Anda di halaman 1dari 10

Pedoman menciptakan keluarga berdasarkan agama

I. Pengertian Keluarga& Perkawinan

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap
dalam keadaan saling ketergantungan.

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Hukum Pernikahan :

1. Wajib : yaitu bagi orang yang telah mampu baik fisik, mental, ekonomi maupun
akhlak
2. Sunnah : yaitu bagi orang yang telah mempunyai keinginan untuk
menikah namun tidak dikhawatirkan dirinya akan jatuh kepada maksiat,
sekiranya tidak menikah
3. Mubah : bagi yang mampu dan aman dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya atau
tidak memiliki syahwat sama sekali.
Atau hanya sekedar memenuhi hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada
niat ingin keturunan atau melindungi diri dari yang haram.
4. Haram : yaitu bagi orang yang yakin bahwa dirinya tidak akan mampu melaksanakan
kewajiban-kewajiban pernikahan
5. Makruh : yaitu bagi seseorang yang mampu menikah tetapi dia khawatir akan
menyakiti wanita yang akan dinikahinya

RUKUN NIKAH ADA 5 :

1. Mempelai pria yang dimaksud di sini adalah calon suami yang memenuhi
persyaratan sebagaimana disebutkan pula oleh Imam Zakaria al-Anshari dalam
Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 42:
‫“ " وشرطفيالزوجحلواختياروتعيينوعلمبحاللمرأةله‬Syarat calon suami ialah halal menikahi calon
istri (yakni Islam dan bukan mahram), tidak terpaksa, ditertentukan, dan tahu akan
halalnya calon istri baginya.”
2. Mempelai wanita Mempelai wanita yang dimaksud ialah calon istri yang halal
dinikahi oleh mempelai pria. Seorang laki-laki dilarang memperistri perempuan
yang masuk kategori haram dinikahi. Keharaman itu bisa jadi karena pertalian
darah, hubungan persusuan, atau hubungan kemertuaan. (Baca juga: Hukum
Menikahi Perempuan Hamil di Luar Nikah)
3. Wali Wali di sini ialah orang tua mempelai wanita baik ayah, kakek maupun
pamannya dari pihak ayah (‘amm), dan pihak-pihak lainnya. Secara berurutan, yang
berhak menjadi wali adalah ayah, lalu kakek dari pihak ayah, saudara lelaki
kandung (kakak ataupun adik), saudara lelaki seayah, paman (saudara lelaki ayah),
anak lelaki paman dari jalur ayah.
4. Dua saksi Dua saksi ini harus memenuhi syarat adil dan terpercaya. Imam Abu
Suja’ dalam Matan al-Ghâ yah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), hal. 31
mengatakan, wali dan dua saksi membutuhkan enam persyaratan, yakni Islam,
baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil.”
5. Shighat Shighat di sini meliputi ijab dan qabul yang diucapkan antara wali atau
perwakilannya dengan mempelai pria.

II. Hak & Kewajiban

A. Kewajiban bersama suami dan istri, yaitu sebagai berikut.


a. Memelihara dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya.
b. Berbuat baik terhadap mertua, ipar dan kerabat lainnya baik dari suami
atau isteri.
c. Setia dalam hubungan rumah tangga dan memelihara keutuhannya
dengan berusaha melakukan pergaulan secara bijaksana, rukun, damai dan
harmonis;
d. Saling bantu membantu antara keduanya.
e. Menjaga penampilan lahiriah dalam rangka merawat keutuhan cinta
dan kasih sayang diantara keduanya.

B. Hak &Kewajiban Suami Terhadap Istri


1. Menafkahi
2. Diperlakukan Secara Baik
3. Menegur Dengan Baik
C. Hak &Kewajiban Istri Terhadap Suami
1. Taat Kepada Suami
2. Berpenampilan Menarik Dihadapan Suami
3. Murah Sentum Terhadap Suami
4. Menjaga Harga Diri & Kehormatan Suami
III. Pembinaan Dalam Mahligai Rumah Tangga Yang Harmonis :

1. Melaksanakan perintah Allah Swt


(Q.S. an-Nμr/24:32).

