272-Article Text-1353-1-10-20191212 PDF
272-Article Text-1353-1-10-20191212 PDF
DAN KONSELING
Volume 02, Nomor 01
Mei 2019
E-ISSN: 2614-3585
DOI: 1033627
ABSTRAK
A. Pendahuluan
Bahasa merupakan satu wujud yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa itu adalah milik manusia yang telah
menyatu dengan pemiliknya. Sebagai salah satu milik manusia, bahasa selalu muncul
dalam segala aspek dan kegiatan manusia. Tidak ada satu kegiatan manusia pun yang
tidak disertai dengan kehadiran bahasa. Oleh karena itu, jika orang bertanya apakah
bahasa itu, maka jawabannya dapat bermacam-macam sejalan dengan bidang
kegiatan tempat bahasa itu digunakan. Jawaban seperti, bahasa adalah alat untuk
menyampaikan isi pikiran, bahasa adalah alat untuk berinteraksi, bahasa adalah alat
untuk mengekspresikan diri, dan bahasa adalah alat untuk menampung hasil
kebudayaan, semuanya dapat diterima.
Berbahasa itu adalah proses menyampaikan makna oleh penutur kepada
pendengar melalui satu atau serangkaian ujaran. Satu proses berbahasa dikatakan
berjalan baik apabila makna yang dikirmkan penutur dapat di resepsi oleh pendengar
persis seperti yang di maksudkan oleh si penutur. Sebaliknya, suatu proses berbahasa
DOI: 1033627
dikatakan tidak berjalan dengan baik pabila makna yang dikirim penutur diresepsi
atau dipahami pendengar tidak sesuai dengan yang dikehendaki penutur.
Ketidaksesuaian ini bisa disebabkan oleh faktor penutur yang kurang pandai dalam
memproduksi ujaran, bisa juga disebabkan oleh faktor pendengar yang kurang
mampu meresepsi ujaran itu, atau bisa juga akibat faktor lingkungan sewaktu ujaran
itu ditransfer dari mulut penutur ke dalam telinga pendengar.
Secara awam manusia menggunakan kata ‘mendengar’ atau
‘mendengarkan’. Artinya organ dengar kita menangkap berbagai bunyi yang
prosesnya, kemudahannya, atau kesulitannya tidak banyak kita sadari. Bunyi yang
tertangkap pun beragam, ada yang bermakna, ada yang tidak bermakna, ada yang
tertangka secara utuh dan ada yang hanya sebagian atau utuh tetapi mengalami
distorsi. Menangkap suatu ujaran bukanlah suatu proses yang sederhana. Manusia
harus memulai dengan proses bagaimana mencerna bunyi-bunyi itu sebelum dapat
memahaminya sebagai ujaran.
Proses pengujaran adalah sebuah perwujudan dari proses artikulasi dan
kemudian terkonsep dalam otak manusia secara sempurna. Selanjutnya hal tersebut
diwujudkan dalam bentuk bunyi yang akan dimengerti oleh interlokutor tertentu
(Darjowidjojo, 2005:49). Terkadang manusia tidak menyadari bahwa ujaran yang
diwujudkan dalam bentuk bunyi yang melewati udara itu ternyata sebuah proses yang
kompleks. Pada dasarnya ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung dari sosok
yang berbicara. Jadi ujaran dapat berupa kata, kalimat, atau gagasan, yang keluar dari
mulut manusia yang mempunyai arti. Adanya ujaran ini akan muncul makna
sintaksis, semantik dan pragmatik.
Persepsi ujaran menurut Gleason (1998:108) adalah proses di mana sebuah
ujaran ditafsirkan. Persepsi ujaran melibatkan tiga proses yang meliputi,
pendengaran, penafsiran dan pemahaman terhadap semua suara yang dihasilkan oleh
penutur. Kombinasi fitur-fitur tersebut (secara runtut) adalah fungsi utama persepsi
ujaran. Persepsi ujaran menggabungkan tidak hanya fonologi dan fonetik dari tuturan
yang akan dirasakan, tetapi juga aspek sintakmatik dan semantik dari pesan lisan
tersebut.
