Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPELA

Laporan Pendahuluan ini disusun untuk memenuhi tugas Profesi Ners


Stase Keperawatan Gawat Darurat
Pembimbing Akedemik: Anik Indriono, S.Kep.,Ns. MH.Kes
Pembimbing Klinik: Kusnadi, S.Kep. Ns.

Oleh :

SENJA MUSTIKANINGSIH NPM : 1419002552

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

       Banyak istilah yang dipakai dalam menyatakan suatu trauma atau cedera pada
kepala di Indonesia. Beberapa Rumah Sakit ada yang memakai istilah cedera
kepala dan cedera otak sebagai suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada
kepala, walaupun secara harfiah kedua istilah tersebut sama karena memakai
gradasi responds Glaso Coma Scale (GCS) sebagai tingkat gangguan yang terjadi
akibat suatu cedera di kepala.

Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan


akibat trauma yang mencederai kepala, maka perawat perlu mengenal
neuruanatomi, neurofisiologi, neuropatofisiologi dengan baik agar kelainan dari
masalah yang dikeluhkan atau kelainan dari pengkajian fisik yang didapat bias
sekomprehensif mungkin ditanggapi perawat yang melakukan asuhan pada klien
dengan cedera kepala.

Cedera kepala meliputi trauma kepala,tengkorak, dan otak. Secara


anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan
tentorium atau helem yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak akan
mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron
rusak tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka
besar bagi seseorang.

Efek-efek ini harus dihindaridan ditemukan secepatnya oleh perawat untuk


menghindari rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik,
bahkan kematian. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologis yang
paling serius diantara penyakit neurologis, dan merupakan proporsi epidemic
sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 2/3 korban dari kasus ini berusia
dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari
setengah dari semua klien cedera kepala berat mempunyai signifikan cedera
terhadap bagian tubuh lainnya. Adanya syok hipovolemik pada klien cedera
kepala biasanya karena cedera pada bagian tubuh lainnya. Resiko utama klien
yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau
pembengkakan otak sebagai responds terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intracranial.         

B.    TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum     
Setelah membahas tentang  “Asuhan Keperawatan Pada Klien  Cedera
Kepala” mahasiswa mampu memahami “Asuhan Keperawatan Pada Klien
Cedera Kepala”.
2. Tujuan Khusus    
Setelah membahas tentang “Asuhan Keperawatan Cedera Kepala”
mahasiswa mampu :
a.    Memahami dan menjelaskan Konsep Penyakit Cedera Kepala.
b.    Memahami dan menjelaskan Asuhan Keperawatan Cedera Kepala.
BAB II
LANDASAN TEORI
1.      Definisi
            Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik
dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin,
2008, hal 270-271).

            Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun
trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba,
iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral
disekitar jaringan otak (Batticaca Fransisca, 2008, hal 96).

            Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung


atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan
otak. (Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006 hal 91).

Berdasarkan Glassgow Coma Scale (GCS) cedera kepala atau otak dapat di
bagi menjadi 3 gradasi :

1. Cedera kepala ringan (CKR)   = GCS 13-15


2. Cedera kepala sedang (CKS)  = GCS 9-12
3. Cedera kepala berat (CKB)     = GCS ≤ 8

2.      Anatomi Fisiologi

Otak dibungkus oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan
yaitu:

1. Duramater   : Lapisan luar, berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat
yang bersifat liat, tebal, tidak elastis, berupa serabut dan berwarna abu-
abu.
2. Arachnoid   : Membran bagian tengah, bersifat tipis dan lembut.
Berwarna putih karena tidak dialiri darah, terdapat pleksus khoroid
yang memproduksi cairan serebrospinal (CSS) terdapat villi yang
mengabsorbsi CSS pada saat darah masuk ke dalam sistem (akibat
trauma, aneurisma, stroke).
3. Piamater      : Membran paling dalam, berupa dinding yang tipis,
transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan otak.

