Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
II.1 Latar Belakang
Otak merupakan bagian tubuh yang bisa dikatakan paling vital.
Sebab hampir sebagian aktivitas yang dijalankan tubuh dikoordinasikan
oleh organ ini. Ditambah lagi anggapan yang menyatakan bahwa setelah
lahir, otak kita tidak akan mengalami penambahan jumlah sel otak, yang
mengakibatkan kerusakan otak semakin sulit untuk sembuh secara
sempurna seperti organ-organ yang lainnya. Sistem Saraf pun demikian.
Sistem saraf mengandung ratusan juta bahkan milyaran sel yang siap
mengantarkan seluruh pesan yang akan kita kirimkan ke bagian tubuh
yang lain, di samping pula hormon, namun bila dihantarkan oleh saraf,
pesan akan lebih cepat dikirim. Namun bagaimana apabila bagian-bagian
vital tubuh ini diserang oleh berbagai penyakit. Tentunya segalanya akan
menjadi sangat repot. Manusia tidak lagi dapat bekerja dengan baik.
Multipel sclerosis (MS) adalah salah satu penyakit saraf yang
menyerang sel-sel saraf di bagian sistem saraf pusat. Penyakit ini
menyebabkan kerusakan pada selubung mielin saraf manusia sehingga
menyebabkan gangguan sistem hantaran impulspadasaraftersebut.MS
mempengaruhi area dari otak dan syaraf tulang belakang yang dikenal
sebagai substansi alba.
Sel-sel substansi alba membawa sinyal antara area substansi abu-
abu, dimana pemrosesan dilakukan, dan hasilnya dikirimkan ke tubuh.
Lebih khususnya, MS menghancurkan oligodendrocytes yang adalah sel-
sel bertanggung jawab untuk membuat dan memelihara satu lapisan lemak,
yang dikenal sebagai sarung pelindung myelin, yang membantu neuron
membawa sinyal elektrik. MS menyebabkan penipisan atau kerusakan
total myelin dan sering memotong perluasan neuron atau axons. Ketika
myelin hilang, neuron tidak bisa lagi secara efektif menghantarkan sinyal
elektrik.
Nama multipel sklerosa mengacu pada jaringan parut (scleroses –
lebih dikenal sebagai plak atau lesi) dalam substansi alba. Tingkat
kerusakan myelin dalam lesi ini menyebabkan sebagian dari gejala,
bervariasi tergantung atas daerah yang mengalami kerusakan. Hampir
semua gejala neurologis bisa menyertai penyakit ini. Untuk lebih jelasnya
akan dijelaskan pada bab berikutnya.
II.1 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu agar mahasiswa
dapat mengetahui definisi, etiologi, epidemiologi, patologi, patofisiologi,
gejala klinis, dan terapi dari penyakit Multiple Sclerosis (MS).
II.1 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu :
1. Apa definisi dari Multiple Sclerosis (MS)?
2. Bagaimana etiologi dari Multiple Sclerosis (MS)?
3. Bagaimana patofisiologi dari Multiple Sclerosis (MS)?
4. Bagaimana patologi dari Multiple Sclerosis (MS)
5. Apa saja gejala klinis dari Multiple Sclerosis (MS)?
6. Bagaimana penatalaksanaan terapi dari Multiple Sclerosis (MS)?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi Multiple Sclerosis (MS)
Multipel sclerosis (MS) adalah satu kondisi autoimun dimana
sistem kekebalan tubuh menyerang sistem saraf pusat (SSP), yang
mendorong ke arah terjadinya demielinisasi. Menyebabkan banyak gejala
fisik dan mental, dan sering juga berkembang menjadi cacat fisik dan
kognitif. Serangan Penyakit biasanya terjadi pada dewasa muda, umumnya
terjadi pada wanita, dan mempunyai prevalensi mencakup antara 2 sampai
150 setiap 100,000 tergantung pada negara atau populasi spesifik. MS
pertama digambarkan pada tahun 1835 oleh Jean-Martin Charcot. 1
Penyakit ini menyebabkan luka-luka pada sarung pelindung mielin (lemak
yang melingkupi aksons sel-sel saraf), oligodendrosit (sel-sel yang
menghasilkan mielin), akson dan sel-sel saraf. Gejala dari multipel
sklerosis bervariasi, tergantung pada lokasi dari plak (area dari jaringan
parut) di dalam sistem saraf pusat. Gejala umum mencakup kelemahan dan
kelelahan, gangguan sensoris di dalam limbus, gangguan fungsi saluran
kemih atau saluran pencernaan, gangguan fungsi seksual, dan kehilangan
keseimbangan. Walaupun penyakit ini tidak dapat diobati atau dicegah
pada saat ini, penanganannya adalah untuk mengurangi gejala dan
progresivitas.2
II.2 Epidemiologi
Menurut National Multiple Sclerosis Society, kira-kira 400,000
orang Amerika tercatat menderita MS, dan pada setiap minggunya sekitar
200 orang didiagnosis MS. Di seluruh dunia, MS mungkin diderita 2.5 juta
individu. Umumnya serangan terjadi dalam dekade ketiga dan keempat,
walaupun penyakit ini bisa mulai dalam masa kanak-kanak dan juga di
atas usia 60 tahun. Secara keseluruhan, MS terjadi lebih sering pada
wanita dibandingkan laki-laki, dengan perbandingan adalah kira-kira 2:1. 2
Multipel sklerosis lebih sering ditemukan pada daerah dengan suhu sedang
dibandingkan dengan daerah iklim tropis. Perbedaan etnis pada insidensi
penyakit merupakan argumen kerentanan genetik terhadap kondisi ini.
Akan tetapi, variasi geografis juga memperlihatkan peran faktor
lingkungan, misalnya virus. Hal ini terutama terlihat dari epidemi
munculnya multipel sklerosis, misalnya pada Kepulauan Faroe dan
Islandia. Terdapat juga bukti bahwa orang yang dilahirkan pada daerah
yang berisiko tinggi untuk multipel sklerosis akan membawa risiko
tersebut jika mereka pindah ke daerah dengan risiko rendah dan
sebaliknya, tetapi hanya jika perpindahan terjadi pada usia remaja.
