TBC
Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah
berkembang. Estimasi kasus kejadian TB global pada tahun 2010 adalah 8,5 - 9,2 juta
dan angka kematian mencapai 1,2 - 1,5 juta (termasuk penderita ko infeksi TB -
HIV). Indonesia menempati peringkat keempat dalam hal estimasi kasus TB pada
tahun 2010 setelah India, China dan Afrika Selatan dengan 450.000 kasus baru per
menyebabkan juga malnutrisi melalui turunnya nafsu makan, perubahan pola makan,
perubahan metabolisme dan malabsorpsi. Selain itu, kekurangan energi protein dan
penyakit
Pasien TB paru dengan indeks masa tubuh (IMT) <17 kg/m2 dilaporkan
berhubungan dengan meningkatnya resiko kematian dini selain faktor usia dan ko
infeksi HIV Tuberkulosis sering terjadi bersama wasting. Wasting pada pasien TB
paru terjadi karena beberapa faktor seperti misalnya berkurangnya nafsu makan,
malabsorpsi nutrisi dan berubahnya metabolisme yang berkaitan dengan respon imun
dan inflamasi 4,5. Selain itu, peningkatan produksi sitokin dengan peningkatan
aktifitas lipolitik dan proteolitik dapat meningkatkan pengeluaran energi dari pasien 5.
massa otot dan berat badan terkait dengan berkurangnya aktivitas fisik dan kelelahan,
tidak hanya pada TB tetapi juga di penyakit lain. Pemulihan fungsi fisik lebih cepat
dapat mempersingkat waktu pemulihan dan memfasilitasi pasien bekerja secara lebih
produktif
dengan konversi bakteriologis karena pasien sering menderita demam atau malaise
mengembalikan fungsi fisik lebih cepat dalam fase awal pengobatan TB 4. Sebuah
Ditemukan pengaruh positif terhadap berat badan 420 anak-anak usia antara
13 dan 36 bulan yang menderita kekurangan energi protein yang diberi makan
formula suplemen makanan yang terdiri dari tepung beras 70% dan tempe 30% atau
tepung kedelai (13). Anak balita dengan gisi buruk yang diberi 50 gram tepung tempe
selama 6 bulan memiliki pertambahan berat badan yang lebih baik dibandingkan
2. HEMATEMESIS MELENA
penyakit yaitu gizi kurang. Faktor resiko terjadinya gizi kurang diantaranya yaitu
asupan makanan yang tidak cukup selama lebih dari 7 hari dan kehilangan berat
badan lebih dari 10% dalam waktu singkat (Dir. Jen. Yan. Medik 1999
meningkat seiring dengan tingkat penyakit yang semakin berat. Akan tetapi,
hubungan antara perubahan status malnutrisi dengan penyebab penyakit tidak jelas
(Italian Multicentre Co-operative Project 1994 & Wilkins et al. 1995, diacu dalam
Menurut McCullough & Tabill (1991) diacu dalam Nelson et al. (1994),
beberapa penyebab malnutrisi pada penderita penyakit hati yaitu : 1. Penurunan intake
meningkat. 4. Sintesis protein yang tidak efisien, pemecahan protein yang semakin
3. HIV
kesehatan umum pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) cepat menurun. Hasil
mempunyai status gizi yang baik maka daya tahan tubuh akan lebih baik sehingga
antiretroviral (ARV) tertentu mempunyai efek samping yang dapat diperburuk jika
obat dikonsumsi tanpa makanan dan gizi buruk bisa menghambat kemampuan obat
dan protein pada pasien yang diberi suplemen makronutrien dibandingkan yang hanya
diberi plasebo serta bermakna terhadap berat badan dan massa lemak.
