Anda di halaman 1dari 10

ARTIKEL TAFSIR AL-QUR’AN

QS. AN-NISA AYAT 1-8

(Pentingnya Bersikap Adil)

Dosen Pengampu:

Gandhung Fajar Panjalu M.HI

Oleh:

Muhammad Shafwan Rafi (20181551042)

Muhammad Ilham Aziz (20181551048)

Zunahar Aly Robbany (20171551023)

Emilya Rosa (20181551046)

Alifiyah Nur Sayyidah (20181551001)

Imam Chambali (20181551018)

AHWAL AS-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA


Silaturrahim
Sudah kodratnya manusia adalah makhluk sosial dalam artian yaitu mahluk yang di
dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain (interaksi). Tentunya
kita ingat, awal mula penciptaan manusia yaitu dimulai dari Adam kemudian Allah
menciptakan Hawa sebagai pasangan Adam. Sebagai seorang muslim, harusnya kita
menyadari kebesaran-Nya tentang apa yang telah di ciptakan oleh-Nya dan bertakwa kepada-
Nya serta tak lupa mempererat silaturrahmi antar sesama manusia. Sebagaimana disebutkan
dalam QS. An-Nisa: 1

ٍ‫اح َد ة‬
ِ ‫سو‬ ٍ ‫ف‬
ْ ‫ن‬
َ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫ي ا أَيُّ ه ا النَّاس َّات ُق وا ر بَّ ُك م الَّ ِذ ي خ لَ َق ُك م‬
َ ْ ْ َ ُ َ ُ َ َ
‫ َو َّات ُق وا‬Aۚ ً‫ث ِم ْن ُه َم ا ِر َج ا اًل َك ثِ ًري ا َو نِ َس اء‬ َّ َ‫َو َخ لَ َق ِم ْن َه ا َز ْو َج َه ا َو ب‬
‫ان َع لَ ْي ُك ْم َر قِ يبً ا‬َ ‫ إِ َّن اللَّ هَ َك‬Aۚ ‫ام‬ ِ َ ُ‫اللَّ ه الَّ ِذ ي تَ س اء ل‬
َ ‫ون بِ ه َو ا أْل َ ْر َح‬ َ َ َ
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.

Adapun penafsiran ayat diatas menurut tafsir Al-Jalalain:

(Hai manusia) penduduk Mekah (bertakwalah kamu kepada Tuhanmu) artinya


takutlah akan siksa-Nya dengan jalan menaati-Nya (yang telah menciptakan kamu dari satu
diri) yakni Adam (dan menciptakan daripadanya istrinya) yaitu Hawa; dibaca panjang; dari
salah satu tulang rusuknya yang kiri (lalu mengembangbiakkan) menyebarluaskan (dari
kedua mereka itu) dari Adam dan Hawa (laki-laki yang banyak dan wanita) yang tidak sedikit
jumlahnya. (Dan bertakwalah kepada Allah yang kamu saling meminta) terdapat idgam ta
pada sin sedangkan menurut satu qiraat dengan takhfif yaitu membuangnya sehingga menjadi
tas-aluuna (dengan nama-Nya) yang sebagian kamu mengatakan kepada sebagian lainnya,
"Saya meminta kepadamu dengan nama Allah," (dan) jagalah pula (hubungan silaturahmi)
jangan sampai terputus. Menurut satu qiraat dibaca dengan kasrah diathafkan kepada dhamir
yang terdapat pada bihi. Mereka juga biasa saling bersumpah dengan hubungan rahim.
(Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kamu) menjaga perbuatanmu dan memberi balasan
terhadapnya. Maka sifat mengawasi selalu melekat dan terdapat pada Allah swt. Ayat berikut
diturunkan mengenai seorang anak yatim yang meminta hartanya kepada walinya tetapi ia
tidak mau memberikannya.