Hal ini menunjukkan bahwa virus yang berdasarkan hipotesis
bekerja pada dekade pertama atau kedua kehidupan. 3 Multipel sklerosis
jarang terjadi pada khatulistiwa dan garis lintang 30°–35° utara dan
selatan. Pada umumnya multipel sklerosis meningkat secara proporsional
dengan meningkatnya jarak dari garis katulistiwa. Tidak ada
penjelasanyang memuaskan mengenai peristiwa ini, walaupun variabel
tertentu telah diteliti. Hal ini karena meliputi faktor-faktor lingkungan,
seperti iklim, kelembaban, resistensi pada virus tertentu, konsumsi susu
sapi.2
II.3 PATOLOGI
Penyakit ini terutama mengenai substansia alba otak dan medula
spinalis, serta nervus optikus. Ditemukan sel inflamasi kronik dan
kerusakan mielin dengan akson yang relatif masih baik. Pada substansia
alba terdapat area yang relatif tampak normal yang berselang – seling
dengan fokus inflamasi dan demielinisasi yang disebut juga plak, yang
sering kali terletak dekat venula. Demielinisasi inflamasi jalur Sistem
Saraf Pusat (SSP) menyebabkan penurunan dan gangguan kecepatan
hantar saraf dan akhirnya hilangnya penghantaran informasi oleh jaras
tertentu.3
Plak inflamasi akan mengalami evolusi seiring dengan waktu. Pada
tahap awal terjadi perombakan lokal sawar darah otak, diikuti inflamasi
dengan edema, hilangnya mielin, dan akhirnya jaringan parut SSP yaitu
gliosis. Hasil akhir akan menyebabkan daerah sklerosis yang mengerut,
yang berkaitan dengan defisit klinis minimal dibandingkan saat plak masih
aktif. Hal ini sebagian disebabkan oleh remielinisasi yang merupakan
potensi SSP, dan juga memperjelas kembalinya fungsi dengan resolusi
inflamasi dan edema. Keadaan patologis ini berhubungan dengan pola
klinis relaps multipel sklerosis, yaitu terjadi gejala untuk suatu periode
tertentu yang selanjutnya membaik secara parsial atau total. Lesi inflamasi
lebih lanjut yang terletak dekat lokasi kerusakan yang sudah ada
sebelumnya akan menyebabkan akumulasi defisit neurologis.
Plak tidak harus berhubungan dengan kejadian klinis spesifik,
misalnya jika plak hanya kecil saja dan terletak pada area SSP yang relatif
tenang.3 MS ditandai oleh fokus demielinisasi (plak) dan berikutnya,
pengrusakan dari badan sel akson dan neuronal. Perubahan ini bisa tampak
dimanapun dalam sistem saraf pusat tetapi mempunyai tempat predileksi
di daerah periaquaduktus, dasar ventrikel keempat, dan area subpial saraf
tulang belakang.Neuron dalam substansi abu-abu sering terlihat utuh dan
astrosit sedikit meningkat jumlahnya. Plak di substansi alba berwarna abu-
abu dan keras, ditandai dengan proliferasi glial, fibrillary gliosis, dan
peningkatan kepadatan serat retikulin. Multipel dan fokus sklerotik
inilahyang memberikan nama pada penyakit ini.4,5
II.4 Etiologi dan Patofisiologi
Penyebab dari multipel sklerosis tetap tidak diketahui, walaupun
kegiatan penelitian dibidang ini sudah banyak dilakukan. Hipotesis yang
tidak terhitung banyaknya sudah diajukan. Sebagian besar multipel
sklerosis di Eropa adalah tipe HLA-A3, B7, DW2 dan DR2. Selama
serangan akut, jumlah sel-sel supresor dalam darah perifer berkurang.
Penelitian eksperimental mendukung teori dari infeksi slow virus atau
reaksi autoimun. Inokulasi ke dalam domba berupa jaringan saraf yang
diambil dari pasien dengan multipel sklerosis memprovokasi serangan
penyakit Scrapie, suatu penyakit SSP yang dapat ditransmisikan pada
domba setelah interval laten kira-kira 18 bulan.
Dua penyakit SSP progresif kronik lainnya pada manusia diketahui
dapat ditransmisikan pada simpanse yaitu penyakit Kuru dan penyakit
Creutzfeldt-Jacob. Walaupun titer campak yang meningkat sering terdapat
pada pasien multipel sklerosis, tetapi virus campak tidak dapat dianggap
sebagai virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini. Patogenesis dari
multipel sklerosis sebagian komplemen dan sebagian berlawanan dengan
mekanisme autoimun, teori ini didukung oleh model percobaan
ensefalomielitis alergika eksperimental pada binatang. Pada tahun-tahun
terakhir ini, perjalanan penyakit yang berulang telah ditemukan pada
binatang percobaan. Suatu sensitisasi yang terlambat terhadap protein
sensefalitogenik dari SSP telah diperlihatkan terjadi melalui reaksi imun
seluler.
Limfosit yang tersensitisasi merupakan karier yang paling penting
dari proses ini.4 Peran mekanisme imun pada patogenesis multipel
sklerosis didukung beberapa temuan, seperti adanya sel inflamasi kronik
pada plak aktif dan hubungan kondisi ini dengan gen spesifik pada
kompleks histokompatibilitas mayor (major histocompatibility, MHC).
Banyak gangguan autoimun yang ternyata berhubungan dengan kelompok
gen ini.3 Hubungan dengan MHC merupakan salah satu bukti pengaruh
komponen genetik dalam etiologi multipel sklerosis, begitu pula adanya
kasus pada keluarga, dan temuan peningkatan kejadian pada kasus kembar
identik (monozigot) dibandingkan kembar nonidentik (dizigot). Akan
tetapi, belum ditemukan gen tunggal yang penting untuk terjadinya
multipel sklerosis.3
Fokal area dari destruksi mielin di dalam MS terjadi dengan latar
belakang suatu proses radang yang didominasi oleh penyusupan dari T-
limfosit, hematogen makrofag, aktivasi dari lokal mikroglia, dan adanya
sedikit B-limfosit atau sel-sel plasma. Proses peradangan ini berhubungan
dengan peningkatan berbagai cytokines di dalam lesi MS, mencakup
interleukin-1,2,4,6,10,12, gamma-interferon (c-IFN), tumor necrosis alfa
factor (TNF-a), dan transforming growth beta faktor (TGF-b).6 Tanda
patologik multipel sklerosis adalah multisentrik, inflamasi SSP multifasik
dan demielinisasi. Pada mulanya, setiap luka multipel sklerosis
kemungkinan melalui suatu peristiwa dari demielinisasi dan remielinisasi
menuju ke plak kronik dengan preserfasi relatif dari akson serta gliosis.
Dengan begitu, terjadi disfungsi neuropsikologikal, meskipun jaringan
neural yang esensial utuh, sampai akhir perjalanan penyakit.
