Anda di halaman 1dari 12

METODE PENELITIAN KEBUDAYAAN

MENINJAU RITUAL ACCERA KALOMPOANG DENGAN


PERSPEKTIF ISLAM DALAM TRADISI MASYARAKAT GOWA
DI BALLA LOMPOA

DISUSUN OLEH:

WIDYA SARI ASIS


F061181310

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH
Tahun 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas
berkah, rahmat dan taufik-Nya lah, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam tak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad SAW yang telah mengibarkan panji-panji islam rahmatan lil aalamin.
Terima kasih penulis kepada orang tua, dosen dan sahabat-sahabat penulis yang
senantiasa memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis. Penulisan makalah
ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saran dan kritikan sangat penulis
harapkan.

Makassar, 24 April 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
…………………………………………….1
DAFTAR ISI …………………………………………….2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang …………………………………………….4
1.2 Rumusan Masalah ….………………………………………….5
1.3 Tujuan dan Maksud Penulisan…………………………………………….5
1.4 Metode Penelitian …………………………………………….5

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Makna ritual …………………………………………….6
2.2 Penyelenggaraan ritual …………………………………………….7
2.3 Perspektif islam …………………………………………….9

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan …………………………………………….11
3.2 Saran …………………………………………….11

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….12

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebudayaan merupakan salah satu unsur yang dapat menyatukan suatu
masyarakat bukan justru sebagai pemisah antara kelompok masyarakat yang satu
dengan lainnya. Karena Indonesia merupakan negara yang pluralistik, maka semua
perbedaan haruslah disikapi dengan bijajksana. Menurut Koentjaraningrat, terdapat 7
unsur kebudayaan, yakni bahasa, pengetahuan, sosial, teknologi, ekonomi, religi dan
kesenian.
Di Sulawesi Selatan sendiri terdapat begitu banyak kebudayaan. Disini saya
mengambil kebudayaan masyarakat Gowa, yakni ritual adat Accera Kalompoang.
Ritual ini biasanya diselenggarakan di Balla Lompoa yaitu rumah adat Kerajaan Gowa
dan kini dijadikan sebagai tempat penyimpanan benda-benda yang disucikan oleh
Masyarakat Gowa. Tempat inipun menjadi tempat latihan seni bagi para penggiat seni
dan budaya.
Arti penting pusaka keramat dalam kaitanya dengan organisasi politik, sosial
dan keagamaan masyarakat Makassar dan Bugis selama puluhan tahun telah menjadi
perhatian utama para ilmuwan yang mengkaji Sulawesi Selatan. Meski sering disebut
sebagai ornamen oleh para penulis Belanda terdahulu, namun pusaka keramat sama
sekali tidak memiliki sifat sebagai aksesori belakang dalam kebudayaan Makassar.
Sebaliknya, seperti tersirat dari istilah Makassar kalompoang (kebesaran) dan
kalabbirang (keagungan), objek-objek tersebut sesungguhnya adalah simbol material
yang menghubungkan antara organisasi sosial kelompok kerabat, kampung atau federasi
di satu sisi, serta konsep kepercayaan dan mitologi di sisi lain (Rossler 2009:213).
Saya tertarik meneliti ritual adat Accera Kalompoang atau ritual tahunan untuk
mencuci benda-benda pusaka Kerajaan ini karena menurut sejarahnya, Kerajaan Gowa
memiliki Gaukang yang dianggap kramat. Artinya, seorang penguasa Kerajaan Gowa
dikatakan sah memerintah apabila mewarisi Gaukang tersebut. Akan tetapi terdapat
pertanyaan dibenak saya, apakah ritual ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam?
Padahal sebagaimana yang kita ketahui, bahwa Kerajaan Gowa lah yang pertama

4
menyebarkan agama Islam di Sulawesi Selatan. Meskipun Islam dahulu ialah islam
tradisional (ortodoks), artinya masih terikat dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang tersebut dapat ditarik permasalahan sebagai berikut;
1) Apakah makna yang terkandung dalam ritual adat Accera Kalompoang?
2) Bagaimanakah ritual adat Accera Kalompoang diselenggarakan?
3) Apakah ritual adat Accera Kalompoang bertentangan dengan ajaran
agama Islam?