2. Melaksanakan perintah Rasulullah saw. “Barang siapa yang mampu menikah


tetapi tidak menikah, maka dia bukanlah termasuk golonganku”. (¦R. AL-
°abr±ni dan AL-Baihaqi).

3. Memelihara keturunan dan memperbanyak umat.

4. Mencegah masyarakat dari dekadensi moral. “Wahai para pemuda barang


siapa yang sudah mampu untuk menikah maka nikahlah, karena sesungguhnya
itu dapat memelihara pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa
belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya
berpuasa itu dapat menjadi tameng mengalahkan hawa nafsu”. (¦R. al-Bukh±ri
dan Muslim).

5. Mencegah masyarakat dari penyakit-penyakit yang ditimbulkan dari hubungan


seksual dengan berganti-ganti pasangan.

6. Melahirkan ketenangan jiwa


(Q.S. ar-Rμm/30:21;).

7. Meniti jalan bertakwa. “Barangsiapa yang Allah Swt. anugerahkan kepadanya


seorang wanita yang shalihah berarti Allah Swt. telah menolongnya menjalani
separuh agamanya. Hendaknya ia bertakwa kepada Allah Swt. untuk
memelihara separuh yang lainnya”. (¦R. Tabrani).

8. Memperkokoh dan memperluas persaudaraan; melalui pernikahan berarti telah


menyatukan dua keluarga besar dalam memperkokoh tali persaudaraan.

IV. Tanggungjawab Orangtua Terhadap Anak :


1. Memberi Nama Anak Yang Baik
2. Mengajarkan Agama
3. Memberi Pendidikan Yang Baik
4. Memberi Nafkah
V. Tanngungjawab Anak Terhadap Orangtua
1. Taat Kepada Orangtua
2. Segera Datang Jika Dipanggil
3. Menafkahi Orangtua Jika Mampu
4. Merawat Orangtua
5. Berbicara Dengan Lemah Lembut
6. Menjauhkan Hal Yang Tidak Disukai Orangtua
7. Mendoakan Orangtua
8. Meminta Izin & Restu Orangtua
9. Menjaga Nama Baik Orangtua
Materi Kuliah : Manusia Dalam Kehidupan

A. Manusia & Akhlak

1. Manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti


berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu menguasai
makhluk lain).  Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau
sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau
seorang individu.

Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin),
yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu
menguasai makhluk lain).

Secara umum manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan


orang lain, oleh karena itu manusia senantiasa membutuhkan interaksi dengan
manusia yang lain.

2. Akhlak Kata “akhlak” berasal dari bahasa arab yaitu ” Al-Khulk ” yang berarti
tabeat, perangai, tingkah laku, kebiasaan, kelakuan.  Menurut istilahnya, akhlak
ialah sifat yang tertanam di dalam diri seorang manusia

Macam Macam Akhlak

1. Akhlak terpuji (al-akhlaaqul mahmuudah)

1. Berbakti kepada kedua orang tua


2. Menghormati tetanggga dan tamu
3. Berusaha menimbulkan rasa kasih sayang serta menarik simpati orang lain  
4. Memberikan sumbangan yang bersifat meringankan beban hidup orang-orang
yang berhak menerimanya     
5. Membantu memudahkan urusan sesama manusia bagi yang
berkemampuan      

2. Akhlak tercela (al-akhlaaqul madzmuumah)

1. Berdusta (‫)الكذب‬
2. Mengumpat (‫)الغيبة‬
3. Mengadu domba (‫)النّميمة‬
4. Iri hati/dengki (‫)الحسد‬
5. Congkak (‫)األصغر‬
B. Perawatan Jenazah
Berkaitan dengan masalah pengurusan jenazah, ada 4 kewajiban terhadap jenazah
yang mesti dilakukan oleh orang yang hidup. Empat hal ini dihukumi fardhu kifayah,
artinya harus ada sebagian kaum muslimin yang melakukan hal ini terhadap mayit.
Jika tidak, semuanya terkena dosa.