Dalam makalah ini akan diuraikan mengenai persepsi terhadap ujaran dalam
konteks psikolinguistik, bagaimana proses atau tahapan dari suatu persepsi terhadap
suatu ujaran itu terjadi, apa saja faktor yang mempengaruhi sebuah persepsi ujaran itu
terbentuk, beberapa model persepsi ujaran, dan persepsi ujaran dalam konteks.
B. Pembahasan
Persepsi ujaran adalah peristiwa ketika telinga menangkap sebuah bunyi
yang dapat berupa bunyi lepas, kata, atau kalimat (Su’udi, 2011:19). Kalau orang
tidak dapat mendengar bunyi dengan jelas, tentu saja orang tidak menangkap
maknanya, lebih-lebih kalu bunyi itu berupa kalimat dan orang itu belum menguasai
bahasa yang digunakan dalam kalimat tersebut. Ketidakmampuan menangkap bunyi
yang didengar bisa disebabkan oleh berbagai sebab, yaitu yang disebabkan oleh
ketidaksempurnaan organ dengar dan kedua yang berasal dari materi yang didengar.
DOI: 1033627
Ketidaksempurnaan persepsi bunyi antara lain disebabkan oleh kecepatan bunyi yang
didengar, khususnya kalau berupa kalimat. Menurut Dardjowidjojo (2005:49)
persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia
karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu
yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain.
. Ujaran adalah suara murni (tuturan), langsung, dari sosok yang
berbicara.Jadi ujaran itu adalah sesuatu baik berupa kata,kalimat,gagasan, yang keluar
dari mulut manusia yang mempunyai arti. Dengan adanya ujaran ini maka akan
muncullah makna sintaksis,semantik,dan pragmatik. Persepsi adalah sebuah proses
saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna
memberikan arti bagi lingkungan mereka.
Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh
manusia karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada
batas waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Ketika seseorang
berbicara atau bernyanyi, indera pendengaran kita mampu membedakan ciri bunyi
yang satu dengan yang lainnya. Indera pendengaran mampu menangkap dan
memahami rangkaian bunyi vokal dan konsonan yang membentuk sebuah tuturan,
cepat-lambat tuturan, dan nada tuturan yang dihasilkan oleh seorang penutur.
Berdasarkan uraian di atas, persepsi terhadap bunyi bahasa yang dihasilkan
oleh alat bicara dikelompokan menjadi dua, yakni:
1) Persepsi terhadap bunyi yang berupa satuan struktural, yaitu vokal dan
konsonan.
2) Persepsi terhadap bunyi yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan,
dan nada.
Dalam linguistik, bunyi-bunyi vokal dan konsonan yang kita dengar disebut
bunyi segmental. Bunyi bahasa yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan,
dan nada disebut bunyi suprasegmental atau prosodi. Perhatikan tiga ujaran berikut :
a) Bukan angka, b) Buka nangka c) Bukan nangka. Meskipun ketiga ujaran ini
berbeda maknanya satu dari yang lain , dalam pengucapannya ketiga bentuk ujaran
ini bisa sama [bukanahka].
Di samping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali
bunyi itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan di
mana bunyi itu berada. Bunyi [b] pada kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan
bunyi [b] pada kata biru . Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang
mengikutinya sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir dalam
pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan dengan bibir
yang melebar pada kata biru karena bunyi /i/ merupakan bunyi vokal depan dengan
bibir melebar. Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi
bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-tahap
tertentu.
1. Tahapan Pemrosesan Ujaran
Menurut Clark & Clark dalam Dardjowidjojo (2005:49-52) pada
dasarnya ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi, yaitu sebagai berikut.
DOI: 1033627
a. Tahap Auditori
Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong demi sepotong.
Ujaran ini kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Konsep-konsep
seperti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur distingtif, dan VOT (Voice Onset
Time: waktu antara lepasnya udara untuk pengucapan suatu konsonan dengan
getaran pita suara untuk bunyi vokal yang mengikutinya) sangat bermanfaat di
sini karena ihwal seperti inilah yang memisahkan satu bunyi dari bunyi yang
lain. Bunyi-bunyi dalam ujaran itu kita simpan dalam memori auditori kita.
b. Tahap Fonetik
Bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi. Dalam proses mental kita,
kita lihat, misalnya apakah bunyi tersebut [+konsonantal], [+vois], [+nasal], dst.
Begitu pula lingkungan bunyi itu : apakah bunyi tadi diikuti oleh vokal atau
oleh konsonan. Kalau oleh vokal, vokal macam apa – vokal depan, vokal
belakang, vokal tinggi, vokal rendah, dsb. Seandainya ujaran itu adalah Bukan
nangka , maka mental kita menganalisis bunyi /b/ terlebih dahulu dan
menentukan bunyi apa yang kita dengar itu dengan memperhatikan hal-hal
seperti titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur distingtifnya.
Kemudian VOTnya juga diperhatikan karena VOT inilah yang akan
menetukan kapan getaran pada pita suara itu terjadi. Segmen-segmen bunyi ini
kemudian kita simpan di memori fonetik. Perbedaan antara memori auditori
dengan memori fonetik adalah bahwa pada memori auditori semua variasi
alofonik yang ada pada bunyi itu kita simpan sedangkan pada memori fonetik
hanya fitur-fitur yang sifatnya fonemik saja. Misalnya, bila kita mendengar
bunyi [b] dari kata buntu maka yang kita simpan pada memori auditori bukan
fonem /b/ dan bukan hanya titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur-fitur
distingtifnya saja tetapi juga pengaruh bunyi /u/ yang mengikutinya. Dengan
demikian maka [b] ini ssedikit banyak diikuti oleh bundaran bibir (lip –
rounding) .
Pada memori fonetik, hal-hal seperti ini sudah tidak diperlukan lagi
karena begitu kita tangkap bunyi itu sebagai bunyi /b/ maka detailnya sudah
tidak signifikan lagi. Artinya, apakah /b/ itu diikuti oleh bundaran bibir atau
tidak, tetap saja bunyi itu adalah bunyi /b/. Analisis mental yang lain adalah
untuk melihat bagaimana bunyi-bunyi itu diurutkan karena urutan bunyi inilah
yang nantinya menentukan kata itu kata apa. Bunyi /a/, /k/, dan /n/ bisa
membentuk kata yang berbeda bila urutannya berbeda. Bila /k/ didengar
terlebih dahulu, kemudian /a/ dan /n/ maka akan terdengarlah bunyi /kan/; bila
/n/ yang lebih dahulu, maka terdengarlah bunyi /nak/.
c. Tahap Fonologis
Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan fonologis pada deretan
bunyi yang kita dengar untuk menetukan apakah bunyi-bunyi tadi sudah
mengikuti aturan fonotaktik yang pada bahasa kita. Untuk bahasa Inggris,
bunyi /h/ tidak mungkin memulai suatu suku kata. Karena itu, penutur bahasa
Inggris pasti tidak akan menggabungkannya dengan vokal.
DOI: 1033627
Seandainya ada urutan bunyi ini dengan bunyi yang berikutnya, dia
pasti akan menempatkan bunyi ini dengan bunyi di mukanya, bukan di
belakangnya. Dengan demikian deretan bunyi /b/, /Ə/, /h/, /i/, dan /s/ pasti akan
dipersepsi sebagai beng dan is , tidak mungkin be dan ngis.
Orang Indonesia yang mendengar deretan bunyi /m/ dan /b/ tidak
mustahil akan mempersepsikannya sebagai /mb/ karena fonotaktik dalam
bahasa kita memungkinkan urutan seperti ini seperti pada kata mbak dan mbok
meskipun kedua-duanya pinjaman dari bahasa Jawa. Sebaliknya, penutur
bahasa Inggris pasti akan memisahkan kedua bunyi ini ke dalam dua suku yang
berbeda.Kombinasi bunyi yang tidak dimungkinkan oleh aturan fonotaktik
bahasa tersebut pastilah akan ditolak. Kombinasi /kt/, /fp/, atau /pk/ tidak
mungkin memulai suatu suku sehingga kalau terdapat deretan bunyi
/anaktuhgal/ tidak mungkin akan dipersepsi sebagai /ana/ dan /ktuhgal/ secara
mental dengan melalui proses yang sama. Kemudian bunyi /k/, dst. Sehingga
akhirnya semua bunyi dalam ujaran itu teranalisis. Yang akan membedakan
antara bukan nangka, bukan angka, dan buka nangka adalah jeda (juncture)
yang terdapat antara satu kata dengan kata lainnya.
2. Model Persepsi Ujaran
Berbagai model telah dikembangkan untuk membantu memahami
komponen ujaran. Ada model yang berfokus pada produksi atau persepsi berbicara
semata-mata, dan ada model lain yang menggabungkan kedua produksi ujaran dan
persepsi secara bersamaan. Beberapa model pertama dibuat dalam kurun waktu
sampai sekitar pertengahan 1900-an, dan model tersebut terus-menerus
dikembangkan hingga saat ini.
Masalah utama dalam menentukan model persepsi ujaran adalah
menentukan model persepsi yang tepat dari sebuah proses persepsi ujaran. Hal
tersbut dapat terjadi melalui dua cara, yaitu: top-down process atau bottom-up
process (Field, 2003). Pada pemrosesan top-down, pendengar merasakan seluruh
kata, kemudian memecahnya menjadi komponen-komponen kecil untuk
menentukan maknanya, sedangkan dalam proses bottom-up, pendengar merasakan
sebuah kata pertama, dan kemudian menyusun kumpulan kata secara bersama-
sama untuk membentuk dan menentukan makna. Ketika merancang model
persepsi ujaran, kedua proses tersebut perlu diperhitungkan. Beberapa model
persepsi ujaran berdasarkan tahun diusulkannya teori-teori tersebut adalah sebagai
berikut.
a. Motor Theory of Speech Perception (Model Teori Motor)
Model ini dikembangkan pada tahun 1967 oleh Liberman dkk. Prinsip
dasar dari model ini terletak pada produksi suara di saluran vokal pembicara.
Teori ini menyatakan bahwa pendengar mampu merasakan gerakan fonetik
pembicara sementara si pembicara itu berbicara. Sikap fonetik, dalam model
ini, adalah representasi dari penyempitan saluran vokal pembicara sambil
menghasilkan bunyi ujaran. Setiap gerakan fonetik diproduksi unik di saluran
DOI: 1033627
DOI: 1033627
perception) bukanlah suatu tanda bahwa kita memiliki modus khusus dalam
otak kita berkaitan dengan mengelompokkan fonem. Hal ini dikarenakan
persepsi ujaran sebenarnya terbentuk melalui dari tiga proses: evaluasi fitur,
integrasi fitur, dan kesimpulan (Djarjowidjojo, 2005).
Dalam model ini dikenal adanya bentuk prototipe tentang semua nilai
ideal yang ada pada suatu kata, termasuk fitur-fitur distingtifnya (pembedanya).
Informasi dari semua fitur yang masuk dievaluasi, diintegrasi dan kemudian
dicocokkan dengan deskripsi dari prototipe yang ada pada memori kita. Setelah
dicocokkan lalu diambil kesimpulan apakah masukan tadi cocok dengan yang
terdapat pada prototipe.
Jika kita mendengar bunyi /ba/ maka kita mengkaitkannya denngan
suku kata ideal untuk suku ini, yakni semua fitur yang ada pada konsonan /b/
maupun pada vokal /a/. Evaluasi ini lalu diintegrasikan dan kemudian diambil
kesimpulan bahwa suku kata /ba/ yang kita dengar sama (atau tidak sama)
dengan suku kata dari prototipe kita.
Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi suku kata atau kata
yang kita dengar tidak mungkin persis 100 persen sama dengan prototipe kita.