Bagaimanapun, penelitian saat ini telah menemukan axonal transections
benar-benar terjadi selama eksaserbasi akut; selanjutnya, kerusakan
axonal, yang dilihat dengan magnetic resonance spektroscopy,
berhubungan dengan kelainan klinis. Jelas, diperlukan lebih banyak usaha
untuk memahami asosiasi antara peradangan-media demielinisasi, axonal
injury, dan kelainan klinis.7
II.5 Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang khas:
• Serangan yang berulang terjadi pada interval yang tidak teratur, dengan
penyembuhan sempurna atau parsial dari tanda dan gejalanya di antara
setiap serangan pada kira-kira 60% kasus.• Lokasi serangan tersebar di
seluruh SSP, sehingga menimbulkan gambaran klinis yang sangat
bervariasi.• Pada saat yang sama, tanda-tanda penyakit dapat ditemukan,
yang menunjukan fokus-fokus demielinisasi pada berbagai lokasi
misalnya atrofi optik disertai paraplegia.
• Serangan yang berturut-turut dari penyakit ini dapat menyebabkan
kelainan berbagai sistem misalnya kelumpuhan okuler yang diikuti satu
tahun kemudian dengan gangguan miksi.8
Manifestasi yang sering terjadi pada multipel sklerosis adalah :
1. Gangguan visual Neuritis optik (retrobulbar) merupakan gangguan
visual khas yang merupakan tanda onset multipel sklerosis. Patologi
dasarnya adalah demielinisasi inflamasi pada satu atau kedua nervus
optik. Gejala neuritis optik unilateral meliputi :
• Nyeri disekitar salah satu mata terutama saat mata bergerak
• Penglihatan kabur dan dapat berlanjut menjadi kebutaan total
monookular
• Hilangnya penglihatan warna
Selain gangguan ketajaman penglihatan dan warna, pemeriksaan dapat
menunjukan :
• Diskus optikus membengkak, dan kemerahan pada funduskopi jika area
demielinisasi inflamasi terletak langsung dibelakang papil nervus optikus
• Defek lapang pandang umumnya berupa skotoma sentral pada mata yang
terkena
• Defek pupil aferen relative
Neuritis optik biasanya akan membaik setelah beberapa minggu
atau bulan, walaupun pasien tetap memiliki ganggguan penglihatan pada
mata yang terkena, dan funduskopi umumnya menunjukkan diskus optikus
yang pucat karena atrofi nervus optikus.
2. Gejala dari gangguan batang otak
Trigeminal neuralgia terjadi pada 1.5% pasien MS dan 300 kali
lebih banyak terjadi dalam kelompok ini dibandingkan di dalam populasi
umum. Trigeminal neuralgia, dua kali lipat terjadi bilateral dalam pasien
multipel sklerosis dibandingkan populasi pada umumnya. Seringkali, nyeri
muncul di antara serangan paroksismal, dan bisa saja nyeri terjadi diluar
dari distribusi syaraf trigeminal, kelumpuhan nervus fasialis, atau gejala
lain yang menyertai tanda gejala pada lesi pontine.
3. Gejala gangguan serebelar
Tanda dan gejala serebelar terdapat pada ¾ kasus. Gerakan ataksia
sering kali merupakan tanda yang menonjol yang terutama mengenai gaya
berjalan pasien, yang tidak hanya spesifik tetapi juga ataksik. Yang
terutama berkesan dan sangat karakteristik pada multipel sklerosis adalah
tremor intensi yang menyertai gerakan volunter misalnya tes jari-hidung.
Tremor menunjukan suatu lesi dari nukleus dentatus yang mengenai
serabut-serabut eferennya. Disdiadokokinesia dan dismetria pada gerakan
dapat ditemukan, biasanya disertai oleh tanda-tanda spastisitas dan refleks
di tendon yang meningkat. Gangguan bicara dideskripsikan sebagai irama
yang tidak beraturan dan eksplosif.4,5
4. Gejala ekstrapiramidal
Lebih dari 80% dari pasien multipel sklerosis menderita gejala
kejang paraparesis dengan gejala bilateral traktus piramidal dan
hiperrefleksi. Jika gejala kejang paraparesis muncul dalam waktu yang
lama, diagnosis dari multipel sklerosis harus dipertanyakan. Paraparesis
progresif mungkin saja hanya satu-satunya gejala multipel sklerosis,
terutama sekali didalam onset akhir penyakit, dan cenderung menjadi
progresif dalam beberapa kasus. Tidak adanya refleks kulit abdominal
dapat menjadi tanda dari kejang paraparesis. Hal ini tidak memiliki nilai
informatif sebagai satu temuan terisolasi, refleks ini tidak dimiliki oleh
20% orang dewasa normal, tetapi menjadi signifikan jika muncul bersama
dengan refleks dinding abdominal yang berlebihan. 4,5
5. Fenomena mirip bangkitan
Timbulnya serangan epileptik pada multipel sklerosis sudah
berulang-ulang diajukan dan diabaikan. Pada kelompok pasien multipel
sklerosis yang diteliti ternyata epilepsi 4 kali lebih sering dibandingkan
populasi umum. Serangan batang otak paroksismal harus membangkitkan
kecurigaan adanya multipel sklerosis terutama pada pasien muda. Kelainan
ini dapat terjadi sebagai tanda penyakit yang timbul, dengan cara yang
sama seperti serangan berupa kehilangan tonus otot yang menyebabkan
pasien jatuh atau seperti distonia paroksismal. Sebagian serangan berulang
yang berlangsung selama 15-45 detik, disertai oleh disartria paroksismal
dan ataksia.4,5
6. Gangguan mental
Pasien dengan multipel sklerosis tidak jarang memperlihatkan
euforia yang tidak sesuai kurangnya menyadari penyakitnya. Makin lama
perjalanan penyakitnya, makin mungkin timbul perubahan psikoorganik
yang terutama pada kasus-kasus dengan perjalanan penyakit yang panjang,
dapat menimbulkan demensia pada ¼ pasien. Gangguan mental dapat
merupakan gejala dari MS, biasanya berkaitan dengan kelainan batang
otak; tentu saja, gambaran psikotik dapat merupakan tanda dini dari
penyakit ini. Pada stadium yang lebih dini, tanda kelainan mental dapat
ditemukan pada kira-kira 3% kasus.4,5
7. Gangguan miksi
Pada saat pertama kali masuk rumah sakit, sekitar 20% pasien
memperlihatkan gangguan ini. Yang paling sering adalah dorongan yang
tidak terkontrol untuk miksi, yang dapat menimbulkan pasien mengompol.
Bentuk lain dari inkontinensia kurang sering ditemukan.4,5
8. Gangguan Sensorimotorik
Manifestasi sensorik dan motorik umumnya menunjukkan lesi
pada medula spinalis atau hemisfer serebri. Contohnya, pasien mengalami
paraparesis spastik asimetris dan atau parestesia, anestesia suhu, dan
disestesia pada anggota gerak. Lesi pada kolumna posterior medula
spinalis servikal dapat menyebabkan gejala yang hampir patognomonik
yaitu sensasi kesemutan yang menjalar ke lengan atau tungkai saat fleksi
leher (Fenomena Lhermitte).