Empat hal yang mesti dilakukan terhadap mayit oleh yang hidup adalah
1- Memandikan
2- Mengafani
3- Menyolatkan
4- Menguburkan

1. Memandikan Mayit
Ada dua mayit yang tidak dimandikan:
(1.1) orang yang mati dalam medan perang (mati syahid),
(1.2) janin yang belum mengeluarkan suara tangisan, ini menurut madzhab
Imam Syafi’i. Sedangkan menurut madzhab Imam Ahmad, yang tidak perlu
dimandikan adalah janin yang keguguran di bawah 4 bulan.

2. Mengafani Mayit

Mengafani mayit dilakukan dengan tiga helai kain berwarna putih, tidak ada
pakaian dan tidak imamah (penutup kepala).

3. Menyolatkan Mayit

Shalat jenazah terdapat tujuh rukun:


1- Berniat (di dalam hati).
2- Berdiri bagi yang mampu.
3- Melakukan empat kali takbir (tidak ada ruku’ dan sujud).
4- Setelah takbir pertama, membaca Al Fatihah.
5- Setelah takbir kedua, membaca shalawat
6- Setelah takbir ketiga, membaca doa untuk mayit.
7- Salam setelah takbir keempat.

Menguburkan Mayit

Mayit dikuburkan di liang lahat dengan diarahkan ke arah kiblat.


Mayit dimasukkan dalam kubur dengan mengakhirkan kepala dan dimasukkan
dengan lemah lembut.
Bagi yang memasukkan ke liang lahat hendaklah mengucapkan: Bismillah wa ‘alaa
millati rosulillah (Dengan nama Allah dan di atas ajaran Rasulullah).
PENGERTIAN HAID, NIFAS, DAN ISTIHADHAH

HAID

Haidh atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar dari rahim
seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan oleh suatu
penyakit atau karena adanya proses persalinan, dimana keluarnya darah itu merupakan
sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita. Sifat darah ini
berwarna merah kehitaman yang kental, keluar dalam jangka waktu tertentu, bersifat
panas, dan memiliki bau yang khas atau tidak sedap.

Haid adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita, dan pada setiap wanita
kebiasaannya pun berbeda-beda. Ada yang ketika keluar haid ini disertai dengan rasa
sakit pada bagian pinggul, namun ada yang tidak merasakan sakit. Ada yang lama
haidnya 3 hari, ada pula yang lebih dari 10 hari. Ada yang ketika keluar didahului
dengan lendir kuning kecoklatan, ada pula yang langsung berupa darah merah yang
kental. Dan pada setiap kondisi inilah yang harus dikenali oleh setiap wanita, karena
dengan mengenali masa dan karakteristik darah haid inilah akar dimana seorang
wanita dapat membedakannya dengan darah-darah lain yang keluar kemudian.

Wanita yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan
berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Namun ia diperbolehkan
membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan
pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad,
dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada
kemaluannya.

Allah Ta’ala berfirman:

Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu adalah
suatu kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di
tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka
suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa
dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari No. 321 dan Muslim
No. 335)

 Batasan Haid :

 Menurut Ulama Syafi’iyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam, dan
batas maksimalnya adalah 15 hari. Jika lebih dari 15 hari maka darah itu darah
Istihadhah dan wajib bagi wanita tersebut untuk mandi dan shalat. 
 Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa
tidak ada batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal masa haid itu. Dan
pendapat inilah yang paling kuat dan paling masuk akal, dan disepakati oleh
sebagian besar ulama, termasuk juga Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga
mengambil pendapat ini. Dalil tidak adanya batasan minimal dan maksimal masa
haid :

Firman Allah Ta’ala.

