Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH ZOONOSIZ

“Prevalence of Fascioliasis in goats in different regions of Indore (M.P.), India”

“Prevalensi dari Fascioliasis di kambing di berbagai daerah Indore (MP), India”

Disusun oleh :

Caecilia Cindy Putri Ekapaksi

A / 17820017

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada era sekarang makanan yang berasal dari sumber hewani sudah mengalami
perkembangan sangat pesat, hasil sumber hewani yang biasa diambil adalah daging dan
susu. Dengan berkembangnya kesadaran masyarakat untuk memenuhi protein hewani, maka
para instasi yang tergabung dalam penjaminan mutu sumber hewani seperti misalnya dokter
hewan harus lebih meningkatkan pendekatan kepada para masyarakat dan memberikan
edukasi bahwa penyakit yang berasal dari sumber hewani ada yang bisa menular kepada
manusia atau yang bisa disebut penyakit zoonosis (penyakit hewan yang menular pada
manusia). Dengan ini diharapkan masyarakat lebih tahu dan lebih bisa saling mengingatkan
dan melindungi antar sesama maunusia agar tidak sampai terkena penyakit zoonosis.
Kambing merupakan ternak penting kedua yang memberikan kontribusi dalam
menanggulangi kemiskinan, dengan menyediakan protein hewani dari nilai kalori tinggi
dalam bentuk susu dan daging. Penyakit parasit yang biasa menyerang adalah infeksi
cacing fasciola pada ternak ruminansia menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar
dari populasi ternak dan kerugian ini karena biaya dari anthelmintics, penurunan produksi
susu dan daging.
Fasciolosis juga dikenal sebagai Fascioliasis, Distomatosis, Liver Rot, Liver Fluke dan
penyakit hati pada ternak. Kondisi parasitisme internal ini merupakan salah satu masalah
utama yang menurunkan produktivitas ternak di seluruh dunia (Vercruysse dan
Claserebont, 2001). Cacing tersebut bermigrasi dalam parenkim hati, berkembang dan
menetap dalam saluran empedu. Diagnosis berdasarkan gejala klinis sulit dilakukan. Pada
hewan diagnosis terdahap Fasciola sp berdasarkan gejala klinis harus diperkuat dengan
pemeriksaan laboratorium yang dilakukan melalui pemeriksaan feses yaitu ditemukan telur
cacing dalam feses.
Ternak ruminansia yang sering terinfeksi oleh Fasciola sp adalah ternak sapi, kambing,
domba, dan kerbau. Ternak adalah salah satu sektor yang berkembang pesat di bidang
pertanian, menawarkan peluang potensial untuk pertumbuhan ekonomi dan pengentasan
kemiskinan di kalangan penduduk pedesaan, dengan menghasilkan peluang pasar untuk
ternak miskin yang tergantung dan meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
Penyebaran Fasciola hepatica dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim dan faktor-faktor lain
yang ada kaitannya dengan cara-cara pengelolaan ternak sehingga dalam hal ini manusia
juga termasuk salah satunya.
Kerugian akibat penyakit yang di sebabkan oleh cacing, antara lain: penurunan berat
badan, penurunan kualitas daging, kulit dan jerohan, penurunan produktivitas ternak sebagai
tenaga kerja pada ternak potong dan kerja, penurunan produksi susu pada ternak perah dan
bahaya penularan pada manusia (Rahayu, 2010).
Makalah ini dibuat karena ada ketertarik yang sangat mendalam pada topik penyakit
fasciolosis ini, karena menurut pengalaman yang pernah didapatkan setelah ikut dalam
pemeriksaan postmortem yang dilakukan pada hewan qurban di daerah dekat rumah saat
idul adha yang notabene hewan ternak (sapi,kambing) ditemukan adanya cacing hati pada
organ hati hewan tersebut. Pada saat sebelum disembelih hewan nyatanya tidak menunjukan
apakah sedang sakit, bahkan hewan sangat terlihat gemuk dan makannya sangat baik serta
banyak, tetapi setelah dilakukan pemeriksaan postmortem pada bagian hati dan empedu
ditemukan cacing hati (fasciola) di bagian organ hati hewan tersebut tapi jumlah cacing
yang ditemukan masih relatif sedikit (pada bagian saluran-bagian atas hati), dan setelah itu
langsung melaporkan dan mengumumkan kepada para warga sekitar untuk tidak
mengkonsumsi hatinya karena jika tetap mengkonsumsinya dapat tertular cacing tersebut
(karena fasciolosis merupakan penyakit zoonosis).
Semoga dengan dilakukan pembahasan tentang fasciola ini saya mendapatkan banyak
referensi yang dapat menjernihkan ilmu yang saya dapat saat kuliah dan guna esok setelah
menjadi dokter hewan saya dapat memprkatekkan dan mengedukasi secara benar dan baik
untuk masyarakat luas.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah zoonosis
mengenai fasciolosis. Selain itu untuk mengetahui, mempelajari, dan mendalami salah satu
penyakit zoonosis yaitu fasciolosis.
1.3 Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah agar lebih tahu apakah itu fasciolosis,karena fasciolosis
adalah penyakit zoonosis yang sangat dekat dan sering ditemukan kejadiannya,bahkan
banyak dari kasus ini disepelekan dan tidak ter ekspos.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Fasciolosis

Fasciolosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit cacing Trematoda
(Plathyhelminthes)yaitu biasanya Fasciola gigantica (yang ada di Indonesia) dan Fasciola
hepatica (yang terbawa oleh ternak impor yang didatangkan ke Indonesia), Selain itu
terdapat cacing dari jenis trematoda lain yang dapat menyebabkan Fascioliasis pada
manusia, yaitu Fasciolopsis buski dan cacing ini menyerang usus manusia dan babi,
sehingga disebut intestinal fluke. Kelestarian semua cacing dari kelas trematoda di suatu
daerah mutlak memerlukan minimal satu induk semang antara yang berupa siput . Oleh
karena itu, induk semang definitif harus berada dalam satu lingkungan dengan siput yang
berperan sebagai induk semang perantara. Untuk kasus fasciolosis, penularan ditentukan
oleh keberadaan siput dari Famili Lymnaeidae dan keberadaan hewan mamalia lain yang
peka di sekitar tempat tinggal penduduk dan iklim (Gilman et al ., 1982) .

2.2 Etiologi Fasciola

Fascioliasis adalah penyakit yang disebabkan cacing dari genus fasciola. Berdasarkan
taxonominya cacing ini mempunyai klsifikasi sebagai berikut:
Phylum : Platyhelminthes
Sub Phylum :-
Kelas : Trematoda
Ordo : Digenea
Family : Fasciolidae
Genus : Fasciola
Species : Fasciola hepatica, Fasciola gigantica
Nama Daerah : Tidak diketahui.
Sedang secara anatomi fasciola berbentuk pipih dorsoventral. Ukuran dan bentuk fasciola
bervariasi F. giganticaberukuran 25-75 X 5-12 mm, berwarna terang dan pundaknya tidak
begitu nyata, telurnya berukuran 156-197 X 90-104 mikron. F. hepatica berukuran 25-30 X
8-15 mm, berwarna coklat keabuan dan pundaknya lebar, telurnya berukuran 130-160 X
63-90 mikron (Levin, 1994)

2.3 Epidemiologi Fasciolosis

Distri
busi Global fascioliasis 2015, negara-negara melaporkan kasus fascioliasis berbayang
warna biru. Angka tersebut menyiratkan bahwa fascioliasis didistribusikan di lebih dari
90% dari dunia ((http://www.bvgh.org/ Current-Programs/Neglected-Disease-Product-
Pipelines/GlobalHealth-Primer/Diseases/cid/ViewDetails/ItemID/23.aspx).
Fasciola sp. tersebar diseluruh dunia, dengan daerah penyebaran yang berbeda, yaitu
Fasciola hepatica terutama di wilayah beriklim sedang dan iklim dingin (India, Jepang,
Filipina, Kamboja, dan Indonesia), sedangkan Fasciola gigantica mendominasi wilayah
penyebaran di daerah beriklim tropis (Suweta, 1985). Prevalensi fasciolosis banyak terjadi
pada bagian dunia dengan curah hujan yang tinggi dan padang rumput yang basah. Faktor
penting yang mendukung siklus hidup Fasciola sp. dalam penyebarannya adalah jumlah
temak atau hewan herbivora yang terinfeksi, keberadaan siput sebagai inang antara, iklim,
suhu, kelembaban, komposisi kimia tanah, flora air, dan suplai air yang cukup (Malek,
1980).

Tingkat kejadian fasciolosis pada hewan tergantung pada terjadinya kontak atau infeksi
metaserkaria pada waktu akhir musim kering atau diawal musim hujan. Karena
pertumbuhan optimal telur menjadi mirasidium terjadi diawal musim hujan dan
perkembangan di dalam tubuh siput mencapai tahap yang lengkap pada akhir musim hujan.
Pelepasan serkaria dimulai dari awal musim kering dengan curah hujan yang masih cukup
tinggi dan menurun seiring makin rendahnya curah hujan. Cacing akan banyak ditemukan
pada pemeriksaan postmortem dan penghitungan jumlah telur dari feses diawal dari musim
penghujan, ketika populasi siput inang antara meningkat (Suhardono dkk, 1996).

2.4 Morfologi Fasciola

Cacing Fasciola sp. berwarna coklat abu-abu dengan bentuk seperti daun, pipih,
melebar dan lebih melebar ke anterior dan berakhir dengan tonjolan berbentuk conus.
Ukuran tubuh cacing dewasa dapat mencapai panjang 30 mm dan lebarnya 13 mm.
Mempunyai batil isap mulut (oral sucker) dan batil isap perut (ventral sucker) yang
besarnya hampir sama. Secara morfologi, Fasciola sp terdiri dari pharinx yang letaknya
terdapat di bawah oral. Cacing jenis ini tidak mempunyai anus dan alat ekskresinya berupa
sel api. adapun terdapat sebuah pharinx, namun pharinx tersebut tidak berotot. Tegumen
atau lapisan kutikula berfungsi memberi perlindungan terhadap pengaruh enzim pencernaan.
Tegumen padat endoparasit membantu menyerap glukosa dan asam amino. Selain itu
terdapat arterium yang letaknya di bawah penis dan esofagus, uterus, vasikula seminalis,
ovarium serta oviduk pada hewan ini (Kaiser, 2012).

Morfologi telur dan cacing dewasa cacing hati Fasciola gigantica berukuran 25-27 x 3-
12 mm, mempunyai pundak sempit, ujung posterior tumpul, ovarium lebih panjang dengan
banyak cabang, sedangkan Fasciola hepatica berukuran 35 x 10 mm, mempunyai pundak
lebar dan ujung posterior lancip. Telur Fasciola gigantica memiliki operkulum, berwarna
emas dan berukuran 190 x 100 µ, sedangkan telur Fasciola hepatica juga memiliki
operkulum, berwarna kuning emas dan berukuran 150 x 90 µ (Baker, 2007).

Morfologi Fasciola sp. Morfologi telur Fasciola sp.

2.5 Siklus Hidup Fasciola

Cacing dewasa memproduksi telur dan keluar bersama feses. Pada kondisi yang cocok
telur cacing menetas dan mengeluarkan mirasidium . Telur cacing F.hepatica akan menetas
dalam 9-12 hari pada suhu 26°C (Boray, 1969), sedangkan telur cacing F. gigantica akan
menetas dalam 14-17 hari pada suhu 28°C (Malek, 1980) . Mirasidium memiliki cilia
(rambut getar) dan aktif berenang untuk mencari induk semang antara yang sesuai, yaitu
siput Lymnaea sp ., yang kemudian akan menembus ke dalam tubuh siput . Dalam waktu 24
jam di dalam tubuh siput, mirasidium akan berubah menjadi sporosis (Boray, 1969) dan 8
hari kemudian akan berkembang menjadi redia ; I sporosis tumbuh menjadi 1-6 redia. Redia
kemudian siap keluar dari siput, bersama serkaria yang dilengkapi ekor untuk berenang, dan
akan menempel pada benda yang terendam air seperti jerami, rumput atau tumbuhan air
lainnya. Tidak lama kemudian serkaria melepaskan ekomya dan Gambar 4. Metaserkaria
(larva infektif) cacing Fasciola spp . Hati sapi yang terserang Fasciolosis membentuk kista
yang disebut metaserkaria . Metaserkaria ini merupakan bentuk infektif cacing Fasciola
spp. Bila metaserkaria termakan oleh ternakdan manusia, di dalam usus metaserkaria
tersebut akan keluar dari kista menembus dinding usus menuju ke hati . pada hewan dalam
waktu sekitar 16 minggu akan tumbuh menjadi dewasa dan mulai memproduksi telur . Masa
inkubasi fasciolosis pada manusia bervariasi, dapat berlangsung dalam beberapa hari, dalam
6 minggu, atau 2-3 bulan, bahkan bisa lebih lama lagi.

2.6 Diagnosa Fasciola

Diagnosa Fascioliasis dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni diagnosa klinis dan diagnosa
laboratorium. Diagnosa klinis berdasarkan gejala klinis, namun sulit dilakukan maka sebagai
penunjang diagnosa dapat digunakan pemeriksaan ultrasonografi (USG). Sedangkan
diagnosa laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan feses, biopsi hati, uji serologi untuk
deteksi antibodi dan antigen serta western blotting. Kendala yang ditemukan pada
pemeriksaan tinja untuk mendeteksi telur cacing adalah durasi infeksi Fasciola sp., karena
telur baru dapat ditemukan setelah 15 minggu hewan terinfeksi, sedangkan untuk infeksi
Fasciola hepatica, telur baru dapat ditemukan setelah 10 minggu hewan terinfeksi. Telur yang
keluar secara intermitten tergantung pada pengosongan kantung empedu. Telur fasciola
serupa dengan telur paramphistomum. Telur fasciola berwarna kekuningan, sedangkan telur
paramphistomum berwarna keabu-abuan (Anonim, 2012).
Pendekatan alternatif untuk diagnosis Fascioliasis adalah dengan uji serologi dan
coproantigen. Uji serologi dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi dalam serum
menggunakan ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya infeksi awal pada minggu ke 2
sampai minggu ke 4 setelah infeksi dengan sensitivitas 91 % dan spesifisitas 88 %.
Coproantigen dilakukan untuk mendeteksi antigen dalam tinja menggunakan Sandwich-
ELISA. Uji ini dapat mendeteksi adanya infeksi awal pada minggu ke 5 sampai minggu ke 9
setelah infeksi dengan sensitivitas 95 % dan spesifisitas 91 % (Estuningsih et al., 2004).

2.7 Pencegahan dan Kontrol fasciolosis

Kontrol fasciolosis pada ruminansia dapat dilaksanakan dengan manajemen pemberian


pakan, pemberian anthelmentik, kontrol biologi, vaksinasi, dan suplemen nutrisi. Manajemen
pakan dengan cara menghindarkan padang rumput lembab sebagai tempat hidup inang
antara dan mencegah hewan merumput di tempat tersebut sehingga hewan tidak memakan
bahan pakan yang mengandung metaserkaria. Selain itu, bisa juga temak diberi pakan segar
yang tidak terendam dalam air. Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa temak yang
diberi pakan rumput yang dipotong sekitar 10 cm di bawah air mempunyai resiko lebih tinggi
menderita fasciolosis daripada temak yang diberi pakan rumput kering ( Purwaningsih, et al.,
2017).

Kontrol fasciolosis pada manusia dapat dilaksanakan dengan tidak mengkonsumsi


tanaman/tumbuan air secara mentah dan juga jangan meminum air secara mentah yang
mungkin saja tanaman/tumbuhan air dan air tersebut tercemar metaserkaria dari fasciola sp.

2.8 pengobatan

Pengobatan pada ternak secara masal sebaiknya dilakukan pada musim kemarau . Pemberian
flukisida disesuaikan dengan bahan aktif yang digunakan . Untuk obat cacing yang dapat membasmi
segala stadium perkembangan cacing hati cukup dilakukan sekali saja sekitar 6-8 minggu dari panen
padi terakhir. Apabila menggunakan obat cacing yang hanya mampu membunuh cacing dewasa saja
sebaiknya dilakukan dua kali setahun yaitu pertama pada 6-8 minggu dari panen terakhir dan kedua
beberapa minggu sebelum musim penghujan tiba . Waktu pengobatan ini ditetapkan dengan
didasarkan pada pertimbanganpertimbangan :

a . Pada musim kemarau, sebagian besar siput mati karena habitatnya kering, sehingga sisa-sisa

telur cacing dalam feses ternak tidak akan menemukan siput lagi bila menetas .

b. Metaserkaria yang masih tertinggal di lahan yang tercemar akan mati kekeringan sehingga tidak

ada infeksi ulang fasciolosis pada ternak .

c . Dalam waktu bersamaan ternak dan lingkungan akan terbebas dari parasit Fasciola spp.

Pengobatan individu dengan anthelmintika sangat penting sebagai salah satu cara untuk
menggulangi penyakit cacing. Beberapa anthelmintika yang penting dan eifektif terhadap fascioliasis
antara lain Hexachlorophene, carbon tetrachlorida,hexachlorethane, dovenix, bilivon-R. Tindakan
fascioliasis secara kuratif menggunakan anthelmintika belum 1azim digunakan di Indonesia (Iradni.,
1988). Bila upaya pencegahan sudah dilakukan namuntetap terinfeksi fasciolosis, maka kasus ini
dapat diobatidengan beberapa macam anthelmintik,seperti Bithionol, Hexachloro-para-xylol,
Niclofolan, Metronidazole danTriclabendazole (Widjajanti, 2004).
BAB III

MATERI DAN METODE

Pada penelitian yang dilakukan dalam jurnal yang menjadi acuan pembuatan makalah ini
dilakukan penelitian untuk melihat prevelensi dari fasciolosis pada kambing di berbagai
daerah indore, baik yang berada di kandang rumahan maupun yang ada di rumah potong
hewan yang berada di India. Hewan ternak yang akan diperiksa fesesnya adalah kembing
dengan umur, jenis kelamin dan wilayah indore yang berbeda (Dakachya, Mangalya, Sanwer,
Mhow, Rao). Lama waktu yang dipakai adalah selama 1 tahun, dimana 1 tahun aa 3 musim
yang terjadi yaitu musim dingin (winter), musim hujan (rainy), musim panas (summer).
Cacing yang dicari (parasit experimental) pada penelitian ini adalah cacing fasciola
hepatica. Sampel feses  diambil secara langsung dari dubur setiap kambing dan dimasukkan
ke dalam kantong plastik yang bersih. Sampel feses ini diberi label dan didinginkan didalam
lemari es, untuk dilakukan pengolahan selanjutnya (pemeriksaan feses). Sampel feses akan di
analisis dengan teknik flotasi dan sedimentasi.
Tujuan dari pemeriksaan feses yaitu untuk mendeteksi keberadaan telur Fasciola sp.
Pengambilan sampel feses bisa dilakukan dengan step sebgai berikut :
a. Feses kambing diambil masing-masing ±3 sendok plastik, segera setelah defekasi
(maksimal 3 jam setelah defekasi),
b. Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik bersih, setelah itu masing-masing diberi
label dan disimpan dalam boks berisi es batu untuk menjaga agar telur cacing tidak
menetas,
c. Sampel dimasukkan dalam frezer hingga dilakukan identifikasi telur dan larva/cacing
dewasa.
 Metode flotasi
Metode ini menggunakan larutan garam jenuh atau gula jenuh sebagai alat
untuk mengapungkan telur. Metode ini terutama dipakai untuk pemeriksaan feses yang
mengandung sedikit telur. Cara kerja dari metode ini berdasarkan Berat Jenis (BJ) telur-
telur yang lebih ringan daripada BJ larutan yang digunakan sehingga telur-telur
terapung dipermukaan, dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar
yang terdapat dalam feses.
A. Bahan
Bahan yang digunakan yaitu feses, larutan garam jenuh (Brine)
B. Alat
Alat-alat yang dipergunakan yaitu tabung, kaca penutup, gelas objek, sentrifise,
tebung sentrifudse,kaca penutup,mikroskop.
C. Langkah Kerja
1. Sampel feses ditimbang sebanyak 3 gram dan dimasukkan dalam tabung.
2. Tabung diisi larutan garam jenuh (Brine) sebanyak 5 ml dan
dihomogenkan.
3. Larutan garam jenuh ditambahkan lagi hingga cembung dan didiamkan
selama 30 menit.
4. Selanjutnya mulut tabung di tutup dengan kaca penutup.
5. Kaca penutup diangkat dan diletakkan di atas gelas objek.
6. Preparat diamati di bawah mikroskop dan hasilnya diisikan ke dalam tabel
 Metode Sedimentasi
Metode ini merupakan metode yang baik untuk memeriksa sampel feses yang
sudah lama. Prinsip dari metode ini adalah dengan adanya gaya sentrifugal dapat
memisahkan antara suspensi dan supernatannya sehingga telur cacing dapat
terendapkan. Metode sedimentasi kurang efisien dibandingkan dengan metode
flotasi dalam mencari kista protozoa dan banyak macam telur cacing.
A. Bahan
Bahan yang akan digunakan adalah feses, kapas, air, methylene blue dan formalin
10%.
B. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam pengambilan feses yaitu berupa kantong plastik, cool
box, lemari pendingin, dan kamera. Alat-alat untuk pemeriksaan laboratoris adalah
timbangan yang sudah dikalibrasi, object glass, cover glass, mikroskop (perbesaran
10 x 10), sentrifus, tabung plastik sentrifus bertutup yang mempunyai skala ukuran
volume 30 ml, saringan teh, mortar, gelas ukur, sendok pengaduk, kertas saring dan
botol pot plastik.
C. Langkah Kerja
- Sampel feses sebanyak 3 gram dimasukkan dalam tabung reaksi.
- Tabung reaksi diisi aquades sebanyak 30 ml dan diaduk hingga homogen.
- Filtrat disaring sebanyak dua kali dengan kain kasa dan kapas dimasukkan ke
dalam tabung sentrifuge.
- Filtrat disentrifuge selama 3 menit dengan kecepatan 3000 rpm.
- Supernatan yang terbentuk dibuang dengan hati-hati dengan menyisakan
endapan.
- Endapan diteteskan pada objek gelas dan ditetesi metilen blue kemudian
ditutup dengan kaca penutup.
- Endapan diamati di bawah mikroskop.
- Hasil yang teramati diisikan dalam tabel pengamatan

BAB IV

HASIL
Tabel-1: Prevalensi Fascioliasis pada kambing dari berbagai daerah di Indore.

Jumlah Hasil
No. Rumah Tangga RPH Positif
Wilayah Banyak Hasil Prevalensi (%) Banyak Hasil
Pengambila positif positif Prevalens
n Feses kambing yang kambing yang i (%)
diperiksa diperiksa
1. Dakachya 225 35 15.5% 225 117 52% 152
2. Mangalya 225 29 12.8% 225 96 42.6% 125
3. Sanwer 225 23 10.2% 225 72 32% 95
4. Mhow 225 21 9.3% 225 55 24.4% 76
5. Rao 225 19 8.4% 225 43 19.1% 62

Total 1125 127 11.22% 1125 383 34.04% 510

Jumlah Prevalensi – 22.66%

Gambar –1: Prevalensi Fascioliasis pada kambing dengan berbagai daerah indore.

Gambar –2: Prevalensi fascioliasis di rumah tangga dan rph pada kambing (umur muda)
dari berbagai daerah di indore.
No.

Jumlah prevelensi (%)


Jumlah prevelensi (%)
Jumlah prevelensi (%)
Umur Muda Jantan Betina

RPH
Rumah Tangga RPH Rumah RPH Rumah Tangga
Tangga

Prevalensi (%)
Jumlah positif
Jumlah positif
Jumlah positif

Prevalensi (%)
umlah yang diperiksa

umlah yang diperiksa


Jumlah positif
Prevalensi (%)

Jumlah positif
umlah yang diperiksa
Prevalensi (%)
Jumlah yang diperiksa

Jumlah positif

Prevalensi (%)
umlah yang diperiksa
Jumlah yang diperiksa

Prevalensi (%)
Wilayah
Pengambila
n Feses

25.33%
13.86%
28.4%
1 Dakachya 75 17 22.6 75 48 64 75 8 10.6 75 24 32 75 10 13.3 75 45 60

2 Mangalya 75 13 17.3 75 45 60 75 7 9.3 75 17 22.6 75 9 12 75 34 45.3

3 Sanwer 75 10 13.3 75 30 40 75 5 6.6 75 15 20 75 8 10.6 75 27 36

4 Mhow 75 10 13.3 75 19 25.3 75 4 5.3 75 12 16 75 7 9.3 75 24 32

5 Rao 75 9 12 75 15 20 75 4 5.3 75 8 10.6 75 6 8 75 20 26.6

Total 2250 375 59 14.9% 375 157 41.86% 216 375 28 7.46% 375 76 20.2% 104 375 40 10.06% 375 150 40% 190

(sampel)

Tabel- 2: - Prevalensi fascioliasis pada rumah tangga dan rphpada kambing sehubungan dengan
faktor usia (Usia muda, kelompok laki-laki & Kelompok wanita) di wilayah indore.