1.3 Tujuan dan Maksud Penulisan


1) Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam ritual adat Accera
Kalompoang
2) Untuk mengetahui bagaimana penyelenggaraan ritual adat Accera
Kalompoang
3) Untuk mengetahui apakah ritual adat Accera Kalompoang bertentangan atau
tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam

1.4 Metode Penelitian


Adapun metode penelitian yang akan saya gunakan ialah:
1) Mengumpulkan literature-literatur terkait ritual adat Accera Kalompoang di
Balla Lompoa, Gowa
2) Membuat karya tulis hasil penelitian ini sebagai bagian dari
pertangungjawaban atas penelitian
Penulis hanya menggunakan metode kepustakaan. Dikarenakan saat ini terjadi pandemi
Corona Virus Disease atau yang biasa disebut sebagai COVID-19. Jadi, untuk
mencegah penularan penyakit ini maka pemerintah melaksanakan PSBB (Pembatasan
Sosial Berskala Besar). Maka dari itu, observasi langsung ke lapangan tidak dapat saya
lakukan. Semoga hasil-hasil yang saya dapatkan dari berbagai literatur dapat menjawab
permasalahan yang saya angkat ini.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Makna Ritual


Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan atau yang berlaku di daerah Bugis-
Makassar, mengenal benda yang disebut Gaukeng/gaukang. Menurut cerita lisan, benda
ini adalah faktor penting dalam pembentukan pemukiman awal Bugis-Makassar dan
sangat dihormati dan dipercayai sebagai makhluk halus penjaga pada sebuah komunitas
tertentu. (Andaya, 2004:15)
Ritual Accera Kalompoang merupakan ritual yang dilakukan oleh keturunan
kerajaan Gowa setiap tahun untuk merayakan hari raya Idul Adha. Ritual tersebut
dilakukan di Balla Lompoa sebagai istana kerajaan Gowa yang kini telah berubah fungsi
sebagai tempat peninggalan benda-benda pusaka atau museum. Ritual yang dilakukan
setiap tahun tersebut sarat dengan nilai-nilai kebudayaan.
Ketika raja Gowa ke 14 I Mangarangi Daeng Manrabia Karaeng Lakiung (1593-
1639) adalah yang pertama memeluk islam bergelar Sultan Alauddin pada tanggal 20
September 1605. Raja inilah yang mengubah tatanan tradisi upacara adat tradisional
Accera Kalompoangbernuansa tradisi dan islam. Kemudian diteruskan oleh putrannya
raja Gowa XV I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan
Malikussaid (1639-1653) yang memonumentalkan rutinitaswaktu tradisi Accera
Kalompoang pada tanggal 10 Dzulhijjah atau sesudah shalat Idhul Adha setiap tahun.
Selanjutnya oleh I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Manggape Sultan
Hasanuddin (1653-1669)dengan nama kecesaran Islamnya Muhammad Bagir,
meneruskan pelaksanaan tradisi ini lebih tertata baik secara adat maupun bernafaskan
islam secara berkelanjutan.
Kalompoang adalah suatu hal yang sangat penting dalam kepemimpinan politik
pada masyarakat Makassar pra kolonial. Pola kepemimpinan di seluruh wilayah telah
berubah drastis selama dekade dekade terakhir, dimana sistem hirarki tradisional dari
komunitas kampung, kerajaan kecil (kakaraengang) dan kerajaan telah diubah
bentuknya menjadi struktur pemerintahan 'pan Indonesia' modern seperti dusun, desa,

6
kecamatan dan kabupaten. Namun, walau telah mengalami transformasi administratif,
sebagian besar pusaka keramat ternyata tidak hanya tetap bertahan, akan tetapi, dalam
taraf tertentu juga dianggap sebagai suatu warisan kultural dan identitas orang Makassar
yang paling signifikan.

