ke Madinah

Usai Bai’atul-‘Aqabah kedua, kaum Anshar pun kembali ke Madinah. Mereka sangat antusias menunggu
dan mengharap kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Sementara itu,
kaum muslimin yang mendengar kesepakatan antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
Anshâr juga sudah siap berhijrah ke Madinah.

Hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin ini bukan tanpa alasan. Ada berbagai
faktor yang menjadi pemicu untuk melakukan hijrah.

Pertama : Karena adanya siksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy. Begitu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukan dakwah secara terbuka, berbagai ancaman mulai diarahkan kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman yang mengikutinya. Oleh karena itu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpikir untuk mencari perlindungan di luar Makkah. Sehingga
terjadilah hijrah kaum muslimin ke Habsyah, Thaif, dan kemudian ke Madinah.

Penyebab hijrah ini, di antaranya karena penyiksaan dan penindasan kaum kafir Quraisy atas kaum
muslimin. Riwayat yang menguatkan faktor ini, tersirat dalam perkataan Bilal Radhiyallahu anhu ketika
ia hendak berhijrah:

‫ض ْال َوبَا ِء‬


ِ ْ‫ضنَا إِلَى أَر‬ ٍ َ‫اللَّهُ َّم ْال َع ْن َش ْيبَةَ ْبنَ َربِي َعةَ َو ُع ْتبَةَ ْبنَ َربِي َعةَ َوأُ َميَّةَ ْبنَ َخل‬
ِ ْ‫ف َك َما أَ ْخ َرجُونَا ِم ْن أَر‬

Wahai Allah ! Laknatlah Syaibah bin Rabî’ah, ‘Utbah bin Rabî’ah, dan Umayyah bin Khalaf, sebagaimana
mereka telah menyebabkan kami keluar dari negeri kami ke negeri derita.[1]

Juga hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang hijrahnya orang tuanya. Beliau Radhiyallahu anhuma
berkata:

‫ُوج ِحينَ ا ْشتَ َّد َعلَ ْي ِه اأْل َ َذى‬


ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم أَبُو بَ ْك ٍر فِي ْال ُخر‬ َّ ِ‫ا ْستَأْ َذنَ النَّب‬
َ ‫ي‬

Abu Bakr Radhiyallahu anhu meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
berhijrah, ketika penderitaannya terasa berat.[2]

Kedua :Adanya kekuatan yang akan membantu dan melindungi dakwah, sehingga memungkinkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah dengan leluasa. Hal ini sebagaimana tertuang dalam
nash Bai’atul-‘Aqabah kedua. Yaitu kaum Anshâr berjanji akan melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagaimana melindungi anak dan istri mereka.

Ketiga : Para pembesar kaum Quraisy dan sebagian besar masyarakat Makkah menganggap Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendusta, sehingga mereka tidak mempercayainya. Dengan kondisi
seperti ini, maka beliau n ingin mendakwahkan kepada masyarakat lainnya yang mau menerimanya.
Banyak dalil yang menunjukkan faktor ini, di antaranya ialah sebagaimana perkataan Sa’ad bin Mu’âdz
Radhiyallahu anhu :

ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم َوأَ ْخ َرجُوه‬ َ ‫ي أَ ْن أُ َجا ِه َدهُ ْم فِي‬


َ َ‫ك ِم ْن قَوْ ٍم َك َّذبُوا َرسُول‬
َ ‫ك‬ َّ َ‫ْس أَ َح ٌد أَ َحبَّ إِل‬
َ ‫ك تَ ْعلَ ُم أَنَّهُ لَي‬
َ َّ‫اللَّهُ َّم إِن‬

Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang lebih aku sukai
untuk aku jihadi mereka karena-Mu daripada suatu kaum yang telah mendustakan Rasul-Mu dan
mengusirnya.[3]

Keempat : Kaum muslimin khawatir agama mereka terfitnah. Ketika ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
ditanya tentang hijrah, beliau Radhiyallahu anhuma berkata:

‫ أَ ْن يُ ْفتَنَ َعلَ ْي ِه‬Hَ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم َمخَافَة‬


َ ‫َكانَ ْال ُم ْؤ ِمنُونَ يَفِرُّ أَ َح ُدهُ ْم بِ ِدينِ ِه إِلَى هَّللا ِ تَ َعالَى َوإِلَى َرسُولِ ِه‬

Kaum mukminun pada masa dahulu, mereka pergi membawa agama mereka menuju Allah dan Rasul-
Nya karena khawatir terfitnah.[4]

Itulah beberapa faktor yang mendorong kaum muslimin berhijrah, meninggalkan negeri Makkah menuju
negeri yang baru, yaitu Madinah. Semua ini dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah Azza wa Jalla .