Serebrum, terdiri dari 4 lobus, yaitu:

1. Lobus frontal     : Area ini mengontrol perilaku individu, membuat


keputusan, kepribadian, dan menahan diri. Lobus terbesar.
2. Lobus parietal    : Lobus sensori, area ini menginterpretasikan sensasi,
mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian
tubuhnya.
3. Lobus temporal  : Sensasi kecap, bau, dan pendengaran, ingatan jangka
pendek.
4. Lobus oksipital   : menginterpretasikan penglihatan.

Diensefalon, terdiri dari talamus, hipotalamus, dan kelenjar hipofisis.

1. Talamus                  : Pusat penyambung sensasi bau dan nyeri.


2. Hipotalamus           : Bekerja sama dengan kelenjar hipofisis untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dan mempertahankan
pengaturan suhu tubuh. Sebagai pusat lapar dan mengontrol BB,
pengatur tidur, tekanan darah, perilaku agresif, seksual, respon
emosional.
3. Kelenjar hipofisis    : Dianggap sebagai master kelenjar, karena
sejumlah hormon dan fungsinya diatur oleh kelenjar ini. hipofisis lobus
anterior memproduksi hormon pertumbuhan, hormon prolaktin, TSH,
ACTH, LH. Lobus posterior berisi hormon ADH.

Batang otak, terdiri dari otak tengah, pons, medula oblongata.


1. Otak tengah/mesencephalon, bagian yang menghubungkan
diencephalon dan pons. Fungsi utama menghantarkan impuls ke pusat
otak yang berhubungan dengan pergerakan otot, penglihatan dan
pendengaran.
2. Pons: Menghantarkan impuls ke pusat otak.
3. Medula oblongata, merupakan pusat refleks guna mengontrol fungsi
involunter seperti pernafasan, bersin, menelan, batuk, pengeluaran
saliva, muntah.

Serebrum: merangsang dan menghambat dan tanggung jawab terhadap


koordinasi gerak, keseimbangan, posisi.

Sirkulasi Serebral

Menerima kira-kira 20% dari curah jantung/750 ml per menit. Sirkulasi ini
sangat dibutuhkan, karena otak tidak menyimpan makanan, sementara
mempunyai kebutuhan metabolisme yang tinggi.

Pembuluh darah yang mendarahi otak terdiri dari :

1)         Sepasang pembuluh darah karotis : denyut pembuluh darah besar ini
dapat kita raba dileher depan, sebelah kiri dan kanan dibawah mandibula,
sepasang pembuluh darah ini setelah masuk ke rongga tengkorak akan
bercabang menjadi tiga :

a)         Sebagian menuju ke otak depan (arteri serebri anterior)

b)         Sebagian menuju ke otak belakang (arteri serebri posterior)

c)         Sebagian menuju otak bagian dalam (arteri serebri interior)

Ketiganya akan saling berhubungan melalui pembuluh darah yang disebut


arteri komunikan posterior.

2)      Sepasang pembuluh darah vertebralis : denyut pembuluh darah ini


tidak dapat diraba oleh karena kedua pembuluh darah ini menyusup ke
bagian samping tulang leher, pembuluh darah ini memperdarahi batang otak
dan kedua otak kecil, kedua pembuluh darah tersebut akan saling
berhubungan pada permukaan otak pembuluh darah yang disebut
anastomosis.

Suplay darah ke Medula Spinalis

Menerima nutrisi melalui cabang-cabang arteri vetebralis melalui cabang


aorta thorakalis dan aorta abdominalis. Arteri medula spinalis dan sistem
vena berjalan secara paralel satu dengan lainnya dan mempunyai hubungan
percabangan yang luas untuk mencukupi suplay darah ke jaringan-jaringan.
Dibentuk oleh pleksus koroideus, dan bersirkulasi dalam ventrikel-ventrikel
dan ruang subaraknoid. CSF terdiri dari air, elektrolit, oksigen,
karbondioksida, glukosa dan sedikit protein, serta konsentrasi kalium dan
klorida yg tinggi. Produksi dan reabsorbsi CSF berlangsung konstan serta
volume total CSF sekitar 125 cc dengan kecepatan sekresi CSF perhari 500
– 750 cc. Tekanan dalam cairan CSF sekitar 5 sampai 12 cm H2O.