II.6 Perjalanan Penyakit
Pada waktu evolusi gejala yang umum terjadi adalah gambaran
klinis memburuk selama beberapa hari atau minggu, mencapai plateu dan
kemudian membaik secara bertahap, sebagian atau total, selama beberapa
minggu atau bulan. Kemudian dapat terjadi rekurensi pada interval yang
tidak dapat diperkirakan, yang mengenai bagian yang sama atau berbeda
dari SSP. Peran cedera fisik, infeksi, kehamilan, dan stres emosional
dalam menyebabkan relaps masih kontroversial.3
Dapat terjadi resolusi simtomatik total atau hampir total,
khususnya dengan episode – episode awal (penyakit relaps–remisi, kurang
lebih pada 80% pasien). Akan tetapi, episode demielinisasi berikutnya
dapat menyebabkan ketidakmampuan residu, sehingga pasien memasuki
fase sekunder progresi stabil tanpa resolusi (penyakit progresif sekunder).
Beberapa pasien (kira – kira 10%), terutama pada kasus paraparesis spastik
di usia pertengahan, tidak akan mengalami relaps dan remisi yang jelas
(penyakit progresif primer).3 Perjalanan alamiah multipel sklerosis pada
tiap pasien amat bervariasi. Beberapa pasien dapat mengalami satu atau
lebih episode inisial kemudian tidak ada gejala untuk bertahun–tahun (pola
jinak terjadi pada 10% kasus). Sebagian akan mengalami akumulasi
disabilitas, walaupun tetap mampu bekerja selama bertahun–tahun. Akan
tetapi, sekelompok pasien (hingga sepertiga kasus) terkenanya lebih parah.
Saat ini belum dapat diprediksi prognosis setiap pasien, walaupun
biasanya keterlibatan motorik dan serebelar mempunyai prognosis lebih
buruk.3 Gejala klinis pasien usia muda dengan multipel sklerosis lanjut,
sangat membebani keluarga dan orang yang merawat. Kadang–kadang
penyakit bersifat hiperakut, dan terjadi kematian dalam beberapa bulan,
tetapi harapan hidup rata–rata pasien dengan penyakit progresif adalah
lebih dari 25 tahun setelah onset. Pasien dengan penyakit progresif primer
dapat mengalami akumulasi disabilitas perlahan–lahan walau dari definisi
berarti tanpa ada remisi; sehingga prognosis jangka panjang biasanya
buruk.3
II.7 Diagnosis
Selama bertahun – tahun, diagnosis multipel sklerosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis, timbulnya paling sedikit dua lesi SSP dengan
karakteristik klinis yang tepat, terpisah waktu dan ruang. Saat ini sudah
ada pemeriksaan spesialistik dan pemeriksaan laboratorium untuk
menunjang diagnosis. Tujuan pemeriksaan pasien dengan kecurigaan
multipel sklerosis adalah:
• mengumpulkan bukti anatomis lesi yang terpisah pada SSP,
• mendapatkan bukti gangguan imun SSP,
• menyingkirkan kemungkinan diagnosis lainnya.3
Sehubungan dengan luasnya ruang lingkup dan gejala, maka
multipel sklerosis tidak boleh didiagnosis hanya setelah beberapa bulan
sampai 1 tahun setelah serangan gejala. Dokter, terutama sekali ahli saraf,
harus mencatat secara rinci perjalanan penyakit dan melakukan
pemeriksaan fisik dan neurologis.2,9 Diagnosis dari multipel sklerosis
biasanya dibuat pada pasien dewasa muda dengan gejala relapsing-
remitting yang dapat dijadikan acuan ke berbagai area dari substansi alba
dari sistem saraf pusat. Diagnosis lebih sulit dilakukan pada pasien saat
sedang mengalami keluhan neurologis atau pada bentuk klinis progresif
primer.9
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah untuk
menyingkirkan penyakit vaskuler kolagen, infeksi (Penyakit Lyme,
sipilis,dll), kelainan endokrin, kekurangan vitamin B-12, sarcoidosis, dan
vaskulitis. Pemeriksaan dari cairan serebro spinal (CSS) digunakan untuk
mendukung diagnosis dari multipel sklerosis. Adanya protein dasar mielin
di dalam CSS pasien multipel sklerosis mungkin saja benar-benar petunjuk
aktivitas proses multipel sklerosis, tetapi ketidakhadirannya tidak
mengesampingkan aktivitas penyakit.9 Sebuah teknik neuroimaging
terbaru, Magnetic Resonance Spechtroscopy (MRS), bermanfaat dalam
mengamati jumlah NAA (N-acetyl-aspartate) pada pasien dengan multipel
sklerosis. NAA adalah suatu asam amino yang ditemukan di dalam neuron
dan aksons otak. Pada pasien dengan relapsing-remitting multiple
sclerosis, jumlah NAA menurun, menandakan adanya kerusakan axonal;
bagaimanapun, pada pasien dengan secondary progresive multiple
sclerosis dengan banyak kelainan, jumlah NAA berkurang secara
signifikan. Pada fakta, pasien dengan multipel sklerosis mempunyai
jumlah yang lebih rendah NAA bahkan di area otak sebelumnya secara
alami, ketika dibandingkan dengan jumlah NAA di dalam orang normal.9
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah:
• CT scan dapat memperlihatkan plak-plak yang menunjukan
peningkatan yang abnormal setelah suntikan larutan yodium. MRI scan
lebih sensitif memperlihatkan lebih banyak plak daripada CT scan,
begitu juga lesi-lesi sampai sekecil 4×3 mm.1
• MRI otak dan medula spinalis, yang dapat menunjukkan lesi plak
demielinisasi. Akan tetapi, gambaran ini tidak spesifik untuk multipel
sklerosis (penyakit pembuluh darah kecil juga dapat menunjukkan
gambaran serupa) dan beberapa pasien sklerosis multipel mungkin
mengalami negatif palsu pada MRI. Walaupun demikian, saat ini telah
dibuat suatu kriteria yang memungkinkan diagnosis multipel sklerosis
setelah serangan klinis pertama, berdasarkan gambaran MRI tertentu.3
• Potensial bangkitan visual (visual evoked potentials), yang dapat
menunjukkan perlambatan konduksi sentral jalur visual, misalnya
akibat neuritis optik subklinis sebelumnya. 3
• Pemeriksaan cairan serebrospinal, yang dapat menunjukkan perubahan
nonspesifik termasuk limfositosis dengan penyakit aktif, dan
peningkatan protein (terutama imunoglobulin). Pemeriksaan cairan
serebrospinal yang lebih teliti untuk mendiagnosis multipel sklerosis
adalah deteksi pita oligoklonal dengan elektroforesis yang
menunjukkan sintesis lokal imunoglobulin dalam SSP. Akan tetapi, tes
ini masih dapat menunjukkan positif palsu pada keadaan imunologis
atau infeksi lainnnya, dan pasien multipel sklerosis jarang mengalami
negatif palsu.3
• Pemeriksaan tambahan
Beberapa pemeriksaan penunjang lainnya biasa juga dilakukan.