Dari penjelasan tafsir diatas, dapat disimpulkan bahwasannya Allah SWT telah
menciptakan manusia secara berpasangan, yang mana dari penciptaannya tersebut jodoh kita
adalah bagian dari diri kita. Maka dengan demikian kita hendaknya selalu bertakwa kepada
Allah SWT atas nikmat serta penciptaannya yang luar biasa ini. Dan kita sebagai manusia
makhluk sosial hendaknya selalu bersilaturahmi untuk menjaga persaudaraan.

Poligami
Tentang bersilaturrahmi, tentunya bersikap baik antar sesama seperti melakukan
pernikahan dan bersikap baik terhadap anak yatim. Dalam menentukan suatu perkara yang
dibutuhkan adalah suatu keadilan. Seperti halnya wali kepada anak yatim yang diasuhnya
ataupun seorang lelaki menikahi istri lebih dari 1. Sebagaimana yang tertulis pada QS. An-
Nisa: 3

ِ
‫ث‬َ ‫لَ ُك ْم ِم َن النِّ َس اء َم ْث ىَن ٰ َو ثُاَل‬ ‫اب‬ ِ
َ َ‫ام ٰى فَ انْ ك ُح وا َم ا ط‬
ِ ِ ِ
َ َ‫َو إ ْن خ ْف تُ ْم أَ اَّل ُت ْق س طُ وا يِف الْ يَ ت‬
ِ ِ ِ ِ
‫ك أ َْد ىَنٰ أَ اَّل َت عُ ولُ وا‬َ ‫ َٰذ ل‬Aۚ ‫أَمْيَ انُ ُك ْم‬ ْ ‫ فَ ِإ ْن خ ْف تُ ْم أَاَّل َت ْع د لُ وا َف َو اح َد ًة أ َْو َم ا َم لَ َك‬Aۖ ‫اع‬
‫ت‬ َ َ‫َو ُر ب‬
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Berdasarkan surat diatas, terlihat jelas bahwa berperilaku adil itu penting. Adapun penjelasan
atau tafsir menurut tafsir Al-Jalalain:

(Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim)
sehingga sulit bagi kamu untuk menghadapi mereka lalu kamu takut pula tidak akan dapat
berlaku adil di antara wanita-wanita yang kamu kawini (maka kawinilah) (apa) dengan arti
siapa (yang baik di antara wanita-wanita itu bagi kamu dua, tiga atau empat orang) boleh dua,
tiga atau empat tetapi tidak boleh lebih dari itu. (kemudian jika kamu tidak akan dapat
berlaku adil) di antara mereka dalam giliran dan pembagian nafkah (maka hendaklah seorang
saja) yang kamu kawini (atau) hendaklah kamu batasi pada (hamba sahaya yang menjadi
milikmu) karena mereka tidak mempunyai hak-hak sebagaimana istri-istri lainnya. (Yang
demikian itu) maksudnya mengawini empat orang istri atau seorang istri saja, atau
mengambil hamba sahaya (lebih dekat) kepada (tidak berbuat aniaya) atau berlaku lalim.

Dari penjelasan tafsir diatas, dapat disimpulkan bahwa kita sebagai manusia harus selalu
bersikap adil dalam berbagai macam aspek kehidupan. Diantaranya adalah masalah
perkawinan. Dalam islam dikatakan boleh kita melakukan pernikahan lebih dari 1 orang istri.
Namun jika kita tidak dapat berlaku adil di setiap istri yang kita miliki, maka lebih baik
menikah dengan 1 orang istri saja. , Al-Qur’an mewajibkan atas suami memberikan kepada
istri mahar yang telah ditentukan oleh suami untuk si perempuan tersebut. Kecuali si
perempuan tersebut menurunkan haknya atas laki-laki tersebut, maka mahar tersebut menjadi
halal untuk laki-laki tersebut

Mahar

Pada sebuah pernikahan. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman di dalam Al-Qur’an


tentang hal ini, yaitu didalam surat An-Nisa ayat 4:

‫ فَ ِإ ْن ِط نْب َ لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِم ْن هُ َن ْف ًس ا فَ ُك لُ وهُ َه نِ يئً ا َم ِر يئً ا‬Aۚ ً‫ص ُد قَ ا هِتِ َّن حِن ْ لَ ة‬


َ َ‫َو آتُ وا النِّ َس اء‬
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Adapun penjelasan atau tafsir menurut tafsir Al-Jalalain:

(Berikanlah kepada wanita-wanita itu maskawin mereka) jamak dari shadaqah


(sebagai pemberian) karena ketulusan dan kesucian hati (Kemudian jika mereka
menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati) nafsan merupakan
tamyiz yang asalnya menjadi fa'il; artinya hati mereka senang untuk menyerahkan sebagian
dari maskawin itu kepadamu lalu mereka berikan (maka makanlah dengan enak) atau sedap
(lagi baik) akibatnya sehingga tidak membawa bencana di akhirat kelak. Ayat ini diturunkan
terhadap orang yang tidak menyukainya.

Dalam tafsir diatas dapat dimaknai dengan wajibnya memberikan mahar atau mas
kawin kepada istri. Pada ayat ini tidak dijelaskan berapakah yang harus di berikan kepada
istri pada saat akad nikah, melainkan memberikan mas kawin yang diberikan harus setulus
hati dan kesucian hati.

Hak Harta Terhadap Anak Yatim


Yatim berasal dari bahasa Arab yang berarti sedih atau bermakna sendiri. Sedangkan
menurut syara’ Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya, ketika dia belum
baligh1. Berdasarkan hadis: “Tidak lagi disebut yatim anak yang sudah bermimpi (baligh).2”

Setelah mengetahui definisi anak yatim diatas, kita tidak seharusnya membiarkan
begitu saja hidup tanpa orang tuanya. Oleh karena itu, tentunya anak yatim mendapatkan hak,
salah satunya yaitu kepemilikan harta, sebagaimana yang tercantumkan pada QS. An-Nisa
ayat 2

Aۚ ‫ َو اَل تَ أْ ُك لُ وا أ َْم َو ا هَلُ ْم إِ ىَل ٰ أ َْم َو الِ ُك ْم‬Aۖ ‫ب‬


ِ ِّ‫يث بِ الطَّ ي‬
َ ِ‫ َو اَل َت تَ بَ َّد لُ وا ا خْلَ ب‬Aۖ ‫ام ٰى أ َْم َو ا هَلُ ْم‬
َ َ‫َو آتُ وا الْ يَ ت‬
‫ان ُح وبً ا َك بِ ًري ا‬ َ ‫إِ نَّهُ َك‬
1
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 45:254
2
Sunan Abi Daud, Kitab Al-Washaya No. 2489
Artinya: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan
kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang
besar.”

Adapun penjelasan atau menurut tafsir Al-Jalalain dari ayat diatas:

(Dan berikanlah kepada anak-anak yatim) yaitu anak-anak yang tidak berbapak (harta
mereka) jika sudah balig (dan janganlah kamu tukar yang baik dengan yang buruk) artinya
yang halal dengan yang haram dan janganlah kamu ambil harta yang baik dari anak yatim itu
lalu kamu ganti dengan hartamu yang jelek (dan jangan kamu makan harta mereka) yang
telah dicampur aduk (dengan hartamu. Sesungguhnya itu) maksudnya memakan yang
demikian itu (adalah dosa) atau kesalahan (besar). Tatkala ayat ini turun mereka berkeberatan
untuk menjadi wali anak yatim. Kemudian di antara mereka ada orang yang memiliki sepuluh
atau delapan orang istri sehingga ia tak sanggup untuk berlaku adil di antara mereka, maka
turunlah ayat ini.