Orang yang sedang mengunyah sesuatu sambil mengatakan /baraɳ/ pasti tidak
persis sama dengan yang diucapkan oleh orang yang tidak sedang mengunyah
apa-apa.
d. Cohort Model
Model ini diusulkan pada tahun 1980-an oleh Marslen-Wilson, Model
Cohort adalah representasi untuk pengambilan leksikal. Aitchison (1987)
menyatakan bahwa leksikon individu adalah kamus mental seseorang. Menurut
sebuah studi, rata-rata individu memiliki leksikon sekitar 45.000 sampai 60.000
kata Premis dari Model Cohort adalah bahwa pendengar memetakan kata-kata
baru dengan kosakata yang sudah ada dalam kamus mentalnya. Setiap bagian
dari tuturan dapat dipecah menjadi beberapa segmen. Semakin banyak segmen
yang didengar, ia bisa menghilangkan kata-kata dari kamus mereka yang tidak
berpola sama.
Marslen-Wilson dan Welsh (1978) dalam Gleason dan Ratner (1998)
secara umum menjelaskan Model Cohort dalam sebuah tahap dimana informasi
mengenai fonetik dan akustik bunyi-bunyi pada kata yang kita dengar memicu
ingatan kita untuk memunculkan kata-kata lain yang mirip dengan kata tadi.
Bila kita mendengar kata /prihatin/ maka semua kata yang mulai
dengan /p/ akan teraktifkan: pahala, pujaan, priyayi,prakata,dsb. Kata-kata yang
termunculkan itulah yang disebut cohort. Kemudian kata-kata yang tidak mirip
dengan target (pahala,pujaan) akan tersingkirkan. Lalu kata /priyayi/ dan
/prakata/ akan ikut disingkirkan aren fonem selanjutnya adalah /h/ dan persis
cocok dengan yang diterima.
e. TRACE Model
Model ini ditemukan oleh James McCleland & Jeffrey Elman
(McClelland dan Elman, 1986). Teori ini menyatakan bahwa ada beberapa
DOI: 1033627
DOI: 1033627
pendengar daripada kata Snoyb, Bnoyb, dan Rnoyb karena kata-kata tersebut
tidak serupa dalam memori pendengar, sehingga akan sulit untuk diingat.
g. Neurocomputational Model
Model ini diusulkan oleh Kroger dkk (2009). Mereka berpendapat
bahwa model persepsi ujaran didasarkan pada fakta-fakta neurofisiologis dan
neuropsikologi. Mereka mensimulasikan jalur saraf mana saja di berbagai
wilayah otak yang terlibat dalam proses pengujaran terutama ketika ujaran
tersebut diproduksi dan dirasakan. Dengan menggunakan model ini, area otak
dalam pengetahuan ujaran diperoleh dengan cara melatih jaringan saraf untuk
mendeteksi suara di daerah kortikal dan sub-kortikal otak. Melalui penelitian
mereka, Kroger dan rekan menentukan bahwa model neurocomputational
memiliki kemampuan embedding di daerah-daerah otak fitur penting dalam
proses produksi ujaran dan persepsi untuk mencapai pemahaman ujaran.
Model ini berbeda dengan model yang dibahas sebelumnya dalam
kaitannya dengan persepsi ujaran. Hickok & Poeppel (2000) mengembangkan
model ini untuk menunjukkan bahwa persepsi ujaran tidak hanya melibatkan
persepsi bahasa lisan, akan tetapi juga sangat bergantung pada produksi bahasa
juga. Model ini sangat mencerminkan temuan Liberman dan rekan dalam
pekerjaan mereka pada Teori Motor. Kedua model ini menunjukkan bahwa
persepsi ujaran adalah produk dari kedua produksi ujaran dan bagaimana ujaran
diterima. Huang, dkk (2001) menunjukkan bahwa ada beberapa daerah mirip
dalam otak yang diaktifkan untuk memproduksi dan mempersepsi bahasa
sekaligus. Model neurocomputational adalah salah satu dari beberapa model
yang memetakan jalur kerja di otak dalam memproduksi ujaran.
Neurocomputational merupakan model pengolahan ujaran yang kompleks yang
terdiri dari bagian kognitif, motorik dan sensoris.
