Adnan. 2008
A. PENDAHULUAN
Blastula pada bintang laut terbentuk pada stadium 32 sel (relatif). Pada blastula
awal, blastula tampak memiliki silia. Dinding blastula hanya terdiri atas satu lapisan sel.
Sel-sel pada bagian apeks di kutub anima memiliki ukuran yang relatif lebih kecil
dibandingkan dengan sel-sel pada kutub vegetatif. Pada bagian kutub vegetatif
terdapat sel-sel mikromer yang kelak akan berkembang menjadi mesenkim primer.
Rongga blastula besar dan terdapat pada bagian tengah embrio. Pada stadium
blastula lanjut terjadi beberapa perubahan, antara lain lepasnya sel-sel mikromer ke
dalam blastocoel.
a. Bagian apeks sel-sel mikromer memanjang dan lepas dari lapisan hialin, dan
bagian lateral terpisah dari sel-sel vegetatif di sekitarnya.
b. Sel-sel melintasi lamina basalis masuk ke dalam blastocoel. Di dalam
blastocoel, sel-sel tersebut mengalami reorganisasi membentuik sel-sel
mesenkim primer.
Gambar 2. Ingresi mesenkim primer pada asterias. (A) dinding blastula sebelum ingresi
dimulai, (B) Sel-sel mesenkim primer (P) mulai memanjang ke dalam
blastocoel menembus lamina basalis yang tidak sempurna (BL), (C)
permukaan apeks sel lepa dari lapisan hialin (H), (D) sel-sel mesenkim
primer
memisah dari dinding blastocoel, (E) sel-sel mesenkim yang telah
terpisah (Carlson 1985).
2. Blastula pada Amphioxus
Pada amphibia (Xenopus sp), stadium blastula tercapai pada stadium 128 sel. Pada
stadium ini mulai terbentuk suatu rongga yang disebut rongga blastula (blastocoel).
Blastula pada amphibia memiliki tiga daerah yang berbeda, yaitu:
a. Daerah di sekitar kutub anima, meliputi sel-sel yang membentuk atap blastocoel.
Sel-sel tersebut merupakan bakal lapisan ektoderem. Sel-sel ini berukuran kecil
dan disebut mikromer, mengandung banyak butir-butir pigmen.
b. Daerah di sekitar kutub vegetatif, meliputi sel-sel yolk yang berukuran besar
(makromer) yang merupakan bakal sel-sel endoderem. Mengandung banyak
butir-butir yolk.
c. Daerah sub ekuatorial berupa sel-sel cincin marginal, meliputi daerah kelabu
(gray crescent). Daerah ini secara normal akan membentuk sel-sel mesoderem.
Pada blastula katak, atap blastocoel terdiri atas 2-4 lapisan sel. Alas blastocoel
adalah sel-sel yolk. Rongga blastocoel terletak lebih ke kutub anima. Menurut
Nieuwkoop, fungsi rongga blastula adalah membatasi interaksi antara bakal ektoderem
dan sel-sel endoderem pada cincin marginal yang mengelilingi tepi blastocoel.
Blastula pada burung adalah blastula berbentuk cakram atau tudung. Setelah
lapisan tunggal blastoderem terbentuk, selanjutnya blastoderem mengalami
pembelahan secara ekuatorial atau hotisontal, dan menghasilkan 3-4 lapisan sel. Pada
stadium ini, blastodisk terdiri atas dua daerah yang berbeda, yaitu:
a. Area pellusida, yaitu daerah yang tampak bening terletak di atas rongga
subgerminal
b. Area opaka, yaitu daerah yang tampak gelap, terletak pada bagian tepi
blastodisk.
Pada beberapa jenis aves, rongga subgerminal juga merupakan rongga
blastula. Pada ayam dan bebek, blastocoel terbentuk setelah terjadi delaminasi
blastoderem membentuk lapisan sel bagian bawah yang disebut hipoblas primer, dan
lapisan sel bagian atas yang disebut epiblas. Celah diantara hipoblas dan epiblas
disebut blastocoel.