Elektroensefalografi pada minimal sepertiga kasus memperlihatkan
abnormalitas yang tidak spesifik yang tidak memiliki korelasi dengan
gambaran status mental pasien. Serum darah memperlihatkan kadar
gamaglobulin yang meningkat dan perubahan imunoelektroforetik
hanya selama serangan akut. Tes serologik tidak banyak gunanya pada
saat diagnosa klinis ditegakkan walaupun kenyataan bahwa antibodi
otak yang bersirkulasi dapat diperlihatkan pada seperempat sampai
sepertiga pasien. Sayangnya antibodi-antibodi ini adalah tidak spesifik,
dapat ditemukan pada penyakit-penyakit lain yang mana terjadi
kerusakan jaringan otak. Sebagian besar dari pasien dengan multipel
sklerosis memperlihatkan titer antibodi yang tinggi terhadap virus
campak daripada yang ditemukan pada populasi umum. Limfosit dari
pasien-pasien ini lebih sering memperlihatkan pengelompokan roset
daripada sel-sel epitelial yang disuntik dengan virus campak.4
Karena pemeriksaan diatas tidak ada yang 100% sensitif atau spesifik
untuk multipel sklerosis, maka pemeriksaan ini harus dipertimbangkan dan
dinilai dengan baik. Pada pasien dengan gejala sensorik minor, biasanya
pemeriksaan penunjang diatas dapat ditunda dulu. Jika tidak ada tanda
fisik yang definitif, pasien dapat mengalami gejala tersebut dan khawatir
akan kemungkinan dirinya mengalami multipel sklerosis padahal tidak ada
penyakit neurologis yang berarti. Selain itu, jika gejala mengarah multipel
sklerosis tanpa adanya keterbatasan fungsi, maka pemeriksaan dapat
ditunda dulu, terutama karena hingga saat ini belum ada terapi kuratif. 3
Pemeriksaan penunjang lebih penting dilakukan pada pasien dengan
penyakit primer progresif dimana kriteria klasik diagnosis klinis tidak
dapat digunakan. Pada pasien ini biasanya timbul gejala paraparesis
spastik progresif. Pemeriksaan penunjang kasus ini adalah pencitraan
medula spinalis dengan MRI untuk menyingkirkan lesi yang menekan
medula spinalis (misalnya tumor), suatu diagnosis banding utama yang
dapat diterapi.3
II.8 Penatalaksanaan
Secara umum, bila diagnosis sklerosis multipel telah dipastikan,
maka pasien harus diberitahu. Beberapa pasien akan menanyakan apakah
mereka mengalami multipel sklerosis setelah suatu episode tunggal, ketika
diagnosis multipel sklerosis masih berupa kemungkinan. Pada keadaan ini,
yang terbaik dilakukan adalah diskusi yang menyeluruh. Walaupun
kemungkinan multipel sklerosis tidak dapat disangkal, tetapi pasien harus
disadarkan bahwa mungkin penyakit yang dideritanya merupakan penyakit
tunggal yang tidak akan relaps. Pasien dapat memperoleh keuntungan
dengan membaca mengenai multipel sklerosis atau kontak dengan
kelompok pendukung. Akan tetapi, dokter memiliki peran edukatif yang
bersinambung, terutama dalam mengarahkan pasien dalam terapi yang
mahal tetapi belum tentu efektif, seperti manipulasi diet dan penggunaan
oksigen hiperbarik.3
Pengobatan yang diakui terbaik, disamping pengobatan
nonfarmakologik, saat ini adalah dengan interferon beta berupa injeksi
Betaseron 250 mcg subkutan selang sehari. Penelitian Benefit yang
dilaporkan awal oktober 2005 menunjukan, bahwa selama lima tahun
terjadi penurunan angka kejadian multipel sklerosis hingga 50% dengan
dua tahun pengobatan pada kasus yang sebelumnya adalah kemungkinan
multipel sklerosis.10 Walaupun belum ada terapi kuratif untuk multiple
sklerosis, namun terdapat tiga aspek penting dalam tatalaksana:
• tatalaksana relaps akut,
• modifikasi perjalanan penyakit,
• kontrol gejala.3
Tatalaksana Relaps Akut
Relaps pada seorang pasien yang cukup berat dan mengakibatkan
keterbatasan fungsi, misalnya karena kelemahan anggota gerak atau
gangguan visual, dapat diterapi dengan kortikosteroid. Saat ini
kortikosteroid diberikan dalam bentuk metilprednisolon dosis tinggi baik
secara intravena maupun oral (500 mg–1 g per hari selama 3–5 hari ).
Pengobatan ini dapat memperbaiki penyembuhan tetapi bukan derajat
penyembuhan dari eksaserbasi. Steroid jangka panjang belum terbukti
mempengaruhi keadaan perjalanan penyakit alamiah.3
Modifikasi Perjalanan Penyakit
Bukti adanya dasar autoimun pada multipel sklerosis telah menarik
uji klinis obat–obat imunosupresan, seperti azatioprin, metotreksat, dan
siklofosfamit, yang mencoba mengubah prognosis jangka panjang
penyakit. Akan tetapi, efek samping dari obat ini lebih banyak daripada
keuntungannya. Sekarang mulai digunakan obat imunoterapi yang lebih
baru dengan tujuan mengubah kecepatan progresivitas multipel sklerosis,
atau setidaknya mengurangi kecepatan relaps, tanpa efek samping yang
berat, misalnya interferon beta dan glatiramer asetat. Obat tersebut
memberi harapan untuk memberikan proteksi terhadap relaps (setidaknya
reduksi frekuensi relaps sampai 30%) dan sedikit penurunan kecepatan
progresi penyakit.3
Kontrol Gejala
Terapi simtomatik dengan obat untuk komplikasi multipel sklerosis
adalah sebagai berikut :
• Spastisitas, spasme fleksor – baklofen (oral atau intratekal), dantrolen,
tizanidin, diazepam, walaupun obat – obat dapat meningkatkan kelemahan
dan menyebabkan rasa kantuk. Pendekatan lain meliputi injeksi toksin
botulinum pada otot yang terkena.
• Tremor serebelar – jika ringan dapat berespons dengan pemberian
klonazepam, isoniazid, atau gabapentin.
• Fatique (sering terjadi bersamaan dengan relaps) – amantadin,selegilin,
atau obat antinarkolepsi modafinil.
• Gangguan kandung kemih – obat antikolinergik, misalnya oksibutinin
atau tolterodin; pasien harus pula dilatih untuk melakukan kateterisasi
intermiten mandiri. Infeksi saluran kemih harus ditangani segera.