3.      Etiologi

1. Sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh


dan cedera oleh raga.
2. Cedera kepala terbuka sering disebabkan akibat benda tajam dan tembakan
sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang dan laserasi dura mater.

Macam-macam Pendarahan pada Otak

a.    Intraserebral hematoma (ICH)

Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak


biasanya akibat sobekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-
kadang disertai lateralisasi, pemeriksaan CT scan didapatkan adanya daerah
hiperdens yang diindikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih dari 3
cm, perifer, adanya pergerakan garis tengah, dan secara klinis hematoma
tersebut dapat menyebabkan ganguan neurologis /lateralisasi. Operasi yang
dilakukan biasanya adalah evakuasi hematoma disertai dekompresi dari
tulang kepala.

b.    Subdural hematoma (SDH)

Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara dura mater dan


jaringan otak, dapat terjadi akut kronis. Terjadi akibat pecahan pembuluh
darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara dura mater,
perdarahan lambat dan sedikit. Pengertian lain dari subdural hematoma
adalah hematoma yang terletak dibawah lapisan dura mater dengan sumber
perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical,
sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka
subdural hematoma dibagi menjadi tiga meliputi subdural hematoma akut
terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, subdural hematoma subakut terjadi
antara 3 hari – 3 minggu dan subdural hematoma kronis jika perdarahan
terjadi lebih dari 3 minggu.

Secara klinis subdural hematoma akut ditandai dengan adanya penurunan


kesadaran, disertai adanya lateralisasi yanag paling sering berupa
hemiparese/hemiplegia dan pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran
hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent).

Indikasi operasi, menurut Europe Brain Injury Commition (EBIC), pada


perdarahan subdural adalah jika perdarahan lebih dari 1 cm. Jika terdapat
pergesaran garis tengah labih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah
evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema
serebri biasanya tulang tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan
sugalea. Prognosis dari klien SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi,
lamanya klien datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta dijaringan otak,
serta usia klien pada klien dengan GCS kurang dari 8 prognosisnya 50%,
semakin rendah GCS maka semakin jelek prognosisnya. Semakin tua klien
maka semakin jelek prognosisnya. Adanya lesi lain akan memperjelek
prognosisnya.
Gejala dari subdural hematoma meliputi keluhan nyeri kepala, bingung,
mengantuk, menarik diri, perubahan proses pikir (berpikir lambat), kejang,
dan edema pupil.

c.    Epidural hematoma (EDH)

Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara dura mater dan
tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah sobeknya arteri meningica
media (paling sering), vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria),
vena emmisaria, sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan
penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara
tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa
hemiparese/hemiplegia, pupil anisokor, adanya refleks patologis satu sisi,
adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukan lokasi dari EDH. Pupil
anisokor /dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH
sedangkan hemiparese/hemiplegia letaknya kontralateral dengan lokasi EDH.
Lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi
pada perdarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai
sebagai patokan dari prognosisnya. Semakin panjang lucid interval maka
semakin baik prognosisnya klien EDH (karena otak mempunyai kesempatan
untuk melakukan kompensasi). Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak
hilang pemberian analgetik. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran
area hiperdens dengan bentuk bikonveks di antara 2 sutura, gambaran adanya
perdarahan volumenya lebih dari 20 cc atau lebih dari 1 cm atau dengan
pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang
dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan
sedangkan tulang kepala dapat dikembangkan. Jika saat operasi tidak
didapatkan adanaya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembangkan jika
saat operasi didapatkan dura mater yang tegang dan dapat disimpan subgalea.