Tentunya setiap individu akan mengalami masa pertumbuhan umur ke umur. Namun,
dalam hal harta, yatim juga ada ketentuan untuk mengolah harta yang dipegang walinya.
Bagaimana agar mengetahui jika yatim sudah mampu untuk memiliki atau mengolah
hartanya sendiri? Yaitu wali mampu melihat usia dari yatim yang diasuhnya dan melihat
keadaannya apakah dia sudah mampu atau tidak, siap atau tidak dalam mengolah harta.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa: 5-6

ِ ِ
‫وه ْم‬
ُ ‫اك ُس‬
ْ ‫يه ا َو‬
َ ‫وه ْم ف‬ ً َ‫الس َف َه اءَ أ َْم َو الَ ُك ُم الَّ يِت َج َع َل اللَّ هُ لَ ُك ْم ق ي‬
ُ ُ‫ام ا َو ْار ُز ق‬ ُّ ‫َو اَل ُت ْؤ تُ وا‬
‫َو قُ ولُ وا هَلُ ْم َق ْو اًل َم ْع ُر وفً ا‬

Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,
harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-
kata yang baik.

Menurut penjelasan Tafsir “Aisarut Tafasir” oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi,
mudarris tafsir di Masjid Nabawi: Yakni para wali. Orang yang belum sempurna akalnya
ialah anak yatim yang belum balig atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta
bendanya baik karena hilang akal seperti orang gila, maupun karena belum cerdas seperti
orang yang biasa boros. Dalam ayat ini, Allah melarang para wali menyerahkan harta mereka
yang belum sempurna akalnya agar harta itu tidak habis atau binasa. Hal itu, karena Allah
menjadikan harta sebagai penopang hamba-hamba-Nya untuk maslahat dunia mereka
maupun agama, mereka yang belum sempurna akalnya tidak dapat mengatur hartanya dan
menjaganya. Oleh karena itu, wali mereka yang bertindak, yaitu dengan mengeluarkan harta
untuk makan dan pakaian mereka, serta mengeluarkan untuk sesuatu yang dharuri (penting)
atau dibutuhkan mereka baik terkait dengan agama maupun dunia. Disandarkannya harta
kepada para wali sebagai isyarat wajibnya bagi para wali memberlakukan harta anak yatim
sebagaimana mereka memberlakukan harta mereka dengan menjaganya, bertindak tepat dan
tidak membawa kepada hal-hal yang berbahaya. Yakni berikanlah mereka makanan dari harta
itu. Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa nafkah orang gila, anak kecil, orang yang kurang
akalnya diambil dari harta mereka jika mereka memiliki harta. Demikian juga menunjukkan
bahwa perkataan wali adalah diterima dalam hal dakwaannya berupa nafkah yang memang
mungkin dan pakaian, karena Allah menjadikan mereka sebagai orang yang diberi amanat
(dipercaya) terhadap harta orang-orang yang belum sempurna akalnya itu, sehingga perkataan
orang yang diberi amanat adalah diterima. Misalnya dengan menerangkan kepada mereka
-saat mereka meminta harta- bahwa harta akan diserahkan kepada mereka nanti setelah
mereka sudah pandai mengaturnya.

ْ َ‫اح فَ ِإ ْن آنَ ْس تُ ْم ِم ْن ُه ْم ُر ْش ًد ا ف‬
‫اد َف عُ وا إِ لَ ْي ِه ْم‬ ِ
َ ‫ام ٰى َح ىَّت ٰ إ ذَ ا َب لَ غُ وا النِّ َك‬َ َ‫َو ْاب َت لُ وا الْ يَ ت‬
ِ
‫ان‬
َ ‫ َو َم ْن َك‬Aۖ ‫ف‬ ْ ‫ان َغ نِ يًّ ا َف ْل يَ ْس َت ْع ف‬
َ ‫ َو َم ْن َك‬Aۚ ‫َن يَ ْك َب ُر وا‬ ْ ‫وه ا إِ ْس َر افً ا َو بِ َد ًار ا أ‬
َ ُ‫ َو اَل تَ أْ ُك ل‬Aۖ ‫أ َْم َو ا هَلُ ْم‬
ِ‫ و َك َف ى بِ اللَّ ه‬Aۚ ‫َش ِه ُد وا ع لَ ي ِه م‬ ِ ‫فَ ِق ري ا َف ْل ي أْ ُك ل بِ الْ م ع ر‬
ْ ‫ فَ ِإ ذَ ا َد َف ْع تُ ْم إِ لَ ْي ِه ْم أ َْم َو ا هَلُ ْم فَ أ‬Aۚ ‫وف‬
ٰ َ ْ ْ َ ُْ َ ْ َ ً
‫َح ِس يبً ا‬

Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.
Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari
memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta
itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka
hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah
Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

Menurut tafsir Jalalain:

(Dan hendaklah kamu uji anak-anak yatim itu) sebelum mereka balig yakni mengenai
keagamaan dan tingkah laku mereka (hingga setelah mereka sampai umur untuk kawin)
artinya telah mampu untuk itu dengan melihat keadaan dan usia; menurut Imam Syafii 15
tahun penuh (maka jika menurut pendapatmu) atau penglihatanmu (mereka telah cerdas)
artinya pandai menjaga agama dan harta mereka (maka serahkanlah kepada mereka itu harta-
harta mereka dan janganlah kamu memakannya) hai para wali (secara berlebih-lebihan) tanpa
hak; ini menjadi hal (dan dengan tergesa-gesa) untuk membelanjakannya karena khawatir
(mereka dewasa) hingga harta itu harus diserahkan kepada yang berhak. (Dan barang siapa)
di antara para wali (yang mampu, maka hendaklah ia menahan diri) dari mengambil dan
memakan harta anak yatim itu (sedangkan siapa yang miskin, maka bolehlah ia memakan)
harta itu (secara sepatutnya) artinya sekadar upah jerih payahnya. (Kemudian apabila kamu
menyerahkan kepada mereka) maksudnya kepada anak-anak yatim (harta mereka, maka
hendaklah kamu persaksikan terhadap mereka) yakni bahwa mereka telah menerimanya dan
tanggung jawabmu telah selesai. Maksudnya ialah siapa tahu kalau-kalau terjadi
persengketaan nanti, maka kamu dapat mempergunakan para saksi itu. Maka perintah ini
tujuannya ialah untuk memberi petunjuk (Dan cukuplah Allah) ba (‫ )باهلل‬merupakan tambahan
(sebagai pengawas) yang mengawasi perbuatan-perbuatan hamba-Nya dan memberi mereka
ganjaran. Ayat berikut ini diturunkan untuk menolak kebiasaan orang-orang jahiliah yang
tidak mau memberi harta warisan kepada golongan wanita dan anak-anak.

Kewarisan
Dalam al-Qur’an, laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkannya.
Sebagaimana pada QS. An-Nisa:7-8

‫يب مِم َّ ا َت َر َك‬ ِ ِ ‫ون و لِلن‬ ِ ِ


َ َ َ ُ‫يب َّ ا َت َر َك الْ َو ال َد ان َو ا أْل َ ْق َر ب‬
ٌ ‫ِّس اء نَص‬
‫ص مِم‬ ِ ِ
ٌ َ‫ل ِّلر َج ال ن‬
ِ
ِ ِ ‫ان و ا أْل َ ْق ر ب َ مِم‬
ِ ‫الْ و الِ َد‬
ً ‫ نَص يبً ا َم ْف ُر‬Aۚ ‫ون َّ ا قَ َّل م ْن هُ أ َْو َك ُث َر‬
‫وض ا‬ َُ َ َ

Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

Adapun penjelasan atau tafsir dari Tafsir Al-Jalalain:

(Bagi laki-laki) baik anak-anak maupun karib kerabat (ada bagian) atau hak (dari
harta peninggalan ibu bapak dan karib kerabat) yang meninggal dunia (dan bagi wanita ada
bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan karib kerabat, baik sedikit daripadanya)
maksudnya dari harta itu (atau banyak) yang dijadikan Allah (sebagai hak yang telah
ditetapkan) artinya hak yang pasti yang harus diserahkan kepada mereka.