Tanpa dukungan asupan zat gizi yang adekuat, stres metabolik akibat infeksi
akan menimbulkan kehilangan berat badan dan rusaknya sel bagian tubuh pada organ
vital. Indeks massa tubuh (IMT) yang rendah menjadi prediktor independen terhadap
mortalitas awal HIV/AIDS (). Penyebab utama penurunan berat badan pada pasien
terinfeksi HIV yaitu hilangnya nafsu makan, gangguan penyerapan sari makanan pada
alat pencernaan, hilangnya cairan tubuh akibat muntah dan diare, gangguan
metabolisme zat gizi, infeksi oportunistik, dan penyakit lain penyerta HIV/AIDS
4. STROKE
Penderita stroke dengan gejala dan akibat penyakit yang berbeda beda tidak
dapat disembuhkan secara total. Disabilitas akibat stoke tidak hanya memberikan
beban ekonomi bagi keluarga, tetapi juga beban mental emosional yang mengganggu
produktivitas anggota keluarga yang lain. Namun, apabila ditangani dengan baik
Disfagia atau kesulitan menelan cairan dan atau makanan sering terjadi pada
pasien stroke (Mahan, dkk., 2012). Pasien stroke sering mengalami disfagia terutama
pada fase akut yaitu sekitar 30-50% pasien (Wirth dkk, 2013).
Disfagia terjadi karena disfungsi dan inkoordinasi otot faring dan central
nervous system kehilangan kontrol terhadap fungsi menelan (Mahan, dkk., 2012).
penyerapan berbagai makanan (zat gizi). Pemberian diet (makanan) yang tepat untuk
penderita stroke perlu mempertimbangkan juga faktor risiko yang terjadi (Roman GC,
2006).
Menurut Almatsier (2002) bentuk makanan yang diberikan pada pasien
stroke dalam fase akut atau bila ada gangguan fungsi menelan adalah dalam bentuk
cairan kental atau kombinasi cair jernih dan cairan kental yang diberikan secara oral
Makanan diberikan dalam porsi kecil tiap 2-3 jam. Lama pemberian
disesuaikan dengan keadaan pasien. Kemudian pada pasien fase pemulihan bentuk
makanan merupakan kombinasi cairan jernih dan cairan kental, saring, lunak, dan
5. TRAUMA
miokardium yang menyebabkan kegagalan pompa primer, bahkan bila trauma pada
segera dicegah karena dapat menyebabkan reduksi aliran darah otak dan bila MAP
diberikan pada pasien dengan cedera kepala. Hal ini bertujuan agar dapat memenuhi
outcome bagi pasien demi kelangsungan hidup dan kecacatan, lebih lanjut lagi bila
nutrisi diberikan awal secara agresif dapat meningkatkan fungsi imun dengan
meningkatkan sel CD4, rasio CD4-CD8 dan kepekaan limfosit T. Jalur pemberian
nurisi disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, formula enteral lebih dipilih karena
lebih fisiologis, tidak mahal dan resiko lebih kecil daripada nutrisi parenteral total,
namun perlu pengawasan metabolisme yang baik untuk mencegah efek samping
Pengelolaan Pasien dengan cedera kepala ataupun stroke merupakan salah satu
dengan hasil akhir adalah kehilangan protein dari sel – sel tubuh dan pengurangan
pelepasan dari cathecol amine endogen yang terdiri dari adrenalin noradrenalin,
berupa peningkatan laju proteolysis, lipolysis, serta terjadinya peningkatan kadar gula
darah. Keadaan ini akan diperberat lagi dengan adanya multiple trauma5
6. ULKUS PEPTIKUM
atau tidak mampu makan karena penurunan kesadaran, pemberian sedasi atau
terintubasi melalui saluran napas bagian atas. Pasien dengan perdarahan SCBA
dalam darah yang menyebabkan tubuh kekurangan asam amino esensial untuk
mensintesis berbagai macam zat termasuk penyakit dan atau proses pemulihan (7).
Dukungan nutrisi sangat penting pada pengelolaan pasien dengan perdarahan SCBA
dan dapat diberikan secara enteral, parenteral atau bersama-sama secara enteral dan
parenteral. Apabila usus berfungsi baik, nutrisi diberikan dengan memakai konsep
NED. Pada keadaan usus tidak berfungsi baik, maka bisa diberikan nutrisi parenteral
atau nutrisi enteral dan parenteral bersama-sama sehingga kebutuhan kalori, cairan,
mineral, dan trace element dapat terpenuhi. Nutrisi enteral adalah nutrisi yang
diberikan pada pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui rute
oral, formula nutrisi diberikan melalui tube ke dalam lambung (gastric tube), NGT,
atau jejunum yang dapat dilakukan secara manual maupun dengan bantuan pompa
mesin. Beberapa