Bagian kognitif atau linguistik terdiri dari aktivasi saraf atau generasi
representasi fonemik pada sisi produksi ujaran serta aktivasi saraf di sisi
persepsi ujaran. Bagian motorik dimulai dengan representasi fonem ujaran ,
mengaktifkan rencana motorik dan berakhir dengan artikulasi komponen ujaran
tertentu. Bagian sensoris dimulai dengan sinyal akustik ujaran (sinyal suara
akustik), menghasilkan representasi pendengaran untuk sinyal itu dan
mengaktifkan representasi fonemik untuk komponen ujaran.
Pendekatan terkemuka dalam neurocomputational adalah model DIVA
dikembangkan oleh Frank H. Guenther dan kelompoknya di Universitas Boston
(en.wikipedia.org). Model tersebut memperhitungkan berbagai macam data
fonetis dan gambaran sistem saraf tapi bersifat spekulatif.
h. Dual Stream Model
Dual Stream Model, diusulkan oleh Hickok dan Poeppel ( 2007).
Model ini dinamakan dual stream karena dinyatakan bahwa terdapat dua
jaringan saraf fungsional berbeda dalam proses ujaran dan informasi bahasa.
Salah satu jaringan saraf terutama berkaitan dengan informasi sensorik dan
fonologi berkaitan dengan konseptual dan semantik. Jaringan lainnya
DOI: 1033627
10
DOI: 1033627
/keakit/, pendengar kita akan dapat menerka bahwa kata yang terbatukkan itu
adalah sakit dari konteks di mana kata itu dipakai atau dari perkiraan makna yang
dimaksud oleh pembicara.
Berdasarkan gambaran ini dapatlah dikatakan bahwa pengaruh konteks
(dalam hal ini psikolinguistik) dalam persepsi ujaran sangatlah besar. Dari
sintaksisnya kita tahu bahwa urutan pronomina, kala progsesif, dan adjektiva
adalah urutan yang benar. Dari semantiknya terdapat pula kecocokan antara ketiga
kata ini. Dari konteksnya ketiga kata ini mmemberikan makna yang layak.
C. Penutup
Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh
manusia karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada
batas waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Persepsi ujaran juga
ternyata tidaklah sesederhana yang kita pikirkan, di dalamnya terdapat proses atau
tahapan bagaimana suatu persepsi terhadap suatu ujaran itu terjadi. Melalui tahapan-
tahapan tersebut kita sebagai pendengar dapat menafsirkan bunyi yang diujarkan oleh
penutur dan memahaminya secara tepat dan sesuai dengan maksud si penutur.
Persepsi ujaran mempunyai beberapa model, di mana pada masing-masing
model terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana sebuah persepsi ujaran
itu terbentuk seperti keadaan lingkungan, keadaan psikologis si penutur, dan juga
kemampuan bahasa si pendengar atau yang memberikan persepsi. Masalah utama
dalam menentukan model persepsi ujaran adalah menentukan model persepsi yang
tepat dari sebuah proses persepsi ujaran. Hal tersbut dapat terjadi melalui dua cara,
yaitu: top-down process atau bottom-up process. Pada pemrosesan top-down,
pendengar merasakan seluruh kata, kemudian memecahnya menjadi komponen-
komponen kecil untuk menentukan maknanya, sedangkan dalam proses bottom-up,
pendengar merasakan sebuah kata pertama, dan kemudian menyusun kumpulan kata
secara bersama-sama untuk membentuk dan menentukan makna.
Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa pula dipengaruhi
oleh kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain
secara cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya. Akan tetapi, sebagai pendengar
kita tetap saja dapat memilah-milihnya dan akhirnya menentukannya. Pengetahuan
kita sebagai penutur bahasa membantu kita dalam proses persepsi.
Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran adalah
pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita. Suatu bunyi yang
terucap dengan tidak jelas dapat diterka dari wujud kalimat di mana bunyi itu
terdapat.
Daftar Rujukan
Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
DIVA model: a model of speech production, focussing on feedback control processes,
developed by Frank H. Guenther and his group at Boston University, MA,
11
DOI: 1033627
12