Ayat ini menghapus hukum yang diskrimatif terhadap perempuan yang berlaku di
masa jahiliyah yang menetapkan, bahwa perempuan sama sekali tidak mendapatkan bagian
dari harta warisan, dan hanya lelakilah yang berhak mendapatkannya. Ayat ini menjelaskan,
bahwa apabila anak-anak yatim memiliki harta dari peninggalan kedua orangtua dan kerabat
mereka, mereka semua sama-sama mendapatkan hak warisan dari harta peninggalan itu, baik
laki-laki maupun perempuan. Semua mereka sama dalam hukum Allah Ta’ala, sedikit
ataupun banyak jumlah harta itu. Kedudukan mereka sama dalam pokok warisan, sekalipun
ada perbedaan kondisi bagian sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Allah bagi masing-
masing dalam Kitab-Nya.

Hak yang dimiliki oleh seluruh ahli waris ini kemudian ditegaskan oleh Allah dengan
firman-Nya, “..sebagai bagian yang telah ditetapkan.” Untuk menerangkan, bahwa hak
tersebut adalah hak yang telah ditentukan, dipastikan dan diputuskan, tak seorang pun boleh
menguranginya.

Kemudian Ayat ke 8:

‫وه ْم ِم ْن هُ َو قُ ولُ وا هَلُ ْم َق ْو اًل‬ ِ ِ


ُ ُ‫ني فَ ْار ُز ق‬
ُ ‫ام ٰى َو الْ َم َس اك‬ َ ‫َو إِ ذَ ا َح‬
َ َ‫ض َر الْ ق ْس َم ةَ أُولُ و الْ ُق ْر ىَب ٰ َو الْ يَ ت‬
‫َم ْع ُر وفً ا‬

Artinya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin,
maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang baik.

Adapun penjelasanatau tafsir menurut tafsir Al-Jalalain:

(Dan apabila pembagian harta warisan dihadiri oleh karib kerabat) yakni dari
golongan yang tidak beroleh warisan (dan anak-anak yatim serta orang-orang miskin, maka
berilah mereka daripadanya sekadarnya) sebelum dilakukan pembagian (dan ucapkanlah) hai
para wali (kepada mereka) yakni jika mereka masih kecil-kecil (kata-kata yang baik) atau
lemah-lembut, seraya meminta maaf kepada kaum kerabat yang tidak mewarisi itu, bahwa
harta peninggalan ini bukan milik kalian tetapi milik ahli waris yang masih kecil-kecil. Ada
yang mengatakan bahwa hukum ini yakni pemberian kepada kaum kerabat yang tidak
mewarisi telah dinasakhkan/dihapus. Tetapi ada pula yang mengatakan tidak, hanya
manusialah yang mempermudah dan tidak melakukannya. Berdasarkan itu maka hukumnya
sunah, tetapi Ibnu Abbas mengatakannya wajib.

Yang dimaksud dengan pembagian di sini yaitu pembagian harta warisan di antara
para ahli waris. Sedang yang dimaksud dengan kerabat yaitu mereka yang tidak mendapatkan
warisan, karena terhalangi oleh yang lain, atau mereka adalah sanak saudara yang memang
tidak mempunyai hak warisan dari si mayit, dan mereka menghadiri prosesi pembagian
warisan.