Khabbab Radhiyallahu anhu berkata:

ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم ن َْلتَ ِمسُ َوجْ هَ هَّللا ِ فَ َوقَ َع أَجْ ُرنَا َعلَى هَّللا‬
َ ‫َاجرْ نَا َم َع النَّبِ ِّي‬
َ ‫ه‬

Kami hijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencari wajah Allah, sehingga
ganjaran kami benar-benar di sisi Allah Azza wa Jalla.[5]

MENGAPA MEMILIH HIJRAH KE MADINAH?

Nash-nash yang shahîh menunjukkan, pilihan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan
Madinah sebagai negeri hijrah kaum muslimin, merupakan pilihan yang berdasarkan wahyu ilahi.
Sebagaimana hal ini tertera dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ُ‫َب َوهَلِي إِلَى أَنَّهَا ْاليَ َما َمةُ أَوْ هَ َج ُر فَإِ َذا ِه َي ْال َم ِدينَةُ يَ ْث ِرب‬ ِ ‫ْت فِي ْال َمن َِام أَنِّي أُه‬
ٍ ْ‫َاج ُر ِم ْن َم َّكةَ إِلَى أَر‬
َ ‫ض بِهَا ن َْخ ٌل فَ َذه‬ ُ ‫َرأَي‬

Aku pernah mimpi berhijrah (pindah) dari Makkah menuju suatu tempat yang ada pohon kurmanya. Lalu
aku mengira daerah itu ialah Yamamah atau Hajr (Ahsâ`), (namun) ternyata daerah itu adalah Yatsrib.[6]

Juga hadits:

ُ ‫َار ِهجْ َرتِ ُك ْم َرأَي‬


‫ْت َذاتَ ن َْخ ٍل بَ ْينَ اَل بَتَي ِْن‬ ُ ‫إِنِّي أُ ِر‬
َ ‫يت د‬

Aku diperlihatkan negeri hijrah kalian, yaitu satu negeri yang memiliki pohon kurma di antara dua
harrah. [7]

Mendengar penuturan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, maka kaum muslimin pun kemudian
bergegas melakukan hijrah ke Madinah. Begitu juga sebagian kaum muslimin yang sedang berada di
Habsyah, mereka segera berangkat menuju Madinah.

YANG PERTAMA KALI BERANGKAT HIJRAH KE MADINAH

Imam Bukhaari[8] menyebutkan, yang pertama kali berangkat hijrah ke Madinah ialah Mush’ab bin
Umair dan ‘Abdullah bin Ummi Maktûm. Sedangkan Ibnu Ishâq[9] dan Ibnu Sa’ad[10] menyebutkan,
yang pertama kali berhijrah ialah Abu Salamah bin al Asad. Musa bin ‘Uqbah memilih yang kedua.

Ibnu Hajar[11] menyebutkan, di antara hadits-hadits yang dibawakan penulis kitab al-Maghazi, Syiyar,
dan hadits-hadits yang dibawakan oleh Imam al-Bukhâri masih bisa dipertemukan, dengan membawa
pengertian “yang pertama kali” pada sisi tertentu. Yaitu Abu Salamah meninggalkan Makkah tidak
dengan niatan menetap di Madinah, namun hanya menghindari penindasan kaum kafir Quraisy.
Berbeda dengan Mush’ab yang memang sejak awal berniat menetap di Madinah untuk memberi
pengajaran kepada penduduk Madinah atas perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Jadi, masing-masing di antara dua orang ini dilihat dari satu sisi. Abu Salamah ialah orang yang pertama
kali hijrah ke Madinah untuk menghindari penindasan kaum kafir Quraisy. Sedangkan Mush’ab ialah
orang yang pertama kali hijrah ke Madinah dengan niat menetap di Madinah.

Kemudian setelah itu, kaum muslimin berdatangan ke Madinah. Bilal bin Rabbah datang bersama Sa’ad
bin Abi Waqâsh dan ‘Ammâr bin Yâsir, kemudian menyusul ‘Umar bin al-Khaththab.

RESPON KAUM KAFIR QURAISY TERHADAP HIJRAH KAUM MUSLIMIN


Melihat kaum muslimin melakukan hijrah ke Madinah, bagaimanakah sikap kaum kafir Quraisy?

Pemandangan ini sangat menyakitkan hati kaum kafir Quraisy. Sehingga mendorong mereka melakukan
berbagai upaya untuk menghalangi kaum muslimin hijrah. Misalnya dengan menahan harta kaum
muslimin dan melarang membawanya. Terkadang dengan menahan dan mengurung sebagian anggota
keluarga kaum muslimin. Disamping itu, mereka juga melakukan supaya kaum muslimin yang sudah
berada di Madinah kembali ke Makkah.

Namun upaya kaum kafir Quraisy ini tidak membuat kaum muslimin bergeming dari niat semula. Mereka
benar-benar sudah siap berpisah dengan harta benda miliknya, keluarganya, dan kenikmatan dunia dan
penghidupan lainnya yang telah mereka peroleh di Makkah, demi menyambut panggilan aqidah. Dan
sungguh, hijrah ini menjadi pijakan pertama berkibarnya panji tauhid.

Anda mungkin juga menyukai