Gambar – 3: Prevalensi fascioliasis di rumah tangga dan rph pada kambing (kelompok
laki-laki) di wilayah Indore.
Gambar – 4: Prevalensi fascioliasis di rumah tangga dan rph pada kambing (kelompok
betina) di wilayah Indore.

Tabel -3: Prevalensi Fascioliasis dari musim yang berbeda pada kambing di wilayah
Indore.
Rumah Tangga RPH

Jumlah prevelensi
(%)
Wilayah
Pengambilan
Musim

umlah positif

umlah positif

Prevalensi (%)
Prevalensi (%)

Jumlah prevelensi (%)


Jumlah yang diperiksa
Jumlah yang diperiksa

Jumlah prevelensi (%)

Feses

Dakachya 75 23 30.6 75 56 74.6


54.9%
22.13%

58.6 %

Mangalya 75 19 25.3 75 50 66.6


Hujan

Sanwer 75 14 18.6 75 44 58.6


Mhow 75 13 17.3 75 31 41.3
Rao 75 14 18.6 75 25 33.3
Dingin

Dakachya
30.66%

75 8 10.6 75 42 56
8.26%

Mangalya 75 7 9.3 75 31 41.3


Sanwer 75 6 8 75 17 22.6
Mhow 75 6 8 75 14 18.6

10% 19.46%
Rao

75 4 5.3 75 11 14.6
Dakachya

16.53%
75 4 5.3 75 19 25.3

3.46%
Mangalya
Panas

75 3 4 75 15 20
Sanwer 75 3 4 75 11 14.6
Mhow 75 2 2.6 75 10 13.3
Rao 75 1 1.3 75 7 9.3
Total 1125 127 11.29% 11.22% 1125 383 34.04% 34% 22.66%

Gambar-5: Prevalensi Fascioliasis di rumah tangga dan rph pada kambing dari berbagai
daerah di Indore selama Musim hujan.

Gambar- 6: Prevalensi Fascioliasis di rumah tangga dan rph pada kambing dari berbagai
daerah di Indore selama Musim dingin.
Gambar 7: Prevalensi Fascioliasis di rumah tangga dan rph pada kambing dari berbagai
daerah di indore selama Musim panas.

Selama periode penelitian ini, total 2.250 sampel feses dikumpulkan dari wilayah Indore
di India. Di mana, 1.125 sampel feses dikumpulkan dari rumah tangga dan 1125 sampel feses
dikumpulkan dari rph. Sampel feses ini diperiksa menggunakan pemeriksaan feses, 510 sampel
feses ditemukan positif dari 2250. Di rumah tangga 127 sampel feses ditemukan positif dari
1.125 dan 383 sampel feses ditemukan positif untuk RPH dari 1125. Hasil prevalensi fascioliasis
dari ringkasan dapat diuraikan dalam (Tabel: - 1-3 dan gambar: - 1-7). Prevalensi keseluruhan
fascioliasis adalah 22,66% pada kambing. Di mana, pada rumah tangga adalah 11,22% dan
34,04% di RPH.
Pada kelompok usia muda prevalensi fascioliasis adalah 28,4%. Di mana, rumah tangga
adalah 14,9% dan 41,86% di RPH. Pada kelompok laki-laki prevalensi fascioliasis adalah
13,86%. Di mana, rumah tangga adalah 7,46% dan 20,2% pada RPH. Pada kelompok perempuan
prevalensi fascioliasis adalah 25,33%. Di mana, rumah tangga adalah 10,06% dan 40% di RPH.
Prevalensi fascioliasis di musim hujan adalah (58,6%). Di mana, rumah tangga adalah
22,13% dan 54,9% pada RPH. Prevalensi fascioliasis di musim dingin adalah (19,46%). Di
mana, rumah tangga adalah (8,26%) dan (30,66%) di RPH. Prevalensi fascioliasis di musim
panas adalah (10%). Di mana, rumah tangga adalah (3,46%) dan (16,53%) RPH. Prevalensi satu
tahun lengkap (banyak kambing yang diperiksa) dalam kaitannya musim diamati (58,6%) di
musim hujan diikuti oleh di musim dingin (19,46%) dan di musim panas (10%).

BAB V
PEMBAHASAN

Kelompok usia muda kambing ditemukan terinfeksi lebih banyak dengan cacing
merupakan faktor penting dalam timbulnya infeksi karena imunitas memainkan peran besar
dalam pembentukan parasit dalam tubuh inang. Pada hewan dewasa, prevalensi cacing rendah
karena perkembangan imunitas signifikan. Ketika hewan mulai memasuki usia satu tahun
infeksi parasit dieliminasi biasa disebut fenomena penyembuhan diri dan tinggi diperoleh
kekebalan yang meningkat dengan usia. (Winkler, 1982) melaporkan bahwa host dapat pulih dari
infeksi parasit dengan bertambahnya usia dan karenanya menjadi resisten. Di sisi lain, kelompok
usia muda dari kambing lebih terinfeksi daripada kambing dewasa mungkin karena menurunkan
kekebalan.