• Depresi – obat trisiklik dan kelompoknya dalam dosis kecil, misalnya
amitriptilin atau dotiepin;selective serotonin reuptake inhibitor ( SSRI ),
misalnya sertralin.
• Impotensi – inhibitor fosfodiesterase tipe 5, misalnya sildenafil,
papaverin intrakavernosa, atau prostaglandin. Prostaglandin dapat pula
diberikan secara topikal melalui uretra.
• Nyeri, gejala paroksismal termasuk kejang – karbamazepin, gabapentin.
Peran kanabis dalam tatalaksana nyeri dan spastisitas pada multipel
sklerosis masih kontroversial.3
Eksaserbasi adalah didefinisikan sebagai episode serangan gejala
sementara, kadang-kadang disebut juga sebagai serangan atau kambuh
lagi. Sebagian besar episode relaps menunjukan suatu derajat pemulihan
secara spontan, tetapi pengobatan adalah ditujukan untuk episode relaps
yang mempunyai suatu dampak parah terhadap fungsi. Steroid merupakan
pengobatan pilihan untuk episode relaps, biasanya metil-prednisolon
diberikan dengan oral atau intravena. Sebelumnya steroid diberikan,
infeksi harus disingkirkan karena steroid mempunyai efek imunosupresan
dan bisa memperburuk infeksi.2 Modifikasi pengobatan penyakit adalah
bertujuan untuk memperlambat progresivitas penyakit. Dua jenis
imunomodulator agen yang saat ini digunakan sebagai suatu pengobatan
lini pertama adalah beta interferon dan glatiramer asetat. Beta Interferon
sudah dibuktikan efektif untuk Relapsing-Remitting multiple sclerosa dan
Secondary Progressive multiple sclerosa. Saat ini tidak ada bukti untuk
peningkatan hasil pengobatan terhadap Primary Progresive multiple
sclerosa. Penghentian pengobatan mungkin saja diperlukan oleh karena
intoleran pada efek samping, seperti saat suatu kehamilan direncanakan,
atau ketika tidak lagi efektif.
Glatiramer adalah pengobatan yang sesuai untuk mengurangi
frekuensi relaps pada pasien dengan Relapsing-Remitting multiple
sclerosa dan tidak digunakan untuk Primary Progresive Multiple Sclerosa
dan Secondary Progressive Multiple Sclerosa. Kriteria untuk
menghentikan glatiramer adalah sama seperti beta interferon. 2
Sejumlah pengobatan tersedia untuk menangani gejala-gejala dan
komplikasi multipel sklerosis kronis, masing-masing dengan obat-obatan
yang spesifik. Tentu saja, pengobatan gejala, bersama-sama dengan
pengobatan suportif dan rehabilitasi, adalah satu kesatuan bagian terbesar
penanganan multipel sklerosis.2
Interferon
Sejak 1993, pengobatan yang mempengaruhi sistem kekebalan,
terutama interferon, digunakan untuk penatalaksanaan multipel sklerosis.
Interferon adalah suatu protein yang membawa pesan ke tempat dimana
sel-sel dari sistem kekebalan dibentuk dan untuk berkomunikasi satu sama
lain. Terdapat berbagai jenis yang berbeda dari interferon, seperti alfa,
beta, dan gamma. Semua interferon mempunyai kemampuan untuk
mengatur sistem kekebalan dan memainkan suatu peranan penting dalam
melindungi tubuh dari infeksi virus. Setiap interferon bekerja dengan cara
yang berbeda, tetapi memiliki fungsi yang hampir sama. Beta interferon
ditemukan bermanfaat dalam penanganan dari multipel sklerosis.
Interferon beta-1b (Betaseron®) adalah interferon pertama disetujui untuk
mengelola Relapsing Remitting Multiple Sclerosa pada tahun 1993. Pada
tahun 1996, interferon beta-1a (Avonex®) mendapatkan persetujuan dari
FDA untuk Relapsing Remitting Multiple Sclerosa.
Secara keseluruhan, pasien yang diterapi dengan interferon
mengalami lebih sedikit relaps atau suatu interval yang lebih panjang dari
relaps. Uji klinis juga telah memperlihatkan efek terhadap memperlambat
akumulasi kerusakan. Efek samping paling umum adalah suatu sindrom
menyerupai-influensa meliputi demam, kelelahan, kelemahan, dan
gangguan fungsi otot. Sindrom ini cenderung menurun seiring dengan
berjalannya terapi. Efek samping umum yang lain adalah reaksi lokal
tempat injeksi, perubahan dalam jumlah sel darah, dan kelainan dari fungsi
hati. Test fungsi hati dan hitung jumlah sel darah direkomendasikan untuk
pasien yang menerima interferon beta-1b.
Uji klinis dari obat beta interferon pada pasien dengan serangan
pertama dari multipel sklerosis menunjukkan bahwa dalam populasi pasien
ini, obat-obatan ini dapat menunda dari serangan kedua. Avonex®
diberikan secara intramuskuler sekali seminggu, Betaseron® diberikan
secara subkutan setiap selang sehari, dan Rebif® diberikan secara
subkutan tiga kali setiap minggunya.
Interferon beta yang ada meliputi:
• Interferon beta-1b (Betaseron®) digunakan untuk penatalaksanaan
bentuk relaps dari multipel sklerosis, untuk mengurangi frekuensi dari
relaps klinis. Pasien dengan multipel sklerosis yang telah menunjukan
efektifitas meliputi pasien yang telah memiliki satu episode klinis pertama
dan yang mempunyai gambaran MRI yang konsisten dengan multipel
sklerosis.
• Interferon beta -1a(Rebif®) digunakan untuk penatalaksanaan pasien
dengan bentuk relaps dari multipel sklerosis untuk mengurangi frekuensi
klinis dari relaps dan menghambat akumulasi kerusakan fisik. Keefektifan
dari Rebif® dalam kronis progresif multipel sklerosis belum dapat
dibuktikan.
• IFN beta-1a (Avonex®) digunakan untuk penanganan pasien dengan
bentuk relaps dari multipel sklerosis untuk memperlambat akumulasi
kerusakan fisik dan mengurangi frekuensi klinis dari relaps. Pasien dengan
multipel sklerosis yang telah dibuktikan efektivitasnya adalah meliputi
pasien yang telah mengalami suatu episode klinis pertama dan mempunyai
gambaran MRI konsisten dengan multipel sklerosis. Keamanan dan
efektivitas pada pasien dengan kronis progresif multipel sklerosis belum
dapat ditetapkan.9
Glatiramer Asetat
Glatiramer Asetat (Copaxone) adalah suatu obat yang bertujuan
untuk mengurangi frekuensi relaps dalam Relapsing Remitting Multiple
Sclerosis. Glatiramer Asetat adalah suatu bahan sintetis campuran asam
amino yang menyerupai suatu komponen protein dari myelin. Hal ini
kemungkinan bahwa reaksi sistem imunologi yang merusak myelin dalam
multipel sklerosa dapat diblok oleh glatiramer asetat. Sebuah reaksi dapat
terjadi dengan segera setelah injeksi dari glatiramer asetat, dapat terjadi
pada satu dari 10 pasien. Reaksi tersebut dapat meliputi kemerahan, nyeri
dada atau sesak, jantung berdebar-debar, kecemasan, hipoventilasi. Reaksi
biasanya muncul dalam 30 menit dan tidak memerlukan penanganan.