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”.
Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan
janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci…” [QS. Al-Baqarah : 222]

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid itu
berakhir setelah suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah tersebut. Bukan
tergantung pada jumlah hari tertentu. Sehingga yang dijadikan dasar hukum atau
patokannya adalah keberadaan darah haid itu sendiri. Jika ada darah dan sifatnya dalah
darah haid, maka berlaku hukum haid. Namun jika tidak dijumpai darah, atau sifatnya
bukanlah darah haid, maka tidak berlaku hukum haid padanya. Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah menambahkan bahwa sekiranya memang ada batasan hari tertentu dalam
masa haid, tentulah ada nash syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan
tentang hal ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Pada prinsipnya, setiap


darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan
bahwa darah itu istihadhah.”
Berhentinya haid :

Indikator selesainya masa haid adalah dengan adanya gumpalan atau lendir putih
(seperti keputihan) yang keluar dari jalan rahim. Namun, bila tidak menjumpai adanya
lendir putih ini, maka bisa dengan mengeceknya menggunakan kapas putih yang
dimasukkan ke dalam vagina. Jika kapas itu tidak terdapat bercak sedikit pun, dan
benar-benar bersih, maka wajib mandi dan shalat.

Sebagaimana disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi Aisyah radhiyallahu


‘anha dengan menunjukkan kapas yang terdapat cairan kuning, dan kemudian Aisyah
mengatakan :

“Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat gumpalan putih.” (Atsar ini
terdapat dalam Shahih Bukhari).

NIFAS

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita melahirkan.
Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti,
yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan
bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar karena persalinan, baik itu bersamaan
dengan proses persalinan ataupun sebelum dan sesudah persalinan tersebut yang
umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada dengan pendapat Imam Ibnu
Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan rasa sakit dan disertai
oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila tidak ada proses persalinan,
maka itu bukan nifas.

Batasan nifas : 

Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti
maka seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya
apa-apa yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para
ulama berbeda pendapat tentangnya.

 Ulama Syafi’iyyah mayoritas berpendapat bahwa umumnya masa nifas adalah 40


hari sesuai dengan kebiasaan wanita pada umumnya, namun batas maksimalnya
adalah 60 hari. 
 Mayoritas Sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas,
Aisyah, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhum dan para Ulama seperti Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, At-Tirmizi, Ibnu Taimiyah rahimahumullah
bersepakat bahwa batas maksimal keluarnya darah nifas adalah 40 hari,
berdasarkan hadits Ummu Salamah dia berkata, “Para wanita yang nifas di
zaman Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, mereka duduk (tidak shalat)
setelah nifas mereka selama 40 hari atau 40 malam.” (HR. Abu Daud no. 307, At-
Tirmizi no. 139 dan Ibnu Majah no. 648). Hadits ini diperselisihkan derajat
kehasanannya. Namun, Syaikh Albani rahimahullah menilai hadits ini Hasan
Shahih. Wallahu a’lam.
 Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal masa
nifas, bahkan jika lebih dari 50 atau 60 hari pun masih dihukumi nifas. Namun,
pendapat ini tidak masyhur dan tidak didasari oleh dalil yang shahih dan jelas.

Wanita yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh wanita haid,
yaitu tidak boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan intim
dengan suaminya pada kemaluannya. Namun ia juga diperbolehkan membaca Al-Qur’an
dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan
menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan
boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.

Tidak banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan darah haid.
Namun, berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa responden, umumnya
darah nifas ini lebih banyak dan lebih deras keluarnya daripada darah haid, warnanya
tidak terlalu hitam, kekentalan hampir sama dengan darah haid, namun baunya lebih
kuat daripada darah haid.

ISTIHADHAH

Istihadhah adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada masa haid dan
bukan pula karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar ketika sakit, sehingga
sering disebut sebagai darah penyakit. Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah
Muslim mengatakan bahwa istihadhah adalah darah yang mengalir dari kemaluan
wanita yang bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.

Sifat darah istihadhah ini umumnya berwarna merah segar seperti darah pada
umumnya, encer, dan tidak berbau. Darah ini tidak diketahui batasannya, dan ia hanya
akan berhenti setelah keadaan normal atau darahnya mengering.

Wanita yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci, sehingga ia
tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim dengan suami.

Anda mungkin juga menyukai