Pada kambing betina lebih sering terinfeksi. Keanehan fisiologis hewan betina yang
biasanya merupakan faktor stres seperti calving dan menyusui mengurangi kekebalan mereka
untuk infeksi. Kambing betina biasanya lemah dan kurang gizi yang mengakibatkan lebih rentan
terhadap infeksi selain beberapa alasan lain.

Kambing lebih sering terinfeksi di musim hujan daripada di musim panas dan musim
dingin. Penelitian ini juga menunjukkan hubungan musim dengan infeksi sangat erat dan
menunjukkan bahwa infeksi tertinggi terjadi di musim hujan diikuti oleh di musim dingin dan di
musim panas (Tamloorkar et al., 2002). Kondisi iklim, terutama curah hujan, yang sering
dikaitkan dengan perbedaan yang terjadi dalam prevalensi fascioliasis, karena ini cocok untuk
host intermediate seperti siput untuk berreproduksi dan bertahan lebih lama dalam kondisi
lembab (Ahmed et al., 2007).

Fasciola hepatica ditemukan secara signifikan lebih tinggi selama musim hujan
dibandingkan musim kemarau. Proporsi hewan yang menjadi perantara telur meningkat secara
bertahap dari awal musim kemarau dan memuncak pada akhir musim kemarau dan awal musim
hujan (Keyyu et al., 2005).

Melihat hasil penelitian dapat diuraikan bahwa, keberhasilan peternak tidak hanya
terletak pada usaha pengembangan jumlah yang dipelihara, namun juga pada perawatan dan
pengawasan yang meliputi dalam hal, makanannya, minumannya, pengembalaan serta
pengelolaan dan pengobatan, sehingga kesehatan ternak tetap terjaga. Perawatan dan pengobatan
pada ternak memerlukan pertimbangan dari berbagai segi baik segi penyakit atau segi ekonomi.
Segi penyakit (ringan, tidak menular, atau menular). Penyakit yang sulit ditanggulangi atau
disembuhkan serta berbahaya bagi peternak yang lain karena bisa menular, sehingga harus
dijauhi. Segi ekonomi, bila biaya pengobatan lebih tinggi dari pada nilai ternaknya, maka lebih
baik sapi tersebut dijual sebagai ternak potong, dengan catatan penyakit tersebut tidak
membahayakan konsumen. Lingkungan besar pengaruhnya terhadap kehidupan ternak karena
bila suatu lingkungan tercemar suatu penyakit, maka penyakit tersebut akan mudah masuk dalam
tubuh ternak yang antara lain melewati makanan dan minuman. Kondisi lingkungan terkait
dengan iklim, perairan, tanah dan organisme lain yang biasanya digunakan sebagai perantara
(hospes) bagi suatu penyakit pada ternak.

Lingkungan erat kaitannya dengan kehidupan ternak, selain itu juga makanan sangat
mempengaruhi terhadap kehidupan ternak ternak, karena apabila rumput atau makanan hijauan
telah terinfeksi oleh larva cacing parasit, maka akan masuk ke dalam tubuh hewan tersebut.
Penyakit yang diakibatkan oleh cacing parasit merupakan penyakit yang kronis atau menahun,
dari hati dan kantung empedu tanda-tandanya berupa gangguan pencernaan yaitu adanya gejala
kontipasi yang jelas, dan kadang-kadang mencret, terjadi pula pengurusan yang cepat, lemah dan
anemia. Bentuk kronis pada sapi berupa penurunan produktivitas dan pertumbuhan yang
terhambat, bentuk akut pada ternak berupa kematian mendadak disertai darah yang merembes
dari hidung dan anus ( Firdaus M, et al., 2017).

DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, E.F., Markvichtr, K., Tumwasorn, S., Koonawootrittriron, S., Choothesa, A.,
Jittapalapong, S. (2007). Prevalence of Fasciola spp. infections of sheep in the middle
awash River Basin, Ethiopia South-east Asian J Trop Med Public Health, 38, 51-57.

Anonim. 2012. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Jakarta: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan
Hewan.

Baker D.G. 2007. Flynn’s Parasites of Laboratory Animals. Second edition. American College
of Laboratory Animal Medicine. USA: Blackwell Publishing.

Beesley N.J; Caminade J; Charlier C; Flynn R.J; Hodgkinson J.H; Moreno M.A; Valladares
M.M; Perez J; Rinaldi L; Williams D.J.L. 2017. Fasciola And Fasciolosis In Ruminants
In Europe: Identifying Research Needs. Biotechnology and Biological Sciences Research
Council (BBSRC). DOI: 10.1111/tbed.12682.

Boray, J.C. 1969. Studies on intestinal Paramphistomosis in sheep due to Paramphistomum


ichikawai Fukui, 1922. Vet. Med. Review.4: 290-308.

Cwiklinski K; O’neill S.M; Donnelly S; Dalton J.P. 2016. A prospective view of animal and
human Fasciolosis. Parasite Immunology, 2016, 38, 558–568. DOI: 10.1111/pim.12343.