Beberapa pasien mungkin saja berhadapan dengan resiko lipoatrophi,
inflamasi dan destruksi jaringan di bawah kulit di tempat injeksi.
Glatiramer Asetat adalah digunakan untuk mengurangi frekuensi dari
relaps pada pasien dengan Relapsing-Remitting Multiple Sclerosa.9
Natalizumab
Natalizumab (Tysabri®) adalah suatu obat yang sudah disetujui
oleh FDA untuk pengobatan multipel sklerosis. Natalizumab adalah satu
antibodi monoklonal yang melawan VLA-4, suatu molekul yang
memerlukan sel-sel imun untuk melekat pada sel-sel lain, menembus
sawar darah otak dan memasuki otak. Proses ini terjadi melalui pembuluh
darah dalam waktu bulanan. Ini memberikan suatu tanda peringatan untuk
suatu penyakit yang berpotensi berakibat fatal, Progresive Multifocal
Leukoencephalopathy (PML), suatu infeksi virus dari otak yang biasanya
menyebabkan kematian atau cacat yang berat. Untuk alasan inilah hanya
pasien yang telah menandatangani inform konsen untuk pengobatan
dengan program pengobatan ini yang boleh menjalani pengobatan ini.
Natalizumab digunakan sebagai monoterapi untuk pengobatan dari
pasien dengan relaps multipel sklerosis untuk mencegah progresifitas
penyakit dan mengurangi frekuensi relaps klinis. Keamanan dan efektifitas
natalizumab pada penggunaan lebih dari dua tahun tidak diketahui. Karena
natalizumab meningkatkan resiko dari PML, maka dari itu secara umum
hanya direkomendasikan untuk pasien yang tidak merespon, atau tidak
mampu mentoleransi efek samping bentuk pengobatan lain dari multipel
sklerosis.9
Mitoxantrone
Mitoxantrone (Novantrone®) juga disetujui oleh FDA untuk pengobatan
dari multipel sklerosis. Mitoxantrone adalah suatu obat kemoterapi yang
memiliki resiko dari efek samping yang berhubungan dengan jantung atau
kanker berat. Oleh karena efek samping serius ini, dokter cenderung untuk
mencadangkan penggunaannya hanya untuk kasus yang buruk dari
multipel sklerosis.
Mitoxantrone adalah digunakan untuk mengurangi kerusakan saraf
dan frekuensi relaps klinis pada pasien dengan secondary, progresif,
progresif relapsing, atau Relapsing-Remitting Multiple sclerosa yang
mengalami perburukan keadaan (sebagai contoh, pasien yang status
sarafnya secara signifikan abnormal atau sering relaps). Mitoxantrone
tidak digunakan dalam penanganan dari pasien dengan primer progresif
multiple sclerosa.9
Pasien dengan multipel sklerosis tahap lanjut mungkin
membutuhkan keterlibatan tim neurorehabilitasi. Pasien dengan penyakit
yang berat membutuhkan penanganan menyeluruh yang sesuai untuk
pasien paraplegia, terutama perawatan yang teliti pada daerah yang
mengalami tekanan. Perburukan gangguan berkemih mungkin
memerlukan kateterisasi uretra atau suprapubik.3
Tim dari berbagai multidisiplin biasanya meliputi spesialis penyakit saraf,
urologi, ilmu pengobatan mata, neuropsikologi, dan pekerjaan sosial.2
Perlunya pembedahan pada kasus ekstrem yaitu:
• Tenotomi untuk terapi spastisitas dan spasme fleksor
• Stimulasi kolumna dorsalis untuk rasa nyeri
• Talamotomi stereotaktil untuk ataksia serebelar berat.3
II.9 Prognosis
Prognosis untuk seseorang dengan multipel sklerosis tergantung
pada subtipe penyakit; jenis kelamin individu, ras, umur, gejala awal, dan
derajat kerusakan. Harapan hidup dari penderita multipel sklerosis, untuk
tahun-tahun awal, saat ini hampir sama halnya dari pada orang normal.
Hal ini disebabkan terutama karena peningkatkan metoda dari pencegahan
progresif penyakit, seperti fisioterapi dan terapi bicara, bersama-sama
dengan penanganan yang menangani komplikasi umum, seperti radang
paru-paru dan infeksi saluran kemih. Meskipun demikian, setengah
kematian dari pasien dengan multipel sklerosis adalah secara langsung
berhubungan dengan komplikasi dari penyakit, sementara 15% lebih
berhubungan dengan bunuh diri.1 Secara umum sangatlah sulit untuk
meramalkan prognosis multipel sklerosis. Setiap individu memiliki variasi
kelainan, tetapi sebagian besar pasien dengan multipel sklerosis bisa
mengharapkan 95% harapan hidup normal. Beberapa penelitian telah
menunjukankan pasien yang mempunyai sedikit serangan di tahun pertama
setelah diagnosis, interval yang lama antar serangan, pemulihan sempurna
dari serangan, dan serangan yang berhubungan dengan saraf sensoris
(misalnya., baal atau perasaan geli) cenderung untuk memiliki prognosis
yang lebih baik. Pasien yang sejak awal memiliki gejala tremor, kesukaran
dalam berjalan, atau yang mempunyai serangan sering dengan pemulihan
yang tidak sempurna, atau lebih banyak lesi yang terlihat oleh MRI scan
sejak dini, cenderung untuk mempunyai suatu tingkat penyakit yang lebih
progresif.2
BAB III
KESIMPULAN
III.1 Kesimpulan
Multipel sklerosis adalah satu kondisi autoimun dimana sistem
kekebalan tubuh menyerang sistem saraf pusat (SSP), mendorong ke arah
terjadinya demielinisasi. Penyakit ini menyebabkan luka-luka pada sarung
pelindung mielin (lemak yang melingkupi akson sel-sel saraf ),
oligodendrosit (sel-sel yang menghasilkan mielin), akson dan sel-sel saraf.
Gejala dari multipel sklerosis bervariasi, tergantung pada lokasi dari plak
(daerah dari jaringan parut) di dalam sistem saraf pusat.