Ayat ini berisi anjuran kepada ahli waris (sebelum pembagian harta warisan) untuk
memberikan (sekedarnya) dari harta itu kepada kerabat yang tidak berhak mendapat warisan
atau anak yatim dan orang miskin yang hadir di saat pembagian berlangsung.
Kesimpulan
Sebagai seorang muslim, harusnya kita menyadari kebesaran-Nya tentang apa yang
telah di ciptakan oleh-Nya dan bertakwa kepada-Nya serta tak lupa mempererat silaturrahmi
antar sesama manusia. Allah SWT telah menciptakan manusia secara berpasangan, yang
mana dari penciptaannya tersebut jodoh kita adalah bagian dari diri kita. Maka dengan
demikian kita hendaknya selalu bertakwa kepada Allah SWT atas nikmat serta penciptaannya
yang luar biasa ini. Dan kita sebagai manusia makhluk sosial hendaknya selalu bersilaturahmi
untuk menjaga persaudaraan.

Kita sebagai manusia harus selalu bersikap adil dalam berbagai macam aspek
kehidupan. Diantaranya adalah masalah perkawinan. Dalam islam dikatakan boleh kita
melakukan pernikahan lebih dari 1 orang istri. Namun jika kita tidak dapat berlaku adil di
setiap istri yang kita miliki, maka lebih baik menikah dengan 1 orang istri saja.

Al-Qur’an mewajibkan atas suami memberikan kepada istri mahar yang telah
ditentukan oleh suami untuk si perempuan tersebut. Kecuali si perempuan tersebut
menurunkan haknya atas laki-laki tersebut, maka mahar tersebut menjadi halal untuk laki-laki
tersebut.

Dalam persoalan harta waris apabila anak-anak yatim memiliki harta dari peninggalan
kedua orangtua dan kerabat mereka, mereka semua sama-sama mendapatkan hak warisan dari
harta peninggalan itu, baik laki-laki maupun perempuan. Semua mereka sama dalam hukum
Allah Ta’ala, sedikit ataupun banyak jumlah harta itu. Kedudukan mereka sama dalam pokok
warisan, sekalipun ada perbedaan kondisi bagian sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
Allah bagi masing-masing dalam Kitab-Nya. Dan dianjurkan kepada ahli waris (sebelum
pembagian harta warisan) untuk memberikan (sekedarnya) dari harta itu kepada kerabat yang
tidak berhak mendapat warisan atau anak yatim dan orang miskin yang hadir di saat
pembagian berlangsung.

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Bahkan Allah SWT
memerintahkan kita untuk tetap berlaku adil meskipun kepada orang ataupun kaum yang kita
benci. Allah juga memberikan derajat takwa kepada orang yang dapat berlaku adil .Allah
Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan manusia untuk berbuat adil dalam segala aspek
kehidupan, serta berbuat kebaikan dengan sesama. Adil berarti mewujudkan kesamaan dan
keseimbangan di antara hak dan kewajiban. Hak asasi manusia tidaklah boleh dikurangi
disebabkan adanya kewajiban atas mereka.Karenanya, hak setiap orang harus diberikan
sebagaimana mestinya. Kebahagiaan barulah dirasakan oleh manusia bilamana hak-hak
mereka dijamin dalam masyarakat, hak setiap orang dihargai, dan golongan yang kuat
mengayomi yang lemah.
Daftar pustaka

Sahri. 2016. Ayat Kewarisan An-Nisa Ayat 7-9. Diakses melalui


http://konsultanwaris.com/ayat-kewarisan-an-nisa-ayat-7-9/

Baits, Ammi Nur. 2012. Pengertian Yatim. Diakses melalui


https://konsultasisyariah.com/12436-pengertian-yatim.html

Rodja, Radio. 2019. Ketentuan Mahar Pernikahan Dalam Islam. Diakses melalui
https://www.radiorodja.com/46820-ketentuan-mahar-pernikahan-dalam-islam/

Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Syekh. Aisarut Tafasir. Diakses melalui


https://tafsirweb.com/1537-quran-surat-an-nisa-ayat-5.html

Anda mungkin juga menyukai