Blastula pada mamalia disebut blastokista, memiliki sebuah rongga yang berisi
cairan yang dikelilingi oleh selapis sel pada bagian tepi yang disebut tropoblast atau
tropektoderem. Pada bagian dalam embrio ke arah kutub anima, terdapat sekelompok
sel-sel dalam (inner cell mass). Tropoblas merupakan bagian ekstraembrio yang kelak
membentuk selaput korion dan turut serta dalam pembentukan plasenta. Sedangkan
massa sel-sel dalam akan berkembang menjadi embrio yang sesungguhnya.
Bila diperhatikan dari aspek pembelahan dan garis keturunannya, telur pada
berbagai jenis hewan dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu (i) telur regulative dan (ii)
telur mosaic. Umumnya telur pada berbagai jenis invertebrate dan vertebrate
tergolong telur tipe regulative, kecuali pada turbellaria, annelida, dan molluska. Telur
pada hewan-hewan yang disebutkan di atas termasuk telur tipe mosaik.
setiap lastomer bilamana dipisahkan dan dikul ur akan berkembang menjadi satu
individu
yang sempurna. Blastomer-blastomer pada telur mosaik tidak dapat
berkembang menj di satu individu baru.
Gambar 8. Percobaan yang menunjukkan sifat mosaik telur Dentalium (Carlson, 1989).
Pada d sarnya sifat telur yang regulative dan mosaic merupakan peristiwa
yang relative, karena pada
berbagai jenis hewan , kedua sifat tersebut dapat
ditampilkan dalam kondisi
eksperime , misalnya embrio bintang lau pada stadium
empat sel. Bila masing-masing blastomer dipisahkan, maka ke 4 blastomer tersebut
akan berkembang menjadi empat larva pluteus.
ondisi tersebut menunjukkan b hwa
telur bintang laut bersifat regulative
Gambar 9. Percobaan yang menunjukkan sifat regulative pada emb io bintang laut
Embrio bintang laut pada stadium 8 sel, sifat mosaik dan regulative dapat
ditunjukkan, terg
ntung pola pemis han blastomernya Pemisahan blastomer
berlangsung secara ekuatorial sehingga memisahkan daerah anima dan vegetatif.
Blastomer pada
daerah vegetatif akan berkembang menjadi larva pluteus, tetapi
blastomer pada bagian anima gagal
membent k larva pluteus. ila pemisahan
dilakukan secara meridional,
maka setiap bagian membawa blastomer-blastomer dari
kutub anima dan
vegetatif, maka kedua belahan akan berkembang menjadi larva
pluteus.
Gambar 10. Sifa mosaik dan regulatif telur bintang laut tergantung pada pola
pemisahan blastomernya (Carlson, 988)
D. PETA NASIB
Peta nasib menggambarkan tentang nasib berbagai daerah yang terdapat pada
suatu embrio. Orang pertama yang membuat peta nasib adalah Walter Vogt. Ia
mengadakan percobaan pada blastula amphibian dengan menggunakan zat warna
neutral red untuk mewarnai berbagai daerah yang terdapat pada embrio, dan
selanjutnya diikuti perkembangannya hingga stadium tertentu. Cara yang demikian
memungkinkan untuk diketahui bahwa daerah yang pernah diwarnai pada stadium
lanjut menjadi daerah A atau B. Cara ini memungkinkan nasib dari bagian-bagian
embrio dapat ditelusuri dan digambarkan dalam bentuk peta dan diberi nama dengan
peta nasib.
DAFTAR PUSTAKA
Carlson, R.M. 1988. Pattens Foundation of Embryology. Mc. Graw Hill Books.
New York.
Majumdar, N.M. 1985. Texbook of vertebrates Embryology. Mc. Graw Hill Publ.
Co. New Delhi.
Berril, N. L. 1971. Development Biology. Tata Mc. Graw Hill. New Delhi.