Diyana J.N.A; Lokman I,H; NurFazila S.H; Latiffah H; Ibitoye E.B; Hazfalinda H.N;
Chandrawathani P; Juriah K; Mahiza M.I.N. 2019. A Retrospective Study on Bovine
Fascioliasis in Veterinary Regional Laboratories in Peninsular Malaysia. Journal of
Parasitology Research. Volume 2019, Article ID 7903682, 5 pages.
https://doi.org/10.1155/2019/7903682.

Estuningsih, S.E., S.Widjajanti dan G. Adiwinata. 2004.Perbandingan antara uji elisa-antibodi


dan pemeriksaan telur cacing untuk mendeteksi infeksi Fasciola gigantica pada
sapi.JITV 9(1) : 55-60.

Firdaus M; Sujarwanta A; Lepiyanto A. 2017. Studi Rentan Infeksi Cacing Parasit (Fasciola
Hepatica) Pada Hati Sapi. Prosidingseminar Nasional Pendidikan. ISBN : 978-602-
70313-2-6.
Gilman, RH., Mondal, G., Maksud, M., Alam, K., Rutherford, E., Gilman, J.B., and Khan, M.U.
1982. Endemic Focus of Fasciolopsis buski Infection in Bangladesh. The American
Journal of Tropical Medicine and Hygiene. 31 (4): 796—802. http://www.ajtmh.org.cgi.

Kaiser , Gary E. 2012. The Liver Fluke Fasciola hepatica trematode (diakses pada tanggal 13
Desember 2019 ). (http://faculty.ccbcmd.edu/courses/bio141/labmanua/lab20/lfluke.html)

Keyyu, J.D., Monrad, J., Kyvsgaard, N.C. and Kassuku, A.A. (2005). Epidemiology of Fasciola
gigantica and amphistomes in cattle on traditional, smallscale dairy and large-scale
dairy farms in the southern highlands of Tanzania. Trop Animal Health Prod, 37, 303-
314.

Levine, N.D. 1994. Buku pelajaran parasitologi veteriner. Gadjah Mada University Prees.
Yogyakarta.

Majawati E.S; Matatula A.E. 2018. Indentifikasi Telur Cacing Fasciola Hepatica Pada Sapi Di
Peternakan Sapi Daerah Tenggerang. J. Kedokt Meditek Volume 24, No. 68.

Malek E.A. 1980. Snail-Transmitted Parasitic Disease. Vol. 11. Florida: CRC Press.

Nyindo M; Lukambagire A.H. 2015. Fascioliasis: An Ongoing Zoonotic Trematode Infection.


Hindawi Publishing Corporation. Volume 2015, Article ID 786195, 8 pages.

Purwaningsih; Noviyanti; Putra R.P. 2017. Distribusi dan Faktor Risiko Fasciolosis pada Sapi
Bali di Distrik Prafi, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. ACTA
VETERINARIA INDONESIANA. P-ISSN 2337-3202, E-ISSN 2337-4373. Vol. 5, No.
2: 120-126.

Rahayu I.D. 2010. Penyakit parasit pada r u m i n a n s i a. Diakses tanggal 12 Desember, 2019.

Rozi F; Handoko J; Febriyanti R. 2015. Infestasi Cacing Hati (Fasciola Sp.) Dan Cacing
Lambung (Paramphistomum Sp.) Pada Sapi Bali Dewasa Di Kecamatan Tenayan Raya
Kota Pekanbaru. JURNAL SAIN VETERINER ISSN : 0126 – 0421.

Suhardono, Berijaya, & Copeman DB.1996. Alternative to anthelmentic for control of


fasciolosis and gastrointestinal nematoda parasitism in Indonesian sheep and goats
[abstrak]. Di dalam: WorkshopSustainable Parasite control in Small Ruminants; Bogor,
22-25 April 1996. Bogor-Indonesia.

Suweta, P.Sapi. 1985. Kerugian Ekonomi oleh Cacing Hati pada Alumni. Bandung.

Solanki S; Gaherwal S; Shrivastava C.S; Shrivatava S. 2016. Prevalence Of Fascioliasis In


Goats In Different Regions Of Indore (M.P.), India. Volume : 5 | Issue : 1 | JANUARY
2016. ISSN No 2277 – 8179.

Tamloorkar, S.L., Narladkar, B.W. and Deshpande, P.D. (2002). Incidence of fluke infections in
ruminants of Marathwada region. J Vet Parasitol, 16, 65-67.

Vercruysse, J. and Claerebout, E. (2001). Treatment vs. non-treatment of helminth infections in


cattle: defining the threshold. Vet. Parasitol, 98: 195– 214.

Widjajanti N. 2004. Obat-obatan. Edisi Ke 2. Jakarta. Penerbit Kanisius.

Winkler, J. (1982). Prevalence of helminths in sheep and goats. Aust Vet J, 12, 14-18.

Zalizar L. 2017. Studi Rentan Infeksi Cacing Parasit (Fasciola Hepatica) Pada Hati Sapi. Jurnal
Ilmu-Ilmu Peternakan. ISSN: 0852-3681 E-ISSN : 2443-0765. DOI :
10.21776/ub.jiip.2017.027.02.01

Anda mungkin juga menyukai