DISUSUN OLEH:
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH
Tahun 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas
berkah, rahmat dan taufik-Nya lah, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam tak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad SAW yang telah mengibarkan panji-panji islam rahmatan lil aalamin.
Terima kasih penulis kepada orang tua, dosen dan sahabat-sahabat penulis yang
senantiasa memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis. Penulisan makalah
ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saran dan kritikan sangat penulis
harapkan.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
…………………………………………….1
DAFTAR ISI …………………………………………….2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang …………………………………………….4
1.2 Rumusan Masalah ….………………………………………….5
1.3 Tujuan dan Maksud Penulisan…………………………………………….5
1.4 Metode Penelitian …………………………………………….5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Makna ritual …………………………………………….6
2.2 Penyelenggaraan ritual …………………………………………….7
2.3 Perspektif islam …………………………………………….9
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebudayaan merupakan salah satu unsur yang dapat menyatukan suatu
masyarakat bukan justru sebagai pemisah antara kelompok masyarakat yang satu
dengan lainnya. Karena Indonesia merupakan negara yang pluralistik, maka semua
perbedaan haruslah disikapi dengan bijajksana. Menurut Koentjaraningrat, terdapat 7
unsur kebudayaan, yakni bahasa, pengetahuan, sosial, teknologi, ekonomi, religi dan
kesenian.
Di Sulawesi Selatan sendiri terdapat begitu banyak kebudayaan. Disini saya
mengambil kebudayaan masyarakat Gowa, yakni ritual adat Accera Kalompoang.
Ritual ini biasanya diselenggarakan di Balla Lompoa yaitu rumah adat Kerajaan Gowa
dan kini dijadikan sebagai tempat penyimpanan benda-benda yang disucikan oleh
Masyarakat Gowa. Tempat inipun menjadi tempat latihan seni bagi para penggiat seni
dan budaya.
Arti penting pusaka keramat dalam kaitanya dengan organisasi politik, sosial
dan keagamaan masyarakat Makassar dan Bugis selama puluhan tahun telah menjadi
perhatian utama para ilmuwan yang mengkaji Sulawesi Selatan. Meski sering disebut
sebagai ornamen oleh para penulis Belanda terdahulu, namun pusaka keramat sama
sekali tidak memiliki sifat sebagai aksesori belakang dalam kebudayaan Makassar.
Sebaliknya, seperti tersirat dari istilah Makassar kalompoang (kebesaran) dan
kalabbirang (keagungan), objek-objek tersebut sesungguhnya adalah simbol material
yang menghubungkan antara organisasi sosial kelompok kerabat, kampung atau federasi
di satu sisi, serta konsep kepercayaan dan mitologi di sisi lain (Rossler 2009:213).
Saya tertarik meneliti ritual adat Accera Kalompoang atau ritual tahunan untuk
mencuci benda-benda pusaka Kerajaan ini karena menurut sejarahnya, Kerajaan Gowa
memiliki Gaukang yang dianggap kramat. Artinya, seorang penguasa Kerajaan Gowa
dikatakan sah memerintah apabila mewarisi Gaukang tersebut. Akan tetapi terdapat
pertanyaan dibenak saya, apakah ritual ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam?
Padahal sebagaimana yang kita ketahui, bahwa Kerajaan Gowa lah yang pertama
4
menyebarkan agama Islam di Sulawesi Selatan. Meskipun Islam dahulu ialah islam
tradisional (ortodoks), artinya masih terikat dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
kecamatan dan kabupaten. Namun, walau telah mengalami transformasi administratif,
sebagian besar pusaka keramat ternyata tidak hanya tetap bertahan, akan tetapi, dalam
taraf tertentu juga dianggap sebagai suatu warisan kultural dan identitas orang Makassar
yang paling signifikan.
7
Setelah salat idul Adha, upacara allangiri kalompoang, atau pencucian benda-
benda utama pusaka kebesaran Kerajaan Gowa pun dimulai. ini merupakan puncak
upacara dari segala rangkaian acara ritual tradisi Accera kalompoang. Air bertuah yang
diambil dari sumur diletakkan di atas panggung, beserta darah kerbau dan sesajen
lainnya. Benda peninggalan Kerajaan Gowa yang berjumlah 15 buah itu, mulai
dikeluarkan dari tempat penyimpanan.
Pencucian dipimpin putra mahkota turunan Sultan Gowa yang terakhir. Ia
didampingi tujuh tetua adat. Prosesi pencucian dimulai dengan pembacaan doa.
Kemudian satu persatu benda peningalan kesultanan itu dicuci dengan air yang
dianggap suci.