2.2 Penyelenggaraan Ritual


Terdapat 15 jenis benda peninggalan kesultanan yang harus dibersihkan. Prosesi
dimulai dengan upacara Alekka je'ne, yaitu upacara mengambil air di Sumur Bungin
Lompoa (sumur besar bertuah). Sesajen berupa bente (beras ketan), dupa, lilin dan daun
sirih turut serta dibawa. sesepuh adat dan iring-iringan pembawa bendera pusaka (para
pria remaja kerabat Kesultanan Gowa, didampingi puluhan gadis yang mengenakan
baju adat) beserta keluarga Kerajaan mulai memasuki sumur Bungun Lompoa yang
terletak di Bukit Tamalatea, dekat makam Sultan Hasanuddin, atau sekitar 500 meter
dari istana Balla Lompoa.
Mereka melantunkan paroyong, atau nyanyian kepada sang pencipta dan leluhur,
para sesepuh adat memainkan alat musik Jajjakang. Alat musik yang terdiri dari
kancing, bacing,bulo, dan kaoppo ini merupakan alat musik yang digunakan kalangan
raja untuk pesta adat. Sesajen mulai ditabur di atas air sumur. Airnya diambil
menggunakan sero atau timba yang terbuat dari daun lontar.
Usai mengambil air, rombongan kembali ke istana untuk mengikuti upacara
selanjutnya, yaitu upacara Ammolong Tedong, atau penyembelihan kerbau. Kerbau yang
akan disembelih, juga harus memenuhi syarat antara lain; jantan, berwarna hitam dan
kondisinya prima. Sang kerbau pun mendapat perlakuan khusus seperti disisir bulu-
bulunya dan diikatkan kain putih sebagai simbol kesucian. Kerbau lalu diarak keliling
istana sebanyak 3 kali putaran. Sebelum prosesi penyembelihan berlangsung, keluarga
yang memiliki hajat, melakukan sebuah prosesi sebagai bentuk penghormatan kepada
sang pencipta dan para leluhur. Satu persatu pada turunan Raja bawah ini, memecahkan
telur, memberi minyak khusus khusus dan mengarahkan uap ke Kepala kerbau.
Penyembelihan dilakukan oleh seorang sesepuh adat. Darah kerbau ini selanjutnya
disimpan di istana.

7
Setelah salat idul Adha, upacara allangiri kalompoang, atau pencucian benda-
benda utama pusaka kebesaran Kerajaan Gowa pun dimulai. ini merupakan puncak
upacara dari segala rangkaian acara ritual tradisi Accera kalompoang. Air bertuah yang
diambil dari sumur diletakkan di atas panggung, beserta darah kerbau dan sesajen
lainnya. Benda peninggalan Kerajaan Gowa yang berjumlah 15 buah itu, mulai
dikeluarkan dari tempat penyimpanan.
Pencucian dipimpin putra mahkota turunan Sultan Gowa yang terakhir. Ia
didampingi tujuh tetua adat. Prosesi pencucian dimulai dengan pembacaan doa.
Kemudian satu persatu benda peningalan kesultanan itu dicuci dengan air yang
dianggap suci.
Benda-benda pusaka itu adalah:
1) Salokoa adalah mahkota sultan yang terbuat dari emas murni dihiasi oleh berlian
2) Sudanga adalah senjata yang selalu dibawa oleh sultan terbuat dari besi bertuah
3) Ponto janga jangayya adalah gelang emas berkepala naga sebanyak empat buah
4) Tobo kalukua adalah kalung emas sebanyak empat buah
5) Bangkarak taroe (anting-anting emas murni)
6) Kolara (kalung kebesaran terbuat dari emas murni)
7) Kancing gaukang (pringan emas sebanyak 4 buah)
8) Cincin gaukang yaitu cincin emas dan batu mustika sebanyak dua buah
9) Tatarapang berbentuk keris dari besi bertuah dan sakti yang bergagang emas
serta bersarung emas bertahtakan berlian
10) Lasippo yaitu parang besi bertuah dan sakti
11) Mata tombak dari besi bertuah dan sakti dengan guratan emas bernama
Tamaddakayya, I bukle dan I Jingga
12) Poke panyanggayya sejenis tombak sakti dari besi bertuah
13) Berang manurung atau parang panjang sejenis kelewang
14) Panning emas pemberian dari kerajaan Inggris kepada raja Gowa ke 14,
Sultan Alauddin
15) Medali berbahan emas murni pemberian dari pemerintah Belanda sebagai tanda
persahabatan