4.      Patofisiologi

Beberapa variabel yang mempengaruhi luasnya cedera kepala adalah :


a)      Lokasi dan arah dari penyebab benturan
b)      Kecepatan kekuatan yang datang
c)      Permukaan dari kekuatan yang menimpa
d)     Kondisi kepala ketika mendapat penyebab benturan
Kerusakan otak yang dijumpai pada cedera kepala dapat terjadi melalui dua
cara
1. Efek langsung ; trauma pada fungsi otak
2. Efek tidak langsung ; kerusakan neurologik langsung disebabkan oleh
suatu benda atau serpihan tulang yang menembus dan merobek jaringan otak.
Semua ini berakibat terjadinya akselerasi- deselarasi.
Derajat kerusakan dipengaruhi oleh kekuatan yang menimpa. Ada 2 macam
kekuatan yang dihasilkan :
1. Cidera setempat yang disebabkan oleh benda tajam, kerusakan
neurologik terjadi pada tempat yang terbatas pada tempat serangan.
2. Cidera menyeluruh yang lebih lazim dijumpai pada trauma tumpul
dan setelah kecelakaan.
Kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan diteruskan pada otak. Banyak
energi diserap oleh lapisan pelindung yaitu : rambut, kulit kepala dan
tengkorak. Tetapi pada cidera berat penyerapan ini tidak cukup untuk
melindungi otak.
Jika kepala bergerak dan berhenti dengan mendadak dan kasar, kerusakan
tidak hanya disebabkan oleh cidera setempat tetapi juga oleh akselerasi dan
deselarasi. Kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan isi dalam
tengkorak yang keras bergerak, sehingga memaksa otak membantur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan benturan dan
dampak yang terjadi adalah cedera jaringan otak.
Setiap kali jaringan mengalami cidera, akan terjadi perubahan isi cairan
intrasel dan ekstrasel. Penigkatan suplai darah ketempat dimana terjadi cidera
yang menimbulkan tekanan intracranial mengalami penigkatan sebagai akibat
cidera sirkulasi otak untuk mengatur volum darah ke otak yang mengalami
kemampuannya sehingga menyebabkan iskemia pada otak.
5.      Tanda dan Gejala

 Tanda dan gejala yang timbul dapat berupa ganguan kesadaran, konfusi,
abnormalitas pupil, serangan (onset) tiba-tiba berupa defisit neuorologis,
perubahan tanda vital, ganguan penglihatan, disfungsi sensorik, kejang otot,
sakit kepala, vertigo(pusing), ganguan pergerakan, kejang, dan syok akibat
cidera multi sistem.
Klasifikasi cidera kepala berdasarkan mekanisme dan keparahan cidera :

         Mekanisme berdasarkan adanya penetrasi duramater :


1. Trauma tumpul ; kecepatan tinggi (tabrakan)
2. Trauma tajam ; luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya.
3. Keparahan cidera :
a.        Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
1)      Skor skala coma Glasgow 13 – 15 (sadar penuh dan orientatif)
2)      Tidak ada kehilangan kesadaran
3)      Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
4)      Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5)      Pasien dapat menderita haematoma pada kulit kepala
6)      Tidak ada criteria cedera sedang – berat
b.      Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
1)      Skor skala coma Glasgow 9 – 12 (letargi)
2)      Amnesia paska trauma
3)      Muntah
4)     Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun,
hemotimpanum, otorea, rinorea cairan serebrospinal)
5)      Kejang
c.                   Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
1)      Skor skala coma Glasgow ≤ 8 (coma)
2)      Penurunan derajat kesadaran secara progresif
3)      Tanda neurologis vocal
4)      Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium.
6.      Test Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala
meliputi :
1. CT Scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak
2.      MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Digunakan sama dengan CT Scan dengan/tanpa kontras radio aktif
3.      Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4.      Serial EEG (Electroencephalography)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
5.      Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema) fragmen tulang
6.      BAER (Brainstem Auditory Evoked Response)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
7.      PET (Positron Emission Tomography)
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolisme otak
8.      CSS (Cairan Serebrospinal)
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid
9.      Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
intracranial
10.  Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran
11.  Rontgen thorak 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
12.   Toraksentesis menyatakan darah/cairan
13.  Analisa gas darah (AGD/astrup)
Analisa gas darah (AGD/astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan
melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam
basa
14.   Pemeriksaan laboratorium ; hematokrit, trombosit, darah lengkap, masa
protombin.

7.      Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi  ABC (airway, breathing, circulation) dan
menilai status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus
diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia  serebri yang terjadi.
Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa
sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan
oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu dikontrol kemungkinan intrakranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial
ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan
hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah
metabolism intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini
yakni dengan intubasi endotrakeal. Intubasi dilakukan sedini mungkin
kepada klien-klien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang
meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah
peningkatan tekanan kranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
1. Bedrest total
2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
3. Pemberian obat-obatan
1) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma
2) Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), berat untuk
mengurangi vasodilatasi.
3) Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol
20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
4) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (panisillin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
1. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%, aminofusin,
aminopel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.
2. Pada trauma berat. Hari-hari pertama didapat klien mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan
elektrolit maka hari-hari pertama ( 2 – 3 hari) tidak perlu banyak
cairan. Dextrosa 5% selama 8 jam pertama, ringer dextrose 8 jam
kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric tube
(25000-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai
urenitrogennya.
8.      Komplikasi
Komplikasi yang timbul adalah peningkatan TIK, kehilangan sensori dan
motorik, kerusakan otak, dan disfungsi syaraf cranial.Tindakan operatif
yang dapat diberikan adalah kraniotomy atau trepanasi serta debridement.

B.    ASUHAN KEPERAWATAN PADA CEDERA KEPALA

1.    PENGKAJIAN 
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada cedera
kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya
komplikasi pada organ vital lainnya.
a. Anamnesis           
Keluhan utama yang sering  menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung seberapa jauh dampak trauma
kepala yang di sertai dengan penurunan tinngkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat KLL, jatuh
dari dari ketinggian dan trauma langsung kekepala. Adanya
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadarn di hubungkan
dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi letargi, tidak responsif dan koma
c. Riwayat penyakit terdahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, DM, penyakit
jantung anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol yang
berlebihan.
d. Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita
hipertensi dan DM.
e. Pengkajian Psiko-Sosio-Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari
f. Pemeriksaan fisik
Setelah melkukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis
g. Keadaan umum
Pada pasien yang mengalami cedera kepala umumnya mengalami
penurunan kesadaran CKR atau COR dengan GCS 13-15, CKS
dengan GCS 9-12, CKB dengan GCS≤8
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN           
1.      Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah

(nemongi, nemotuma), edema serebral           

2.      Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat

pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan     

3.      Gangguan nutrisi kurang dari kbutuhan tubuh berhubungan dengan

perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan

metabolisme.        

3. INTERVENSI

DX 1: Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah


(nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi
neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi
kognitif dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak
ada tanda-tanda peningktan TIK,  
Intervensi Rasional
Kaji ulang tanda-tanda vital Mengkaji adanya kecenderungan pada
klien dan status relirologis klien tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangankerusakan ssp.
Monitor tekanan darah, catat adanya Peningkatan tekanan darah sistemik yang
hipertensi sistolik secara teratur dan diikuti penurunan tekanan darah distolik
tekanan nadi yang makin berat, obs, (nadi yang
ht, pada klien yang mengalami trauma membesar) merupakan tanda terjadinya
multiple. peningkatan TIK, juga diikuti ( yang
berhubungan
dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/
Ht (yang berhubungan dengan trauma
multiples) dapat
mengakibatkan kerusakan / iskemik
serebral.
Monitor Heart Rate, catat adanya Perubahan pada ritme (paling sering
bradikardi, takikardi atau bentuk bradikardia) dan disritmia dapat timbul
disritmia lainya. yang encerminkan
adanya depresi / trauma pada batang otak
pada pasien yang tidak mempunyai
kelainan jantung sebelumnya.
Monitor pernafasan meliputi pola dan Nafas tidak teratur menunjukkan adanya
ritme, seperti periode apnea setelah gangguan
hiperventilasi serebral/ peningkatan TIK dan
(pernafasan cheyne – stokes). memerlukan intervensi lebih lanjut
termasuk kemungkinan
dukungan nafas buatan.
Kaji perubahan pada penglihatan Gangguan penglihatan dapat diakibatkan
( penglihatan kabur, ganda, lap. oleh kerusakan mikroskopik pada otak,
Pandang menyempit merupakan konsekuensi terhadap
dan kedalaman persepsi. keamanan dan juga akan mempngaruhi
pilihan intervensi
Pertahankan kepala / leher pada posisi Kepala yang miring pada salah satu sisi
tengah/ pada posisi netral. Sokong menekan vena jugularis dan menghambat
dengan handuk kecil / aliran darah lain yang selanjutnya akan
bantal kecil. Hindari pemakaian bantal meningkat TIK.
besar pada kepala
Kolaborasi Tinggikan kepala pasien Meningkatkan aliran balik vena dari
15 – kepala, sehingga mengurangi kongesti
45o sesuai indikasi / yang dapat dan edema
ditoleransi. / resiko terjadinya peningkatan TIK.
Kolaborasi pemberian O2 tambahan Menurunkan hipoksemia yang mana
sesuai dapat menaikkan vasodilatasi dan vol
indikasi darah serebral yang meningkatkan TIK.
Kolaborasi pemberian obat sesuai      Untuk menurunkan air dari sel otak,
indikasi : menurunkan edema otak
- Diuretik TIK.
- Steroid       Menurunkan inflasi, yang
- Analgetik sedang selanjutnya menurunkan edema
- Sedatif jaringan.
      Menghilangkan nyeri dan dapat
berakibat Θ pada TIK tetapi  harus
digunakan dengan hasil untuk mencegah
gangguan
pernafasan.
      Untuk mengendalikan
kegelisahan agitas
DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi
pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan
ventilator.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola
napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami
perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor
penyebab.
Intervensi Rasional
Berikan posisi yang nyaman, biasanya Meningkatkan inspirasi maksimal,
dengan peninggian kepala tempat meningkatkan ekspansi paru dan
tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
klien untuk duduk sebanyak mungkin.
Observasi fungsi pernapasan, dispnea, Distress pernapasan dan perubahan pada
atau perubahan tanda-tanda vital. tanda vital dapat terjadi sebagai akibat
stress fisiologi dan nyeri atau dapat
menunujukkan terjadinya syok
sehubungan dengan hipoksia.
Jelaskan pada klien bahwa tindakan Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
tersebut dilakukan untuk menjamin mengembangkan kepatuhan klien
keamanan. terhadap rencana terapeutik.
Jelaskan pada klien tentang Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
etiologi/factor pencetus adanya sesak mengurangi ansietas dan
atau kolaps paru-paru. mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana terapeutik.
Pertahankan perilaku tenang, bantu Membantu klien mengalami efek
klien untuk control diri dengan fisiologi hipoksia, yang dapat
menggunakan pernapasan lebih dimanifestasikan sebagai
lambat dan dalam. ketakutan/ansietas.
Periksalah alarm pada ventilator Ventilator yang memiliki alarm yang
sebelum difungsikan. Jangan bias dilihat dan didengar misalnya alarm
mematikan alarm. kadar oksigen, tinggi/rendahnya tekanan
oksigen.
Tarulah kantung resusitasi disamping Kantung resusitasi/manual ventilasi
tempat tidur dan manual ventilasi sangat berguna untuk mempertahankan
untuk sewaktu-waktu dapat fungsi pernapasan jika terjadi gangguan
digunakan. pada alat ventilator secara mendadak.
Bantulah klien untuk mengontrol Melatih klien untuk mengatur napas
pernapasan jika ventilator tiba-tiba seperti napas dalam, napas pelan, napas
berhenti. perut, pengaturan posisi, dan teknik
relaksasi dapat membantu
memaksimalkan fungsi dan system
pernapasan.
Perhatikan letak dan fungsi ventilator Memerhatikan letak dan fungsi ventilator
secara rutin. sebagai kesiapan perawat dalam
Pengecekan konsentrasi oksigen, memberikan tindakan pada penyakit
memeriksa tekanan oksigen dalam primer setelah menilai hasil diagnostik
tabung, monitor manometer untuk dan menyediakan sebagai cadangan.
menganalisis batas/kadar oksigen.
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg).
periksa fungsi spirometer.
Kolaborasi dengan tim kesehatan Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
lain : untuk mengevaluasi perbaikan kondisi
Dengan dokter, radiologi, dan klien atas pengembangan parunya.
fisioterapi.
  Pemberian antibiotik.
  Pemberian analgesic.
  Fisioterapi dada.
  Konsul foto thoraks.

DX 3: gangguan nutrisi : kurang dari kbutuhan tubuh berhubungan dengan


perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil : mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperlihatkan
kenaikan berat badan sesuai dengan pemeriksaan laboratorium. 
Intervensi Rasional
Mandiri Klien dengan tracheostomy tube
Evaluasi kemampuan makan klien mungkin sulit untuk makan, tetapi
klien dengan endotracheal tube dapat
menggunakan mag slang atau
memberi makanan parenteral.
Observasi/timbang berat badan jika Tanda kehilangan berat badan (7-10%)
memungkinkan. dan kekurangan intake nutrisi
menunjang terjadinya masalah
katabolisme, kandungan glikogen
dalam otot, dan kepekaan terhadap
pemasangan ventilator.
Catat pemasukan peroral jika Nafsu makan biasanya berkurang dan
diindikasikan. anjurkan klien untuk nutrisi yang masuk pun berkurang.
makan menganjurkan klien memilih makanan
yang di senangi dapat dimakan ( bila
sesuai anjuran).
Berikan makanan kecil dan lunak Mencegah terjadinya kelelahan,
memudahkan masuknya makanan, dan
mencegah gangguan pada lambung.
Kolaborasi Diet tinggi kalori, protein, karbohidrat
Aturlah diet yang diberikan sesuaii sangat diperlukan selama pemasangan
keadaan klien ventilator untuk mempertahankan
fungsi otot-otot respirasi. karbohidrat
dapat berperan dan penggunaan lemak
meningkat untuk mencegah terjadinya
produksi co2 dan pengaturan sisa
respirasi.
Lakukan pemeriksaan laboratorium yang Memberikan informasi yang tepat
diindikasikan seperti serum, tentang keadaan nutrisi yang
transverin,BUN/kreatinin dan glukosa. dibutuhkan klien.

D. EVALUASI
1.     Fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d
minimalkan /distabilkan.
2.      Tidak ada tanda- tanda peningkatan TIK
3.      Tingkat kesadaran membaik
4.      Pola napas kembali efektif
5.      Kebutuhan klien terpenuhi
DAFTAR  PUSTAKA
Arif Muttaqin, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika 
Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2006, Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga
Lecture Notes, 2005, Neurologi, Lionel Ginsberg : Erlangga
http://id.scribd.com/doc/85827418/Laporan-Kasus-Cedera-Kepala  (di unduh pada
tanggal 21 November 2012) 
http://asuhan-keperawatan-yuli.blogspot.com/2009/11/laporan-pendahuluan-cedera-
kepala.html (di unduh pada tanggal 26 November 2012)

Anda mungkin juga menyukai