Benda-benda pusaka itu adalah:
1) Salokoa adalah mahkota sultan yang terbuat dari emas murni dihiasi oleh berlian
2) Sudanga adalah senjata yang selalu dibawa oleh sultan terbuat dari besi bertuah
3) Ponto janga jangayya adalah gelang emas berkepala naga sebanyak empat buah
4) Tobo kalukua adalah kalung emas sebanyak empat buah
5) Bangkarak taroe (anting-anting emas murni)
6) Kolara (kalung kebesaran terbuat dari emas murni)
7) Kancing gaukang (pringan emas sebanyak 4 buah)
8) Cincin gaukang yaitu cincin emas dan batu mustika sebanyak dua buah
9) Tatarapang berbentuk keris dari besi bertuah dan sakti yang bergagang emas
serta bersarung emas bertahtakan berlian
10) Lasippo yaitu parang besi bertuah dan sakti
11) Mata tombak dari besi bertuah dan sakti dengan guratan emas bernama
Tamaddakayya, I bukle dan I Jingga
12) Poke panyanggayya sejenis tombak sakti dari besi bertuah
13) Berang manurung atau parang panjang sejenis kelewang
14) Panning emas pemberian dari kerajaan Inggris kepada raja Gowa ke 14,
Sultan Alauddin
15) Medali berbahan emas murni pemberian dari pemerintah Belanda sebagai tanda
persahabatan
8
2.3 Perspektif Islam
Sebelum kedatangan Islam, yang ajarannya tidak pernah dijalankan secara murni
(Ortodoks) maka penduduk Kerajaan Gowa menganut agama patuntung, yang dalam
konteks berarti "orang yang memperjuangkan kejujuran dan kebersahajaan" (Martin
Rossler: 2009:219). Konsep dasar ajaran agama patuntung adalah bahwa setiap anggota
komunitas diharapkan untuk menjalani kehidupan sesuai ketentuan para dewa yang
berdiam di puncak Gunung Bawakaraeng. Menurut Rossler, sebenarnya akan lebih tepat
jika agama patuntung dikategorikan sebagai suatu sistem kepercayaan tingkat tinggi,
yang di samping memiliki unsur kepercayaan juga memiliki banyak aspek seperti
pandangan dunia, norma-norma dan nilai-nilai yang oleh penduduk setempat dianggap
sebagai hal-hal penting dalam tata perilaku sehari-hari.
Ketika islam berinteraksi dengan beragam budaya, tentu terdapat kemungkinan,
Islam akan mewarnai, mengubah dan memperbaharui budaya lokal, tetapi mungkin
pola Islam yang kemudian diwarnai dengan berbagai budaya lokal. Hal inilah yang
menbuat islam kemudian mengalami proses lokalisasi sesuai konteks sosio-kultural
yang diadapi. Perjumpaan Islam dan sosio-kultural masyarakat Nusantara secara umum
menghadirkan akomodasi Islam yang datang atas nilai-nilai lokal. Islam yang datang
ditengah masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan dan berbagai sistem nilai, juga
berusaha mengakomodasi nilai-nilai tersebut. Perjumpaan antara Islam dan tradisi lokal
di Sulawesi Selatan tidak sepenuhnya bercorak akulturatif, tapi pada banyak kasus
terjadi proses negosiasi kebudayaan bahkan terjadi proses pergulatan kebudayaan,
dimana budaya lokal masih begitu tampak dominan.
Sistem kepercayaan masyarakat Sulawesi Selatan adalah kepercayaan tradisional
yang mempercayai akan adanya sosok dewa yang tunggal (Dewata Sewwae). Sistem
kepercayaan ini disebut sebagai sistem kepercayaan attoriolong, yang secara harfiah
berarti "anutan leluhur". Kepercayaan ini selama berabad-abad menjiwai dan dipegang
teguh oleh masyarakat sebagai pedoman hidup dan hingga kini masih terasa
pengaruhnya. Sistem religi Bugis Makassar pra Islam sejatinya bersifat pribumi, meski
9
mungkin ditemukan adanya persamaan dengan konsep religi India, baik Hindu maupun
Budha (Pelras 2005: 109).
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan umumnya mempercayai pusaka keramat yang
dianggapnya berasal dari Dewata Sewwae. Kemudian pusaka keramat atau yang dikenal
sebagai kalompoang menjadi simbol seorang penguasa. Meskipun Islam telah masuk di
Kerajaan Gowa pada tahun 1605 Masehi, akan tetapi masyarakat Kerajaan Gowa belum
menganut agama Islam yang murni. Mereka masih mempercayai agama nenek moyang.
Kini kalompoang sudah menjadi tradisi Kerajaan Gowa (accera kalompoang). Accera
Kalompoang diselenggarakan dua hari, yakni hari sebelum idul Adha, dan setelah shalat
idul Adha.
B. Saran
Tradisi seperti ini harus tetap dijaga, agar dapat dipelajari dan dinikmati oleh generasi
penerus bangsa. Mengenai makalah, saya menyadari sangat jauh dari kesempurnaan.
Karena saya tidak dapat meneliti dan melihat langsung prosesi Accera kalompoang ini.
Saya hanya menggunakan literatur-literatur yang terbatas. Kritik dan saran yang
membangun sangat saya harapkan. Terima kasih.
11
DAFTAR PUSTAKA
Fitriani dkk. 2019. Analisis nilai-nilai moral tradisi Accera Kalompoang di museum
3 Balla Lompoa kabupaten Gowa. Makassar : Jurnal kajian social dan budaya
dalam Tebar Science. file:///C:/Users/acer/Downloads/62-1-171-1-10-
20190624.pdf
Hizbi Fauzi, Thamrin Mappalahere dan Pangeran Paita Yunus. Simbolisme pada
upacara pencucian Alat Pusaka pada Acara Accera kalompoang di Rumah Adat Balla
Lompoa Kabupaten Gowa. (Online), Di akses Sabtu, 18 April 2020.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerjasama dengan Forum
Jakarta-Paris.
Tol, Roger.,Kees Van Dijk.,Greg Acciaioli. 2009. Kuasa dan Usaha di Masyarakat
Sulawesi Selatan. Jakarta: KITLV-Jakarta
12