8
2.3 Perspektif Islam
Sebelum kedatangan Islam, yang ajarannya tidak pernah dijalankan secara murni
(Ortodoks) maka penduduk Kerajaan Gowa menganut agama patuntung, yang dalam
konteks berarti "orang yang memperjuangkan kejujuran dan kebersahajaan" (Martin
Rossler: 2009:219). Konsep dasar ajaran agama patuntung adalah bahwa setiap anggota
komunitas diharapkan untuk menjalani kehidupan sesuai ketentuan para dewa yang
berdiam di puncak Gunung Bawakaraeng. Menurut Rossler, sebenarnya akan lebih tepat
jika agama patuntung dikategorikan sebagai suatu sistem kepercayaan tingkat tinggi,
yang di samping memiliki unsur kepercayaan juga memiliki banyak aspek seperti
pandangan dunia, norma-norma dan nilai-nilai yang oleh penduduk setempat dianggap
sebagai hal-hal penting dalam tata perilaku sehari-hari.
Ketika islam berinteraksi dengan beragam budaya, tentu terdapat kemungkinan,
Islam akan mewarnai, mengubah dan memperbaharui budaya lokal, tetapi mungkin
pola Islam yang kemudian diwarnai dengan berbagai budaya lokal. Hal inilah yang
menbuat islam kemudian mengalami proses lokalisasi sesuai konteks sosio-kultural
yang diadapi. Perjumpaan Islam dan sosio-kultural masyarakat Nusantara secara umum
menghadirkan akomodasi Islam yang datang atas nilai-nilai lokal. Islam yang datang
ditengah masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan dan berbagai sistem nilai, juga
berusaha mengakomodasi nilai-nilai tersebut. Perjumpaan antara Islam dan tradisi lokal
di Sulawesi Selatan tidak sepenuhnya bercorak akulturatif, tapi pada banyak kasus
terjadi proses negosiasi kebudayaan bahkan terjadi proses pergulatan kebudayaan,
dimana budaya lokal masih begitu tampak dominan.
Sistem kepercayaan masyarakat Sulawesi Selatan adalah kepercayaan tradisional
yang mempercayai akan adanya sosok dewa yang tunggal (Dewata Sewwae). Sistem
kepercayaan ini disebut sebagai sistem kepercayaan attoriolong, yang secara harfiah
berarti "anutan leluhur". Kepercayaan ini selama berabad-abad menjiwai dan dipegang
teguh oleh masyarakat sebagai pedoman hidup dan hingga kini masih terasa
pengaruhnya. Sistem religi Bugis Makassar pra Islam sejatinya bersifat pribumi, meski

9
mungkin ditemukan adanya persamaan dengan konsep religi India, baik Hindu maupun
Budha (Pelras 2005: 109).

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan umumnya mempercayai pusaka keramat yang
dianggapnya berasal dari Dewata Sewwae. Kemudian pusaka keramat atau yang dikenal
sebagai kalompoang menjadi simbol seorang penguasa. Meskipun Islam telah masuk di
Kerajaan Gowa pada tahun 1605 Masehi, akan tetapi masyarakat Kerajaan Gowa belum
menganut agama Islam yang murni. Mereka masih mempercayai agama nenek moyang.
Kini kalompoang sudah menjadi tradisi Kerajaan Gowa (accera kalompoang). Accera
Kalompoang diselenggarakan dua hari, yakni hari sebelum idul Adha, dan setelah shalat
idul Adha.

B. Saran
Tradisi seperti ini harus tetap dijaga, agar dapat dipelajari dan dinikmati oleh generasi
penerus bangsa. Mengenai makalah, saya menyadari sangat jauh dari kesempurnaan.
Karena saya tidak dapat meneliti dan melihat langsung prosesi Accera kalompoang ini.
Saya hanya menggunakan literatur-literatur yang terbatas. Kritik dan saran yang
membangun sangat saya harapkan. Terima kasih.

11
DAFTAR PUSTAKA

Andaya.Y.Leonard.2004. Warisan Arung Palakka Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke 17.


Makassar: Ininnawa.

Fitriani dkk. 2019. Analisis nilai-nilai moral tradisi Accera Kalompoang di museum
3 Balla Lompoa kabupaten Gowa. Makassar : Jurnal kajian social dan budaya
dalam Tebar Science. file:///C:/Users/acer/Downloads/62-1-171-1-10-
20190624.pdf

Hizbi Fauzi, Thamrin Mappalahere dan Pangeran Paita Yunus. Simbolisme pada
upacara pencucian Alat Pusaka pada Acara Accera kalompoang di Rumah Adat Balla
Lompoa Kabupaten Gowa. (Online), Di akses Sabtu, 18 April 2020.

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerjasama dengan Forum
Jakarta-Paris.

Sabara. 2018. Islam Dalam Tradisi Masyarakat Lokal di Sulawesi Selatan.


Makassar: Mimikri volume 4 nomor 1.

Suardi, Suratman. 2015. Upacara Adat Accera kalompoang (online).


http://summongroup.blogspot.com/2015/03/upacara-adat-accera-kalompoang.html?m=1
(di akses Sabtu, 18 April 2020).

Tol, Roger.,Kees Van Dijk.,Greg Acciaioli. 2009. Kuasa dan Usaha di Masyarakat
Sulawesi Selatan. Jakarta: KITLV-Jakarta

12

Anda mungkin juga menyukai