Menurut National Multiple Sclerosis Society, kira-kira 400,000
orang Amerika tercatat menderita MS, dan pada setiap minggunya sekitar
200 orang didiagnosis MS. Di seluruh dunia, MS mungkin diderita 2.5 juta
individu. MS terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki,
dengan perbandingan adalah kira-kira 2:1.
Penyakit ini terutama mengenai substansia alba otak dan medulla
spinalis, serta nervus optikus. Ditemukan sel inflamasi kronik dan
kerusakan mielin dengan akson yang relatif masih baik. Pada substansia
alba terdapat daerah yang relatif tampak normal yang berselang–seling
dengan fokus inflamasi dan demielinisasi yang disebut juga plak. Lesi
inflamasi lebih lanjut yang terletak dekat lokasi kerusakan yang sudah ada
sebelumnya akan menyebabkan akumulasi defisit neurologis. Plak tidak
harus berhubungan dengan kejadian klinis spesifik, misalnya jika plak
hanya kecil dan terletak pada area SSP yang relatif tenang.
Penyebab dari multiple sklerosis tetap tidak diketahui, walaupun
kegiatan penalitian dibidang ini sudah banyak dilakukan. Penelitian
eksperimental mendukung teori dari infeksi slow virus atau reaksi
autoimun. Peran mekanisme imun pada patogenesis sklerosis multipel
didukung beberapa temuan, seperti adanya sel inflamasi kronik pada plak
aktif dan hubungan kondisi ini dengan gen spesifik pada kompleks
histokompatibilitas mayor (major histocompatibility, MHC).
Tanda patologik multipel sklerosis adalah multisentrik, inflamasi
SSP multifasik dan demielinisasi. Pada mulanya, setiap luka multipel
sklerosis kemungkinan melalui suatu peristiwa dari demielinisasi dan
remielinisasi menuju ke plak kronik dengan preserfasi relatif dari akson
serta gliosis.
Manifestasi yang sering terjadi pada multipel sklerosis adalah
gangguan visual, gejala dari gangguan batang otak, gejala gangguan
serebelar, gejala ekstrapiramidal, fenomena mirip bangkitan, gangguan
mental, gangguan miksi, gangguan sensorimotorik. Pada waktu evolusi
gejala yang umum terjadi adalah gambaran klinis memburuk selama
beberapa hari atau minggu, mencapai plateu dan kemudian membaik
secara bertahap, sebagian atau total, selama beberapa minggu atau bulan.
Perjalanan alamiah multipel sklerosis pada tiap pasien amat
bervariasi. Beberapa pasien dapat mengalami satu atau lebih episode
inisial kemudian tidak ada gejala untuk bertahun–tahun. Subtipe dari
multipel sklerosis antara lain adalah relapsing remitting multiple sclerosa,
secondary progressive multiple sclerosa, primary progressive multiple
sclerosa, progeressive relapsing multiple sclerosa, devic syndrome,
marburg disease, balo concentric sclerosa, diffuse sclerosa, disseminated
acute encephalomyelitis.
Selama bertahun – tahun, diagnosis multipel sklerosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis, timbulnya paling sedikit dua lesi SSP dengan
karakteristik klinis yang tepat, terpisah waktu dan ruang. Sehubungan
dengan luasnya ruang lingkup dan gejala, maka multipel sklerosis tidak
boleh didiagnosis hanya setelah beberapa bulan sampai 1 tahun setelah
serangan gejala.
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah CT scan, VEP,
pemeriksaan cairan cerebrospinal, elektroensefalografi, serum darah.
Karena pemeriksaan diatas tidak ada yang 100% sensitif atau spesifik
untuk multipel sklerosis, maka pemeriksaan ini harus dipertimbangkan dan
dinilai dengan baik. Pada pasien dengan gejala sensorik minor, biasanya
pemeriksaan penunjang diatas dapat ditunda dulu.
Walaupun belum ada terapi kuratif untuk multipel sklerosis, namun
terdapat tiga aspek penting dalam tatalaksana adalah tatalaksana relaps
akut, modifikasi perjalanan penyakit,dan kontrol gejala. Sejumlah
pengobatan tersedia untuk menangani gejala-gejala dan komplikasi
multipel sklerosis kronis, masing-masing dengan obat-obatan yang
spesifik. Beberapa jenis obat yang sering digunakan pada pasien multipel
sklerosis adalah interferon, glatiramer asetat, natalizumab, mitoxantron.
Prognosis untuk seseorang dengan multipel sklerosis tergantung
pada subtipe penyakit; jenis kelamin individu, ras, umur, gejala awal, dan
derajat kerusakan. Harapan hidup dari penderita multipel sklerosis, untuk
tahun-tahun awal, saat ini hampir sama halnya dari pada orang normal.
Secara umum sangatlah sulit untuk meramalkan prognosis multipel
sklerosis karena setiap individu memiliki variasi kelainan.
III.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, kami selaku penyusun menyarankan
kepada pembaca sekalian agar dapat menjaga kesehatan terutama dalam
menghindari penyakit sclerosis. Ada beberapa pemicu serangan Ms yang
harus dihindari : panas, kerja berat, stress. Kami berharap, dengan adanya
penulisan makalah ini, dapat bermanfaat bagi para pembaca
sekalian.Terima kasih kami ucapkan atas perhatiannya.
DAFTAR PUSTAKA
http://en.wikipedia.org/wiki/Multiple_sclerosis. Autoimmune diseases |
Neurological disorders | Neurobiological brain disorder | Multiple
sclerosis. 10 june 2008. Diakses tanggal 30 Desember 2014

Chamberlin, Stacey L. Narins, Bringham. The Gale Encyclopedia of Neurological


Disorders vol.2. Detroit: Thompson Gale. 2005.

Ginsberg, Lionel. Lecture Notes Neurologi edisi ke-8. Jakarta: Erlangga Medical
Series.2005.

Ali, Wendra. NEUROLOGI jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.1995.

Mumenthaler, Mark. Mattle, Heinrich. Taub, Elsan. Neurology fourth edition.


Switzerland: Thieme.2004.

Cook, D Stuart. Handbook of Multiple Sclerosis Fourth edition. New Jersey:


University of Medicine and Dentistry of New Jersey. 2006.
http://www.emedicine.com. eMedicine Specialties >Emergency Medicine >
NEUROLOGY. Multiple Sclerosis. 3 March 2008. Diakses tanggal 31
Desember 2014

M. Herdon, M.D, Robert. Multiple Sclerosis Immunology, Pathology, and


Pathophysiology. New York: Demos.2002.

http://www.medicineNet.com. Home>Multiple Sclerosis index>Multiple


Sclerosis. Article.2 June 2008. Diakses tanggal 30 Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai